Diaspora Indonesia usulkan pengembangan kota “livable”

Delft, Belanda – Komunitas Diaspora Indonesia yakni warga negara Indonesia yang berada dan menetap di luar negeri, mengusulkan program pengembangan “livable city” atau kota dengan konsep nyaman dihuni, kata salah satu anggota unit kerja “livable city” Diaspora Indonesia.

“Kota-kota di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang cukup serius seperti kurangnya ruang hijau, transportasi publik yang jumlah dan kualitasnya belum memenuhi kebutuhan masyarakat dan belum adanya langkah-langkah perlindungan sumberdaya alam,” kata Gemawang Swaribathoro di Delft, Selasa (26/3).

Dia menjelaskan program pengembangan kota nyaman huni tersebut melibatkan sejumlah ahli Indonesia di bidang perlindungan dan pemeliharaan warisan sejarah, perencanaan sumberdaya air and bentang alam serta ahli permukiman dan pembaruan wilayah kota.

“Unit kerja program ini ada 18 orang dan 39 kolaborator dari berbagai bidang,” kata Gemawang yang bekerja di bidang arsitektur di Rotterdam, Belanda.

Mewujudkan kota nyaman huni dapat dilakukan dengan menerapkan pembangunan yang memihak pada penjagaan sumberdaya sehingga tidak mengganggu keseimbangan alam. Selain itu perlindungan dan pemeliharaan warisan sejarah berupa bangunan bersejarah maupun kearifan lokal juga dinilai menjadi langkah menciptakan wilayah kota yang nyaman untuk didiami.

“Unit kerja ‘livable city’ juga mengembangkan gagasan perkotaan kreatif untuk masyarakat tidak mampu,” kata Gemawang.

Program ini diharapkan dapat mewujudkan kota-kota Indonesia yang berkembang pesat dengan tetap memperhatikan pemeliharaan kondisi alam, memiliki ruang hijau, mempunyai transportasi publik yang nyaman dan aman serta kota yang bebas dan siap menghadapi banjir, jelasnya.

Gemawang mengatakan pihak Diaspora Indonesia membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memberikan saran dan gagasan untuk menyukseskan program pengembangan kota nyaman huni ini.

Selain “livable city” Diaspora Indonesia juga tengah mengusulkan pengembangan pelayanan kesehatan medis yang terdiri dari tiga program yakni pelayanan dan penyembuhan kanker di Indonesia, pelayanan bagi lanjut usia serta pusat informasi kesehatan.

Berkaitan dengan program-program pelayanan kesehatan tersebut, Diaspora Indonesia di Belanda atau disebut dengan IDN-NL telah melakukan pendataan lembaga-lembaga swadaya masyarakt di bidang pelayanan kesehatan medis yang siap bekerja sama di masa mendatang.

(sumber: www.analisadaily.com)

Nilai PBI BPJS Masih Menjadi Polemik

JK-26mar13

JK-26mar13Depok, PKMK-Polemik tentang nilai Penerima Bantuan Iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (PBI BPJS) Kesehatan sebaiknya jangan terlalu lama. Sebab, masyarakat Indonesia harus cepat memperoleh kepastian tentang nilai yang menjadi haknya itu. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Bambang Wispriyono, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Depok (26/3/2013).

Pihak-pihak yang berpolemik seperti Kementerian Keuangan RI, Kementerian Kesehatan RI, Komisi IX DPR RI, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional, harus sering duduk bersama, tambah Bambang. “Standar menjadi polemik, saya kira itu hal yang wajar. Seperti halnya standar minimal luas lantai rumah sederhana yang belum lama ini jadi polemik, ‘kan,” ucap Bambang. Pihak-pihak tersebut harus mencari perbedaan yang terjadi. Jika perbedaan itu sudah diperoleh, semua pihak harus saling memahami. “Jika ternyata didapati bahwa nilai Rp 15.483 per orang per bulan yang diusulkan Kementerian Keuangan RI tidak memadai, ya bisa dinaikkan,” katanya.

Sebaliknya, jika standar maksimal yang dipasang pihak lain terlalu tinggi, ya nilainya bisa diturunkan. “Jadi, standar minimal yang layak disepakati bersama tanpa merugikan stakeholder seperti RS dan Puskesmas,” katanya. Bagaimana bila pada akhirnya nilai yang dipakai Rp 15.483 per orang per bulan yang diasumsikan terlalu rendah? Hal itu sebenarnya tidaklah menjadi persoalan. Sebab, jika dalam pelaksanaan ternyata nilai itu terlalu rendah, revisi bisa dilakukan. “Undang-undang pun bisa diubah, terlebih lagi aturan tentang nilai PBI itu,” ungkapnya. Hal yang pasti semua kalkulasi harus berdasarkan rasionalitas dan kajian-kajian yang tepat. Universitas Indonesia sendiri selama ini sudah banyak memberi masukan tentang BPJS Kesehatan.

DPR: Program Menkes Tidak Tepat Sasaran

Sasaran-sasaran strategis dinilai semu.

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi harusnya memprioritaskan sasaran strategis program kesehatan sebagaimana dalam Rencana Keegiatan Program Kementerian. Misalnya, tambah Poempida, persiapan menyambut BPJS yang tidak boleh diremehkan oleh Menkes.

“Sasaran strategis yang mestinya mengakomodasi arah kebijakan justru tidak ada,” ujar Poempida dalam rilis yang diterima Jaringnews.com hari ini.

Poempida mencontohkan sasaran strategis untuk peningkatan ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, jaminan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat, alat kesehatan, dan makanan serta daya saing produk dalam negeri adalah meningkatnya ketersediaan dan pengawasan obat dan makanan.

“Kesannya arah kebijakan kok bisa lebih detail dari sasaran? Sasaran sangat tidak mengakomodasi arah kebijakan,” ujar dia.

Poempida juga mempertanyakan sasaran-sasaran strategis lain yang dinilai semu. “Mana sasaran dari arah kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan? Mana sasaran untuk peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier? Mana sasaran untuk peningkatan kualitas manajemen pembangunan kesehatan, sistem Informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi Kesehatan?” tanya Poempida.

“Menkes semestinya benar-benar serius memperhatikan kebutuhan kesehatan rakyat,” kritik politikus Golkar ini.

(sumber: jaringnews.com)

Askes akan Hentikan Penjaminan DSA Stroke

25mar-kki

25mar-kkiJakarta-PKMK. PT Asuransi Kesehatan (Askes) merencanakan menghentikan sementara penjaminan terhadap pengobatan stroke dengan cara Digital Substraction Angiography (DSA). Sebab, berdasarkan sejumlah rekomendasi dari pakar ataupun tim dokter menteri, DSA bukanlah tindakan terapi, tetapi tindakan diagnostik. “Akan tetapi, jika dalam kelanjutannya ada rekomendasi bahwa DSA adalah tindakan terapi, tentu Askes akan menjamin klaim terhadap hal itu,” kata Dr. dr. Fahmi Idris, Direktur Utama PT Askes, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta (Senin, 25/3/2013).

Fahmi mengatakan, pihaknya berharap bahwa Komisi IX DPR RI segera mendorong penyelesaian debat tentang posisi DSA tersebut. Askes sebelumnya telah meminta masukan dari banyak pihak terkait posisi DSA. “9 Januari 2013, Profesor Yusuf Misbah menyatakan bahwa DSA tidak pernah dilakukan di Indonesia. Tidak ada literatur tentang DSA.” Kemudian, 17 Januari 2013, ada pendapat perorangan yang menyatakan bahwa DSA itu tindakan terapi. “Selanjutnya, 28 Januari, ada kesimpulan para ahli yang menyatakan bahwa DSA adalah tindakan diagnostik,” ujar dia.

Bila nantinya Konsil Kedokteran Indonesia dan Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa DSA adalah tindakan terapi, tentu Askes akan menjamin biaya untuk itu. “Kalau DSA terbukti mampu mencegah stroke, ya mengapa pula tidak dijamin,” kata Fahmi. Sementara, dalam rapat yang sama, dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad., mengatakan bahwa kini yang perlu dilakukan adalah deteksi dini terhadap penyakit stroke. Itu sering tidak dirasakan oleh penderita sehingga ia tiba-tiba sakit. “Hal Yyang sangat menakutkan adalah stroke yang silent,” kata dokter yang menjalankan pengobatan DSA bersama timnya di RSPAD Gatot Subroto. Dalam mendeteksi stroke, pihaknya menggelar langkah komprehensif bersama sejumlah dokter ahli mata, neurologi, penyakit dalam, dan lain-lain. “Melalui alat imaging, kami bisa mengetahui bahwa seseorang berpotensi kena stroke ataupun pernah terkena penyakit itu,” kata Terawan.

Menkeu Baru Harus Naikkan Nilai PBI BPJS

irgan

irganJakarta-PKMK. Kemungkinan pergantian menteri keuangan RI dalam waktu dekat ini tidak boleh mengubah komitmen terhadap penentuan nilai penerima bantuan iuran (PBI) di Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Siapapun menteri keuangan yang baru, harus berkomitmen untuk menaikkan nilai PBI tersebut, ungkap Irgan Chairul Mahfiz, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, mengatakan hal tersebut di Jakarta (Senin, 25/3). Komitmen menaikkan nilai PBI tidak terkait figur menteri keuangan. Tapi, hal ini menyangkut kesiapan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan BPJS Kesehatan dengan tepat.

Nilai PBI sebesar Rp 15.483 per orang per bulan yang diusulkan Kementerian Keuangan RI, terlalu kecil, ungkap Irgan. “Pemerintah Indonesia seharusnya bisa mengalokasikan nilai yang lebih besar. Kalau untuk alokasi anggaran lain bisa lebih besar, kenapa untuk PBI tidak bisa?” kata legislator dari Partai Persatuan Pembangunan itu. Ia pun menambahkan, usulan nilai PBI dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) lebih besar. Demikian pula usulan nilai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Maka, Pemerintah Indonesia harus menaikkan besaran nilai PBI agar pelayanan kesehatan masyarakat bisa ter-cover dengan baik. Pada prinsipnya, Komisi IX telah sepakat dengan DJSN dan IDI tentang kenaikan nilai itu,” tambah Irgan.

Apakah Komisi IX DPR RI akan menyampaikan interpelasi kepada Pemerintah Indonesia terkait hal itu? “Saya kira belum sampai ke tahap interpelasi. Pada pertemuan berikutnya dengan Menteri Keuangan RI dan Menteri Kesehatan RI, kami akan menanyakan lagi soal nilai PBI yang terlalu kecil itu.” Kemudian, ia mengatakan bahwa pertemuan tersebut akan berlangsung secepatnya. Sebisa mungkin, sebelum Sidang Paripurna DPR RI di April 2013 pertemuan tersebut sudah berlangsung. “Lebih cepat, lebih baik dan sekali lagi, belum sampai tahap interpelasi karena Pemerintah Indonesia juga masih mengalkulasi nilai PBI itu,” ujarnya.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terancam Class Action

Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan (RUU Pertembakauan) dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok sebagaimana diwartakan beberapa media dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap DPR.

“Menkes berburuk sangka dan melecehkan DPR. Seolah anggota DPR tenaga upahan/pabrikan,” tegas anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno di Jakarta, seperti yang tertulis dalam keterangan pers yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Minggu (24/2/2013).

Hendrawan mempertanyakan logika yang dipakai Menkes. “Apakah logika yang sama dipakai Menkes, bahwa PP No. 109 Tahun 2012 terbit karena Menkes dapat bantuan dana dari asing? Apakah Menkes menjadi kekuatan komprador asing?,” tanyanya.

Menanggapi pernyataan Menkes, anggota Baleg lain, Poempida Hidayatulloh mengingatkan agar Menkes hati-hati dalam mengkritisi DPR, karena DPR mempunyai imunitas dalam berpendapat. Sebaliknya, pernyataan seorang menteri yang salah dapat berdampak masalah hukum. “Yang jelas kebijakan Menkes adalah titipan asing,” tegas Poempida.

Menkes, lanjut Poempida seyogianya mempunyai visi yang seimbang dalam membuat kebijakan. Karena jika kebijakan dilandasi ketidakadilan, kebijakan tersebut dapat dikategorikan inkonstitusional.

“Dalam konteks ini, Menkes harus berhenti berwacana dan segera menyelesaikan berbagai masalah pelayanan kesehatan yang menjadi sorotan akhir-akhir ini,” ungkapnya.

Ketika ditanya apakah ada kemungkinan DPR melakukan langkah-langkah untuk mengingatkan Menkes?

Poempida menjawab jika sikap Menkes tidak juga berubah dan tidak menunjukan sikapnya sebagai negarawati yang mengutamakan kepentingan masyarakat berdasarkan azaz keadilan, DPR tidak akan segan-segan melakukan class action.”DPR bisa lakukan class action untuk ingatkan Menkes!,” ujar politisi Partai Golkar ini.

(sumber: www.tribunnews.com)

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terbujuk Bisikan Asing Soal Tembakau?

Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok beberapa hari lalu ditanggapi Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Menurut Sekjen Gappri, Hasan Aoni Aziz US, pernyataan Menkes tersebut mengecilkan arti tembakau bagi petani.

“Menkes mungkin sedang flanking (berkelit) untuk tidak berhadap-hadapan dengan petani, sehingga paling mudah ya kritik pengusaha,” katanya, seperti yang tercantum dalam rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Kamis (21/3/2013).

Hasan mengingatkan bahwa ini tahun politik, jadi jangan kompori hal-hal yang bisa menjadikan kondisi tidak stabil. Kalau pernyataan Menkes terus-menerus seperti itu, nanti kalau petani datang ke Jakarta jangan salahkan mereka.

“Kami khawatir, pernyataan Menkes yang sangat anti tembakau itu bisa mendorong ribuan petani berduyun-duyun datang ke Jakarta dan protes,”imbaunya.

Tembakau bagi petani adalah hak hidup, hak ekonomi untuk memilih tanaman apa yang bebas dipilih mereka. Hasan mempertanyakan apa bisa dijamin jika tembakau tidak ditanam lalu petani akan lebih sejahtera? Apa bisa dijamin jika menanam tanaman lain lalu harga jadi lebih baik? Apa juga bisa dijamin jika tidak ada asap rokok dari tembakau itu, lalu tidak akan ada asap lain yang jauh lebih berbahaya?

“Soal bahaya asap rokok kan sudah diatur. Tetapi tembakaunya sebagai tanaman belum diatur. Petani meminta hak ini,” tegasnya.

Jadi, upaya Menkes melarang dan mendrop RUU Pertembakauan adalah sikap yang tidak arif sebagai seorang pejabat bahkan cenderung semena-mena.

“Apa Menkes akan manut saja dengan bisikan dari asing? Apa Menkes memang memusuhi petani tembakau dan menganakemaskan pengusaha farmasi?,” tanyanya.

Hasan menilai kritik yang dilakukan Menkes sebetulnya seperti peribahasa “menepuk air didulang, terpercik muka sendiri”. Dengan program kesehatan yang didukung dana farmasi asing, sama halnya Menkes tengah mempertahankan bisnis obat-obatan farmasi melalui rumah sakit.

Kita tahu banyak dokter binaan Menkes yang hidupnya dari fee obat-obatan farmasi yang dirujuknya. Bahkan, sampai obat dan biaya rumah sakit jadi mahal dan rakyat miskin dilarang sakit. Banyak pihak menduga karena kong-kalingkong ini.

“Ini sudah common sense. Saya kira ini yang harusnya diurus Menkes. Jangan sampai nanti LSM anti korupsi dan KPK memeriksa Menkes dan seluruh jajarannya karena hal itu,” ungkapnya.

Lebih lanjut Hasan mengungkapkan, industri farmasi asing setelah menghajar tembakau dan rokok di berbagai negara, sekarang menjual obat-obatan pengganti nikotin (nicotine replacement therapy) dengan nilai ratusan juta dolar. Dalam hal ini kecurigaan Wanda Hamilton, dosen dan penulis di Amerika Serikat terhadap peran farmasi dalam gerakan anti-tembakau benar adanya.

“Kami justru curiga, jangan-jangan komentar Menkes ini adalah upaya pengalihan isu karena gagal dalam menangani pasien di rumah sakit. Kan banyak kematian bayi dan orang miskin karena rumah sakit terbatas palayanannya,” ujarnya.

Terkait RUU Pertembakauan, RUU ini memberikan ruang kebebasan bagi petani untuk berusaha. Jika melihat laporan Baleg DPR, ada banyak naskah akademik (NA) dari berbagai perguruan tinggi untuk RUU ini.

Hasan menyarankan jika Menkes mempunyai usulan sebaiknya sampaikan melalui saluran yang ada. Sehingga, diharapkan suatu UU kelak akan mengakomodir semua pihak secara proporsional dan bertanggung jawab.

“Kami sarankan mari kita slow down, tidak memicu kegaduhan politik di tengah kesulitan petani dalam mempertahankan hak hidupnya, juga di tengah rakyat akhir-akhir ini meminta hak mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak.

(sumber: www.tribunnews.com)

Program Internship Dokter Masih Pro dan Kontra

JAKARTA – DPR RI membentuk Panja terhadap Program Internship Dokter Indonesia dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hal itu mengemuka dalam Raker Komisi IX DPR RI bersama Kemenkes, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Ikatan Senat Kedokteran di Gedung DPR RI, Senayan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Aditya Anugrah Moha yang akrab disapa ADM mengatakan ada pro dan kontra terhadap persoalan tersebut. “Program itu, ada menolak dan menerima dari para dokter itu sendiri,” kata ADM usai Raker, Selasa (19/3/2013).

Politisi Golkar dari dapil Sulut ini mengaku, mendapat masukan dari IDI, ada kejanggalan baik dari pendaftaran dan hasilnya terhadap uji Kompetensi, karena ada kaitannya dengan program Internship.

“Ada inkoneksitas. Kita menekankan untuk evaluasi menyeluruh. Internship dan Kompetensi, jangan sampai menyulitkan gelar dokter yang sudah susah payah di dapatnya,” katanya.

Politisi dari Golkar dapil Sulut ini menilai, konsep sudah bagus. Namun pelaksanaannya ada kejanggalan. Harus telisik ada keterkaitan menyangkut kesetaraan kewenangan Dirjen Dikti dan pelayanan di Depkes.

Terkait intensif sebesar Rp 1,2 juta per bulan bagi setiap Dokter, Partainya mendorong ada penambahan dalam APBNP 2013.

Sedangkan anggota Fraksi Demokrat, Prof Dina Mahdi menganalogikan program tersebut, kepala dilepas ekor di pegang. Sehingga perlu dibahas bersama.

Okky Asokawati dari fraksi PPP menegaskan, program Interhensif berada di pendidikan atau pelayanan.

“Kalau pelayanan domainnya Kemenkes,” katanya.

(sumber: www.tribunnews.com)

Rokok Sejahterakan Rakyat hanya Mitos

Jakarta – Advokat Muhammad Joni mengatakan bahwa anggapan industri rokok menyejahterahkan masyarakat merupakan mitos belaka. Pasalnya, sebanyak 85 persen saham perusahaan rokok telah dikuasai oleh asing. Sementara Indonesia hanya mati-matian untuk membiayai orang yang sakit karena rokok.

“Sebanyak 85% saham perusahaan rokok dimiliki asing. Keuntungannya terbang ke luar negeri, sementara di Indonesia kita mati-matian membiayai orang yang sakit karena rokok,” katanya dalam konferensi pers di Sekretariat Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta, Senin (18/3).

“NTB yang merupakan salah satu penghasil tembakau terbesar di Indonesia, justru termasuk daerah termiskin di negeri ini,” sambungnya.

Pada kesempatan itu, Joni juga menyayangkan murahnya harga rokok di Indonesia, ketimbang Singapura dan Malaysia. “Harga rokok sangat murah di Indonesia. Seharusnya cukai berkontribusi terhadap masalah ini. Produk rokok Indonesia harus bisa mematuhi aturan rokok di luar negeri, yang telah disepakati,” paparnya.

Sementara itu, mantan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Hakim Sorimuda Pohan mengungkapkan bahwa sebanyak 239 ribu orang di Indonesia meninggal akibat rokok per tahunnya. Ironisnya, Pemerintah tak kunjung meratifikasi aturan soal tobbaco control yang dikeluarkan “World Health Organization” (WHO).

“Dari 192 negara anggota WHO, sebanyak 176 negara telah setuju dengan aturan tersebut. Dan, dari 41 negara Asia Pasifik, hanya Indonesia yang tidak menandatangani. Dari seluruh negara ASEAN, Indonesia pula satu-satunya yang tidak setuju,” kata Hakim.

Padahal, selain masalah kesehatan, indrustri rokok juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. “Di Nusa Tenggara Barat (NTB), masyarakat menggunakan kayu bakar untuk mengeringkan tembakau. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan. Data dari Dinas Kehutanan NTB setiap tahunnya juga terjadi penggundulan hutan seluas 40 hektare akibat tembakau,” katanya.

Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan bahwa rokok adalah proses memiskinkan rakyat miskin. “Lebih dari 70 persen perokok di Indonesia berasal dari rakyat miskin. Ini merupakan proses pemiskinan akibat industri rokok,” ujarnya.

(sumber: www.beritasatu.com)

Alokasi Subsidi Kesehatan Terlalu Minim

Jakarta – Kalangan DPR meminta pemerintah mengalokasikan anggaran lebih besar untuk subsidi kesehatan, terutama untuk pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang akan berlaku pada Januari 2014.

“Pemerintah jangan terlalu pelit mengeluarkan anggaran untuk kesehatan rakyat. Ini menyangkut investasi jangka panjang untuk kemajuan bangsa,” kata anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi, di Jakarta, Senin (18/3/2013).

Menurut Zuber, dibandingkan dengan alokasi subsidi di sektor energi yang pada 2013 mencapai Rp 274,7 triliun, subsidi sektor kesehatan tahun yang sama, antara lain Jamkesmas bagi 86,4 juta jiwa dan Jampersal bagi 2,7 juta jiwa ibu hamil, hanya sebesar Rp 8,3 triliun.

“Artinya, subsidi kesehatan untuk masyarakat miskin hanya 3 persen dari subsidi energi kita,” katanya.

Zuber menyayangkan sikap Menteri Keuangan, yang hanya bersedia membiayai kesehatan rakyat miskin (penerima bantuan iuran) Rp 15.000 per orang per bulan. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada usulan beberapa pihak seperti Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Askes, dan DPR yang berkisar antara Rp 20.000-Rp 36.000 per orang.

“Ini bukti pemerintah masih kurang berpihak pada masyarakat kecil,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan pemerintah hanya akan menganggarkan Rp 16,07 triliun di RAPBN 2014, untuk penerima bantuan iuran (PBI) atau besaran premi PBI Rp 15.500 per orang per bulan. Kementerian keuangan mengkhawatirkan beban fiskal yang muncul akibat pembengkakan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.

“Saya justru khawatir alasan fiskal adalah sesuatu yang dibuat-buat. Coba cermati, produk domestik bruto (PDB) kita tumbuh 7 persen per tahun, dan saat ini Indonesia masuk negara 20 besar dunia dengan PDB tertinggi,” ungkapnya.

Mengutip data IMF, Zuber menyebutkan bahwa Indonesia masuk peringkat ke-16 negara tertinggi PDB-nya dengan nilai 845 miliar Dollar AS. Sementara menurut Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 18 dengan PDB mencapai 706 miliar dollar AS.

Bahkan, diprediksi PDB Indonesia pada 2014 akan mencapai 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 9.500 triliun.

Zuber mempertanyakan besarnya pendapatan pemerintah dari cukai rokok yang mencapai Rp 84 triliun pada 2012. “Coba bayangkan risiko kesehatannya dari penjualan rokok yang besar itu. Harusnya ada kompensasi besar pula bagi masyarakat,” katanya.

(sumber: nasional.kompas.com)