Hatta Rajasa Dorong Industri Obat Herbal

Semarang – Indonesia memiliki peluang yang besar bagi pengembangan industri sekaligus pemasaran obat-obatan herbal (nonkimia). Ini tak terlepas dari berkembangnya tren pengobatan herbal. Serta tuntutan kebutuhan hidup sehat masyarakat kelas menengah.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, saat ini impor obat-obatan Indonesia masih sekitar tujuh miliar dolar AS. Artinya, pangsa pasar obat-obatan yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi nasional masih terbuka luas.

“Masyarakat kelas menengah kita mulai menginginkan pola hidup yang sehat,” ungkap Hatta di sela kunjungan kerja ke industri jamu PT Sido Muncul bersama Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, Sabtu (16/3).

Tren pengobatan di dunia, lanjutnya, mengarah pada pola alamiah. Demokian juga ketika mencari obat-obatan. Masyarakat cenderung menginginkan obat yang tanpa zat kimia buatan.

Ia pun memperkirakan, pada 2030 akan ada kelas menengah dengan daya beli mencapai 1,8 triliun dolar AS. Dari jumlah itu, pendapatan yang terbesar akan dibelanjakan untuk pendidikan dan kesehatan.

Di lain pihak, lanjut Hatta, negeri ini sangat terkenal degan keahlian di bidang obat tradisional, terutama jamu. Ini dibuktikan dengan adanya ribuan perusahaan jamu tradisional yang tersebar di Tanah Air.

“Jangan sampai pangsa pasar yang besar ini justru diisi oleh jamu-jamu dari uar negeri. Percaya lah, bicara soal jamu, kita lebih hebat dari bangsa-bangsa lain di dunia,” tegasnya.

Pemerintah, ujarnya, mendorong lahirnya perusahaan farmasi nasional yang mengandalkan bahan baku lokal. Sehingga, bisa mengurangi ketergantungan impor dan pemborosan devisa negara.

(sumber: www.republika.co.id)

Asosiasi Klinik Minta Dilibatkan Bahas BPJS

Jakarta – Banyak kalangan masih mempersoalkan besaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang untuk sementara disetujui Kementerian Keuangan (Kemkeu) sebesar Rp15.500 per orang per bulan. Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin) juga mempersoalkan besaran PBI yang diusulkan Kemkeu tersebut.

“Asklin sebenarnya meminta PBI dilihat dari kapitasi yang ideal atau keekonomian agar mengakomodir kepentingan semua komponen pelayanan di klinik,” ujar Ketua Umum Asklin dr Eddi Junaidi di sela acara Asklin Indo Clinic Expo (Asklin ICE) 2013, di Jakarta, Kamis.

Dr Eddi mengatakan, kapitasi yang ideal untuk pelayanan kesehatan di klinik adalah sebesar Rp15.000 sampai Rp20.000. Rincian biaya ini terdiri dari gaji dokter, minimal 2 dokter untuk klinik rawat jalan, dan lebih untuk rawat inap, gaji tenaga kesehatan lain termasuk dokter gigi, serta obat-obatan. Belum lagi untuk penyusutan dan pemeliharaan gedung, juga termasuk biaya peningkatan sumber daya manusia di klinik dan lainnya.

“Asklin tidak bicara besaran iuran PBI, tetapi kapitasinya. Kami minta kapitasi untuk klinik Rp15.000 sampai Rp 20.000. Itu pun jumlah kapitasinya dari kunjungan rutin antara 5.000 sampai 10.000 jiwa penduduk,” kata Eddi.

Asklin juga protes kepada pemerintah karena tidak pernah dilibatkan dalam proses persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014 mendatang, meskipun selalu dianggap sebagai gatekeeper pelayanan kesehatan di masyarakat.

Termasuk dalam perhitungan besaran iuran PBI, yakni orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah pada BPJS Kesehatan.

Meskipun demikian, kata Eddi, pihaknya terus mengadvokasi klinik di seluruh pelosok untuk menghadapi BPJS. Terutama dari sisi standar pelayanan, sarana prasarana dan mutunya. Pasalnya sebagai fasilitas layanan primer dan sekunder yang paling dekat dengan masyarakat, kontribusi klinik sangat menentukan, terutama untuk memenuhi ketersediaan tempat tidur.

Yang paling penting dipersiapkan saat ini, menurut Eddi adalah legalitas klinik. Masih banyak klinik yang belum diakui legalitasnya, yang dikarenakan antara lain kelalaian klinik sendiri untuk mengurus atau pun peraturan daerah yang mempersulit.

KLINIK PESAT

Menurut dia, perkembangan klinik di Tanah Air makin pesat, tetapi belum terkoordinir dengan baik. Saat ini diperkirakan ada 20.000 klinik, tetapi Dinas Kabupaten/Kota tidak cukup tenaga untuk mengawasi maupun melakukan pembinaan terhadap mereka. Menurutnya, selama ini klinik hanya memberikan pelayanan atas dasar standar perijinan dari Dinas Kesehatan di daerah, tetapi untuk evaluasinya belum ada pihak yang melakukannya.

Klinik juga hanya dapat memperpanjang ijin setiap lima tahun sekali, tetapi tidak ada evaluasi kinerja setiap tahun. Penerapan setiap klinik pun akhirnya berbeda, karena belum ada standar secara nasional.

Masih terkait kesiapan BPJS Kesehatan, secara terpisah, Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), BPJS Watch dan Majelis Perserikatan Buruh Indonesia (MPBI) menolak jumlah PBI yang ditetapkan pemerintah sebanyak 86,4 juta jiwa. Jumlah ini dipangkas dari yang ditetapkan sebelumnya dan disepakati dalam rapat koordinasi Menko Kesra, yang juga di dalamnya terlibat Menteri Keuangan, yakni 96,7 juta jiwa. Terkait pengurangan jumlah PBI ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah mengirimkan surat kepada Presiden maupun Menteri Keuangan untuk meminta agar jumlah 96,7 dipenuhi.

Menurut Sekjen KAJS Said Iqbal, definisi orang miskin dan tidak mampu yang masuk dalam PBI seperti yang tertuang dalam PP 101/2012 tentang PBI belum tepat. Jika mengacu pada UU 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, orang miskin adalah yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Kebutuhan hidup layak menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah upah minimum.

Berdasarkan definisi ini, maka menurut Said Iqbal jumlah PBI sebetulnya bisa mencapai 150 juta jiwa. Jumlah ini terdiri dari sekitar 80 jutaan pekerja formal penerima upah minimum bersama empat anggota keluarga, ditambah peserta Jamkesmas 2012 sebanyak 76,4 juta jiwa.

“Kami minta PBI termasuk di dalamnya pekerja buruh atau masyarakat yang penghasilannya sama dengan atau lebih kecil dari upah minimum,”ucapnya.

Menanggapi jumlah PBI ini, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, jumlah PBI sebanyak 86,4 juta diambil dari data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) BPS tahun 2011, yang divalidasi kembali oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Jumlah ini lebih sedikit dari data TNP2K, yakni sebanyak 96,7 juta atau sekitar 40 persen dari total penduduk Indonesia.

“Kami hanya ambil 86,4 juta karena sesuai kemampuan keuangan yang juga atas persetujuan DPR. Sisanya akan masuk ke skema Jamkesda. Tetapi ini untuk sementara, secara bertahap kita akan tingkatkan,” kata Usman.

Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto mengatakan, jumlah 96,7 juta jiwa atau 24 juta rumah tangga miskin adalah kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan by name by address.

Jumlah ini adalah gabungan dari orang sangat miskin dan miskin berdasarkan data BPS yakni sekitar 30 juta lebih (11,95 persen), dengan salah satu indikator pengukuran adalah pendapatan 1 dolar AS per hari atau sekitar Rp250 ribu per bulan atau sekitar Rp1 juta untuk satu rumah tangga. Sisanya adalah orang yang tidak mampu, yakni mereka yang pendapatannya sekitar Rp2-3 juta untuk satu rumah tangga. Kelompok ini tidak tergolong miskin, tetapi dengan pendapatan seperti ini mereka sangat rentan jatuh miskin ketika terjadi perubahan ekonomi.

Menurutnya, dari mekanisme pendataan kemungkinan data PPLS ada kesalahan, namun masih dalam tingkat toleransi atau wajar. Bisa dideteksi ada sekitar 3 persen data ini salah pendataan, dan 3 persen lagi karena orang pindah, meninggal, atau tidak lagi miskin. Tetapi dipastikan 92-94 persen data ini bisa diterima.

(sumber: www.poskotanews.com)

Jumlah Ranjang Pasien Kurang 27.000 Unit di 2014

Jakarta – Saat BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) beroperasi di tahun 2014, kekurangan ranjang pasien di fasilitas layanan kesehatan se-Indonesia di kisaran 27.000 unit. Hal itu merupakan sebuah tantangan bagi Kementerian Kesehatan RI.

“Anggaran yang kami punyai jauh dari cukup. Dari kebutuhan Rp 27 triliun di tahun 2012, hanya dipenuhi Rp 3 triliun,” kata Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi, di Jakarta hari ini.

Kata dia, jumlah ranjang pasien dan anggaran tersebut tentunya jauh dari ideal.

Untuk tahun 2013 ini, sampai dengan Maret, yang sudah dianggarkan adalah penambahan sekitar 4.800 ranjang pasien. “Sampai akhir tahun 2012, jumlah ranjang pasien di Indonesia sebanyak 67.000-an unit,” kata dia.

Persebaran ranjang pasien di Indonesia, Menteri Nafsiah mengatakan, saat ini juga belum bagus. Mengacu ke rasio ideal dari WHO (World Health Organization), ada kekurangan ranjang pasien di tujuh propinsi. “Penambahan ranjang tersebut lebih banyak terjadi di ibu kota propinsi ataupun ibu kota kabupaten,” demikian Menteri Nafsiah berkata.

(sumber: jaringnews.com)

Menkes Optimis Regulasi Teknis BPJS Tepat Waktu

menkes13

menkes13Jakarta-PKMK. Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, optimis bahwa penyusunan regulasi teknis terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akan selesai tepat waktu. “Semua regulasi teknis itu kini sedang dibahas dan akan selesai di Oktober 2013 ini,” ungkapnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, di Jakarta (Rabu, 13/3 2013).

Nafsiah menjelaskan, satu regulasi teknis yang saat ini sedang dibahas adalah Peraturan Presiden (Perpres) tentang besar iuran peserta BPJS Kesehatan. Kemudian, ia mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan terus menyiapkan infrastruktur dan fasilitas layanan kesehatan untuk BPJS Kesehatan itu. Untuk itu, ada kerja sama dengan Pemerintah Daerah dan juga tentunya dengan pihak swasta.

Sampai saat ini, jumlah masyarakat yang belum tercakup oleh jaminan kesehatan dari Pemerintah Indonesia ataupun swasta, sebanyak 73 juta jiwa. Pada tahun 2014, ditargetkan bahwa jumlah masyarakat yang sudah dijamin oleh program jaminan kesehatan Pemerintah Indonesia ataupun swasta, di kisaran 81 persen.

Sementara dalam rapat yang sama, Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan RI mengatakan sekarang Perpres untuk penerima bantuan iuran (PBI) di BPJS Kesehatan sedang diproses lebih lanjut. “Pembahasan nilai PBI telah berlangsung beberapa kali, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Telah ada 14 skenario untuk nilai PBI itu. Kisaran nilainya Rp 10.000-an per orang per bulan, sampai Rp 22.000-an orang per bulan per orang’, tambah Mahendra.

 

Masa Kerja Dokter PTT di Daerah Tertinggal akan Diperpanjang

Jakarta: Pelayanan kesehatan yang baik seolah masih menjadi barang langka bagi warga yang hidup di daerah tertinggal di Indonesia. Kesenjangan pelayanan daerah di Indonesia mendorong dua kementerian meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal.

Upaya ini ditempuh kementerian pembangunan daerah tertinggal bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, dengan cara meminta partisipasi aktif pada tujuh universitas di Indonesia. Mereka diminta menyediakan tenaga medis yang siap ditempatkan di daerah tertinggal, terutama di pulau-pulau terluar yang berpenghuni.

Wujud lain kerjasama ini adalah dengan memperpanjang masa kerja dokter PTT di daerah tertinggal menjadi dua tahun, dan mulai akan diberlakukan tahun ini. Saat ini ada 183 kabupaten yang tergolong tertinggal.

Untuk mendukung program tersebut KPDT dan Kemenkes akan lebih memaksimalkan penggunaan internet khususnya panggilan video. Hal ini untuk memudahkan komunikasi tim medis di kota dan di daerah tertinggal dalam menangani pasien.

(sumber: www.metrotvnews.com)

Program KB Tak Memuaskan, Menkes Genjot Program Kesehatan Remaja

Jakarta, Di antara berbagai program kesehatan di Indonesia, yang masih menjadi masalah hingga saat ini adalah tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Program yang menyasar layanan kesehatan sudah dilakukan. Yang tak kalah penting adalah yang menargetkan remaja.

Pemerintah sudah sejak lama memfokuskan pada upaya preventif dan promotif. Prakteknya dengan penanaman pola hidup sehat kepada ibu hamil, untuk kanak-kanak, masa sekolah dan remaja. Khusus remaja dijadikan prioritas karena dapat mempengaruhi perkembangannya hingga dewasa dan usia lanjut.

“Remaja memiliki tempat yang ekstra penting karena remaja inilah yang akan menjadi orang tua. Jadi kalau kita mau bayi yang sehat, sejak dalam perut syaratnya utamanya adalah remaja yang sehat,” terang Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi dalam acara The 5th Annual Women’s Health Expo (WHE) 2013 Hotel Grand Sahid, Jl Sudirman, Jakarta dan ditulis pada Minggu (10/3/2013).

Lebih lanjut lagi, Menkes menjelaskan bahwa remaja Indonesia saat ini memang pada sadarnya sehat, namun masih ada berbagai masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian penting, misalnya kesehatan reproduksi, kehamilan yang tak dikehendaki, berbagai penyakit kelamin termasuk HIV AIDS, juga rokok.

Program yang dilakukan bersifat dimulai dari hulu ke hilir. Dari hulu misalnya memberi informasi tentang kesehatan reproduksi, HIV AIDS, narkotika dan sebagainya. Sedangkan di hilir, yang digarap adalah pelayanan kesehatan seperti kesehatan reproduksi, kecanduan narkotika, rokok dan sebagianya.

“Program KB harus ditingkatkan. Selama 10 tahun ini total fertility rate kita, yaitu jumlah kelahiran tiap wanita itu tidak turun, jadi stagnan. Yang menyedihkan adalah justru peningkatan jumlah kehamilan pada usia 15 – 19 tahun, pada usia yang berbahaya. Oleh karena makin muda dia, makin besar kemungkinan ibu dan bayinya meninggal,” terang Menkes.

Program di hilir ini sebagian besar sudah dijumpai di layanan puskesmas. Sayangnya, di daerah-daerah terpencil masih belum memenuhi syarat karena masalah SDM dan akses yang sulit. Akan tetapi, Menkes mengakui bahwa di beberapa daerah yang sempat dia kunjungi sudah cukup bagus.

“Jadi ada ruangan khusus remaja untuk memberikan informasi maupun pelayanan, baik untuk kesehatan reproduksi juga tentang HIV AIDS atau narkotika dan sebagainya,” imbuh Menkes.

(sumber: health.detik.com)

 

 

IDI: SJSN Hanya Bisa Selesaikan Sebagian Masalah

Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Zaenal Abidin mengatakan, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hanya akan menyelesaikan sebagian masalah kesehatan saja.

“SJSN tidak akan serta merta menyelesaikan semua masalah kesehatan, tetapi hanya sebagian yaitu biaya langsung layanan kesehatan kepada pasien,” kata Zaenal Abidin saat membuka sarasehan “SJSN: Anugerah atau Musibah Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat” di Jakarta, Rabu (6/3).

Zaenal mengatakan, selain biaya layanan kesehatan sebagai biaya langsung, masih ada biaya tidak langsung yaitu berbagai biaya yang dikeluarkan pasien dan keluarga pasien untuk mengakses layanan kesehatan.

Selain itu, dia menilai persebaran dokter pelayanan kesehatan primer juga masih belum merata di seluruh Indonesia. Menurut dia, Indonesia tidak hanya kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya saja.

“Indonesia itu juga termasuk Sumatera, Maluku dan Papua yang selama ini masih kekurangan tenaga pelayanan kesehatan primer,” ujarnya.

Karena itu, kata dia, terkait dengan persiapan pelaksanaan SJSN yang akan mulai diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014, PB IDI memiliki beberapa rekomendasi.

Pertama, mendorong persebaran dokter dan tenaga medis pelayanan primer ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pendekatan “public-private partnership”.

Kedua, menata ulang sistem pelayanan kesehatan agar sejalan dengan jaminan kesehatan nasional sehingga terbangun sistem rujukan dengan pelayanan primer sebagai ujung tombak pelaksanaan SJSN.

Ketiga, mengembangkan pelayanan primer dengan mewajibkan BPJS mengalokasikan 40 persen hingga 50 persen dana untuk pelayanan primer.

Keempat, mendorong tersedianya dan terselenggaranya standar pelayanan yang menjamin pelaksanaan jaminan kesehatan nasional.

Kelima, perlu ada dorongan politik atau “political will” pemerintah untuk mengalokasikan dana kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu lima persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.

Sarasehan “SJSN; Anugerah atau Musibah Terhadap Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat” menghadirkan beberapa pembicara yaitu Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Ketua Komisi IX DPR Supriyanto, pakar jaminan sosial Prof Hasbullah Thabrany, anggota DJSN Moeryono Aladin dan Direktur Utama PT Askes dr Fachmi Idris.

(sumber: www.suarapembaruan.com)

Pemerintah Masih Pandang BPJS sebagai Beban

Pemerintah semestinya memandang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai investasi dan bukan sebagai beban. Soalnya, bila kesehatan rakyat terjamin maka produktifitas rakyat pun semakin meningkat.

Namun kondisi yang terjadi saat ini sebaliknya. Pemerintah dinilai merasa terbebani dengan keberadaan BPJS. Buktinya, Kementerian Keuangan dianggap enggan menganggarkan iuran untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam besaran yang cukup.

Anggota Badan Pekerja Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dari KSPSI, Subianto mengatakan, dari kesepakatan sebelumnya antara serikat pekerja, Menkokesra, Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) diusulkan iuran sebesar Rp22.200/orang/bulan.

Namun, lewat surat yang ditujukan kepada DJSN, Menkeu memangkas iuran itu menjadi Rp15ribu. Pemangkasan iuran itu berpotensi besar mengurangi manfaat kesehatan yang diterima peserta PBI.

Karenanya serikat pekerja menuntut agar pihak terkait segera merevisi PP PBI dan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional (Perpres Jamkes). Selain melakukan kajian akademik atas peraturan pelaksana BPJS, serikat pekerja merencanakan empat demonstrasi besar dan mogok kerja nasional.

Pada kesempatan yang sama anggota Presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, mengaku heran kenapa PP PBI mengutamakan peran Menkeu, khususnya dalam hal menetapkan iuran untuk PBI. Padahal, mengacu UU SJSN, Timboel melihat DJSN punya hak untuk mengusulkan berapa iuran yang diperlukan untuk PBI.

Konstitusi, lanjut Timboel, juga mengamanatkan agar anggaran kesehatan minimal sebesar lima persen dari APBN. Melihat potensi keuangan negara, Timboel menghitung anggaran yang ada cukup untuk membiayai jumlah peserta PBI sampai 120 juta orang. Apalagi, tiap kementerian punya anggaran bantuan sosial (Bansos) yang dinilai sering tak tepat sasaran.

Oleh karenanya, ketimbang anggaran negara digunakan untuk perihal yang tak jelas, Timboel menyarankan agar dana bansos dialihkan untuk menambah besaran iuran dan peserta PBI. “Anggaran lebih dipentingkan untuk hal politis daripada kesehatan rakyat,” tegas Timboel dalam sebuah diskusi di Universitas Atmajaya, Jakarta, Senin (4/3).

Untuk menentukan besaran iuran PBI, Timboel menegaskan agar Menkeu tak mengambil keputusan sepihak. Menurutnya, Menkeu harus melakukan konsensus dengan kementerian terkait lainnya untuk menyepakati besaran iuran PBI. Jika nantinya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk menunda BPJS, DPR punya kewenangan untuk menolaknya. Begitu pula soal besaran iuran PBI.

Sementara, Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, mempertanyakan kenapa Perpres Jamkes mengamanatkan peraturan itu berlaku pada 2014 nanti. Walau di awal tahun itu BPJS Kesehatan mulai beroperasi namun persiapannya harus dilakukan jauh hari. Sejalan dengan itu mestinya Perpres Jamkes dijalankan setelah peraturan itu diundangkan. Indra khawatir jika persiapan menuju BPJS baru dilakukan pada 2014, pelaksanaannya nanti akan carut marut. “Kami mendesak presiden revisi Perpres itu,” tuturnya.

Soal besaran iuran, Direktur Kepesertaan PT Askes, Sri Endang Tidarwati, mengatakan hal itu sangat berpengaruh atas manfaat pelayanan kesehatan yang diperoleh peserta BPJS. Bahkan, Endang mencatat biaya kesehatan cenderung meningkat tiap tahun. Untuk mewujudkan manfaat pelayanan kesehatan sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS dia mengatakan iuran minimal yang dibutuhkan sekitar Rp27 ribu. Besaran itu menurutnya sesuai manfaat yang selama ini didapat oleh peserta Askes yang tergolong PNS.

Dengan besaran iuran yang tepat, Endang berpendapat tak hanya memberi kenyamanan bagi peserta, tapi juga pihak rumah sakit. Pasalnya, dengan minimnya jumlah iuran Endang khawatir RS akan memberi pelayanan yang kurang maksimal. Endang sepakat, untuk melaksanakan BPJS dibutuhkan regulasi yang sangat baik. Sehingga, ketika BPJS beroperasi, seluruh peserta dapat dijamin pelayanannya.

Untuk mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan di tahun 2014, Endang mengatakan pada Kamis depan PT Askes dan PT Jamsostek akan menjalin kerjasama. Yaitu PT Jamsostek bakal menyerahkan secara bertahap peserta program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan kepada PT Askes. Dengan begitu diharapkan pada 2014 nanti BPJS dapat berjalan baik. “Jangan sampai ketika sakit, karena tak terdata, peserta ditolak RS,” urainya.

Sementara Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Isa Rachmatarwata, mengatakan besaran iuran PBI sebesar Rp15 ribu yang diusulkan Kemenkeu merupakan hasil pembahasan yang panjang antar kementerian terkait.

Menurutnya, besaran itu ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari teknis aktuaria seperti tingkat utilisasi, biaya kapitasi dan pergeseran jenis penyakit. Terkait fiskal, iuran itu baginya akan berpengaruh terhadap aspek lain salah satunya APBN. Untuk itu dari rangkaian pembahasan yang sudah dilakukan, Menkeu berkesimpulan iuran yang tepat untuk PBI sebesar Rp15 ribu. “Karena tidak mengubah drastis APBN,” ujarnya.

Selain itu Isa menekankan bahwa pada perjalanannya nanti, Kemenkeu akan mengevaluasi pelaksanaan iuran PBI itu. Sehingga, ke depan, besaran iuran itu akan terus mengalami perbaikan.

Untuk menambahkan besaran iuran PBI itu, Isa berharap ada pos subsidi lain yang dapat dialokasikan. Misalnya, memperketat subsidi di bidang energi. “Kami juga melihat BPJS sebagai investasi (di bidang kesehatan,-red),” ucapnya.

Sedangkan anggota Komisi IX dari FPDIP, Caroline, mengatakan dalam pembahasan terakhir antara Komisi IX dengan Kemenkes, Wamenkes menjelaskan belum ada kesepakatan lintas kementerian terkait untuk menetapkan besaran iuran BPJS. Menurutnya, jika belum ada kesepakatan, Menkeu tak tepat menetapkan besaran iuran itu.

Caroline mempertanyakan kelayakan manfaat pelayanan BPJS Kesehatan bila anggarannya seperti yang disampaikan Kementerian Keuangan. Untuk mengawal dan mengevaluasi persiapan BPJS, Caroline berjanji akan mengusulkan pembentukan Pansus di DPR. Selain itu Caroline mengatakan upaya pengawasan yang dilakukan DPR itu harus mendapat dukungan dari rakyat. Namun, Caroline menegaskan, apapun yang terjadi, pelaksanaan BPJS tak boleh terhambat. “Jangan sampai ribut-ribut ini menunda pelaksanaan BPJS,” tegasnya.

(sumber: www.hukumonline.com)

Gerakan 21 Hari Cuci Tangan Terus Digiatkan

Jakarta – Gerakan 21 Hari (G21H) cuci tangan sudah berlangsung sejak 2012. Hingga kini, gerakan ini terus digiatkan yang tujuannya agar semua orang selalu ingat untuk cuci tangan.

Masyarakat Indonesia kini sudah sangat menyadari akan pentingnya kesehatan, terutama kesehatan tangan. Kebiasaan sehat Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) sudah mulai disadari oleh masyarakat Indonesia. Namun sayangnya, masyarakat belum sepenuhnya mengetahui cara membentuk kebiasaan sehat tersebut.

Karena itulah, Lifebouy menghadirkan Gerakan 21 Hari (G21H) sebagai suatu program aksi untuk membentuk kebiasaan CTPS tersebut. Gerakan 21 Hari ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2012 dan ini merupakan tahun yang kedua.

Gerakan 21 Hari ini diharapkan nantinya bisa membentuk kebiasaan sehat dengan mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan kebiasaan sehat ini di 5 waktu penting selama minimal 21 hari secara terus menerus, tanpa putus, agar nantinya kebiasaan sehat ini dijadikan perilaku sehat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Menurut External Relation Director and Corporate Secretary PT. Unilever Indonesia, Sancoyo Antarikso, CPTS merupakan langkah sederhana besar untuk menjaga kesehatan diri sendiri.

“Dengan membiasakan diri Cuci Tangan Pakai Sabun, kita dapat mencegah berbagai penyakit seperti diare hingga gangguan pernapasan, ISPA,” jelas Sancoyo.

Adapun lima saat yang tepat untuk Cuci Tangan Pakai Sabun adalah mandi menggunakan sabun, sebelum makan pagi, sebelum makan siang, sebelum makan malam, dan setelah dari toilet.

Program ini sendiri merujuk dari banyak pendapat dan penelitian pakar perubahan perilaku bahwa untuk membentuk suatu kebiasaan baru yang sehat pada masyarakat luas dibutuhkan waktu miniman 21 hari untuk melakukan kebiasaan baru secara terus menerus tanpa putus.

(sumber: health.liputan6.com)

UU Pendidikan Kedokteran Ditargetkan Disahkan April

4mar

4marJakarta-PKMK. Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Kedokteran ditargetkan disahkan menjadi Undang-Undang selambatnya 12 April 2013, ungkap Syamsul Bachri, Wakil Ketua Komisi X DPR RI ()4/3/2013. Hla ini sesuai dengan tenggat dalam Masa Sidang III 2012-2013 yang diberikan oleh Sidang Paripurna DPR RI.

Syamsul selaku pimpinan dalam rapat antara Panitia Kerja (Panja) RUU Kedokteran DPR RI dengan Pemerintah, Syamsul menambahkan: “Akan repot bila sampai tenggat itu terlewati. Sebab, kita harus minta persetujuan waktu lagi dari Sidang Paripurna.”

Dengan tenggat tersebut, Samsul mengatakan, pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran menjadi prioritas utama bagi pihaknya. “Rapat konsinyering yang dimulai tanggal 9 Maret ini, akan diperbanyak frekuensinya. Kami akan memberikan konsentrasi penuh kepada pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran,” ucap legislator dari Partai Golkar itu.

Sementara itu, Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, menegaskan pemerintah akan selalu menghadirkan seorang pejabat eselon satu dalam pembahasan RUU tersebut. Pejabat tersebut bisa berasal dari Kementerian Kesehatan ataupun Kementerian Pendidikan Nasional. “Tiap pejabat yang hadir dalam pembahasan tentunya akan didampingi sejumlah staf dari kementerian terkait,” tambah Djoko.