Pemerintah Tidak Serius Implementasikan UU Rumah Sakit

Sekali lagi publik terenyuh menyaksikan berita bayi bernama Dera yang memerlukan perawatan namun ditolak Rumah Sakit karena tidak dapat punya biaya. Padahal berbagai program, seperti Jamkemas dan Jakarta Sehat, dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

Menurut anggota Komisi IX Poempida Hidayatullah, jika memang masih terjadi praktek penolakan seperti ini, berarti Pemerintah tidak serius dalam mengimplementasikan UU Rumah Sakit.

“Masalah serupa ini pun kian ramai seiring persiapan implementasi BPJS di awal tahun 2014 mendatang,” sambung Poempida yang politisi Golkar ini kepada LICOM, pagi ini, Senin (18/2/2013).

Masalah kesehatan adalah masalah yang absolut. Tidak boleh dilaksanakan berdasarkan situasi yang mengambang. Hal ini karena berhubungan dengan jiwa dan raga manusia yang harus diperlakukan dengan perhatian penuh dan menggunakan segala kehati-hatian.

“Empati kemanusiaan pun harus menjadi pondasi dari basis sosial program kesehatan ini. Jika permasalahan ini terus berlanjut, berarti memang tidak ada keseriusan dari pihak pemerintah dalam mengimplementasikan UU Rumah Sakit ini,” tambahnya.

Oleh karena itu, interpelasi DPR adalah langkah yang diperlukan untuk memberikan peringatan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, akan pentingnya implementasi UU Rumah Sakit yang tidak diindahkan secara serius oleh Pemerintah.

“Tanpa implementasi UU Rumah Sakit ini, saya sangat sulit melihat kesuksesan dalam penerapan BPJS di tahun 2014 mendatang,” demikian Poempida. @ari

(sumber: www.lensaindonesia.com)

Sekitar 70 Persen Masyarakat Sakit Gigi dan Mulut

Wonosobo – Sebanyak 70 persen lebih masyarakat Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut. Sayangnya, penyakit gigi dan mulut belum menjadi prioritas masalah di Indonesia.

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Rina Soesetyowati, Minggu (17/2/2013) mengatakan, angka itu diperoleh berdasarkan penelitian riset kesehatan dasar dan kenyataan di lapangan. “Uniknya, penyakit ini bukan hanya membicarakan angka kesakitan semata, namun juga berbicara estetika penampilan wajah,” katanya.

Rina mengatakan, saat ini estetika penampilan wajah menjadi tuntutan masyarakat dan dunia kerja. Artinya, persoalan penyakit gigi dan mulut menjadi awal berkurangnya daya saing tenaga kerja.

Selain itu, kebutuhan masyarakat akan pentingnya penampilan ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di antaranya , bermunculan oknum yang tidak berijazah dokter gigi namun mengaku bisa memasang kawat gigi. Hal ini merupakan bentuk praktik yang bisa membahayakan masyarakat.

“Diharapkan bila masyarakat mendapat pelayanan kesehatan gigi dan mulut dengan benar, maka tidak hanya terhindar dari penyakit gigi dan mulut, namun juga mampu menjaga penampilan wajahnya sehingga tidak rendah diri dan mudah mencari kerja,” katanya.

(sumber: regional.kompas.com)

Harga Obat Berpotensi Naik

Semarang – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar mulai memukul industri farmasi yang 90% bahan bakunya diimpor dari luar negeri. Hal itu menyebabkan, sejumlah produsen obat-obatan dipastikan akan menaikkan harga jual produknya pada tahun ini.

“Saat rupiah kian melemah, biaya impor pun bertambah. Hal ini berpotensi akan terjadi kenaikan harga obat di tahun ini,” ungkap Djakfarudin Junus, Direktur Utama PT Indofarma Tbk, Kamis (14/2).

Ia menuturkan, komponen harga obat antara lain bahan baku, biaya pengolahan, biaya kemasan, biaya distribusi, biaya pemasaran serta biaya administrasi. Sementara biaya bahan baku menyumbang sekitar 25%-30% dari beban keseluruhan. Selama ini industri farmasi memperoleh 90% bahan baku impor. Pasokan bahan baku impor terbanyak dari China hingga 75%. Disusul India 20% dan sisanya negara Eropa.

“Namun kami masih belum bisa memproyeksikan berapa besar kenaikan harga obat pada tahun ini. Sebab tergantung strategi bisnis setiap perusahaan. Biasanya, sebelum menaikkan harga jual perusahaan masih mempunyai pilihan lain. Apalagi jika daya beli konsumen rendah,” paparnya.

Sementara itu, Direktur Keuangan PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menilai, pelemahan rupiah tak serta merta mengerek naik harga obat. Meski 90% bahan baku farmasi impor, sejauh ini pelemahan rupiah belum membuat harga bahan baku naik tajam.

Apalagi, impor bahan baku memakai management stock. Tapi ia tak menyangkal perusahaan farmasinya punya opsi menaikkan harga obat jika rupiah terus melemah lebih dari empat bulan. “Jika harga obat tidak naik, perusahaan lebih memilih efisiensi bahan baku dan SDM sampai mengurangi margin keuntungan,” ujarnya.

Ketua Umum GP Farmasi Jateng, Dr Koesbintoro Singgih mengatakan, pengusaha farmasi banyak mendapatkan tantangan. Utamanya menghadapi praktik Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2014 dan Asean Charter 2015. Pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 40/2004 tentang SJSN.

Berdasarkan UU itu telah dibentuk pula UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). SJSN di bidang kesehatan itu akan diberlakukan secara nasional mulai 1Januari 2014. Transformasi tersebut dinilai sebagai peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan industri farmasi.

“Praktik SJSN nantinya ikut pula mengerek besarnya anggaran pengeluaran kesehatan dari 2% menjadi 5% dari Gross Domestic Product (GDP). Maka, anggaran untuk kesehatan dan obat akan meningkat drastis,” katanya.

(sumber: www.suaramerdeka.com)

Masih Ada 88 Juta Orang Indonesia yang Belum Terlindungi BPJS

Baru 63 persen dari total penduduk Indonesia yang terlindungi BPJS.

Jakarta – Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan, saat ini jumlah peserta yang akan mengikuti program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah 151 juta jiwa atau 63% dari total jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2012 tercatat sebesar 239 juta jiwa.

Anggota DJSN Timoer Sutanto mengatakan, masih ada 88 juta jiwa yang masih belum terlindungi program BPJS Kesehatan meski program ini mulai berlaku pada 1 Januari 2014.

Dipaparkan Timoer, dari data yang diterima DJSN, peserta BPJS Kesehatan yang sudah terdaftar adalah Askes Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Pensiunan TNI/POLRI sebanyak 17,3 juta, Asabri 2,2 juta, Jamkesmas 76,4 juta, Jamsostek 5,6 juta, Jamkesda 31,8 juta, Asuransi Komersial 2,9 juta, dan Self Insured 15,4 juta.

“Banyak hal yang masih menjadi hambatan terkait data kepesertaan ini, terutama pekerja sektor informal yang masih belum terdeteksi, kami memperkirakan sisa pekerja informal yang masih belum ter-cover sekitar 31 juta jiwa,” ujar dia saat ditemui dalam acara Diskusi Kadin tentang Penerapan Sistem Jaminan Sosial di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (13/2).

Timoer mengatakan, permasalahan yang terjadi adalah pekerja informal itu jumlahnya tersebar ke seluruh daerah, serta tempat mereka bekerja masih belum terdaftar di beberapa kelembagaan sehingga menyulitkan untuk diperoleh datanya.

“DJSN akan terus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memperoleh data akurat terkait pekerja informal ini dan sebelum tahun 2014,” ungkap dia

Ditambahkan Timoer, selain akan terus meningkatkan jumlah kepesertaan BPJS kesehatan, DJSN bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan juga akan bertekad untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan. Dia mengatakan saat ini dari data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan, jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit berjumlah 120 ribu, pada tahun 2014 jumlah tempat tidur akan ditambah menjadi 240 ribu, jumlah dokter akan ditingkatkan dari 60 ribu tahun ini, menjadi 200 ribu pada tahun 2014. Menurut dia, program penambahan dokter ini Kemenkes telah bekerja sama dengan 62 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia untuk menciptakan dokter dokter berkualitas.

“Kami harap para tenaga medis mau ditempatkan di luar Jawa maupun di daerah pelosok, kalau mereka tidak mau, kita akan pikirkan bagaimana caranya yang jelas gajinya dinaikan pasti mereka berminat,” tambah Timoer.

(sumber: www.beritasatu.com)

 

Jumlah Perokok Indonesia Semakin Besar

Bandung – Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Barat drg. Yus Ruseno M.Sc. Ph.d mengatakan jumlah perokok di Indonesia terus bertambah dengan umur perokok pemula yang semakin muda.

Diharapkan apa yang dilakukan Universitas Kristen Maranatha (UKM) dapat menjadi contoh yang lainnya untuk mengimplementasikan PP 109/2012.

“Dalam pasal 50 pasal 1 dikatakan tempat proses belajar mengajar harus menetapkan KTR. Pada ayat 4 dikatakan pimpinan harus menetapkan KTR,” katanya dalam Sosialisasi UKM adalah Kawasan Tanpa Rokok di Ruang Theater GAP, Kampus UKM, Jln. Surya Sumantri, Kota Bandung, Selasa (12/2/13).

Sementara itu, Koordinator Quit Tabacco Indonesia Dra. Ray.Yayi Suryo Prabandari. M.Si. Ph.D mengatakan kebijakan kampus bebas rokok dinilai cukup efektif untuk mengurangi jumlah perokok di kampus, meskipun penurunannya tidak begitu signifikan. Hal ini seperti yang dilakukan di Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Kawasan tanpa rokok di FK UGM sejak 2004 dan di UGM sejak 2008 ada penurunan walaupun tidak terlalu bermakna. Ini perlu pengawasan lagi, setelah agak lama kita suka kecolongan,” katanya. (A-208/A-88)

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Kemenkes Optimistis Laporan Keuangan Tahun 2012 ‘Bersih’

Jakarta – – Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti optimistis kalau laporan keuangan kementeriannya di 2012 bebas dari korupsi. Ghufron yakin pada 2012 anggarannya akan mendapat status wajar tanpa pengecualian (WTP). Berbeda dengan tahun lalu.

“Ada kasus sedikit yang anda tahu itu, flu burung itu, kalau tidak ada kasus itu mungkin sudah WTP kita,” ujar Ali ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (11/2/2013).

Sebelumnya, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) menilai ada kasus dugaan korupsi yang lebih dahsyat dari kasus korupsi proyek Hambalang. Kasus itu ialah kasus pengadaan vaksin flu burung. Dari kasus tersebut, tercatat kerugian negara mencapai Rp 600 miliar.

Sementara itu, untuk anggaran tahun 2013, Ali yakin tidak ada lagi anggaran yang ditahan Kementerian Keuangan karena tidak lengkapnya dokumen dan Term of Reference (ToR). Pasalnya, waktu yang disediakan untuk mengurusi kelengkapan dokumen tersebut cukup panjang sehingga tidak ada anggaran yang tertahan seperti pada tahun 2012, yaitu anggaran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BJPS) sebesar Rp 1 triliun.

“Yang tahun 2012 itu tahunya sudah akhir tapi diluncurkan kembali di 2013, ditambah jadi Rp 3 triliun tapi tidak semua untuk BPJS. Itu untuk macam-macam, ada perbaikan perbaikan Puskesmas, infrastruktur, SDM, dukungan untuk BPJS yang lain,” pungkasnya.

(sumber: news.detik.com)

Indonesia Akan Tes 1,5 Juta Orang Rentan Infeksi HIV

JAKARTA, (PRLM).- Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pihaknya akan melakukan tes terhadap 1,5 juta orang yang memiliki rentan terinfeksi HIV sebagai upaya untuk menekan jumlah infeksi baru di Indonesia.

Menurut Nafsiah, tes yang dilakukan tahun ini akan diadakan di lokasi-lokasi yang terdapat perilaku berisiko, di antaranya terhadap pekerja seks maupun pelanggannya. Tes dilakukan baru terhadap 1,5 juta orang karena terbatasnya dana yang ada, ujar Nafsiah.

Selain melakukan tes, pemerintah juga melakukan pendekatan edukatif dan persuasif sehingga masyarakat semakin mengetahui tentang HIV dan AIDS.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 1 Januari 2012 hingga 30 September 2012, jumlah orang dengan HIV di Indonesia mencapai 15.372 orang, sedangkan orang dengan AIDS berjumlah 3.541 orang.

Pola penularan tertinggi yaitu melalui transmisi seksual sebesar 81,8 persen dan penularan akibat penggunaan alat suntik tidak steril 12,4 persen. “Jadi dalam prevalensi 0,3 persen, populasi kunci 80 persen coba kita jangkau. Semua yang membutuhkan [obat antiretroviral] ARV kita berikan ARV dan sekarang kita berusaha untuk tes untuk mereka yang sangat rawan. Insya Allah infeksi baru akan menurun,” ujar Nafsiah.

Ketua Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Zubairi Djoerban mengatakan, jumlah ideal yang seharusnya bisa dijangkau oleh tes HIV yang dilakukan pemerintah adalah 30 juta orang.

Menurut dia, semakin banyak orang yang dapat dideteksi maka akan sangat baik. “Ternyata dari banyak penelitian, kalau hanya populasi kunci saja tidak banyak berhasil karena selain risiko tinggi, semua ibu hamil dan masyarakat umum ini dari banyak penelitian memang perlu tes begitu banyak. Kalau kita mengobati maka orang minum ARV dalam waktu tiga sampai enam bulan tidak lagi menular. Artinya kalau kita mengobati kita bisa menekan penularan sampai 0, itu yang utamanya,” ujar Zubairi.(voa/A-147)

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Indonesia Perlu Tingkatkan Riset Tanaman Obat

Jakarta, PKMK-Indonesia masih perlu lebih mengintensifkan riset terhadap tanaman obat. Sebab, saat ini kuantitas riset tersebut masih sedikit. “Dalam setahun, sebuah lembaga di Jawa Tengah hanya menghasilkan dua penelitian. Itu karena keterbatasan anggaran,” ucap Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, di Jakarta (8/2/2013).

Menteri Nafsiah mengatakan, mengatasi hal itu, ada baiknya dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan besar, diarahkan untuk membiayai riset tersebut. “Kita punya banyak kekayaan tanaman obat. Tentu saja harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kini ada ribuan jenis tanaman obat yang belum diteliti,” kata dia.

Walau begitu, ia menambahkan, saat ini teknik produksi jamu yang bahan bakunya dari tanaman tersebut, sudah semakin baik. Maka, konsumen jamu semakin luas, tidak hanya masyarakat di Pulau Jawa. Jamu mengingatkan masyarakat Indonesia terhadap kekayaan tanaman obat di Indonesia. Maka, kata dia, jamu harus terus dilestarikan. Nafsiah menambahkan, dengan menyertifikasi dan mengawasi produk jamu, Pemerintah Indonesia sekaligus meningkatkan upaya preventif terhadap kemunculan penyakit.

“Sertifikasi jamu adalah penelitian yang berbasis pelayanan terhadap masyarakat. Penelitian tersebut untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang khasiat jamu,” ucap Menteri Nafsiah. Satu hal yang masih memprihatinkan, kini jamu banyak dipatenkan oleh pihak di luar negeri. Untuk mencegah hal seperti itu terjadi lagi, tentu menjadi tugas semua masyarakat Indonesia.

Dapatkan Anggaran Rp1,4 T, Kemenkes Minta Tambahan 500 M

Dana tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan pembangunan proyek flu burung.

Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar ngebet ingin melanjutkan proyek pembangunan pabrik vaksin flu burung yang diduga dikorupsi ratusan miliar rupiah.

Dalam rapat dengan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/2), Wamenkes Ali Ghufron Mukti menyampaikan pihaknya sudah membentuk tim untuk melakukan studi due diligence terhadap proyek itu.

Tim itu diisi sejumlah ahli dari luar kementerian yang ditugaskan membuat penilaian.

Dari hasil kerja mereka didapatkan rekomendasi agar proyek itu dilanjutkan dengan meminta tambahan pembiayaan sampai dengan Rp500 miliar. Padahal uang negara yang sudah dihabiskan untuk proyek itu sebesar Rp1,2 triliun sampai Rp1,4 triliun.

Angka uang yang sudah dihabiskan itu memang berbeda dari angka uang negara keluar untuk proyek itu yang pernah disampaikan Menkes Nafsiah Mboy, yakni sekitar Rp900 miliar. Namun, terlepas hal itu, Ghufron menegaskan pihaknya melihat proyek harus tetap dilanjutkan.

“Karena kalau tak dilanjutkan, nanti akan jadi kerugian semuanya itu. Sayang uang yang sudah dikeluarkan negara hilang begitu saja,” kata Ghufron.

Sayangnya, dia enggan berpendapat ketika ditanya berapa sebenarnya uang negara yang keluar murni untuk proyek, dan berapa yang dikorupsi.

BPK, lewat audit investigasinya, menemukan kerugian keuangan negara akibat proyek itu berpotensi hingga angka sekitar Rp600 miliar.

Ghufron melanjutkan pihaknya menganggap proyek pabrik vaksin itu penting sebagai antisipasi pandemi dan endemi flu burung.

“Kalau saya ditanya dulu mungkin ini tak perlu. Tapi karena sudah terlanjur uang negara keluar, ya mending dilanjutkan,” ujar Ghufron.

Pihaknya juga yakin kepolisian akan segera menyelesaikan penyelidikan kasus hukum terkait dugaan korupsi proyek itu, sehingga proses pembangunan bisa langsung dilanjutkan.

“Kita dorong agar kepolisian bisa segera menyelesaikan proyeknya,” kata dia.

Sesuai temuan audit BPK, proyek itu dikerjakan oleh PT.Anugerah Nusantara yang dimiliki oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Ditemukan juga bahwa Kementerian Kesehatan tak pernah memasukkan pembangunan pabrik itu dalam rancangan program Kementerian. Proyek terlaksana setelah diarahkan oleh PT Anugrah Nusantara, dibantu oknum di sejumlah kementerian.

(sumber: www.beritasatu.com)

Panja BPJS Diperkirakan Terbentuk Bulan Depan

Jakarta-PKMK. Panitia Kerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Panja BPJS) yang saat ini tengah dirumuskan oleh Komisi IX DPR RI, diperkirakan terbentuk Maret 2013. Dengan Panja BPJS itu, diharapkan nantinya berbagai peraturan teknis yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, lebih cepat diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Poempida Hidayatulloh, Anggota Komisi IX DPR RI (Rabu, 6/2/2013).

Poempida menambahkan, penerbitan peraturan-peraturan tersebut memang tidak seperti yang diperkirakan. “Pengeluaran peraturan-peraturan tersebut memang sangat lambat. Peraturan Pemerintah (PP) tentang nilai premi BPJS, itu seharusnya keluar November tahun 2012. Tapi sampai sekarang belum keluar, ‘kan?” kata Poempida.

Dalam draft PP tentang premi BPJS yang diperoleh Poempida, memang nilai premi itu belum ada. Yang ideal, nilai premi dihitung berdasarkan lingkup coverage. Biaya coverage dihitung, lantas dijadikan konteks premi yang berbasis konteks risiko. Jadi, seperti cara perhitungan di asuransi kesehatan konvensional. Dalam hal ini, nilai premi harus sama karena tidak ada pengelompokan berdasarkan kelas. Hanya saja, nilai premi yang harus dibayar warga mampu dengan yang miskin, berbeda.

Warga yang miskin mendapatkan bantuan premi dari Pemerintah Indonesia. Sementara, warga yang mampu dan ingin memperoleh fasilitas pelayanan yang lebih premium, bisa masuk ke rumah sakit swasta yang tidak ikut ke program ke BPJS. ‘Jadi, dalam hal ini, bisnis rumah sakit swasta itu berjalan seperti biasa. Sama halnya seperti sekarang, kan rumah sakit swasta ada yang tidak ikut program Jamkesmas,” kata Poempida. Kemudian, bagaimana bila BPJS belum berjalan di 1 Januari 2014 seperti yang direncanakan? “Yang jelas, itu ya keteledoran Pemerintah,” jawab dia.