AS Dukung Pendidikan dan Kesehatan di Papua

JAYAPURA — Pemerintah Amerika Serikat mendukung penuh pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang sudah berlangsung selama 11 tahun, ujar Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel, usai bertemu dengan anggota DPR Papua, Senin (5/11) di Gedung DPRP, Jalan Samratulangi Jayapura. “AS selalu mendukung otonomi khusus Papua dan mengakui Papua bagian dari NKRI,” ujar Scot Marciel.

Marciel menjelaskan, kunjungan ke Papua kali ini adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi perhatian utama dalam pembangunan di wilayah itu. “Kita upayakan bagaimana terus bisa bekerja sama searah membangun diwilayah itu,” katanya.

Sementara itu Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda menyatakan, dalam pertemuan dengan jajaran Kedutaan Besar AS itu, Dubes AS juga ingin mengetahui sejauh mana pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Terutama terkait dengan penanganan pendidikan dan kesehatan. “Serta apa saja yang mereka bisa bantu untuk memajukannya,” tambahnya.

Yunus melanjutkan, Dubes Marciel menyatakan terkait pendidikan bagi anak Papua, Pemerintah AS siap membantu anak-anak Papua yang ingin bersekolah di negeri Barack Obama tersebut.

(sumber: www.harianterbit.com)

Program Internship Perbaiki Kualitas Kompetensi Dokter

JAKARTA — Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) menjadi harapan untuk perbaikan sistem kesehatan di Indonesia. Disamping bertujuan untuk menjaga kualitas kompetensi dokter, program dokter intership juga diproyeksikan untuk meratakan distribusi tenaga dokter hingga kedaerah-daerah terpencil dan daerah bermasalah kesehatan.

Dokter Intership merupakan suatu program “Pre-registration trainning sebelum mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bagi dokter yang baru menyelesaikan masa pendidikan profesi berbasis kompetensi.

Tujuannya untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.

Ketua Komite Intership Dokter Indonesia (KIDI) Prof Dr Mulyohadi Ali, dr., SpFK dihubungi Harian Terbit, belum lama ini mengatakan, mereka yang disebut sebagai peserta program Internsip, adalah dokter yang telah lulus program studi pendidikan dokter dan telah lulus uji kompetensi, namun belum mempunyai kewenangan untuk praktik mandiri.

“Jika peserta tidak mencapai kinerja selama menjalankan program internship ini, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan KKI No.1/2010, maka dokter tersebut tidak boleh berpraktik dalam profesi dokter. Mereka harus menambah waktu internsip sampai target kinerja dicapai,” kata Prof Dr Mulyohadi Ali.

TRANSPARAN DAN DIUNDI

Sejak program ini diluncurkan bulan Maret tahun 2010, hingga awal November 2012 sebanyak 5.830 dokter baru telah mengikuti program internsip dan ditempatkan di 25 propinsi didaerah-daerah yang membutuhkan, yang memiliki sarana pelayanan kesehatan primer minimal type C dan D.

Penempatannya sendiri, dilakukan secara transparan dengan cara diundi. “Sebelum ditempatkan, ke 25 provinsi tersebut dilakukan mapping terlebih dahulu untuk dilihat skala prioritasnya mana yang lebih membutuhkan dan kekurangan tenaga kesehatan. Namun, tentunya dilihat daerah mana yang memiliki sarana pelayanan kesehatan type C dan D,” jelasnya.

Proses pengundiannya, untuk wilayah DKI Jakarta dilakukan oleh KIDI pusat, namun untuk daerah dilakukan oleh KIDI provinsi melalui supervisi dari KIDI Pusat. Sedangkan, pada tahun 2013, pemilihan tempat direncanakan melalui sistem online, sehingga bisa dilakukan lebih transparan dan terintegrasi.

“Dengan sistem online, peserta program dokter internship juga dimungkinkan untuk memilih sendiri daerah yang diminatinya. Tapi tetap mengacu pada daftar daerah yang telah ditetapkan,’ ujarnya.

Dalam praktiknya, para dokter yang baru tamat ini akan didampingi oleh seorang dokter pendamping atau supervisor. Dimana satu dokter pendamping untuk5 dokter internsip yang ditempatkan. Pembiayaannya, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Mulai dari akomodasi, fasilitas tempat tinggal, hingga biaya hidup setiap bulannya sebesar Rp 1,2 juta.

DIBERI INSENTIF

Tak jarang, pemerintah daerah juga memberikan intensif kepada para dokter internship tersebut. Bahkan di Provinsi Kalimantan Timur, dokter internship yang berpraktik ditawarkan untuk menjadi pegawai negeri sipil. “Begitupun didaerah lain, ada juga pemerintah daerah yang memberikan fasilitas tambahan dan intensif bagi dokter-dokter yang berpraktik diwilayahnya,” tutur dia.

Jangka waktu praktik bagi dokter intership adalah satu tahun, yaitu 8 bulan berpraktik di RS type C atau D, dan 4 bulan di Puskesmas Kabupaten/Kota. “Dokter adalah pelayanan masyarakat, bukan elite tertentu yang hanya diam dikota. Hal ini harus disadari mulai sejak mereka menekuni dunia kedokteran,” tandasnya.

www.harianterbit.com)

Warga Miskin Akan Diberi Asuransi Kesehatan

{phocadocumentation view=navigation|type=mpcn|top=some-id}

BANDUNG – Setiap Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di Kota Bandung akan diberi asuransi kesehatan mulai tahun 2013.

“Anggaran asuransi akan dialokasikan di APBD Murni 2013 sebesar Rp 50 miliar,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Achyani Raksanagara di Balai Kota, Rabu (31/10/2012).

Achyani mengatakan, model pembayaran premi asuransi dipilih untuk menghindari klaim Bawaku Sehat yang selalu membludak setiap tahunnya.

Menurut Achyani dengan asuransi, data RTM yang menjadi sasaran lebih jelas sehingga menghindari penerimaan dobel dengan Jamkesmas dari pemerintah pusat. Pembayaran premi asuransi diharapkan bisa memperbaiki mekanisme pembayaran klaim biaya berobat bagi RTM di Kota Bandung.

Achyani mengatakan dana untuk asuransi kesehatan sebesar Rp 50 miliar untuk pembayaran 323.070 jiwa. Menurut Achyani, dana untuk pembayaran asuransi lebih efisien dibandingkan dengan Bawaku Sehat yang klaimnya mencapai hampir Rp 90 miliar.

Namun sampai saat ini dia belum memastikan lembaga atau badan asuransi mana yang akan ditunjuk.

Menurut Achyani, penunjukannya bisa langsung sesuai dengan UU BPJS atau melalui lelang.

(sumber: www.tribunnews.com)

BPJS Kesehatan Harus Didukung Sistem TI

JAKARTA (Suara Karya): PT Askes (Persero) diingatkan untuk memperhatikan masalah data kepesertaan sebelum bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014, terutama terkait penerapan sistem data kepesertaan dan pelayanan yang berbasis teknologi informasi (TI).

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali H Situmorang mengatakan, sistem berbasis TI harus sudah diterapkan sebelum Askes bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini bertujuan agar program jaminan kesehatan untuk masyarakat luas bisa dilaksanakan dengan baik. Jika tidak didukung sistem berbasis TI, maka BPJS Kesehatan berpotensi mengalami kebangkrutan.

“Kami kerap mengingatkan kepada Askes agar TI diperhatikan, karena bisa terjadi peserta ganda, yang berarti pembayaran berlapis. Lama-lama masalah ini bisa membuat bangkrut BPJS Kesehatan,” kata Chazali di Jakarta, Senin (29/10) di sela workshop Harmonisasi Sistem Informasi Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam diskusi dibahas terkait kebutuhan Indonesia dan pengalaman internasional dalam pengelolaan data untuk pelaksanaan jaminan sosial.

Menurut Chazali, saat ini DJSN tengah mengharmonisasikan sistem informasi jaminan kesehatan nasional. Selama ini, data pelaksanaan program jaminan kesehatan di Indonesia belum terintegrasi. Data peserta di seluruh penyelenggara jaminan kesehatan belum terhimpun dengan baik.

Padahal bagian terpenting dalam manajemen dan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang efektif terkait sistem informasi yang terintegrasi. Sistem ini dapat mengharmonisasikan data peserta program jaminan kesehatan dengan data dari Kementerian Dalam Negeri yang berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK).

“Namun, NIK juga belum disinkronisasi sebagai identifikasi peserta untuk para peserta program jaminan kesehatan. Padahal sistem informasi jaminan kesehatan ini harus menjadi lokomotif pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) secara keseluruhan,” katanya.

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron memastikan, BPJS Kesehatan tetap akan beroperasi pada 1 Januari 2014 meski belum ada harmonisasi data dan sistem TI yang baku. Apalagi penerapan sistem TI tidak mudah, karena banyak model yang harus disesuaikan dengan kebutuhan. Apalagi sistem TI mencatat data dan transaski yang ada.

Dia lantas membantah bahwa akibat belum diharmonisasikannya sistem informasi pada saat BPJS Kesehatan, maka pelaksanaan program jaminan kesehatan bersifat uji coba (trial and error). Apalagi dalam masa transisi pasti membutuhkan penyesuaian, seperti dalam pelaksanaan e-KTP.

“E-KTP itu kan untuk dewasa, lalu bagaimana dengan anak-anak? Makanya akan dibuat ID tunggal dari data yang sama yang ada di Askes. Nantinya tinggal disinkronisasikan saja. Kita tengah membahas harmonisasi ini,” ujarnya saat membuka acara workshop tersebut.

Menurut Ali Gufron, sistem TI merupakan tulang punggung dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Karena itu harus menjadi prioritas. Apabila sistem ini sudah bisa dibangun, maka akan memudahkan pengintegrasian dengan program-program jaminan sosial lainnya, misalnya terkait masyarakat yang tergolong penerima besaran iuran (PBI) yang bisa berubah-ubah karena perubahan status sosial seseorang.

“Yang semula miskin, bisa saja suatu saat masuk dalam kelompok mampu. Atau, yang tadinya tidak miskin, karena sesuatu hal masuk dalam jurang kemiskinan. Jadi, dengan kata lain, PBI bisa siapa saja. Karenanya, harus ditopang dengan sistem IT agar PBI benar-benar sesuai sasaran,” ucapnya.

Dia menyebutkan, PBI 2014 sendiri tercatat sebanyak 86,4 juta orang miskin dan berpendapatan rendah. Artinya ada 40 persen masyarakat dengan penghasilan terendah hasil identifikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang masuk dalam catatan PBI. Data ini akan diperbarui tiga tahun sekali.

Sementara itu, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Informasi PT Jamsostek (Persero) Agus Supriyadi mengatakan, jika BPJS Kesehatan beroperasi 1 Januari 2014, maka tidak akan ada perbedaan apakah pesertanya berasal dari Askes, Jamsostek, atau Jamkesmas. “Semua akan dilayani,” katanya.

(sumber: www.suarakarya-online.com)

Kota Batu Sepelekan Kesehatan

BATU – Layanan kesehatan untuk masyarakat kota Batu tampaknya, masih dipandang sebelah mata. Buktinya, anggaran pelayanan kesehatan kota itu hanya sekitar 2% dari total RAPBD 2013. Dinas Kesehatan (Dinkes) hanya mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 22,3 miliar dari total RAPBD 2013 sebesar Rp 451 miliar yang kini masih dibahas.

Kepala Dinkes Kota Batu, Endang Triningsih, mengakui, dengan anggaran yang minim itu pihaknya tidak bisa berbuat banyak untuk peningkatan pelayanan kesehatan di Kota Batu.

“Faktanya dana untuk kita memang minim, sulit untuk membuat inovasi kesehatan. Kita hanya bisa memenuhi pelayanan dasar kesehatan saja,” ujar Endang, Minggu (28/10).

Minimnya dana untuk layanan kesehatan di luar gaji pegawai ini sendiri, tidak sesuai dengan perundangan. Berdasarkan UU no 36/2009 tentang Kesehatan, pada pasal 171 ayat 2 disebutkan, besar anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten harus 10% dari total APBD di luar gaji pegawai.

“Jangankan sepuluh persen, kita tiga persen saja enggak sampai. Kami menuntut lebih tinggi lagi sejak tahun lalu ya tidak direspon dewan,” ujar Endang.

Jika total RAPBD 2013 Kota Batu sebesar Rp 451 miliar, maka anggaran kesehatan harusnya mendapat sekitar Rp 45 miliar. Faktanya, alokasi kesehatan Kota Batu hanya sebesar Rp 22,3 miliar dan sebagian besar adalah gaji pegawai.

Mengutip data dari Bagian Keuangan Pemkot Batu, rincian anggaran itu antara lain, untuk gaji pegawai sebesar Rp 11,4 miliar. Sisanya, Rp 5,9 miliar untuk belanja langsung atau kegiatan Dinkes. Selain itu, Rp 5 miliar untuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

“Untuk kegiatan langsung, bentuknya ya operasional rutin di seluruh Puskesmas dan kegiatan lain. Intinya, hanya mencukupi layanan dasar saja. Karena itu, anggaran yang ada ya dicukup-cukupkan,” ucap Endang.

Meski demikian, Endang bisa sedikit bernafas lega. Sebab, anggaran untuk program Jamkesda itu sudah meningkat. Awalnya hanya Rp 2,7 miliar saja. “Harapan kita penduduk Kota Batu yang mengajukan SPM terus berkurang. Dengan begitu anggaran untuk program Jamkesda tidak sampai melebihi Rp 5 miliar,” tandas Endang.

Terpisah, Kepala Bagian Keuangan Pemkot Batu, Julijanti Wahjuni, mengakui minimnya dana untuk layanan kesehatan di Kota Batu. “Seharusnya memang sepuluh persen dari APBD, tapi karena anggaran kita terbatas ya harus dibagi rata,” kata Julijanti.

Jika anggaran Dinkes diberi 10%, sambung dia, resikonya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang lain tidak kebagian anggaran. Alias mereka akan menganggur karena tidak ada pekerjaan fisik dan non fisik yang bisa dikerjakan dengan memanfaatkan APBD Kota Batu.

Meski demikian, ia berharap ada perubahan yang berujung pada penambahan dana kesehatan. Karena RAPBD 2013 masih dibahas lagi dengan legislative pada November nanti. “Semoga saja dewan menyetujui kalau diminta ada penambahan,” pungkas Julijanti. zar

(sumber: www.surabayapost.co.id)

Indonesia Dinilai Mampu Wujudkan Jamkes Universal

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Sugeng Bahagijo, mengatakan Indonesia sebenarnya mampu menyelenggarakan jaminan kesehatan (jamkes) universal. Tentu saja badan penyelenggaranya adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Sugeng mengatakan besaran jumlah dana yang dibutuhkan mengacu pada pelayanan dan manfaat yang didapat peserta. Jika manfaat dalam Jamkes itu mengikuti skema yang diselenggarakan pemerintah lewat Jamkesmas seperti saat ini, Sugeng memperkirakan dibutuhkan dana sekitar Rp30 triliun.

Sementara, manfaat yang diperoleh peserta mengacu pada program jamkes yang diselengarakan Jamsostek saat ini, dananya diperkirakan mencapai Rp60 triliun. Menurut Sugeng, yang membedakan dari kedua kisaran dana itu adalah berbagai penyakit yang ditanggung oleh program Jamkes. Dalam hal ini, program Jamkes yang dikelola Jamsostek menurutnya menanggung lebih banyak jenis penyakit ketimbang program Jamkesmas. Kedua perkiraan dana itu hanya untuk pembentukan awal sistem Jamkes Universal.

Mengacu jumlah RAPBN 2013 mencapai Rp1.650 Triliun, Sugeng menyebut angka yang dibutuhkan untuk membangun sistem Jamkes Universal itu sangat kecil. Tak lebih dari 4 persen dari RAPBN. Tentu saja dana awal itu tidak akan habis digunakan untuk membangun Jamkes Universal, pasalnya dari 240 juta masyarakat Indonesia, menurutnya tidak akan jatuh sakit pada waktu yang bersamaan.

Dalam sistem tersebut, Sugeng mengestimasi jumlah klaim terbesar yang bakal diajukan sekitar 20 persen dari jumlah peserta atau rakyat Indonesia. Itupun menurutnya hanya kemungkinan terburuk dan jarang terjadi, sekali pun terjadi, dana yang ada dinilai sanggup untuk menanggung. Setelah Jamkes Universal berjalan, maka dana yang dibutuhkan untuk menjamin berjalannya sistem tersebut per tahun lebih kecil ketimbang dana awal itu.

Berbeda dengan mekanisme program Jamkes yang dikelola perusahaan swasta atau dikenal dengan istilah asuransi, Sugeng menjelaskan program Jamkes Universal itu memberikan kebutuhan medis yang dibutuhkan masyarakat. Sedangkan, untuk Jamkes yang dikelola swasta, peserta program itu hanya mendapat pelayanan yang disesuaikan dengan besarnya iuran. Semakin kecil iuran, maka semakin terbatas jenis penyakit dan pelayanan yang dicakup oleh asuransi, begitu pula sebaliknya.

Melihat sistem yang dibangun dalam BPJS Kesehatan, Sugeng menilai mekanisme gotong royong digunakan. Misalnya, dari jumlah penduduk Indonesia, sekitar 140 juta jiwa di antaranya termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sehingga, terdapat 100 juta jiwa yang dikategorikan mampu untuk membayar iuran Jamkes Universal. Dari jumlah iuran itulah, orang yang golongan mampu membantu golongan lain yang tidak mampu. Selain menggunakan iuran dari peserta yang mampu, program Jamkes itu juga didanai dari hasil pajak atau APBN.

Dengan adanya iuran tersebut dan dana yang dialokasikan dari APBN, maka penyelenggaraan Jamkes Universal dapat terlaksana dengan baik. Oleh karenanya Sugeng berpendapat tidak ada alasan jika pemerintah menyebut negara tidak punya uang untuk membiayai Jamkes Universal lewat BPJS Kesehatan.

Untuk memperkuat pendapatnya bahwa Indonesia mampu menjalankan sistem itu, Sugeng mengutip studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut negara miskin pun mampu meningkatkan anggaran kesehatan. Sementara, posisi Indonesia di komunitas internasional tidak termasuk negara miskin, namun alokasi anggaran untuk kesehatan lebih kecil ketimbang beberapa negara tergolong miskin itu.

Misalnya, Rwanda, Liberia dan Tanzania. Beberapa negara di Afrika itu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan rakyatnya sebesar 15 persen, sedangkan Indonesia mengalokasikan di bawah kisaran angka tersebut. Dari data yang diperoleh Seknas Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra), periode 2005 – 2012 alokasi anggaran kesehatan dari belanja pemerintah rata-rata 2,2 persen.

“Problemkita (untuk menyelenggarakan Jamkes Universal,-red) bukan ada atau tidaknya dana, tapi soal kemauan pemerintah,” kata Sugeng dalam diskusi di Jakarta, Rabu (24/10).

Studi WHO itu, Sugeng melanjutkan, tak jauh beda dengan studi Bank Dunia. Dibandingkan negara lainnya di wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia dinilai “pelit” dalam mengalokasikan anggaran untuk kesehatan. Contohnya di tahun 2006, pendapatan per kapita Indonesia AS 1.420 Dollar dan anggaran untuk kesehatan dari total belanja pemerintah hanya 5,3 persen. Namun, Vietnam, dengan pendapatan per kapita hanya AS$ 700, presentase belanja kesehatan terhadap total belanja pemerintah mencapai 6,8 persen.

Jika pemerintah enggan mengalokasikan dana APBN untuk Jamkes Universal, menurut Sugeng Indonesia memiliki sumber dana lainnya yang dapat dimanfaatkan. Seperti, mengalihkan sebagian dana subsidi BBM untuk penyelenggaraan Jamkes Universal. Sugeng mengingatkan, subsidi BBM yang dialokasikan pemerintah di tahun 2012 sebesar Rp123 triliun.

Menurutnya, setengah dari jumlah dana subsidi itu sudah lebih dari cukup untuk untuk menyelenggarakan Jamkes Universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu, pemerintah harus memberlakukan subsidi BBM terbatas hanya untuk sektor tertentu yang sangat membutuhkan seperti transportasi umum, nelayan tradisional dan lainnya.

Sebelumnya, Kabid Kendali Mutu dan Pengembangan Jaringan Pelayanan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Komaryani Kalsum, mengatakan masyarakat yang tergolong PBI untuk saat ini adalah peserta Jamkesmas. Dengan jumlah total untuk tahun 2013 diperkirakan mencapai 86 juta jiwa, di tahun berikutnya diperkirakan jumlahnya akan bertambah 10 juta jiwa.

Besaran iuran yang disepakati terakhir untuk PBI adalah Rp22 ribu/kepala/bulan. Pemerintah, Kalsum melanjutkan, juga membiayai pegawai Negeri Sipil (PNS), karena posisi pemerintah selaku pemberi kerja. Untuk kepesertaan, Kalsum menyebut dalam rancangan yang ada jumlah peserta BPJS Kesehatan akan mencakup seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2019.

Untuk besaran dana yang dialokasikan pemerintah untuk PBI dan PNS, menurut Kalsum terkait dengan kewenangan Kementerian Keuangan untuk melakukan penghitungan agar sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki negara. “Kementerian keuangan akan bertanggungjawab untuk peserta Jamkesmas sebagai PBI juga PNS,” tutur Kalsum dalam diskusi yang digelar sebuah media di Jakarta, Selasa (23/10).

Sementara, anggota presidium Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Timboel Siregar, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan harus mencakup seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, hal itu termaktub dalam konstusi, UU SJSN dan UU BPJS. Namun, Timboel merasa perwujudan hal tersebut terhambat. Pasalnya, dalam RPepres Jamkes yang dibentuk pemerintah lewat Kemenkes, Timboel melihat ada pentahapan peserta sejak BPJS Kesehatan berlaku sampai 1 Januari 2019.

Sehingga, pada 1 Januari 2014 nanti, pemerintah hanya mengikutsertakan 139,5 juta rakyat Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan. Adanya pentahapan itu menurut Timboel menimbulkan diskriminasi di tengah masyarakat. Menurut Timboel, pentahapan yang dimaksud dalam UU SJSN bukan pentahapan kepesertaan tapi program sosial. Dengan salah mengartikan makna pentahapan itu, Timboel berpendapat, pemerintah membiarkan lebih dari 100 Juta rakyat Indonesia tidak masuk dalam BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.

Terkait alasan pemerintah tidak mampu menyelenggarakan Jamkes Universal karena keterbatasan anggaran, Timboel menyebut hal itu tidak beralasan. Pasalnya, mengacu RAPBN 2013 yang mencapai lebih dari Rp1.600 triliun, untuk menyelenggarakan Jamkes Universal, menurut Timboel hanya butuh sekitar 3 persen dari jumlah tersebut. Bagi Timboel jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk mengupah PNS dan mencicil hutang.

“Pemerintah sebenarnya mampu, tapi tidak punya niat menyejahterakan rakyat,” pungkasnya kepada hukumonlinelewat pesan singkat, Rabu.

(sumber: hukumonline.com)

Menkes: MDGs bidang Kesehatan Sulit Tercapai

Metrotvnews.com, Kupang: Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pesimistis Millenium Development Goals (MDGs) bidang kesehatan bisa tercapai pada 2015. Betapa tidak, dari enam item bidang kesehatan yang harus dicapai sampai Oktober 2012, hanya satu yang sudah tercapai. Ialah pemerintah berhasil mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan kasus baru tuberkulosis (Tb). Demikian dikatakan Nafsiah Mboi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (22/10).

Dia mengemukakan hal itu dalam rapat koordinasi teknis pembangunan kesehatan Provinsi NTT. Acara ini dihadiri para bupati dan pimpinan DPRD, kepala dinas kesehatan, kepala rumah sakit dan kepala badan perencanaan pembangunan se-NTT.

Menurut dia, kelima item lainnya belum tercapai yakni penurunan prevalensi balita kekurangan gizi; penurunan angka kematian bayi dan balita; pengendalian dan penyebaran kasus baru malaria; penurunan angka kematian ibu melahirkan; serta pengendalian dan penurunan jumlah infeksi baru HIV.

“Saya temukan di Kabupaten Manggarai Barat, di sana dinas kesehatan melaporkan ada dua kasus HIV dan AIDS, ternyata yang benar ada 87 kasus,” kata Menkes.

Menurut Menkes, NTT memiliki program revolusi kesehatan ibu dan anak (KIA) yang sangat baik untuk menurunkan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Program ini harus terus digalakkan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu karena memiliki dampak yang cukup baik bagi perkembangan pembangunan kesehatan di NTT.

Walaupun demikian, secara nasional angka kematian ibu melahirkan masih terbesar keempat dari 33 provinsi yakni mencapai 208 orang selama 2011. Dalam kaitan dengan penyakit HIV, Menkes mengatakan penyebaran HIV dan AIDS di NTT terus meningkat setiap tahun.

Hal tersebut juga didukung menjamurnya lokasi prostitusi, terutama di pelabuhan laut dan terminal. Di sisi lain, pemerintah daerah belum melihat lokasi prostitusi menjadi sasaran kampanye penggunaan kondom dan pemeriksaan kesehatan.

Sampai September 2012, jumlah penderita HIV dan AIDS di daerah itu 1.818 orang. Dari jumlah itu 443 orang telah meninggal. “AIDS dan TBC sangat erat kaitannya. Jika bisa mengobati AIDS, TBC juga turun sehingga MDGs bisa tercapai,” kata Menkes yang berada di Kupang setelah menyertai kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Manggarai, Ruteng.

(sumber: metrotvnews.com)

HUT IDI: Masih terjadi kelangkaan tenaga dokter di daerah

Sukabumi, GATRAnews – Kelangkaan tenaga dokter masih terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terbukti dengan masih adanya Puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. Selain itu, kelangkaan juga terjadi untuk tenaga dokter spesialis. Kenyataan ini dapat berpengaruh pada usaha mencapai target kesehatan Millennium Development Goals (MDGs) di Sukabumi. Demikian dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dr Hj Adrialti Samsul MKM, dalam sambutannya pada acara HUT Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke-62, di Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (21/10).

“Salah satu cara untuk mengatasinya, kami mengharapkan Pemda Sukabumi dapat memberikan beasiswa kepada para anak didik putra daerah yang tak mampu untuk menempuh pendidikan kedokteran,” kata Adrialti. Hingga saat ini masih ada sejumlah Puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. Berkaitan dengan kelangkaan tenaga dokter spesialis, lanjut Adrialti, penyebab utamanya terkait dengan pendapatan gaji mereka yang dapatkan. “Mereka berterus terang tidak betah bekerja karena take home pay yang diterima jauh dari yang dikeluarkan saat mereka menempuh pendidikan kedokteran,” kata Adrialti.

Menurut Adrialti, saat ini dokter yang baru diangkat menjadi pegawai negeri mendapat gaji mencapai Rp 1,7 juta perbulan. “Ini tentu jauh dibawah biaya pendidikan dokter yang dapat mencapai hingga Rp 500 juta diluar biaya kos dan transportasi,” kata Adrialti lagi.

Tak hanya itu, problem finansial juga terjadi pada masalah tunjangan pendapatan. “Para dokter yang bertugas di daerah terpencil mendapatkan tunjangan mencapai hanya Rp 3 juta per bulan yang hanya selisih sedikit dengan mereka yang bertugas di rumah sakit sebesar Rp 2,5 juta per bulan,” kata Adrialti. Untuk itu Adrialti berharap agar anggaran APBD untuk bidang kesehatan dapat ditambah.

Sementara itu, dalam acara yang sama, Ketua IDI Kabupaten Sukabumi, Hendrawan Dwijanto SpOG berharap agar anggota IDI Kab. Sukabumi dapat lebih berperan dalam melayani dan mengatasi kesehatan di Kabupaten Sukabumi. “Sesuai dengan tema HUT IDI kali ini, peran dokter diharapkan lebih meningkat lagi sebagai agen kesehatan pada masyarakat,” katanya.

Menanggapi masalah kelangkaan tenaga dokter, Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi, Adjo Sardjono, mengakui masih banyak masalah yang harus diatasi. “Terutama soal kelangkaan dokter spesialis dan dokter gigi,” katanya. Ia berharap dalam penyusunan APBD mendatang, berbagai usulan dan informasi tentang kesehatan dapat ditingkatkan anggarannya.

“Moga moga ada anggaran untuk dokter spesialis dan lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikan kesehatannya,” katanya. Namun, ia mengingatkan dibanding dengan pegawai negri lainnya kondisi para dokter masih lebih bagus karena setidaknya dapat mengandalkan dari pendapatan praktek pribadi

(sumber: gatra.com)

Kartu Sehat Sasar 4,7 Juta Warga DKI

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemberian kartu sehat merupakan salah satu janji yang paling dinanti oleh sebagian besar warga Ibu Kota. Pasalnya, warga yang memegang kartu ini akan terbebas dari seluruh biaya berobat dan rawat inap di puskesmas dan kelas tiga di seluruh rumah sakit.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, teknis pembagian kartu sakti ini tak akan berbelit. Semua warga DKI Jakarta dapat memilikinya dengan mudah. Baik melalui puskesmas, maupun diberikan langsung oleh Gubernur Joko Widodo.

“Pembagiannya nanti tak perlu didata ulang. Gubernur akan membagikan, tapi karena waktunya terbatas, maka bisa diperoleh dari puskesmas saat warga datang untuk berobat,” kata Basuki saat dijumpai di Balaikota Jakarta, Kamis (18/10/2012).

Ia menjelaskan, dengan dana kesehatan sebesar Rp 700 miliar yang dimiliki DKI Jakarta, jaminan kesehatan seluruh warga Ibu Kota dapat diberikan oleh pemerintah provinsi. Akan tetapi, teknis di lapangan akan berubah, mengingat masyarakat yang mampu secara finansial dianggapnya tak akan mau berobat atau rawat inap di puskesmas.

Ia memasang target, kartu sehat dapat menyentuh minimal setengah dari jumlah warga DKI Jakarta yang melebihi angka sembilan juta jiwa. “Targetnya 4,7 jiwa bisa dijamin melalui kartu sehat. Itu sekitar setengahnya karena saya yakin enggak akan ada orang kaya yang mau berobat ke puskesmas atau rawat inap di kelas tiga,” pungkasnya.

Untuk diketahui, kartu sehat hanya dapat berlaku di puskesmas dan rumah sakit golongan kelas tiga (RSUD dan swasta). Di rumah sakit umum daerah (RSUD), kemungkinan naik kelas ke kelas dua dapat dilakukan apabila kelas tiga di rumah sakit tersebut sudah dipenuhi oleh pasien. Akan tetapi, hal ini tak berlaku di rumah-rumah sakit swasta.

(sumber: megapolitan.kompas.com)

Draf RPP BJPS telah dikirimkan ke Istana

JAKARTA – Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah dikirimkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berharap pembahasannya selesai pada 25 November mendatang atau sesuai dengan tenggat waktunya.

“Draf RPP BPJS sudah kami berikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diharmonisasi dan dari situ sudah dikirim ke Kemenkokesra untuk dilaporkan ke Presiden bahwa harmonisasi sudah selesai dilaksanakan,” ujarnya, Selasa (16/10).

Nafsiah menyatakan, draf tersebut juga sudah dikoordinasi dengan lembaga negara lainnya sehingga sudah hampir rampung secara keseluruhan. Dia menyatakan, pembahasannya tak perlu menunggu hingga akhir tahun.

Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pihak Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk menepati tenggat waktu RPP BPJS. Namun ia mengatakan paling lambat RPP BPJS tersebut selesai pada akhir tahun 2012, mengingat penerapan BPJS Kesehatan baru dilakukan pada tahun 2014 mendatang.

(sumber: nasional.kontan.co.id)