Jokowi Ingin Bidang Kedokteran Terdepan dalam Penerapan Teknologi

ERA revolusi industri keempat dan perkembangan teknologi serta informasi yang semakin pesat, menuntut perubahan dan menimbulkan disrupsi dalam banyak hal.

Hal itu memunculkan tantangan bagi bagi banyak industri, tak terkecuali industri kesehatan dan manajemen rumah sakit.

Saat membuka acara Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) XXX di Samarinda Convention Center, Kalimantan Timur, Presiden Joko Widodo memberikan gambaran betapa dunia kini telah berubah dengan adanya startup-startup yang tumbuh memanfaatkan perkembangan teknologi dan segala kemudahan yang dihadirkan.

Jokowi ingin agar kemajuan dan kemudahan tersebut juga hadir di ranah kedokteran.

“Mereka mengikuti perubahan global yang ada, melihat arah angin yang ada, kemudian menyiapkan aplikasi sistem yang sesuai dengan zamannya. Saya juga ingin IDI mendahului dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya,” ucap Jokowi, Jumat (26/10/2018).

Kepala Negara memberikan gagasannya seputar kemudahan yang mungkin dapat memberikan manfaat besar bagi para pasien yang memerlukan layanan kesehatan di wilayah yang belum terjangkau layanan kesehatan, seperti yang dirasakan masyarakat di kota-kota besar.

Menurutnya, hal tersebut sudah semestinya menjadi pemikiran besar bila melihat persebaran penduduk Indonesia yang tersebar di banyak pulau, dengan tingkat pelayanan kesehatan yang belum merata.

“Saya enggak tahu aplikasi sistem apa yang bisa memudahkan orang, misalnya di Kabupaten Asmat tapi perintahnya dari Jakarta. Orang bisa mendiagnosa di Halmahera, di Maluku Utara, tapi bisa diberi perintah dari Jakarta, bagaimana cara menanganinya,” tuturnya.

Di tingkat rumah sakit, Jokowi juga berpikir mengenai arah pelayanan menuju apa yang disebutnya sebagai smart hospital.

Dalam gambarannya, smart hospital ini mampu memberikan pelayanan terintegrasi dengan data-data medis pasien yang saling terhubung dengan rumah sakit lain, bahkan hingga ke apotek dan BPJS Kesehatan.

“Kalau kita masih berpikir jadul, cara-cara lama, tradisi lama kita pakai, ya tahu-tahu ditinggal kita,” kata Jokowi. (Seno Tri Sulistiyono)

sumber: http://wartakota.tribunnews.com/2018/10/26/jokowi-ingin-bidang-kedokteran-terdepan-dalam-penerapan-teknologi

 

 

Kementerian Kesehatan Bersama Badan Siber dan Sandi Negara Bersepakat Terkait Perlindungan Informasi dan Transaksi Elektronik

Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, bersama Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko Setiadi, menandatangani nota kesepahaman tentang Perlindungan Informasi dan Transaksi Elektronik di Jakarta Selatan, Senin siang (29/10).

Menkes Nila Moeloek dalam sambutannya menyatakan bahwa berbagai transformasi digital di sektor kesehatan saat ini berkembang pesat. Transformasi tersebut berupa pemberian informasi melalui media online, elektronisasi proses pelayanan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, elektronisasi pelayanan kefarmasian, elektronisasi pelayanan perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan sampai dengan telemedicine sebagai salah satu solusi peningkatan pelayanan kesehatan jarak jauh. Di internal Kemenkes sendiri, berbagai proses kerja telah dilakukan digitalisasi seperti tata persuratan, kehadiran, perjalanan dinas, notulen, dan lain sebagainya.

Dalam sambutannya, Menkes Nila menyatakan bahwa jajaran Kementerian Kesehatan menyadari bahwa proses digitalisasi ini memerlukan standar keamanan yang mumpuni untuk melindungi data dan informasi. Terutama untuk data dan informasi yang sifatnya rahasia dan hanya dapat diakses oleh orang/kalangan tertentu.

”Karena itu, kami perlu bekerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam melakukan pengamanan terhadap data dan informasi yang kami miliki. Salah satunya adalah kerjasama dalam pemanfaatan sertifikat elektronik untuk meningkatkan keamanan transaksi elektronik.” tutur Menkes Nila Moeloek.

Kepala BSSN, Djoko Setiadi, menyatakan bahwa di era saat ini teknologi informasi sudah menjadi suatu hal yang vital. Semakin besar pengaruh teknologi informasi dalam kehidupan manusia, maka semakin besar pula risikonya untuk disalahgunakan. Karena itu, pemanfaatan teknologi informasi tidak hanya perlu diperhatikan, tetapi juga perlu diatur dalam hukum.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, menyatakan bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengoperasikan sistem elektroniknya sesuai persyaratan minimum yang ditetapkan undang-undang, antara lain mampu melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

”BSSN sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas dan kewenangan dalam bidang siber dan persandian siap mendukung, dan sangat mengapresiasi upaya kemenkes dalam memanfaatkan sertifikat elektronik guna mendukung pengelolaan dan perlindungan sistem elektronik,” imbuh Djoko.

Lebih lanjut, Djoko menyatakan bahwa sertifikat elektronik terbukti telah mampu mewujudkan efisiensi di berbagai sektor pemerintah.

Untuk itu, pada kesempatan yang sama, dilakukan pula penandatanganan perjanjian kerja sama antara Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dengan Balai Sertifikasi Elektronik BSSN tentang Pemanfaatan Sertifikat Elektronik pada Sistem Elektronik di Kemenkes RI, yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kemenkes RI, Oscar Primadi, dan Sekretaris Utama BSSN, Syahrul Mubarak.

sumber: http://www.depkes.go.id/

 

Indonesia Sehat Terkendala Pelayanan di Bawah Standar

Kendati sudah berjalan lima tahun, sistem jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan terus menyisakan pekerjaan rumah, antara lain soal pelayanan kepada pasien.

Menurut Dokter Enozthezia Xynta, hal itu terjadi karena tenaga kesehatan seolah dipaksa untuk memberikan layanan sesuai budget yang diberikan BPJS Kesehatan.

“Sebetulnya bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang diterapkan BPJS,” jelas dokter anestesi ini dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Rabu (31/19).

Dokter yang pernah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi tentang rasa kecewanya terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan ini mencontohkan, operasi caesar sebelum ada BPJS berkisar di angka Rp 6 juta. Saat ini, dengan diterapkan BPJS, pasien membayar Rp 4,3 juta.

“Kita (dokter) terkurung dengan harga yang sudah ditetapkan,” ujarnya.

Masih menurut Eno, jika biaya yang dikeluarkan lebih dari apa yang sudah diatur BPJS, biasanya rumah sakit atau dokter yang bersangkutan harus menanggungnya.

“Jasa dokternya lah yang dipotong dan kadang jasa visit kita nggak dihitung,” katanya.

Ini salah satu penyebab pelayanan menjadi sub standart. Padahal, lanjut Eno, untuk dokter umum di poliklinik misalnya, jasa dokter dan sebagainya hanya dibayar Rp10.000.

Memang ada Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pasien bisa membayar tambahan dari pelayanan yang diberikan oleh BPJS. Namun menurut Eno, ini menjadi masalah baru.

Pertama, ada resiko dokter akan dilaporkan. Kedua, dokter akan ditegur oleh BPJS dan ketiga, tentu masyarakat akan memandang profesi dokter menjadi hina. “Kita tidak akan mengambil resiko itu,” ujar Eno.

Perlakuan sub standart ini bukan hanya dalam sisi pelayanan tapi juga pemberian obat yang cenderung under treatment. Ada yang disebut Formulariom Nasional (Fornas), daftar obat yang secara empirik diperlukan oleh masyarakat di Indonesia.

Hasbullah Thabrany, mantan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (Universitas Indonesia), menjelaskan bahwa Fornas ini mendaftar lebih dari 1.000 kemasan obat dalam segala bentuk. “Ini isinya adalah obat essential. Obat semua penyakit sudah ada di situ,” jelasnya.

Namun, tidak ada merk dagang obat yang tercantum di dalam fornas. Jadi, rumah sakit dan dokter dipersilakan untuk memberikan merknya. Dengan e-catalogue saat ini, membuat industri farmasi bersaing ketat.

“Bahkan ada yang banting harga untuk mendapatkan kontrak,” katanya. Perilaku banting harga gila-gilaan ini diikuti dengan ketidakmampuan industri itu untuk menyuplai obat. “Akibatnya obat tidak tersedia meski dengan harga yang wajar,” ujarnya.

Sementara itu, Kuntjoro Adi Purjanto, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menjelaskan bahwa rumah sakit (RS) di Indonesia sudah berbenah diri sejak lama. Penolakan pasien pun hingga saat ini sudah hampir tidak ada.

“Sekarang sudah termitigasi dengan baik tanpa pandang bulu selama sumber dayanya tersedia,” jelasnya.

Kuntjoro juga membantah perilaku under treatment RS terhadap pasien. Memang, kata Kuntjoro, potensi untuk under treatment cukup besar. “Bagaimana kalau obatnya tidak ada? Bayar obat nggak bisa,” katanya.

Ada beberapa RS yang berpotensi melakukan keterlambatan pembayaran obat. Jika demikian, distributor dan industri obat akan terkunci secara computerized. “Dia nggak bisa mengeluarkan barang dari gudangnya meski pemiliknya punya niat membantu rumah sakit,” ujarnya.

Kesehatan keuangan tiap RS tentu berbeda. Kekuatan cadangan keuangan untuk membayar obat pun makin hari makin tipis. Dan pada titik equilibrium tertentu, RS tidak bisa membayar obat, karyawan dan dokter.

“Jadi, under treatment itu sebagai akibat, jika itu memang benar terjadi,” pungkasnya

BPJS melalui Kepala Hubungan Masyarakat, Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan bahwa Fornas yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai acuan untuk penyediaan obat yang masuk dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

“Memang harus dikendalikan. Karena jika dibiarkan liar, nego harga obat dengan pabrikan akan sulit,” katanya.

Tim Fornas, kata Iqbal, memang sudah terpilih dari kalangan farmakologi. Tentu penyusunan fornas melalui proses yang panjang. Jika memang keluhannya bahwa dokter tidak memiliki keleluasaan dalam memberikan obat, maka justru, bagi Iqbal, logika ini menjadi terbalik.

“Dokter kan tidak bisa menulis merk obat, dia hanya memberikan bahan aktifnya,” katanya.

sumber: https://www.gatra.com/rubrik/kesehatan/bpjs-kesehatan/361116-Indonesia-Sehat-Terkendala-Pelayanan-di-Bawah-Standar–

 

Penyakit Jantung Bisa Telan Biaya Hingga Rp9,2 Triliun

JAKARTA – Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyampaikan bahwa Presiden Jokowi mengatakan biaya untuk mengobati penyakit jantung memakan biaya sampai Rp9,2 Triliun.

“Kemarin [17/8/2018] Pak Jokowi di depan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia mengingatkan begitu banyaknya penyakit katastropik [yang dapat menyerang] salah satunya Beliau menyebut penyakit jantung biayanya sampai Rp9.2 triliun,” tutur Nila saat menyampaikan arahannya pada acara Penghargaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Berkelanjutan Eka Pratama kepada 23 Kota dan 1 Provinsi di Auditorium Siwabessy, Gedung Sujudi, Kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2018).

Nila mengatakan menilik dari pernyataan Presiden RI tersebut maka pola hidup sehat harus diperhatikan sejak dini agar di masa tua, masyarakat Indonesia bisa tetap hidup produktif.

“[Yang terkena penyakit katastropik] ini kebanyakan lansia, oleh karena itu, kita inginnya orang tua tetap produktif, tetap sehat,” lanjutnya.

Nila juga mengatakan pada acara Internasional Monetary Fund (IMF) di Bali para stakeholder membicarakan bahwa Human Development Index akan diganti menjadi Human Capital Index.

“Dimana yang dihitung adalah jumlah manusia produktif. Jadi, untuk mencapai usia prodiktif ini yang dihitiung dan disiapkan adalah bagaimana manusia yang lahir, manusia yang berkualitas artinya memang pada 1000 hari kehidupan tadi dan mampu melakukan pendidikan,” paparnya.

Nila menjelaskan satu tahun pendidikan akan meningkatkan ekonomi individu sebesar 10%. Sehingga, makin lama masyarakat berpendidikan, makin meningkat ekonomi individu tersebut.

“Namun, tidak hanya kuantitas, tapi tapi kualitas karena itu kita harus memperbaiki kualitas kurikulum guru-guru kita sehingga asupan yang kita berikan kepada anak didik betul-betul memang berkualitas,” lanjutnya.

Nila melanjutkan asupan pendidikan dapat diserap dengan baik apabila tubuh dan pikiran tiap individu sehat. Oleh karena itu, asupan gizi sejak dini juga harus diperhatikan.

“Karena siklus kehidupan ini sangat penting dari permulaan sampai usia tua. Jadi, saya juga mengharapkan jangan kita pada usia tua akhirnya membebani bagi anak anak kita sendiri, salah satunya memang betul adanya akses air bersih dan sanitasi,” tandasnya.

 http://lifestyle.bisnis.com/read/20181018/106/850614/penyakit-jantung-bisa-telan-biaya-hingga-rp92-triliun

 

Sri Mulyani Pamer Anggaran Pendidikan dan Kesehatan di IMF-WB

Untuk meningkatkan kualitas suatu negara dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) dengan kualitas yang baik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan ada lima hal yang menjadi perhatian khusus untuk meningkatkan kualitas SDM.

Misalnya pemerintah saat ini mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan, meningkatkan kualitas guru, manajemen sekolah dan proses belajar mengajar peserta didik.

“Pendidikan vokasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, teknologi informasi, dan partisipasi sektor swasta,” kata Sri Mulyani dalam diskusi Human Capital Early Adopters Ministerial Workshop di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018).

Dia menjelaskan hal itu semua penuh tantangan seperti meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru di kota yang tidak setara dengan di desa, mempersiapkan jenis pendidikan vokasi yang dibutuhkan oleh industri di masa depan, dan keadaan di Indonesia. Selain itu, hampir semua sekolah negeri gratis, tetapi kualitasnya tidak sama dengan sekolah swasta.

“Indonesia siap berkontribusi dan bekerja sama, karena Indonesia memiliki pengalaman berharga dalam investasi human capital. Indonesia akan berkontribusi dalam kemitraan global melalui kerjasama Selatan-Selatan dan program kerjasama Triangular,” ujar dia.

Kemudian bahwa dalam menghadapi isu pembangunan digital, pemerintah Indonesia memperkenalkan beberapa kebijakan strategis yaitu meningkatkan kurikulum pendidikan dan meningkatkan kompetensi pekerja. Kedua, dengan meningkatkan kompetensi melalui pelatihan vokasi dan program magang, dan ketiga, meningkatkan kualifikasi, kebutuhan dan pelaksanaan sertifikasi profesi di seluruh institusi di seluruh negeri.

Sri Mulyani menambahkan bahwa SDM adalah landasan untuk kesejahteraan dan kunci penggerak high-income growth. Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kualitas SDM yang meliputi kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan kesetaraan gender, dalam beberapa kebijakan strategis, antara lain; bidang pendidikan, pemerintah percaya bahwa masyarakat teredukasi akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi.

“Edukasi akan membuat mereka dapat meningkatkan potensi pendapatan dan berkontribusi meningkatkan pertumbuhan kalangan menengah,” ujar dia. Karena itu, pemerintah juga telah mengalokasikan 20% dari APBN 2018 di bidang pendidikan yaitu sebesar Rp 444 triliun.

Sedangkan di bidang kesehatan, pemerintah telah mengalokasikan 5% dari keseluruhan APBN untuk sektor kesehatan.

Untuk tahun 2019 akan dianggarkan Rp 122 triliun untuk layanan kesehatan, menurunkan stunting dan menjalankan keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada akhir September 2018, JKN telah mencakup 203,28 juta penduduk atau 85% dari jumlah penduduk Indonesia. (kil/ara)

https://finance.detik.com/moneter/d-4250894/sri-mulyani-pamer-anggaran-pendidikan-dan-kesehatan-di-imf-wb

 

Sediakan Anggaran Rp 27 Miliar, APBD 2019 Jamin Iur BPJS Kesehatan Warga Kota Yogya

Anggota Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Dwi Budi Utomo menjelaskan bahwa siapapun warga Kota Yogyakarta boleh mendaftarkan diri untuk bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan yang iur-nya ditanggung APBD Kota Yogyakarta.

Tak hanya yang miskin, namun Dwi Budi menjelaskan bahwa warga wajib mematuhi aturan mainnya.

“Mereka wajib mau ditempatkan di kelas III. Tidak boleh naik kelas. Kalau mandiri kelas III, terus naik kelas, ada selisih yang harus dibayarkan. Namun di sini tidak boleh naik kelas. Kalau naik kelas, seluruh biaya ditanggung sendiri, tidak ada selisih,” ujarnya, sesuai rapat dengan Jamkesda Kota Yogyakarta, Senin (8/10/2018).

Ia menjelaskan, bahwa Kota Yogyakarta yang sudah memiliki predikat UHC atau Universal Health Coverage, di mana 95 persen penduduknya sudah menjadi peserta jaminan kesehatan, membuat proses peralihan peserta mandiri ke peserta yang dibiayai APBD menjadi mudah.

“Ngurusnya nanti di Jamkesda. Masuk ke daftar nama yang dibiayai APBD. Saat itu juga, statusnya sudah aktif. Kalau dulunya mandiri, maka namanya sama. Hanya nanti diubah kelasnya menjadi kelas III,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, setidaknya ada sekitar 35.000 warga yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan di Kota Yogyakarta.

Politisi PKS tersebut mengatakan, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dan sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menjaminnya.

“Sehingga memang tidak hanya orang miskin. Tapi harus mau di kelas III, untuk itu mengisi surat pernyataan terlebih dahulu,” ucapnya.

Melalui APBD murni 2019, anggaran untuk jaminan kesehatan tersebut sejumlah Rp 27 miliar.

Pihaknya meminta agar Pemkot menghitung kembali, apakah jumlahnya sudah sesuai atau kurang. Selain itu juga perlu aturan teknis yang dijelaskan melalui Peraturan Wali Kota (Perwal). (tribunjogja)

sumber: http://jogja.tribunnews.com/2018/10/08/sediakan-anggaran-rp-27-miliar-apbd-2019-jamin-iur-bpjs-kesehatan-warga-kota-yogya

 

26 Dokter Spesialis Bantu Penanganan Pasien Korban Gempa Palu

TNI menyebut telah mengirimkan 26 Dokter Spesialis dari berbagai Rumah Sakit TNI dan Rumah Sakit Umum yang ada di seluruh Indonesia, di antaranya dari Medan, Makassar dan Jakarta, dalam rangka mempercepat proses penanganan warga masyarakat akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.

Salah satu rumah sakit yang ditangani oleh 26 Dokter Spesialis dari TNI dan Rumah Sakit Umum diantaranya Dinkes Pemda DKI Jakarta adalah Rumah Sakit (RS) Tingkat IV Wirabuana yang lokasinya berada di Jl. Sisingamangaraja No. 4 Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Kepala RS Tingkat IV Wirabuana Palu, Mayor Ckm dr. Dudy Kusmartono, SpB, Sabtu (6/10/2018) dalam siaran persnya menyatakan, memasuki hari kedelapan pasca bencana gempa bumi dan tsunami, jumlah pasien yang dirawat sebanyak 612 orang dan umumnya kebanyakan wanita dan anak-anak.

“Dari 612 pasien yang di tangani oleh RS Tingkat IV Wirabuana, rata-rata pasien diberikan penanganan operasi yang berbeda-beda seperti operasi debridemen, patah tulang, sochiosecaria dan usus buntu,” ujarnya.

Ia menambahkan, bagi pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan akan diberikan rujukan untuk dirawat di rumah sakit yang lebih lengkap.

“Ada beberapa pasien yang membutuhkan tindakan medis lebih lanjut, kita rujuk ke Rumah Sakit Makassar atau KRI dr. Soeharso-990 TNI AL,” ucap Mayor Ckm dr. Dudy Kusmartono.

Dijelaskan pula bahwa pasien yang dirujuk ke rumah sakit lebih besar adalah pasien tetanus dan beberapa pasien pasca melahirkan, yang mengalami pendarahan hebat.

“Di RS Tingkat IV Wirabuana Palu, kita tidak memiliki stok darah yang cukup sehingga membutuhkan penanganan yang lebih dan memiliki alat serta ruang operasi yang lengkap,” tuturnya.

Mayor Ckm dr. Dudy Kusmartono juga mengatakan bahwa delapan hari pasca bencana gempa dan tsunami, Rumah Sakit Tingkat IV Wirabuana telah melakukan operasi melahirkan sebanyak 19 pasien.

“Sebanyak 19 bayi telah lahir dengan selamat di rumah sakit ini,” katanya.

Sementara itu, sebanyak 25 personel Tim Medis TNI yang terdiri dari dokter dan perawat, dibawah pimpinan Kepala Kesehatan Kostrad Kolonel Ckm dr. A. Zumaro, M.Si., Med., SpB-KBD tiba di Desa Lende, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/10/2018).

Kepala Kesehatan Kostrad Kolonel Ckm dr. A. Zumaro mengatakan bahwa kedatangan Tim Medis TNI ke Desa Lende adalah untuk memberikan bantuan kesehatan kepada warga masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.

“Tim Medis TNI gabungan dokter dan perawat dari Satuan Batalyon Kesehatan 1/1 Kostrad dan Batalyon Kesehatan Pasukan Marinir (Pasmar), nantinya akan mendata berapa banyak korban luka yang ada di desa ini,” ujarnya.

Ditambahkan pula bahwa tim dokter dan perawat TNI akan menangani warga yang mengalami luka ringan, sedangkan untuk warga yang mengalami luka berat akan di evakuasi melalui udara dengan menggunakan Helikopter TNI, untuk selanjutnya dirawat di RS Terapung KRI dr. Soeharso-990.

“Selain memberikan bantuan medis, tim dokter dan perawat juga membawa bantuan berupa obat-obatan dan logistik bagi warga masyarakat Desa Lende,” katanya.

Lebih lanjut Kolonel Ckm dr. A. Zumaro menyampaikan bahwa para personel Tim Medis TNI juga akan memetakan seberapa parah dan banyak korban warga masyarakat korban bencana gempa bumi dan tsunami, termasuk pendistribusian logistik.

“Nantinya setelah dipetakan akan diketahui apa-apa saja yang dibutuhkan para warga masyarakat, hal ini untuk mempermudah pendistribusian obat-obatan dan logistik bagi para korban,” katanya.

 sumber: https://tirto.id/26-dokter-spesialis-bantu-penanganan-pasien-korban-gempa-palu-c5gW

 

Dilema Negara Bencana: Anggaran Tipis, Asuransi Tak Punya

CNN Indonesia — Kondisi geografis Indonesia yang terletak di cincin api pasifik membuat Indonesia kerap dirundung bencana alam, khususnya gempa bumi. Belum lama wilayah Lombok dirundung duka akibat gempa, duka baru datang dari wilayah Palu dan Donggala.

Kedua wilayah tersebut diterjang gempa yang disusul tsunami pada Jumat (28/10). Terakhir, data menyebut korban jiwa mencapai 1.234. Seluruh bangunan dan infrastruktur luluh lantah.

Dengan kondisi negara rawan bencana, pemerintah harus mampu menyiapkan kebijakan-kebijakan guna meminimalisasi dan menanggulangi bencana yang mungkin terjadi. Hal ini bisa dilakukan mulai dari pemantapan studi dan kajian kebencanaan, membuat peta potensi bencana, hingga menyiapkan instrumen fiskal untuk penanggulangan dan pemulihan setelah bencana terjadi.

Khusus untuk kebijakan terakhir, tentu pemerintah bisa menggunakan instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Caranya, mengalokasikan anggaran tanggap darurat dan menyuntik dana pada lembaga-lembaga yang berhubungan dengan aktivitas bencana, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sebetulnya, kedua hal itu sudah dilakukan, tetapi anggarannya masih terbatas. Menurut data BNPB, pemerintah pusat menganggarkan dana tanggap darurat sebesar Rp4 triliun sebagai cadangan penanggulangan bencana. Dana tersebut terbagi atas Rp2 triliun untuk tanggap darurat dan Rp2 triliun lainnya untuk penanganan pascabencana, seperti revitalisasi dan konstruksi ulang.

Dalam APBN, dana tersebut diambil dari pos belanja lain-lain dengan nilai mencapai Rp67,2 triliun pada tahun ini atau meningkat 34,66 persen dari APBN Perubahan 2017 sebesar Rp49,9 triliun. Sayangnya, meski anggaran pos belanja lain-lain meningkat dari tahun ke tahun, tetapi dana tanggap darurat relatif tetap.

Sementara untuk suntikan anggaran ke BNPB, jumlahnya justru menyusut dari tahun ke tahun. Pada 2016, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp1,6 triliun, namun kemudian dipotong sekitar Rp133 miliar sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2016 menjadi Rp1,46 triliun. Pada 2017, BNPB hanya mendapat anggaran sebesar Rp839,74 miliar dan pada tahun ini kembali menyusut menjadi Rp749,38 miliar.

Sedangkan pada tahun depan, pagu indikatif BNPB dipatok sekitar Rp700 miliar. Padahal, dalam Rencana Strategis (Renstra) BNPB 2015-2019, kebutuhan dana lembaga tersebut mencapai Rp1,94 triliun pada 2016, Rp2,19 triliun pada 2017, Rp2,5 triliun pada 2018, dan tahun depan Rp2,81 triliun.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan keterbatasan anggaran membuat lembaganya sulit mengupayakan mitigasi dan penanggulangan bencana alam, seperti tsunami yang belum lama ini terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Tsunami kurang terdeteksi maksimal, salah satunya karena BNPB tak lagi memiliki buoy, alat pendeteksi tsunami berupa pelampung yang diapungkan di laut. Menurut Sutopo, BNPB memiliki 22 buoy sejak tsunami Aceh pada 2012 lalu. Namun, kini semuanya tidak beroperasi dan belum diganti karena keterbatasan anggaran.

“Pendanaan bencana itu terus turun tiap tahun. Ancaman bencana meningkat, kejadian bencana meningkat, anggaran BNPB justru turun. Ini berpengaruh terhadap upaya mitigasi. Pemasangan alat peringatan dini terbatas anggaran yang berkurang terus,” ujar Sutopo dalam konferensi pers BNPB, belum lama ini.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai terkuaknya keminiman mitigasi dari BNPB akibat keterbatasan anggaran menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. “Ini tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia yang berada di ring of fire,” ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/10).

Padahal, menurutnya, penyesuaian anggaran menjadi kunci suksesnya mitigasi, penanggulangan, dan pemulihan bencana alam yang rentan terjadi di Indonesia. Untuk hal ini, pemerintah, katanya, bisa belajar dari Jepang yang sudah lebih handal menghadapi gempa.

Bahkan, sebagai sesama negara yang kerap dirundung gempa, Negeri Matahari Terbit itu punya anggaran besar dan khusus untuk gempa. Untuk itu, alokasi anggaran untuk pos ini perlu diperhatikan dan diberi alokasi yang mencukupi. Sebab, bencana alam menyangkut hajat hidup orang banyak.

Lebih lanjut, menurutnya, pengatur fiskal pemerintah seharusnya mudah menyesuaikan dengan kebutuhan dana BNPB karena sejatinya sudah ada kajian dan peta gempa nasional berskala 5 tahun.

“Itu sangat mungkin digunakan untuk penyiapan anggaran. Ditambah, gempa di Palu ini kan sebenarnya sudah bisa diprediksi dari tahun kemarin, seharusnya sudah diproyeksi dengan matang dampak dan kebutuhan anggarannya,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga bisa berhitung dari proyeksi kerusakan titik-titik rawan gempa. Misalnya, bila daerah A rawan gempa dan titiknya di Kota B, maka pemerintah tinggal mengkalkulasi nilai revitalisasi yang sekiranya dibutuhkan bila infrastruktur itu rusak ringan hingga total.

Anggaran untuk penanggulangan bencana tersebut, menurut dia, juga mutlak tak boleh diotak-atik. Misalnya, untuk belanja infrastruktur yang sebenarnya penting dan kini tengah digenjot pemerintah.

“Tapi yang penting juga, bangun infrastruktur yang sudah tahan gempa. Memang ini bisa extra cost (perlu biaya yang lebih besar), tapi dengan potensi bencana seperti ini, justru siapa tahu bisa mengurangi biaya kerusakan di kemudian hari,” tuturnya.

Kemudian, yang tak ketinggalan penting adalah mengasuransikan Barang Milik Negara (BMN) dengan perluasan jaminan kerugian bencana alam. Dengan begitu, ketika ada bencana alam dan kerusakan, maka pemerintah tak perlu terlalu pusing menghitung kecukupan anggaran untuk pemulihan aset-aset negara.

“Lagi-lagi, di Jepang ini semua aset negara, bahkan aset masing-masing masyarakatnya sudah dilindungi oleh asuransi. Ini juga mungkin akan extra cost karena harus bayar premi, tapi penting manfaatnya,” imbuhnya.

Solusi lain, menurutnya, pemerintah Indonesia bisa menggalang inisiatif dengan sesama negara rawan bencana alam untuk membentuk suatu organisasi pembiayaan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi bantalan tambahan bila terjadi bencana.

“Sebelumnya sudah ada Chiangmai Initiative mengenai defisit transaksi berjalan, tapi sangat mungkin diadakan inisiatif baru untuk masalah bencana ini, misalnya nanti kerja sama dengan Jepang,” ungkapnya.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta pernah mengatakan pemerintah memang sudah memikirkan kebijakan asuransi BMN. Pemerintah telah memiliki dua landasan hukum untuk kebijakan ini.

Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan Daerah. Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. Sedangkan sampai semester I 2017, BMN yang berpotensi diasuransikan mencapai Rp2.183 triliun.

Kendati begitu, kebijakan ini tak bisa dieksekusi dalam waktu dan persiapan yang singkat. Pasalnya, dengan nilai BMN yang sangat besar, pemerintah tak bisa mengorbankan APBN untuk membayar premi asuransi.

Belum lagi, nilai BMN yang saat ini tercatat baru mewakili sekitar 38 persen dari potensi yang ada, sehingga pada waktu ke depan, nilainya diestimasi bisa meningkat hingga tiga kali lipat. Hingga semester I 2017, total aset pemerintah tersebut tercatat mencapai Rp2.183 triliun.

“Makanya kalau mau diasuransikan, kami buat program, mana yang akan diasuransikan lebih dulu. APBN tidak mungkin dipakai tanpa perencanaan yang jelas, meski untuk asuransi kekayaan negara,” ucapnya, beberapa waktu lalu.

Untuk itu, Isa bilang, pemerintah akan lebih dulu mendata seluruh BMN. Kemudian, menentukan BMN mana saja yang lebih dulu diasuransikan, sembari mengukur kesiapan aliran APBN untuk asuransi ini. Namun, pemerintah menargetkan setidaknya kebijakan asuransi BMN ini sudah bisa dilakukan pada APBN 2019.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah tak bisa menunggu terlalu lama untuk mengasuransikan BMN, apalagi Indonesia sedang dirundung bencana belakangan ini. “Justru ini bisa bertahap. Kalau menunggu selesai (didata), kapan bisa punya asuransinya?” ucapnya.

Menurut Bhima, pemerintah bisa mulai mengasuransikan BMN yang berada di titik-titik rawan bencana lebih dulu dengan memanfaatkan informasi dari studi dan kajian lembaga terkait. Dengan begitu, ketika ada bencana yang terjadi dalam waktu dekat, aset negara di titik tersebut sudah mendapat jaminan.

Lalu, masalah kecukupan APBN untuk membayar premi, menurutnya juga tidak terlalu terbebani bila dilakukan secara bertahap. Toh, tidak semua aset negara langsung diasuransikan, sehingga kebutuhan premi juga tidak penuh.

Di sisi lain, menurutnya, masalah premi ini seharusnya bisa ditanggung bersama oleh pemerintah pusat melalui APBN dan pemerintah daerah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Jadi ada keterlibatan dari pemda untuk menyisihkan pajak daerah untuk premi asuransi bencana ini,” terangnya.

Namun, akar dari semua masalah ini tentu yang penting adalah pemerintah juga berkomitmen untuk menambah alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana alam di APBN. “Peningkatan dana BNPB dan cadangan di pemerintah perlu dilakukan, mumpung masih dalam pembahasan APBN 2019. Dua pos itu harus jadi prioritas,” katanya.

Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengatakan saat ini rancangan polis asuransi BMN sudah mulai disiapkan dan tengah disosialisasikan kepada seluruh anggota industri asuransi umum mengenai rencana pemerintah ini.

Sayangnya, ia enggan menjelaskan lebih rinci seperti apa ketentuan premi. Namun, pembahasan ini ditargetkan selesai akhir tahun ini. “Juga sedang sinkronisasi dengan kebutuhan DJKN sebagai pengguna asuransi. Selanjutnya, akan disusun proses pembentukan korsorsium yang akan menjadi penanggung,” pungkasnya. (agi)

sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181002160325-532-335053/dilema-negara-bencana-anggaran-tipis-asuransi-tak-punya

 

Skema Dana Cadangan Digunakan untuk Tutup Defisit BPJS Kesehatan

AKARTA, – Kementerian Keuangan ( Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Aturan ini diterbitkan sebagai panduan dalam rangka menutup defisit operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Dikutip dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Keuangan di jdih. kemenkeu.go.id, Jumat (14/9/2018), tertera aturan tersebut dikeluarkan per tanggal 10 September 2018 dan telah ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Dalam Pasal 3 aturan tersebut, disebutkan untuk memanfaatkan alokasi dana Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN), Menteri Keuangan dapat minta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) me-review alias meninjau Pengelolaan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.

Setelah itu, Menkeu menyampaikan pemberitahuan alokasi dana JKN kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.

Dana cadangan yang dimaksud bersumber dari APBN atau APBN Perubahan yang dialokasikan untuk kesinambungan program JKN dan untuk mengatasi defisit arus kas DJS Kesehatan.

Kemudian dalam Pasal 9 disebutkan, untuk mencairkan dana JKN, Direktur Utama BPJS Kesehatan harus mengajukan surat tagihan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Surat tagihan yang dimaksud harus dilampiri dokumen terkait, di antaranya kuitansi tagihan penyaluran dana JKN, daftar penggunaan dana JKN, dan surat pernyataan tanggung jawab mutlak.

Adapun berdasarkan Pasal 18, tertera bahwa direksi BPJS Kesehatan bertanggung jawab secara formal dan material terhadap kebenaran perhitungan rincian anggaran biaya dan kerangka acuan kerja berikut data pendukung lainnya. Juga dalam hal penggunaan dana JKN, kegiatan dari penggunaan dana tersebut, serta pembukuannya.

Semua penggunaan dana JKN itu nantinya dilaporkan kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, dan pejabat terkait lainnya.

Berdasarkan Rencana Kinerja dan Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan Tahun 2018, pendapatan ditargetkan mencapai Rp 79,77 triliun dan pembiayaan sebesar Rp 87,80 triliun yang artinya defisit diperkirakan sekitar Rp 8,03 triliun.

sumber: https://ekonomi.kompas.com/
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

 

Vaksin MR Banyak Ditolak, Menkes: Masyarakat Jangan Egois, Pikirkan orang di Sekitar Kita

JAKARTA – Menteri Kesehatan Nila F Moeloek meminta publik tidak egois dalam mengambil keputusan terkait vaksin measles rubella (MR).

Ia menegaskan bahwa penyakit campak dan rubella tersebut sangat menular, terutama ibu hamil, sehingga akan sangat merugikan orang di sekitar.

“Tidak darurat untuk dirinya, tapi pada orang lain. Misalnya saya dapat rubella, kemudian mendekati ibu lagi hamil muda. Saya kan enggak apa-apa, tapi ibu itu yang akan terkena,” terang Nila saat diskusi Forum Merdeka Barat, di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2018).

“Jadi tolong dong, darurat kan bukan buat diri kita, tapi buat sekitar kita ini,” ucapnya.

Banyak masyarakat enggan untuk melakukan vaksin ini karena tidak halal.

Namun, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan vaksin tersebut dengan alasan kedaruratan.

Akan tetapi, masih ada sebagian dari publik yang tetap enggan melakukan vaksin tersebut karena merasa hal itu bukan sesuatu yang darurat bagi mereka.

Keengganan melakukan vaksin menyebabkan rendahnya capaian program vaksin MR ini.

Hingga 17 September 2018, capaian imunisasi MR di luar Pulau Jawa hanya 49,07 persen, padahal, targetnya 83,98 persen di waktu yang sama.

 

Artikel ini telah tayang di tribunbatam.id dengan judul Vaksin MR Banyak Ditolak, Menkes: Masyarakat Jangan Egois, Pikirkan orang di Sekitar Kita, http://batam.tribunnews.com/2018/09/18/vaksin-mr-banyak-ditolak-menkes-masyarakat-jangan-egois-pikirkan-orang-di-sekitar-kita.

Menurut Nila, jika capaian imunisasi tinggi, akan tercipta kekebalan kelompok.

Jadi, meski orang itu belum diimunisasi, kerentanannya terjangkit virus akan semakin rendah karena sekelilingnya sudah kebal terhadap virus tersebut.

Nila mengatakan, ia tidak ingin kejadian maraknya wabah campak seperti yang terjadi di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, kembali terulang.

Data per Januari 2018, ditemukan 646 anak yang terjangkit wabah campak tersebut.

Penyebab dari mewabahnya campak pada kasus di Asmat adalah karena capaian program imunisasi yang rendah.

Oleh sebab itu, Nila berharap publik dapat benar-benar memikirkan keikutsertaannya dalam program imunisasi tersebut.

“Tolong ingat pada waktu kejadian Asmat. Campak begitu banyaknya karena cakupan imunisasinya rendah, daerahnya sulit dan berapa ratus orang yang meninggal di situ. Jadi, saya kira itu, kita nggak boleh egois sendiri,” tuturnya.

sumber : http://batam.tribunnews.com/