Bali Tempat Pertemuan Menteri Asia Timur Bahas Sanitasi

Jakarta – Indonesia menjadi tuan rumah seminar internasional bidang kesehatan. Kali ini adalah konferensi 3rd East Asia Ministerial Conference on Sanitation and Hygiene (EASAN-3) yang akan digelar di Bali, mulai 10-12 September 2012 besok.

Pertemuan EASAN-3 mengagendakan komitmen dan usaha mencapai target MDG, memperkuat kerjasama diantara negara-negara Asia Timur dan regional lainnya, menggali sumber pendanaan untuk pembangunan sanitasi dan memperkuat upaya mengarahkan negara Asia Timur mencapai target MDG’s.

“EASAN-3 merupakan pertemuan dua tahunan Menteri di bidang sanitasi dan higiene negara Asia Timur,” tutur Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes, Wilfried H Purba di Kementerian Kesehatan, belum lama ini.

Rencananya, acara ini dihadiri para menteri kesehatan dari negara-negara Asia Timur seperti Kamboja, Mongolia, Myanmar, Malaysia, Thailand, dan Timor Leste. Konferensi dua tahun sekali ini digelar untuk kali pertama di Beppu, Jepang dan Manila.

“Deklarasi Manila menekankan kerjasama negara-negara regional Asia Timur dalam pencapaian target MDG bidang sanitasi. Untuk deklarasi Bali nanti akan lebih membahas action plan yang lebih detail dalam usaha pencapaian MDG tahun 2015 dan upaya sesudahnya,” tuturnya. (tribunnews.com)

Jakarta Berpeluang Jadi Pusat Medical Tourism

Sayangnya, rumah sakit yang ada di Indonesia belum mampu memenuhi standar kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat modern.

Jakarta berpeluang menjadi pusat medical tourism dengan rumah sakit berteknologi tinggi dan pelayanan yang berkualitas. Demikian dikatakan Rizal Sini, Komisaris Utama PT Bundamedik.

“Kesadaran masyarakat khusus nya yang tinggal di kota-kota besar Indonesia terhadap kesehatan begitu tinggi sehingga menuntut tersedianya fasilitas kesehatan dan kedokteran berkualitas yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Ini peluang besar bagi rumah sakit di Jakarta, sekaligus menjadikan kota ini sebagai pusat medical tourism,” kata Rizal Sini di Jakarta, Rabu (5/9).

Dia menjelaskan, kesadaran kesehatan di masyarakat modern saat ini sudah tak sekadar tindakan pasif semata yaitu mengobati bila sudah terkena suatu penyakit ter tentu saja, namun telah berevolusi menjadi sebuah tindakan aktif dalam bentuk preventif.

“Mereka melakukan pemeriksaan-pemeriksaan rutin demi memantau riwayat kesehatan hingga terdeteksi lebih dini penyakit yang mungkin ada,” lanjut Rizal.

Sayangnya, lanjut Rizal, sepertinya rumah sakit yang ada di Indonesia terutama di Jakarta belum mampu memenuhi standar kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat modern.

Akibatnya, sesal Rizal, mereka memilih berobat ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan China, yang dianggap memiliki fasilitas kesehatan dan kedokteran terlengkap dengan didukung dokter-dokter berpe- ngalaman.

Indonesia, kata Rizal, telah kehilangan triliunan rupiah per tahun atas biaya medis yang dikeluarkan masyarakatnya di luar negeri. Menurut WHO, tahun 2010 angka ini berkisar sekitar Rp 7 triliun per tahun.

Fenomena ini mendasari Bundamedik Healthcare System segera meresmikan RSU Bunda Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat, pada 12 September mendatang.

Peresmian rumah sakit yang menerapkan Robotic Surgery yang pertama di Indonesia ini akan dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi.

Pada kesempatan ini juga sekaligus diresmikan kawasan Menteng Healthcare Boulevard Sentra diagnostik yaitu Bunda Philips International Radiodiagnostic Center yang akan dibuka oleh HE Ambassador Belanda.

“Sudah selayaknya kota Jakarta menjadi ikon baru dalam pelayanan perumahsakitan yang berkualitas dan menjadi sebagai pusat medical tourism seperti layaknya negara-negara tetangga, terutama untuk pasar domestik/nasional,”ujar Rizal. (Beritasatu.com)

11 Menteri Kesehatan se ASEAN Lahirkan Deklarasi Yogyakarta

Sleman – Tiga puluh delegasi Menteri Kesehatan dari 11 negara di Asia Tenggara gelar pertemuan di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta pada hari Selasa (04/9/2012). Mereka berkumpul untuk membahas komitmen peningkatan kesehatan bagi manula terutama di negara – negara berkembang di wilayah Asia Tenggara.

Melalui pertemuan bertajuk 30th Health Ministers Meeting of Countries of The WHI South East Asian Region tersebut, Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi memastikan bahwa langkah tersebut dinilai sangat penting, mengingat populasi manula di kawasan ASEAN kini sudah mencapai jumlah yang tak sedikit yakni hingga lebih dari 142 juta orang. Adapun di Indonesia sendiri, jumlah manula sudah mencapai 19 juta lebih atau 8,2 % dari seluruh penduduk Indonesia.

“Di tahun 2025 nanti, akan menjadi 13,2 %, dan pada tahun 2050 mendatang akan meningkat lagi hingga seperempat penduduk Indonesia,” ungkapnya.

Kondisi tersebut, menurut Nafsiah karena angka harapan hidup sudah semakin panjang seiring dengan keberhasilan program kesehatan. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan akan memicu terjadinya ledakan jumlah manula sebagaimana yang akan terjadi beberapa puluh tahun mendatang. Oleh karena itu, dalam pertemuan yang juga dihadiri Wapres Boediono tersebut, mereka membahas isu tentang penuaan dan kesehatan (aging and health) serta pada masalah jaminan kesehatan yang terangkum dalam program kebijakan yang disebut Yogyakarta Declaration on Ageing and Health (Deklarasi Yogyakarta-Red).

“Sekarang memang belum semua tercover jaminan kesehatan, namun pada tahun 2019 mendatang kami targetkan semua penduduk Indonesia sudah memeroleh jaminan kesehatan,” paparnya.

Adapun hingga kini, baru sekitar 63 % penduduk Indonesia yang sudah memeroleh jaminan kesehatan, sedangkan sisanya masih belum terjangkau. Pihaknya akan mulai melaksanakan penuntasan masalah jaminan kesehatan mulai 1 Januari 2014 mendatang dengan target selesai pada tahun 2019 dimana seluruh penduduk Indonesia sudah memeroleh jamina kesehatan baik itu melalui Askes, Jamkesmas maupun Jamkesda.

Namun begitu, capaian tersebut memeroleh apresiasi dari Direktur WHO Kawasan Asia Tenggara Samlee Plianbanchang. Menurutnya, jaminan kesehatan tersebut sudah cukup baik, terlebih pihaknya tak menemukan lagi kasus polio di Indonesia. Terakhir, kasus polio ditemukan di India tepatnya sekitar bulan Januari 2011 silam. Paling tidak, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada polio hingga tahun 2014 untuk memeroleh label bebas polio.

“Saya memuji Indonesia, jaminan kesehatan masyarakat meningkat dan sudah mencakup 60 persen dari sekitar 240 juta penduduk,” katanya.

Hal lain yang juga mereka bahas yakni terkait implementasi regulasi kesehatan internasional tahun 2005 (International Health Regulation). Terkait hal itu, Nafsiah menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menerapkannya pada tahun 2014 mendatang. Serta akan menindaklanjuti Jaipur Declaration on Antimicrobial Resistance dengan cara melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan penggunaan obat rasional, terutama antibiotik termasuk di rumah sakit.

“Kerjasama global harus didasari tanggung jawab bersama sesuai dengan kapabilitas masing-masing negara. Juga harus memberdayakan negara miskin dan berkembang untuk mengatasi tantangan kesehatan global,” jelas Wapres Boediono saat mengomentari penyelenggaraan pertemuan tersebut. (Tribunnews.com)

Idealnya Jaminan Kesehatan Bisa Dipakai di Negara Tetangga

Jakarta – Program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk Jaminan Kesehatan secara nasional mulai 1 Januari 2014 mendatang dirasa belum bisa berpihak di masyarakat di wilayah perbatasan.

Pasalnya, banyak penduduk yang tinggal di wilayah itu lebih suka berobat ke negara tetangga karena kedekatan jarak layanan kesehatan dibandingkan dengan layanan di tanah air.

“Idealnya Jaminan Kesehatan Nasional tidak hanya berlaku di seluruh Indonesia tapi juga dengan RS wilayah tetangga. Tujuannya mengakomodasi masyarakat yang berada di wilayah perbatasan,” tutur Hasbullah Thabrany

dari Center for Health Economics and Policy

School of Public Health, Universitas Indonesia di Jakarta, Senin (3/9/2012).

Jika jaminan bisa berlaku di rumah sakit di negara tetangga, masyarakat akan bisa terbantu karena mendapatkan layanan yang sama saat berada di wilayah RI.

Terkait dengan penduduk yang berpindah atau sedang bepergian terserang penyakit, ia menilai tidak ada masalah. Satu-satunya BPJS Kesehatan hanya satu, sehingga mudah penagihannya.

Pemerintah secara resmi akan menjalankan program SJSN mulai 1 Januari 2014 mendatang. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menganut sistem asuransi sosial di mana perserta wajib beriuran kecuali orang miskin dan tidak mampu iurannya ditangggung pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 4 UU No 40/2004 tentang SJSN. Tahap pertama yang dibayarkan pemerintah adalah program jaminan kesehatan. (tribunnews.com)

“Masalah Kesehatan Harus Jadi Prioritas Utama”

Jakarta – Masalah kesehatan seharusnya masih menjadi perhatian penting di Indonesia, mengingat masih banyaknya birokrasi yang menjadi kendala sehingga fasilitas kesehatan belum memadai.

Hal itu diungkapkan Dwi Rianta Soerbakti, MBA Pendiri dan Ketua yayasan Dwi Rianta Soerbakti Foundation dalam rangkaian acara pengobatan gratis dan penyediaan obat- obatan bagi 400 warga masyarakat di Lapangan serba guna Peninggaran, Bendi Besar, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Rianta menjelaskan, pengobatan gratis dan pengadaan obat memang sudah seharusnya menjadi prioritas utama yayasan untuk memfasilitasi pengobatab gratis yang memang menjadi program dari pemerintah daerah.

“Untuk kegiatan pengobatan yang bersifat terus menerus ini pihaknya telah menyiapkan obat-obatan untuk 500 orang, lebih banyak dari target yang ditetapkan sebagai langkah antisipasi,” jelas Rianta.

Tak hanya itu, pihknya juga akan memberikan pelayanan pengobatanlanjutan bagi warga yang membutuhjab hingga tuntas.

Menurut Rianta yang juga anggota DPRD DKI Jakarta, bersama yayasan Obor Berkat Indonesia dan Dwi Rianta Soerbakti Foundation juga menyediakan pengobatan gratis yang meliputi pemeriksaan kesehatan secara umum dan pemeriksaan gigi.

“Dalam aksinya kali ini yayasan kami telah menyiapkan tim tenaga medis terlatih sebanyak 10 orang dokter umum, 10 orang dokter gigi serta 6 orang apoteker,” ungkap Rianta.

Pengobatan gratis ini, sambung Rianta diperuntukan bagi seluruh lapisan masyarakat dan selalu mendapat respon yang positif. ” Ini bukti yang menunjukkan adanya apresiasi dari warga terhadap kegiatan sosial yayasan kami,” urai Rianta. (Gayahidup.inilah.com)

Kematian akibat Flu Burung Masih Tinggi

Jakarta – Kasus flu burung yang berujung pada kematian masih tinggi. Bahkan, kematian akibat flu burung di Indonesia tertinggi di dunia.

Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sepanjang 2012 ada delapan kasus flu burung yang berakhir dengan kematian. Jumlah itu paling tinggi dibandingkan dengan negara lain, seperti Banglades, Kamboja, China, Mesir, dan Vietnam. Sejak muncul kasus flu burung di Indonesia tahun 2005, total ada 159 kematian dari 191 kasus.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, Rabu (29/8), mengatakan, tingginya kematian terkait faktor virus (H5N1) dan manusia. “Sejauh ini virus tidak berbeda dengan virus sebelumnya,” kata Tjandra. Kementerian Kesehatan masih menganalisis kemungkinan perbedaan keganasan virus, tetapi belum ada konfirmasi.

Tjandra menegaskan, belum terjadi penularan flu burung dari manusia ke manusia. Penularan masih dari kontak penderita dengan hewan sumber walau tidak selalu terdeteksi.

Penyebab kematian akibat keterlambatan mendapat pertolongan. Obat antiflu burung oseltamivir efektif jika diberikan dalam waktu 48 jam sejak gejala awal. “Flu burung sulit dibedakan dengan flu biasa pada awalnya,” ujarnya. Tenaga kesehatan yang mendapatkan pelatihan tentang flu burung harus waspada dengan kemungkinan infeksi flu burung.

Ahli biomolekuler dari Avian Influenza-zoonosis Research Center-Universitas Airlangga, CA Nidom, mengatakan, flu burung dapat menjadi bom waktu di Indonesia. Sumber penularan, yakni unggas yang terinfeksi, masih ada dan hidup bersama dengan pembawa virus flu musiman. “Virus-virus itu dapat bermutasi atau saling bertukar gen. Terbuka juga kemungkinan penularan H5N1 antarmanusia,” ujarnya.

Dia beranggapan, titik pandang dalam menghadapi flu burung di antara berbagai pemangku kepentingan harus sama, yakni menyelamatkan manusia. “Berbagai instansi, seperti Kementerian Pertanian, harus bergerak dengan fokus sama,” kata Nidom. (health.kompas.com)

Penyakit Tak Menular, Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia

Meliputi stroke, hipertensi, diabetes, kanker dan penyakit paru obstruktif kronis.

Salah satu masalah kesehatan yang mendesak di Indonesia adalah meningkatnya jumlah kasus penyakit tidak menular (PTM) yang merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia.

Demikian yang dikemukakan oleh Tjandra Yoga Aditama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), di Jakarta, Selasa (28/8).

Kemenkes mencatat, kematian akibat PTM meningkat dari 41,7% pada tahun 1995, menjadi 49,9% pada tahun 2001, dan 59,5% pada tahun 2007.

Penyebab kematian tertinggi dari seluruh penyebab kematian adalah stroke (15,4%), disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. “Kematian akibat PTM terjadi di perkotaan dan perdesaan,” jelas Tjandra.

Selain itu, Indonesia juga masih harus berjuang mengatasi wabah flu burung.

Perlu diketahui, hingga pertengahan Agustus 2012, sudah ada 191 kasus positif flu burung di Indonesia dengan 159 kematian.

Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi di dunia dengan korban meninggal akibat flu burung mencapai lebih dari 300 orang. Sungguh memrihatinkan! (beritasatu.com)

WHO Akan Gelar Pertemuan Menkes Se-Asia Tenggara

Ada banyak isu kesehatan yang akan dibahas pada 4-7 September mendatang, terutama pengendalian penyakit, baik menular maupun tidak menular.

Yogyakarta akan menjadi tuan rumah pertemuan para menteri kesehatan dari 11 negara yang berada di regional Asia Tenggara.

Pertemuan para menteri kesehatan dan pakar kesehatan yang digelar World Health Organization (WHO) tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 4-7 September.

Dalam pertemuan akbar itu akan membahas isu-isu kesehatan paling penting yang menjadi perhatian utama di wilayah Asia Tenggara.

Pertemuan bertajuk The 30th Meeting of Health Ministers of the Region ini akan menjadi forum untuk bertukar pengalaman sebuah negara menyangkut strategi politik, sosial, dan dimensi ekonomi dari sektor kesehatan.

“Akan ada banyak isu yang dibahas dalam pertemuan tersebut, terutama pengendalian penyakit baik menular maupun tidak menular,” ujar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, Selasa (28/08).

Ia menambahkan, suara Indonesia cukup berpengaruh dan didengar oleh negara lain dalam kawasan SEARO (Southeast Asian Region).

” Suara Indonesia punya pengaruh karena di dalam SEARO kita termasuk negara yang populasinya banyak,” ujar Tjandra.

Negara lain yang termasuk anggota SEARO adalah Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand dan Timor-Leste.

Beberapa isu utama yang akan menjadi bahasan dalam pertemuan tersebut adalah eradikasi polio, persiapan menghadapi pandemik influenza, intensifikasi imunisasi rutin, penerapan implementasi kesehatan reginal dan penguatan kebijakan untuk mengatasi penyakit tidak menular.

Indonesia sendiri masih mengalami banyak masalah kesehatan. Cakupan imunisasi dasar di Indoensia baru mencapai sekitar 83 persen.

Sebelumnya Tjandra mengatakan sulitnya mencapai cakupan imunisasi dasar 100 persen sebagian dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau sehingga distribusi layanan kesehatan menjadi sulit.

Selain itu saat ini juga bermunculan berbagai kampanye negatif anti imunisasi dengan berbagai alasan.

 
Untuk menambah cakupan imunisasi dasar, pada tahun 2011 saja, 11,5 juta anak di Indonesia telah diimunisasi campak melalui program imunisasi tambahan non-rutin.

Kemenkes juga menargetkan program imunisasi di Indonesia khususnya lima imunisasi dasar seperti polio, campak, hepatitis B, tetanus dan BCG diharapkan mencapai 100 % pada 2014. (beritasatu.com)

Menekan Korupsi, Australia Bantu Indonesia Rp.5,37 Triliun

Jakarta – Australia menggelontorkan dana segar 578 juta dolar Australia (Rp5,37 triliun) untuk menekan korupsi dan membantu Indonesia memperkuat reformasi serta pelayanan sektor publik melalui beberapa kegiatan.

“Dukungan dana Rp5,37 triliun diberikan selama satu tahun, antara lain mendukung pendaftaran calon pegawai negeri baru yang transparan dan kompetitif, serta produksi iklan layanan masyarakat yang informatif,” ucap Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, Senin di Jakarta, usai mengikuti pembukaan pameran, konferensi dan pertemuan pemangku kepentingan reformasi pelayanan publik oleh Menpan dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar.

Menurut Moriarty, dukungan dana itu disalurkan melalui AusAID agar Indonesia bisa lebih tajam memerangi korupsi dan melakukan tata kelola pemerintahan lebih baik. “Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan unsur penting dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan di sektor infrastruktur, kesehatan, pembangunan pedesaan, tata kelola perekonomian, hukum dan pemilihan umum.

Menpan dan RB, Azwar Abubakar mengakui, Indonesia memerlukan waktu agar bisa menyelesaikan reformasi birokrasi sesuai target.

Wamenpan dan RB, Prof Dr Eko Prasodjo (tengah bersama Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty (paling kiri) menggelar jumpa pers terkait pembukaan pameran, konferensi dan pertemuan pemangku kepentingan reformasi pelayanan publik di Jakarta, Senin. (aby)

“Kami sangat berharap dapat belajar dari peserta konferensi dan meyakini bahwa mereka akan sangat membantu kami mempercepat proses reformasi birokrasi serta melenyapkan korupsi,” katanya.

Wamenpan dan RB, Eko Prasodjo menambahkan, pihaknya meminta semua instansi pemerintah dari pusat sampai daerah untuk membuat unit layanan pengaduan. Hal ini sebagai cara untuk meminimalisir korupsi.

“Pelayanan masyarakat yang bersih dari korupsi harus didukung oleh pengawasan dari masyarakat. Tiap pengaduan harus direspon oleh instansi terkait dalam waktu dekat,” katanya.

Dia menegaskan pelayanan birokrasi yang bersih dari korupsi harus didukung oleh pengawasan dari masyarakat. “Indikator kesuksesan reformasi birokrasi salah satunya dari indeks kepuasan masyarakat yang harus meningkat,” ujarnya.

Eko menegaskan dalam jangka pendek pihaknya akan memfokuskan pembuatan unit pengaduan masyarakat pada instansi yang berhubungan dengan hajat masyarakat langsung seperti pajak, bea cukai, pertanahan. “Sehingga masyarakat bisa cepat merasakan perubahan kualitas pelayanan itu,” katanya.

Dia menegaskan apabila instansi pemerintah tidak mengindahkan aturan tersebut, pihaknya akan menyiapkan sanksi. Dengan penanggung jawab adalah kepala unit sebagai penanggung jawab akan menjadi obyek hukuman ini. “Penyelenggara pelayanan publik harus menyediakan unit pengaduan jika tidak maka akan terkena sanksi administrasi maupun pidana,” katanya. (poskotanews.com)

Enam Asosiasi Kesehatan Deklarasikan Anti-rokok

Jakarta – Enam asosiasi profesi kesehatan Indonesia mendeklarasikan gerakan antirokok. Mereka juga mendesak pemerintah segera mengkaji kembali upaya pembentukan undang-undang antirokok.

Ada sembilan butir poin yang diusung keenam asosiasi dalam deklarasi di Jakarta. Satu poin utama, meminta pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), tentang kerangka kerja pengendalian terhadap produk-produk tembakau. Kerangka ini sudah diajukan sejak tiga tahun lalu, namun tidak mendapatkan respon memadai dari pemerintah.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hasbullah Thabrany, mengusulkan agar dua persen dari cukai rokok digunakan untuk membiayai penyakit yang ditimbulkan akibat asap rokok dan berkampanye anti rokok.

“Deklarasi ini untuk mengubah pola pikir tokoh agama agar bersikap tegas terhadap bahaya merokok,” ucapnya di Jakarta, Rabu.

Dukungan deklarasi Koalisi Anti Rokok juga datang dari anggota Komisi Kesehatan DPR, Subagyo. Anggota DPR yang tergabung dalam Kaukus Kesehatan ini mengajukan kembali Rancangan Undang Undang Bahaya Negatif Rokok yang sebelumnya pernah ditolak.

WHO melaporkan Indonesia berada di peringkat ketiga dari jumlah perokok di dunia atau 46 persen dari total jumlah perokok di ASEAN. Menurut badan PBB ini, jumlah perokok di Indonesia akan meningkat pada tahun depan.

Hasbullah mengingatkan, 170 juta orang Indonesia yang tidak merokok, terutama perempuan dan anak, terkena dampak asap rokok perokok yang jumlahnya 70 juta orang.

Dia mendesak pemerintah menghentikan intervensi industri rokok dalam kebijakan kesehatan masyarakat, mendesak pemerintah segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control, dan mendesak Presiden segera menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Hal senada diserukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pemimpin negara diminta mewaspadai beragam intervensi industri rokok. Beberapa tahun terakhir, industri rokok lebih agresif dengan masuk ke ranah hukum. “Perusahaan tembakau multinasional tidak malu-malu melakukan rangkaian aksi legal melawan pemerintah yang berperang melawan tembakau,” kata Direktur Jenderal WHO Margaret Chan dalam siaran pers.

RPP tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah rampung di tingkat kementerian dan ditandatangani Pelaksana Tugas Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti. Kini, terbitnya RPP yang tertunda bertahun-tahun itu bergantung pada presiden. “Dalam waktu cepat akan ada kemajuan,” ujar Ali Ghufron Mukti kepada wartawan. (Poskotanews.com)