Sering Beredar Hoaks Dunia Medis, Kemenkes Gandeng LSN dan KPI

Kementerian Kesehatan RI menggandeng Lembaga Sandi Negara (LSN) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengantisipasi maraknya hoaks seputar dunia medis.

Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita Moeloek mengemukakan hoaks tersebut terkait obat-obatan yang bisa menyembuhkan yang membuat sesat informasi di masyarakat.

“Berita bohong banyak di pengobatan, mulai dari obat bisa sembuh dari sakit mata, kanker dan lainya, masyarakat-masyarakat itu sudah percaya begitu saja,” kata Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita F Moeloek di Universitas Indonesia usai menjadi pembicara pada Senin (9/9/2019).

Terkait hal itu, ia pun berharap masyarakat harus lebih jeli dalam menerima informasi. Ketika disinggung ada berapa jumlah hoaks yang tersebar pada bidang pengobatan, Nila mengaku tidak hafal.

“Banyak sekali yang lain. Jumlahnya saya enggak hafal tapi kita sudah kerjasama dengan KPI,” katanya.

Dia juga menambahkan, banyak obat yang dipercayai masyarakat sebagai obat yang ampuh dan belum bisa menyebuhkan. Seperti halnya banyak sekali orang percaya obat ini misalkan bisa menyebuhkan mata dan kanker.

Namun, masyarakat belum mengetahui jenis obat yang dikonsumsi.

“Masyarakat mudah percaya begitu saja. Belum lagi ada hoax yang sempat jadi sorotannya yaitu terkait dengan pengobatan saraf melalui media air. Contohnya, katanya dicemplungkan kaki semua bisa sembuh, sarafnya bagus lagi. Tolonglah masyarakat jangan dibodohi,” ujarnya.

sumber: https://jabar.suara.com/read/2019/09/09/173646/sering-beredar-hoaks-dunia-medis-kemenkes-gandeng-lsn-dan-kpi

 

BPJS Kesehatan Ungkap 5 Penyebab Tekor Sehingga Iuran Harus Naik

Jakarta – Sejak 2014, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit alias tekor. Bahkan 2019 ini defisit diperkirakan akan mencapai Rp Rp 32,84 triliun. Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Dr dr Fachmi Idris mengungkapkan setidaknya ada lima penyebabnya.

Pertama, premi yang ditetapkan pemerintah belum sesuai hitungan aktuaria. Untuk kelas 2 misalnya besarnya iuran saat ini sebesar Rp 51.000 per bulan dari seharusnya Rp 63.000. “Sehingga di kelas ini saja pemerintah harus mensubsidi Rp 12.000 per peserta,” kata Fachmi kepada tim Blak blakan.

Untuk kelas 3, dia melanjutkan, hitungan aktuaria per peserta adalah Rp 53.000 tapi saat ini hanya membayar Rp 25.500 sehingga ada subsidi Rp 27.500.

Kedua, konsep BPJS Kesehatan adalah gotong-royong yakni warga mampu memberikan subsudi kepada yang kurang mampu belum berjalan penuh. Kenyataannya, masih banyak peserta mandiri yang membayar iuran hanya pada saat sakit dan selanjutnya menunggak.

Faktor lain, merujuk temuan BPKP, ada data peserta bermasalah, perusahaan yang memanipulasi gaji karyawan, potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayan rumah sakit lebih tinggi dari seharusnya, dan lainnya.

Fachmi menyebut potensi terjadinya defisit bukan sesuatu yang tiba-tiba. Sebab setiap tahun BPJS Kesehatan bersama dengan Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) setiap kali membuat program kerja sudah memperkirakan akan terjadi defisit. Penyebab utamanya karena nilai iuran yang tidak sesuai.

Untuk memperkecil defisit, ada tiga opsi yang bisa dilakukan, yakni menyesuaikan besaran Iuran, mengatur ulang manfaat yang diberikan, dan suntikan dana tambahan. Untuk suntikan dana pemerintah pada 2015, BPJS Kesehatan telah menerimanya sebesar Rp 5 Triliun, 2016 (Rp 6,8 Triliun), 2017 (Rp 3,6 Triliun), dan 2018 sebesar Rp 10,25 Triliun.

Kali ini, pemerintah juga menggunakan opsi lain dengan menaikkan iuran peserta. DPR menyetujui kenaikan untuk kelas I menjadi Rp 160.000, kelas 2 Rp 110.000, dan khusus kelas 3 naik menjadi Rp 42.000 dengan catatan data bermasalah telah diselesaikan.

Fachmi menargetkan soal data bermasalah peserta BPJS Kesehatan ini bisa diselesaikan pada akhir September ini. “Kami prinsipnya, BPJS apa pun yang diputuskan pemerintah soal besaran iuran, soal kapan itu diberlakukan kami patuh sepenuhnya untuk menjalankan itu,” kata Fachmi.

sumber: https://news.detik.com/berita/d-4698262/bpjs-kesehatan-ungkap-5-penyebab-tekor-sehingga-iuran-harus-naik

 

Dana Kesehatan Naik Signifikan, Sri Mulyani: Alokasinya Perlu Teknologi Digital

JAKARTA – Alokasi anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan masyarakat hingga saat ini terus meningkat. Dalam lima tahun terakhir alokasi budget untuk sektor ini naik secara signifikan.

Melansir laman Facebook resmi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (9/9/2019), pada tahun 2014 alokasi budget untuk kesehatan tercatat hanya sebesar Rp59,7 triliun. Sementara itu, peningkatan yang tajam lebih dari 100% terjadi pada tahun 2019 menjadi Rp123,1 triliun.

Jumlah ini direncakan akan naik lebih tinggi lagi pada tahun 2020 sebesar Rp132 triliun. Mayoritas anggaran ini akan dialokasikan untuk kelompok masyarakat miskin dan masyarakat hampir miskin.

“Jika dibandingkan dengan kenaikan rata-rata sektor lain, kenaikan alokasi dana kesehatan termasuk yang tertinggi,” ujarnya.

Menteri Sri menambahkan bahwa diperlukan teknologi digital dalam membantu Pemerintah untuk mendesain sistem kesehatan nasional yang menyeluruh dan berkelanjutan agar alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran. Seluruh data berupa antara lain identifikasi para peserta (masyarakat), tidak hanya identifikasi nama, tanggal lahir, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, alamat tiap individu, tetapi seharusnya teknologi dapat digunakan untuk mengumpulkan data individu yang menyeluruh termasuk rekam medisnya.

Jika Indonesia mampu mengidentifikasi sekitar 267 juta kondisi rekam medis masyarakat, maka Indonesia juga akan mampu mengidentifikasi kebutuhan, alokasi dana dan kebutuhan premi yang tepat dari tiap individu sesuai risiko dan kebutuhannya.

“Sehingga tujuan utama alokasi anggaran kesehatan agar semua masyarakat Indonesia memperoleh manfaat sistem kesehatan nasional sebagai peserta dapat tercapai,” tulis Menteri Sri dalam laman Facebook-nya.

sumber: https://economy.okezone.com/read/2019/09/09/20/2102593/dana-kesehatan-naik-signifikan-sri-mulyani-alokasinya-perlu-teknologi-digital

 

Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen Mulai 1 Januari 2020

Pemerintah sudah bulat menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan sebesar 100 persen untuk menutup defisit JKN. Menurut Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, kenaikan iuran itu akan dilakukan mulai 1 Januari 2020. Namun, ini berlaku hanya untuk kelas I dan kelas II. “Yang kelas I kelas II mulai 1 Januari 2020 jadi Rp 160.000 dan Rp 110.000 sehingga kami bisa sosialisasi untuk masyarakat,” ujarnya seusai rapat kerja dengan DPR, Jakarta, Senin (3/9/2019).

Sementara itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III masih ditunda setelah Komisi IX dan XI DPR menolak usulan itu. DPR meminta pemerintah melakukan pembersihan data sebab terjadi karut-marut data. Selain itu kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III juga dinilai akan membebani masyarakat bawah. Meski begitu, ucapnya, keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih haru menunggu restu presiden melalui peraturan presiden.

Tahun ini, defisit BPJS Kesehatan diproyeksikan sudah mencapai Rp 32,8 triliun. Angka ini akan terus membengkak bila tidak ada kebijakan pembenahan salah satunya kenaikan iuran. Menurut Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, proyeksi defisit BPJS Kesehatan akan mencapai Rp 77,8 triliun pada 2024. “Kalau kita tidak melakukan upaya-upaya policy mix, artinya meningkatkan iuran kemudian kaitannya dengan bauran kebijakan, akan terjadi defisit ini semakin lebar,” kata dia.

Dalam rapat sebelumnya sepekan yang lalu, Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000. Kemudian peserta JKN kelas II membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000. Sementara peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanan menjadi Rp 42.000 per bulan.

sumber: https://money.kompas.com/read/2019/09/03/083200126/iuran-bpjs-kesehatan-naik-100-persen-mulai-1-januari-2020?page=all

 

BPJS Kesehatan Akui Ada Kecurangan Dalam Program JKN

CNN Indonesia — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengakui ada kecurangan atau fraud yang terjadi dalam pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Keberadaan kecurangan tersebut diketahui dari hasil audit BPKP.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan kecurangan tersebut telah mengakibatkan kesenjangan (gap) antara premi yang dibayar peserta dengan biaya orang per orang per bulan makin melebar.

“Kemarin Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) sempat menyampaikan setelah audit BPKP dilihat ada fraud, dan secara nyata ditemukan underprice terhadap iuran,” katanya di Gedung DPR, Senin (2/9).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memang mengatakan keberadaan peserta BPJS Kesehatan ‘sakit’ yang hanya ikut program saat butuh perawatan memang turut memberi sumbangan ke pelebaran defisit keuangan pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut. Peserta jenis ini biasanya hanya membayar iuran ketika sakit dan membutuhkan jaminan biaya kesehatan.

Namun, begitu sehat, mereka tidak lagi membayar iuran kepesertaan BPJS Kesehatan. Bendahara negara mengungkap hal ini ia uangkap berdasarkan hasil temuan dan audit yang telah dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Ada peserta yang bukan penerima upah, hanya mendaftar pada saat sakit. Tingkat kepesertaan mereka rendah, tapi menggunakan manfaatnya tinggi,” ujar Sri Mulyani.

Bahkan, menurutnya, ada kalangan peserta yang sebenarnya sudah jelas-jelas tidak aktif lagi, namun begitu menggunakan kartu BPJS Kesehatan, rupanya masih bisa mendapatkan klaim. Walhasil, ada biaya layanan kesehatan yang ditanggung perusahaan, padahal peserta sudah tidak aktif.

Untuk mengatasi masalah fraud tersebut, Fachmi mengatakan pihaknya menerapkan beberapa kebijakan. Salah satunya, merekam sidik jari peserta untuk peserta yang mendaftar. “Ini untuk mengeliminasi fraud,” katanya.

Selain kebijakan tersebut, pihaknya juga melakukan audit berkala. Sedangkan untuk meningkatkan kepatuhan peserta, khususnya dari golongan pekerja bukan penerima upah, pihaknya akan menerapkan kewajiban setor iuran secara autodebet.

sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190902133806-78-426809/bpjs-kesehatan-akui-ada-kecurangan-dalam-program-jkn

 

Program Jaminan Kesehatan Nasional Perlu Dievaluasi

Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN yang telah berlangsung selama 5 tahun dinilai perlu dievaluasi, bahkan program tersebut dinilai perlu didesain ulang.

Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dalam rapat kerja gabungan Komisi XI dan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama beberapa kementerian yang membahas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Senin (2/9/2019) di Gedung DPR, Jakarta.

Mardiasmo menilai evaluasi perlu dilakukan seiring terus meningkatnya defisit yang BPJS Kesehatan selaku pelaksana program JKN. Selain itu, evaluasi pun menurutnya perlu dilakukan setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit terhadap BPJS Kesehatan.

“Pentingnya dilakukan evaluasi setelah pelaksanaan 5 tahun program JKN, perlu dilakukan re-design [program] JKN. Hasil audit BPKP dapat dijadikan referensi,” ujar Mardiasmo, Senin (2/9/2019).

Dia menjelaskan, pendesainan ulang JKN dapat mengacu pada beberapa poin hasil audit BPKP, seperti mengenai besaran iuran, pendataan fasilitas kesehatan, serta potensi kebocoran dana akibat tindak kecurangan (fraud).

Rapat kerja gabungan tersebut berlangsung hari ini yang dihadiri oleh Mardiasmo, Menteri Kesehatan Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Ahmad, dan pihak-pihak lainnya.

Rapat tersebut merupakan kelanjutan dari rapat mengenai BPJS Kesehatan yang berlangsung pada Selasa (27/8/2019) di Gedung DPR. Pada rapat Agustus 2019 lalu, dinyatakan bahwa BPJS Kesehatan memiliki potensi defisit hingga Rp32,84 triliun.

sumber: https://finansial.bisnis.com/read/20190902/215/1143446/program-jaminan-kesehatan-nasional-perlu-dievaluasi

 

China Mau Bantu BPJS Kesehatan Bereskan Masalah Tekor

Perusahaan asuransi asal China, Ping An menawarkan bantuan ke BPJS Kesehatan menghadapi masalah defisit keuangan alias tekor. Informasi itu disampaikan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan usai bertemu Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan, Fahmi Idris.

Bantuan tersebut bukan dalam hal investasi atau semacamnya, melainkan berupa perbaikan sistem di BPJS Kesehatan. Kata Luhut itu sejalan dengan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar BPJS Kesehatan melakukan perbaikan sistem.

“BPJS (Kesehatan) tadi itu kemarin Presiden minta kalau BPJS mungkin perlu lakukan perbaikan sistem mereka. Jadi kemarin itu Ping An tawarkan mungkin mereka bantu evaluasi sistem IT-nya,” kata Luhut di kantornya, Jumat (23/8/2019).

Dalam pertemuan Luhut dan Fahmi Idris disadari ada kelemahan BPJS Kesehatan yang harus diperbaiki.

“Tadi Kepala BPJS juga lihat memang ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, misalnya kalau orang melakukan penunggakan pembayaran itu gimana sih,” sebutnya.

Bisa saja nanti mereka yang menunggak iuran BPJS Kesehatan diberikan punishment atau hukuman, bukan pidana tetapi berupa perdata. Jadi sistem BPJS Kesehatan ini dihubungkan ke penegak hukum dan lembaga pemberi izin.

“Kemudian (dihubungkan ke) polisi, kemudian imigrasi, kemudian mana lagi, sehingga misalnya dia (yang nunggak) mau apply visa dia nggak bisa karena dia nggak bayar. Jadi mesti ada punishment,” jelasnya.

Luhut juga menyindir orang-orang berduit yang kalau sakit masih mengandalkan BPJS Kesehatan. Sebaiknya hanya orang yang benar-benar membutuhkan yang menggunakannya.

“Masa orang kaya, misalnya seperti saya orang yang berpunya masa pakai (BPJS Kesehatan) begituan. Mesti adil dong ya, seperti itu,” tambahnya.

sumber: https://finance.detik.com/moneter/d-4678367/china-mau-bantu-bpjs-kesehatan-bereskan-masalah-tekor

 

Kemenkes: Pelayanan Disabilitas Jadi Penilaian Akreditasi

Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), drg. Farichah Hanum, M.Kes mengatakan, bahwa pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas menjadi poin dalam penilaian akreditasi.

“Prinsipnya, bagaimana fasilitas pelayanan kesehatan harus menghargai hak pasien dan keluarganya. Jadi pasien itu harus mempunyai akses informasi yang baik, pasien harus memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhannya. Terlebih lagi penyandang disabilitas itu memiliki keterbatasan dan tetap perlu mendapatkan pelayanan,” katanya di Hotel Ibis Budget Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/8).

Hanum mengungkapkan, setiap fasilitas kesehatan harus melayani pasien tanpa diskriminasi. Sebab, baik pasien biasa maupun yang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak atas pelayanan kesehatan.

Akses dan mutu kesehatan terhadap pasien disabilitas memang sudah diberikan sesuai haknya secara umum. Meskipun, masih ada tenaga kesehatan yang belum teredukasi dengan baik dan memerlukan koordinasi dengan dinas sosial untuk mengatasi disabilitas ini.

“Kami juga mengidentifikasi kalau ada pasien-pasien yang disabilitas. Mungkin beberapa rumah sakit tidak mempunyai tenaga yang berkaitan dengan disabilitas. Tetapi, kami bekerjasama dengan dinas sosial soal itu, karena hal ini merupakan bagian dari standar akreditasi,” terangnya.

sumber: https://www.gatra.com/detail/news/438841/health/kemenkes-pelayanan-disabilitas-jadi-penilaian-akreditasi-

 

Berbahaya! Sehari Ada 70 Ton Limbah Medis Tak Terolah

Kementerian Kesehatan menyatakan setiap hari ada 70 ton limbah dari 2.820 rumah sakit se-Indonesia yang belum diolah di lokasi pengolahan. Keterbatasan jumlah pengolahan limbah, yakni hanya 10 perusahaan, menjadi faktor utama kondisi itu.

Hal ini dikemukakan di diskusi perdana mahasiswa baru program studi magister ilmu kesehatan masyarakat (IKM) Fakultas Kesehatan UGM, Kamis (15/8), dengan topik ‘Solusi Kebijakan Limbah Medis di Rumah Sakit dan Pelayanan Kesehatan: Apakah Pemerintah Daerah Dapat Berperan’.

Hadir Direktur Kesehatan Lingkungan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Imran Agus Nurali dan Sekertaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma.

“Saat ini total limbah atau timbulan medis dari rumah sakit baik pemerintah maupun swasta mencapai 294 ton per hari. Baru sekitar 220-an ton yang bisa diolah 10 perusahaan limbah berizin dan diangkut armada resmi,” jelas Imran.

Ia melanjutkan, limbah tersebut berada di rumah sakit atau di lokasi pengolahan menunggu proses pembakaran di incinerator bersuhu tinggi.

Menumpuknya limbah ini, menurut Imran, karena sedikitnya perusahaan pengolahan limbah, yakni lima usaha di Jawa dan empat lainnya tersebar di Batam, Kalimantan, dan Sulawesi. Kendala lainnya adalah mahalnya teknologi pembakaran juga susahnya pengurusan izin lintas kementerian.

Ia menjelaskan, untuk mendirikan tempat pengolahan limbah, pengusaha harus mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Demikian juga dengan usaha angkutan limbah medis, pengusaha wajib memenuhi persyaratan Kementerian Perhubungan. Perusahaan angkutan pembuangan limbah medis saat ini tercatat 100 armada yang melintasi rumah sakit seluruh Indonesia,” kata Imran.

Untuk mengurangi limbah medis, Kemenkes mengajak pemerintah daerah menyediakan pengolahan limbah. Pihak rumah sakit juga diminta untuk mendaur ulang limbah yang tidak berbahaya. Upaya lain, meningkatan kapasitas tempat pembakaran limbah.

Sekjen Persi Lia G Partakusuma menerangkan limbah medis seperti sisa jarum suntik, sisa alat dalam layanan kesehatan, dan jaringan tubuh pasien adalah berbahaya dan menyebarkan penyakit.

“Karena itu limbah wajib dikelola dengan baik sampai dinyatakan tidak membawa dampak pada lingkungan dan hasil pembakaran wajib dilaporkan ke rumah sakit bersangkutan,” jelasnya.

Selama ini keterbatasan tempat pengolahan limbah membuat tarif layanan armada pengiriman limbah menjadi mahal. Untuk rumah-rumah sakit di pulau yang tidak memiliki usaha pengolahan limbah, harga pengiriman mencapai Rp100.000-Rp140.000 per kilogram.

“Saat ini baru 87 rumah sakit yang memiliki incinerator sendiri dalam pengelolaan limbahnya. Sisanya mengandalkan 10 pengolahan limbah itu,” katanya.

sumber: https://www.gatra.com/detail/news/437766/health/berbahaya-sehari-ada-70-ton-limbah-medis-tak-terolah

 

 

Sederet Jurus Jokowi Tuntaskan Masalah Defisit BPJS Kesehatan

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyiapkan sejumlah strategi untuk membendung masalah defisit keuangan yang terus mendera Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Selain opsi menaikkan iuran, pemerintah juga mendorong upaya efisiensi melalui bauran kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.

Demikian tertera dalam Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 beserta Nota Keuangan seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (20/8/2019).

Berdasarkan laporan audited Dana Jaminan Sosial (DJS) periode 2014 – 2018, keuangan DJS Kesehatan mengalami defisit yang besaran kewajiban pembayaran klaim layanan kesehatan lebih tinggi dari pada kemampuan BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan penerimaan dari iuran peserta.

Sumber utama defisit program JKN adalah ketidakcukupan iuran untuk membiayai program, selain itu terkait tantangan kolektibilitas iuran dari peserta sektor informal dan pengendalian biaya layanan kesehatan.

Guna mengatasi kondisi tersebut, untuk menjaga kesehatan keuangan DJS Kesehatan, sebagai last resort, pemerintah sejak awal penyelenggaraan program telah melakukan intervensi melalui belanja bantuan program JKN dalam APBN.

Tantangan terbesar yang muncul di setiap tahun dari implementasi program JKN adalah dari aspek finansial, di mana kondisi keuangan DJS Kesehatan selalu mengalami defisit dan pemerintah selaku penanggung jawab program harus melakukan intervensi, baik melalui serangkaian kebijakan maupun memberikan suntikan dalam bentuk belanja.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada periode sekarang dan yang akan datang, pemerintah memiliki tugas memitigasi defisit DJS Kesehatan demi kesinambungan program JKN-Kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Kebijakan untuk mengatasi defisit tersebut antara lain menaikkan iuran JKN sesuai kaidah aktuaria yang berlaku dan mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, serta upaya efisiensi melalui bauran kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan,” tulis dokumen tersebut

Dokumen itu menuliskan, potensi risiko yang kemungkinan besar tetap terjadi dalam penyelenggaraan JKN tahun 2020 adalah pencapaian target kepesertaan menuju Universal Health Coverage (95 persen dari total penduduk), tingkat kolektabilitas iuran segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), pengendalian biaya, dan lainnya.

Untuk memitigasi kondisi keuangan DJS Kesehatan tersebut, pemerintah menerapkan bauran kebijakan baik dari aspek penerimaan maupun biaya.

Dantaranya melalui pemanfaatan pajak rokok, intercept DAU pemda atas utang pemda kepada BPJS, perbaikan manajemen klaim fasilitas kesehatan (mitigasi fraud). Termasuk pula, strategic purchasing, perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik, batasan maksimal dana operasional dan sinergitas badan penyelenggara.

“Bauran kebijakan dimaksud diharapkan dapat berkontribusi mengurangi defisit. Kekurangan biaya layanan kesehatan yang belum cukup tertutupi melalui intervensi pemerintah dapat menjadi risiko DJS Kesehatan pada tahun selanjutnya,” tulis dokumen itu.

Selain tujuh langkah yang disiapkan, pemerintah juga mengkaji mekanisme fasilitas likuiditas perbankan kepada BPJS Kesehatan untuk menutup gagal bayar terjadi pada setiap periode.

Pendekatan ini relatif sama dengan fasilitas supply chain financing rumah sakit oleh perbankan. Hal itu untuk mencegah kejadian gagal bayar klaim oleh BPJS Kesehatan sehingga risiko reputasi pemerintah juga dapat dikelola dengan baik.

Selain itu, tulis dokumen tersebut, upaya lainnya yang sedang dan akan terus dilakukan dalam rangka memitigasi risiko fiskal yang bersumber dari penyelenggaraan program JKN antara lain mengalokasikan dana cadangan defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan di APBN.

Kemudian monitoring dan evaluasi arus kas secara reguler, perbaikan tata kelola program JKN untuk menghindari inefisiensi dan potensi kecurangan (fraud) di fasilitas kesehatan.

Selain itu, mengkaji upaya alternatif lain yang efektif untuk meningkatkan partisipasi segmen kepesertaan PBPU dan upaya lainnya yang dirasa akan membawa dampak perbaikan kondisi keuangan DJS Kesehatan dengan tetap memerhatikan kualitas layanan yang diberikan.

sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20190820080547-4-93180/sederet-jurus-jokowi-tuntaskan-masalah-defisit-bpjs-kesehatan