Dibentuk Pokjanas Eradikasi Polio, Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubella

Kementerian Kesehatan (Kemkes) membentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) eradikasi polio, eliminasi campak dan pengendalian rubella. Upaya itu dilakukan untuk melindungi anak Indonesia dari ancaman ketiga penyakit tersebut.

Demikian dikemukakan Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek usai mengukuhkan Pokjanas Eradikasi Polio, Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubella, di Jakarta, Jumat (27/11).

Menkes menjelaskan, Indonesia sebenarnya telah berhasil mendapatkan sertifikasi bebas polio bersama negara-negara South East Asia Region ( SEARO) pada Maret 2014. Namun, masih ada dua regional di dunia yaitu regional Eastern Mediteranian dan region Afrika yang belum mencapai eradikasi polio.

“Untuk mencapai target itu, Indonesia ikut menandatangani The Polio Eradication and Endgame Strategic Plan. Realisasinya berupa pembentukan pokjanas eradikasi polio seperti dilantik saat ini,” tuturnya.

Selain polio, disebutkan Menkes, pengendalian penyakit lain melalui program imunisasi yang juga menjadi target global adalah eliminasi campak dan rubella (congential rubella syndrome).

“Eliminasi campak dilakukan lewat pendekatan case based measles surveillance/CBMS yang dikonfirmasi melalui hasil laboratorium,” ujarnya.

Terkait dengan hal itu, Menkes Nila memaparkan sejumlah kegiatan eradikasi polio, eliminasi campak dan pengendalian rubella pada 2016. Yaitu, Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio pada 8-15 Maret 2016 sebagai upaya mitigasi guna memberi perlindungan optimal dari polio.

Selain itu, pemerintah juga akan mengganti vaksin trivalent vaksin polio oral menjadi bivalent vaksin polio oral pada 4 April 2016. Dan pelaksanaan introduksi inactived polio vaccine (IPV) ke dalam program rutin pada Juli 2016.

“Penguatan imunisasi rutin ini diharapkan bisa melebihi target 95 persen,” ucap Nila menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Kepala BKKBN: Pendewasaan Usia Perkawinan Harus Disosialisasikan di Kalangan Remaja

Pendewasaan usia perkawinan harus segera disosialisasikan di kalangan remaja, agar mereka dapat mempersiapkan diri secara fisik dan mental saat memasuki kehidupan berkeluarga.

“BKKBN menilai pentingnya pendewasaan usia perkawinan melalui program Generasi Berencana (GenRe), yang bertujuan memberi pengertian dan kesadaran kepada remaja tentang perkawinan,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty di Jakarta, Kamis (26/11) petang.

Pernyataan tersebut disampaikan terkait Pemilihan Duta Mahasiswa GenRe Tingkat Nasional 2015.

Surya Chandra menjelaskan, permasalahan remaja saat ini meliputi pernikahan dini hingga risiko kesehatan reproduksi remaja.

“Risiko kesehatan remaja di­maksud adalah seks bebas, HIV/AIDS hingga narkoba,” katanya.

Karena itu, lanjuut Surya Chandra, pemilihan Duta Mahasiswa GenRe tingkat nasional 2015 dilakukan guna mencari figur teladan serta motivator di kalangan remaja.

Duta mahasiswa diharapkan berbagi pengetahuan kepada remaja lain dalam mewujudkan Generasi Berencana, menghindari seks bebas, HIV/Aids dan narkoba serta melakukan pendewasaan usia perkawinan atau tidak menikah dini.

“Duta Mahasiswa GenRe dituntut untuk selalu berperan aktif dalam menyampaikan pesan-pesan kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga. Karena, salah satu cara efektif untuk sosialisasi program GenRe adalah dengan melibatkan remaja itu sendiri,” tuturnya.

Ditambahkan, Duta Mahasiswa juga bisa menjadi ikon yang akrab dengan dunia remaja. Sasaran dari program GenRe adalah remaja yang berada di lingkungan, sekolah, pesantren, perguruan tinggi/akademi, maupun masyarakat.

“Program ini memberikan pengetahuan kepada remaja terutama tentang pendewasaan usia perkawinan,” kata Surya Chandra seperti dikutip Antara.

Surya Chandra mengemukakan, BKKBN memiliki tanggung jawab untuk menyukseskan pembangunan sumber daya manusia yang berkaitan dengan prioritas kesehatan. “BKKBN membantu remaja/mahasiswa dalam penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja,” katanya.

Dalam melakukan revolusi mental, kata dia, harus diawali dari perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak pada setiap individu pelakunya sehingga terbentuknya nilai positif.

“Ini memang bukan tugas mudah, tetapi hal yang bisa dilakukan jika dilakukan secara terencana dan bersungguh-sungguh,” kata Surya Chandar menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Perkenalkan, Kereta Kesehatan Buatan Yogyakarta

PT Kereta Api Indonesia (Persero) berhasil memodifikasi dua rangkaian Kereta Rel Disel (KRD) untuk dijadikan sebuah kereta khusus untuk pelayanan kesehatan.

Executive VIce President (EVP) Balai Yasa Yogyakarta yang merupakan Unit Pelaksana Teknis PT Kereta Api Indonesia, Eko Purwanto menjelaskan, kereta ini dibuat di Balai Yasa Yogyakarta karena di Pulau Jawa hanya tempat itulah yang menangani spesialis kereta berpenggerak. Kereta yang dinamakan Rail Clinic ini diklaim menjadi yang pertama kali di Indonesia.

“Mungkin ini di Indonesia yang pertama kali, karena ini kereta khusus, dulu pernah ada tapi kereta atau gerbong yang dirangkaikan di kereta api kepresidenan,” kata Eko di Balai Yasa Yogyakarta‎, Rabu (25/11/2015).

Dijelaskannya, Rail Clinic ini hanya dikerjakan dalam waktu satu bulan. Rail Clinic ini sebelumnya KRD yang dioperasikan di wilayah DAOP 2 Bandung. Mengingat kereta tersebut sudah tidak cukup tangguh untuk menjalani rute di wilayah Jawa Barat, maka dilakukanlah modifikasi.

Rail Clinic ini hanya terdiri dari dua kereta dimana kereta pertama disetting sebagai ruang pelayanan, mulai dari pemeriksaaan umum hingga pemeriksaaan gigi dan mata. Sementara kereta kedua, digunakan sebagai kamar-kamar yang bisa digunakan untuk beristirahat layaknya di rumah sakit.

“Ini sebenarnya permintaan dari‎ teman-teman medis di KAI, makanya kita buatkan, nanti pelayanan di Rail Clinic ini juga dari teman-teman medis kami,” paparnya.

KRD yang di cat dominan dengan warna putih bergaris biru dan orange ini‎ nantinya akan dioperasikan sesuai dengan misi yang diprogramkan oleh perusahaan. Dicontohkan Eko, Rail Clinic ini akan singgah di beberapa stasiun terpencil di wilayah Pulau Jawa untuk melayani kesehatan masyarakat sekitar.

“Bahkan kita bisa layani persalinan, jadi yang ingin melahirkan di kereta, silahkan, biar nanti bisa ada ceritanya,” ucap Eko.

Rail Clinic ini membuktikan bahwa KAI terus menciptakan inovasi baik dari segi pelayanan, tekhnologi serta fasilitas-fasilitas dimana tujuan utamanya untuk menciptakan kenyamanan bagi para penikmat kereta api. (Yas/Gdn)

sumber: http://bisnis.liputan6.com/

 

 

Kemenkes Gelar Acara Evaluasi Pelaksanaan JKN dan KIS

Kementerian Kesehatan menggelar acara evaluasi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) tingkat nasional 2015. Acara tersebut berlangsung di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, mulai dari 23-25 November 2015. Adapun acara diikuti 307 peserta yang meliputi petugas Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Puskesmas dari berbagai wilayah regional III antara lain Dinkes Sumatera Utara, Dinkes Aceh, Dinkes Sumatera Barat, Dinkes Riau, Dinkes Kepulauan Riau, dan Dinkes Sumatera Selatan.

Acara bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil pelaksanaan JKN/KIS dari masing-masing daerah dan berbagi pengalaman dalam penyelenggaraan JKN, antara lain pengalaman koordinasi penyelenggaraan JKN dalam rangka integrasi Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di Dinkes Provinsi, kemudian membahas Koordinasi dengan lintas sektor dalam rangka verifikasi dan validasi data kepesertaan JKN di Dinkes Kabupaten /Kota.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Kepulauan Riau, Cecep Rusdiana, M. Kes, pelaksanaan JKN/KlS masih menemui kendala dalam aspek kepesertaan dan pendataan. Masalah tersebut terjadi hampir dua tahun.

“Makanya penting sekali acara evaluasi ini diadakan,” sambungnya.

Ketua Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan, Donald Pardede mewajarkan apabila sampai saat ini masih didapatkan banyak kendala.

“JKN kita ini satu sistem baru yang besar sekali saat ini kalo kita lihat peserta 154 juta, nggak ada di dunia ini yang sistem penjaminan ada pesertanya 154 juta dengan satu Badan nggak ada, cuma di Indonesia. Padahal kita juga masih banyak persoalan dari sisi suplai, penyediaan pasilitas, kemudian dengan sekali besar itu pasti ada kekurangannya,” terang dia.

Walau begitu, lanjut Donald, pihaknya tetap on-track di dalam perjalanan JKN itu.”Semua hal hal yang perlu diperbaiki akan diperbaiki. kita evaluasi bersama dengan daerah,” ucap Donald.

Menurutnya, masalah kepesertaan perlu terus di dorong. Akurasi sasaran di kelompok penerima bantuan iuran juga hars diperhatikan. “Ini kan juga sampai sekarang masih di keluhkan. Ada orang yang seharusnya masuk jadi peserta tapi gak jadi peserta. Itu contoh. Masalah itu yang perlu kita perbaiki ke depan. Sedangkan dari masalah pelayanan yang menjadi persoalan masih belum berjalan sistem rujukan yang baik,” jelasnya.

Solusinya, kata Donald, yakni menguatkan fasilitas tingkat pertama. “Sambil mengatur sistem rujukan yang baik, kalau rujukan baik, rumah sakit tinggi tinggi di atas itu pasti bebanya semakin berkurang kalau dipelayanan dasarnya berjalan baik,” ujar Donald.

Meski permasalahan tetap ada, tapi diakui Donald, JKN ini telah memberikan hal positif bagi masyarakat Indonesia. “Duku petani biasa operasi jantung sanggup nggak? , sekarang dia bisa berobat, dan (atas izin Tuhan) selamat. Sekarang biaya Rp 100 juta, no. Coba banyak itu sekali manfaatnya JKN ini, artinya sudah dapat mengakses resiko rata rata masyarakat. maka kita bicara tentang kurva distribusi normal, sekarang distribusi normal itu ada penyakit penyakit rutin tergarap, ” demikian Donald.

sumber: http://www.rmol.co/

 

KPPU Awasi Industri Farmasi di Indonesia

Makassar – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pengawasan terhadap industri kesehatan khususnya di bidang Farmasi terkait alur perdagangan obat tersebut.

“Terkait tingginya harga obat, secara khusus Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan kepada KPPU untuk memeriksa alur jual beli obat di Indonesia,” kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf dalam pesan elektroniknya di Makassar, Kamis (19/11).

Diketahui, Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah warga negara yang cukup besar yaitu pada 2014 mencapai 252.164.800 jiwa dan diproyeksikan pada 2019 mencapai 268.074.600 jiwa. Berdasarkan potensi pertumbuhan jumlah penduduk ini, juga menjadi peluang bagi pelaku usaha di bidang industri kesehatan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnisnya.

Tercatat pada 2014 Industri farmasi di Indonesia berhasil mencatatkan omzet Rp52 triliun dan pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh 11,8 persen menjadi Rp56 triliun.”Obat-obatan dengan resep dokter berkontribusi 59 persen dan obat bebas atau generik sebesar 41 persen dari keseluruhan pasar,” ujar dia.

Syarkawi mengaku jika dari nilai kapitalisasi industri tersebut perusahaan farmasi nasional menguasai pangsa pasar sebesar 70 persen dan 30 persen sisanya dikuasai oleh perusahaan farmasi asing. Namun demikian perkembangan industri farmasi tersebut di atas ternyata tidak berbanding lurus dengan kemudahan akses masyarakat Indonesia terhadap obat murah dan pelayanan kesehatan yang terjangkau.

“Inilah yang menjadi permasalahannya dan ini yang akan kita awasi. Ini juga perintah langsung dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (Pak JK),” sebut dia.

Kemudian dalam menindaklanjuti hal tersebut KPPU akan menggelar dengan pendapat dengan mengundang Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Kementerian Perindustrian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Juga pihak dari United Nations Development Programme (UNDP), World Health Organization (WHO) dan Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) yang dilaksanakan pada hari Kamis, 19 November 2015 di Kantor KPPU Jakarta.

“Melalui hearing ini, diharapkan KPPU akan mendapatkan masukan dari stakeholder industri kesehatan dan mendapatkan informasi serta data yang diperlukan guna melakukan analisa persaingan usaha terkait industri Farmasi,” terang dia.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha memeriksa alur jual beli obat di Indonesia.”Nanti minta KPPU periksa alur obat macam mana agar itu jangan seperti sekarang ini,” kata JK di Istana Wakil Presiden Kamis lalu (12/11).

Wakil Presiden juga mengatakan, harga obat di Indonesia mahal meskipun biaya konsultasi dokter murah.Kondisi itu, kata JK, terbalik dengan di luar negeri. Mahalnya obat di dalam negeri menjadi salah satu penyebab banyak orang akhirnya memilih berobat ke luar negeri.”Banyak pejabat yang berobat di luar negeri,” ujar dia. Mohar/Ant

sumber: http://www.neraca.co.id/

 

Kemkes Evaluasi Program Internship Dokter Indonesia dan Dokter PTT

23nov15

23nov15Kementerian Kesehatan (Kemkes) akan mengevaluasi program internship dokter Indonesia (PIDI) dan dokter pegawai tidak tetap (PTT). Evaluasi menyangkut anggaran program, teknis pembimbingan dokter internship, dan kelanjutan program dokter PTT.

“Evaluasi itu termasuk kesejahteraan dokter, baik biaya hidup maupun insentifnya,” kata Sekjen Kemkes, Untung Suseno Sutarjo pada temu media di Jakarta, Jumat (20/11).

Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kesehatan, Kemkes, Usman Sumantri.

Dijelaskan, perbedaan PIDI dengan dokter PTT. PIDI adalah program internship (pemahiran) dan pemandirian untuk dokter umum yang baru lulus guna memantapkan mutu profesi dokter. PIDI juga menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan surat tanda registrasi (STR).

“PIDI ini bersifat wajib, karena bagian dari proses pendidikan dokter. PIDI adalah konsekuensi dari kurikulum kedokteran berbasis kompetensi yang diamanatkan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013,” ujarnya.

Di bawah supervisi dokter pendamping yang merupakan dokter setempat, dokter peserta PIDI menjalani program pemahiran selama 12 bulan. Rinciannya 8 bulan di rumah sakit daerah dan 4 bulan di Puskesmas yang ada di dekat rumah sakit.

Sedangkan dokter PTT atau tim Nusantara Sehat adalah dokter yang sudah lulus dan punya STR. Program tersebut bersifat sukarela. Keberadaan dokter PTT berfungsi untuk menutupi kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil.

“Karena itu mereka ditempatkan di Puskesmas terpencil untuk memenuhi kekurangan dokter di wilayah tersebut,” katanya.

Ditambahkan, tahun ini program dokter PTT untuk sementara dihentikan karena peminatnya jauh dari target yang diharapkan. Namun, kebutuhan dokter di daerah terpencil diisi oleh Tim Nusantara Sehat. Yaitu, sekelompok dokter yang terdiri dari 8 orang yang bertugas bersama di satu tempat guna memberi pelayanan di daerah yang membutuhkan.

Ditambahkan, evaluasi PIDI termasuk dari sisi
anggaran. Kemkes berupaya agar bantuan hidup bagi dokter internship mulai tahun depan dinaikkan hingga sebesar Rp 4 juta per bulan. Mereka juga berhak atas jasa medis di rumah sakit.

“Selain mendapat insentif tambahan dari daerah. Sehingga mereka bisa hidup layak,” ujarnya.

Untuk dokter PTT yang di daerah terpencil sudah dinaikkan dari sekitar Rp 2 juta menjadi Rp 2,9 juta. Insentifdiberikan sebesar Rp 8,5 juta. Adapun insentif dokter PTT di daerah sangat terpencil dinaikkan menjadi Rp 11,1 juta per bulan.

Untung mengatakan, hal lain yang akan diperbaiki adalah keberadaan dokter pendamping. Untuk itu, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi akan diajak untuk lebih berperan.

“Fakultas-fakultas kedokteran akan didorong untuk membina para dokter pendamping dalam program internsip sehingga lebih efektif dalam mendampingi peserta PIDI,” tuturnya. (TW)

 

BPJS Kesehatan Cetak 55,53 Juta Kartu Indonesia Sehat

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melaporkan telah mencetak lebih dari 60% atau sekitar 55,53 juta Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari target 86,4 juta kartu.

Seusai pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan program KIS yang diusung Presiden terus digulirkan. Targetnya pada akhir 2015, 86,4 juta KIS sudah selesai didistribusikan ke seluruh Indonesia.

“Menuju Desember harus selesai 86,4 juta kartu dan hari ini kartu yang sudah tercetak 55.534.623 kartu,” ujarnya di Kantor Presiden, Jumat (20/11/2015).

Sejalan dengan perkembangan pencetakan kartu, distribusi KIS juga terus disebarkan kepada masyarakat berpendapatan rendah yang berhak menerima KIS.

Fahmi menambahkan pada 2016, pemerintah telah sepakat untuk menaikkan premi kelompok penerima bantuan iuran (PBI) atau pemegang KIS dari Rp19.225/orang/bulan menjadi Rp23.000/orang/bulan.

Dengan tarif premi PBI Rp23.000, subsidi iuran yang ditanggung pemerintah mencapai lebih dari Rp23,8 triliun pada 2016, naik dari pagu tahun ini yang sebesar Rp19.9 triliun.

“Iuran itu mestinya tahun depan kelas 3 hitungan kami dan DJSN Rp36.000/orang/bulan. Tapi pemerintah tetapkan Rp23.000. Pasti ada mismatch,” tuturnya.

Selisih antara pemasukan dari premi dan klaim, kata Fahmi, berisiko menimbulkan selisih pada kas BPJS Kesehatan. Untuk menutup selisih tersebut, pemerintah berencana menyuntik BPJS Kesehatan dengan penyertaan modal negara (PMN) yang dialokasikan dalam APBN 2016.

“Dengan suntikan dana pemerintah, pemasukan dan pengeluaran jadi seimbang. Tapi kalau dibelah suntikan dana dan iuran, tentu iuran harus ditingkatkan,” pungkasnya.

sumber: http://industri.bisnis.com/

 

 

KKI Dorong Diterbitkannya Peraturan Gratifikasi Dokter

Kongsil Kedokteran Indonesia (KKI) mendorong pihak berwenang untuk membuat peraturan tentang gratifikasi dokter. Hal itu sangat penting sebagai bentuk pengawasan agar tidak ada para pihak yang dirugikan.

“Pemberitaan yang menyebutkan dokter menerima suap dari perusahaan farmasi, dikhawatirkan menimbulkan kesalahfahaman terhadap profesi dokter. Mengingat, aturan tentang gratifikasi dokter hingga kini belum ada,” kata Komisioner KKI, Bambang Suptiyatno dalam penjelasan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (20/11).

Bambang menjelaskan, pihaknya sebenarnya telah menggelar sejumlah rapat dengan organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) terkait dengan gratifikasi dokter. Namun, materinya belum mencapai titik final.

“Pembahasan materinya jeda dulu, karena IDI saat ini lagi bermuktamar. Nanti hasilnya akan kita ajukan ke pihak berwenang sebagai bahan masukan,” tutur dokter spesialis anak tersebut.

Bambang menegaskan, dokter dan dokter gigi sepatutnya tidak terlibat dalam praktik suap dan gratifikasi dengan perusahaan farmasi. Apalagi bila berdampak pada pengambilan keputusan klinisnya (clinical judgement).

“Oknum dokter yang menerima gratifikasi dengan imbal jasa penulisan resep atau penggunaan alat tertentu adalah pelanggaran disiplin profesi. Jika terbukti mereka layak mendapat hukuman,” ujar dokter yang sehari-hari praktik di RS Ciptomangunkusumo.

Namun, Bambang kembali menegaskan, tindakan yang tidak terpuji beberapa oknum dokter tersebut tidak seharusnya mencederai kinerja dokter yang sudah bersungguh-sungguh menjalankan profesinya.

“Pelurusan ini penting agar masyarakat tidak ragu dalam memperoleh layanan kesehatan dari dokter,” ucapnya.

Untuk itu, lanjut Bambang, KKI tengah melakukan sejumlah upaya guna menanggulangi situasi itu secara sistemik. Disebutkan, bila ada pengaduan terhadap oknum dokter tentang praktik peresepan atau kolusi penggunaan obat dan alat, maka KKI melalui Majelis Kehormatan Disiplin kedokteran indonesia (MKDKI) akan diproses untuk membuktikan kebenarannya.

“Jika terbukti KKI akan memberi sanksi pada oknum dokter tersebut,” ujarnya.

Ditambahkan, KKI juga akan mengkaji berbagai hal untuk mencegah terjadinya tindakan yang secara profesi dikategorikan tidak terpuji. Apa saja yang tidak boleh dilakukan dokter, terkait denga sponsorhip dan pengembangan keilmuan dokter.

“Apakah biaya akomodasi yang diterima dokter saat seminar oleh perusahaan farmasi di luar negeri untuk peningkatan keilmuan dokter itu dianggap sebagai gratifikasi atau bukan. Itu harus dijelaskan karena peningkatan ilmu itu penting bagi dokter,” kata Bambang menandaskan. (TW)

 

Dokter Layanan Primer Penting di Indonesia

JAKARTA – Sebagian besar masyarakat bertumpu pada aktivitas pusat kesehatan masyarakat. Dengan demikian penguatan pusat kesehatan masyarakat di tingkat primer harus dilaksanakan secepatnya. Seperti mutu pelayanan, sistem pelayanan dan pebiayaan kesehatan yang harus ditingkatkan.

Tidak hanya sarana dan prasarananya, namun juga peningkatan jumlah dan kualitas tenaga kesehatan di layanan primer. Dokter Layanan Primer (DLP) pun dinilai berperan penting dalam menguatkan layanan kesehatan tingkat primer (FKTP).

“Kita ingin memperkuat sistem layanan kesehatan primer. Layanan kesehatan di Indonesia itu kan berjenjang dari tingkat primer, sekunder, dan tersier,” papar Staf Khusus Menteri Bidang Peningkatan Pelayanan, Prof Dr dr Akmal Taher SpU(K) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Rabu (18/11/2015).

Dijelaskan Prof Akmal, dengan keunikan geografis, serta spesifikasi masyarakat, Indonesia membutuhkan pelayanan kesehatan yang sesuai masalah kesehatan di masa depan.

“Tahun 2015 diprediksi adanya pergeseran penyakit kearah tidak menular, namun tingginya penyakit yang belum tuntas menjadi beban tertinggi saat ini. Saat ini BPJS kesulitan dana Rp5 triliun sampai Desember 2015. Dengan demikian penguatan layanan primer sangat strategis,” jelasnya.

Menurut Prof Akmal, saat sakit, pasien harus datang ke layanan primer, seperti puskesmas atau klinik untuk mendapatkan rujukan. Bukan ke dokter spesialis. Dengan memperkuat layanan primer, dokter di layanan primer juga akan melakukan upaya preventif dan promotif untuk mencegah masyarakat sakit.

“Kalau kuat layanan primernya, pasien nggak perlu dirujuk ke fasyankes sekunder. Yang dicegah supaya nggak sakit juga banyak. Dengan begini, masyarakat untung karena biaya transportasi nggak tinggi, fasyankes primer kan dekat dengan mereka,” ujarnya.

Saat ini, di layanan primer adalah dokter yang lulus dari Fakultas Kedokteran atau sering disebut dokter umum. Ada juga yang bersekolah lagi menjadi dokter spesialis yang menambah pengetahuannya khusus di satu bidang.

“Ini yang disebut dokter spesialis layanan primer. Ditambah kemampuan dia untuk melakukan pencegahan penyakit. Penambahan area kompetensinya yaitu manjemen fasyankes primer, pengelolaaan kesehatan yang berorientai pada komunitas dan masyarakat, dan kepemimpinan. Ini pun akan sangat membantu masyarakat,” tandasnya.

source: http://lifestyle.sindonews.com

 

Memotret Kondisi Kesehatan Indonesia

IT is health that is real wealth and not pieces of gold and silver. (Mahatma Gandhi)

Sehat merupakan hak asasi setiap warga negara yang diatur dalam konstitusi Indonesia. Tidak hanya sebagai hak, “sehat” menjadi kewajiban negara karena sejatinya komponen tersebut merupakan investasi penting bagi suatu bangsa.

Rakyat yang sehat bukan hanya sehat fisik, melainkan juga sehat secara mental, sehat dalam pergaulan sosial, dan tak lepas dari pembinaan aspek spiritual.

Kini rakyat Indonesia mengalami empat transisi masalah kesehatan yang memberikan dampak “double burden” alias beban ganda. Keempat transisi tersebut adalah transisi demografi, epidemiologi, gizi, dan transisi perilaku.

Transisi demografi ditandai dengan usia harapan hidup yang meningkat, berakibat penduduk usia lanjut bertambah dan menjadi tantangan tersendiri bagi sektor kesehatan karena meningkatnya kasus-kasus geriatri. Sementara itu, masalah kesehatan klasik dari populasi penduduk yang bayi, balita, remaja, dan ibu hamil tetap saja belum berkurang.

Transisi epidemiologi datang dengan dua kelompok kasus penyakit, yaitu penyakit menular dan penyakit tidak menular. Penyakit menular seperti tuberkulosis, malaria, demam berdarah, diare, cacingan, hepatitis virus, dan HIV tetap eksis dari tahun ke tahun.

Di sisi lain, penyakit tidak menular yang berlangsung kronis seperti penyakit jantung, hipertensi, kencing manis, gagal ginjal, stroke dan kanker, kasusnya makin banyak dan menyerap dana kesehatan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Transisi ketiga terjadi pada sektor gizi. Di satu sisi kita berhadapan dengan kasus penduduk gizi lebih (kegemukan/ obesitas), sementara kasus gizi kurang masih tetap terjadi.

Transisi keempat adalah pada pola perilaku (gaya hidup). Perilaku hidup “modern”, atau lebih tepatnya “sedentary” mulai menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat. Gaya hidup serba instan, termasuk dalam memilih bahan pangan, dan kurang peduli aspek kesehatan, sementara sebagian yang lain masih percaya mitos-mitos yang diwariskan berkaitan dengan sakit-sehatnya seseorang.

Dari keempat transisi tersebut, yang paling berat membebani kita saat ini adalah peningkatan prevalensi penyakit tidak menular. Dulu, penyakit jantung, pembuluh darah, gagal ginjal, stroke, hipertensi, kencing manis, kanker, dan lainlain penyakit kronis akrab dengan populasi penduduk kaya. Kini, penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah juga sudah banyak yang mengalami sakit serupa.

***

Jika dirunut di mana masalahnya, akan kita temukan bahwa penyelamatan dan pengelolaan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang dimulai dari pembuahan hingga anak berusia dua tahun, memiliki peran yang sangat besar. Setelah fase HPK tersebut, akar penyebab ikutan yang makin memberatkan kita adalah “sedentary life style” pola hidup yang tidak sehat akibat penerapan diet yang keliru dan rendahnya aktivitas fisik.

Langkah pencegahan dan penanggulangan masalah ini bisa kita mulai sesegera mungkin. Adapun langkah-langkahnya adalah selamatkan 1.000 Hari Pertama Kehidupan dan penerapan diet sehat serta aktivitas fisik yang teratur. Karena itu, perlu ada gerakan bersama untuk dua hal ini, gerakan masyarakat sadar gizi dan gerakan masyarakat sadar olahraga.

Guru besar administrasi kesehatan dari Universitas Berkeley Henrik L Blum menyatakan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi status kesehatan manusia/rakyat, yaitu lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan genetik/keturunan.

Secara sederhana, Hodgetts dan Cascio membagi dua pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan. Pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh ahli kesehatan masyarakat, dengan perhatian utama pada upaya memelihara kesehatan rakyat dan mencegah penyakit.

Sasaran utama layanan kesehatan masyarakat adalah kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dan selalu berupaya mencari cara yang efisien.

Pelayanan kesehatan berikutnya adalah layanan kesehatan perorangan yang tenaga pelaksana utamanya adalah dokter, dengan perhatian utama pada penyembuhan dan pemulihan penyakit. Sasaran utama adalah perorangan dan keluarga. Jenis layanan ini menurut Hodgetts dan Cascio kurang memperhatikan aspek efisiensi.

Untuk Indonesia, pelayanan kedokteran (kesehatan perorangan) masuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dari segi kuantitas, dokter umum per 17 November 2015 (Data KKI) sebanyak 108.028 dokter umum yang memiliki STR saat ini mestinya cukup untuk melayani 152.721.329 peserta JKN.

Faktor distribusi dokter yang kurang baik kemudian menjadi catatan tersendiri sehingga sebagian peserta JKN terutama di daerah pedalaman, kepulauan, dan perbatasan, menjadi sulit mendapatkan akses ke dokter.

Terjadi penumpukan dokter di kota dan daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi karena pendapatan dokter sekitar 80% dari praktik pribadi. Sekalipun memang dalam era JKN pendapatan dari praktik pribadi pelan-pelan berkurang/menghilang. Aspek ini tidak bisa tidak harus diperhitungkan bila ingin menata persebaran dokter.

Jumlah dan kondisi puskesmas saat ini ada 9.799. Persebarannya tidak seimbang dengan jumlah dokter umum dan pertambahan dokter sekitar 5.000 orang per tahun profesional dokter per tahun. Akibatnya, BPJS sebagai pelaksana JKN belum dapat mengandalkan seluruh puskesmas tersebut sebagai ujung tombak pelayanan.

***

Saat ini, setelah hampir dua tahun JKN berjalan, dokter umum yang ditempatkan pada garda terdepan pelayanan kesehatan masih dibayar lebih rendah dari kepantasan dan beban kerja, serta tidak mempunyai kepastian pendapatan.

Model pembayaran kapitasi yang besarannya kurang layak menjadikan dokter (terutama yang bukan PNS) berada dalam kekhawatiran beban finansial yang cukup mengganggu. Hal ini secara tidak langsung berpotensi menyebabkan berkurangnya kualitas pelayanan yang dapat merugikan pasien.

Tahun 2015 ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kembali bermuktamar dan menawarkan konsep pelayanan kesehatan terstruktur yang merata dan berkeadilan untuk mengurai sebagian dari masalah kesehatan dalam era JKN sekarang ini. Disebutkan bahwa pelayanan kesehatan baik kesehatan masyarakat maupun kesehatan per orangan (kedokteran) hanyalah memiliki kontribusi 15% dalam meningkatkan derajat kesehatan penduduk.

Memang boleh dikatakan sangat kecil, namun bila tanggung jawab ini dilaksanakan dengan sebaikbaiknya tentu memiliki makna yang sangat berarti. Bagian yang lebih besar lagi merupakan tanggung jawab sektor di luar pelayanan kesehatan dan pelayanan kedokteran.

Karena itu ke depan Indonesia perlu merumuskan sistem kesehatan nasional (SKN) yang mengintegrasikan sektor-sektor lain di luar kesehatan, yang diyakini mempunyai pengaruh besar dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia.

Bahkan karena sistem kesehatan mengatur dan mengintegrasikan sektor di luar sektor kesehatan, SKN perlu diatur dalam melalui undang-undang. Sebagai padanannya adalah mengatur sistem pembiayaan diatur melalui UU SJSN dan UU BPJS. Salam Sehat Indonesia!

source: http://nasional.sindonews.com/