Anggaran Kesehatan Naik 5 Persen, Perlu Sinergikan Program UKM dan JKN

22sept

22septPemerintah mulai tahun depan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5 persen, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 itu terlihat kenaikan anggaran kesehatan hingga Rp 106 triliun.

Kenaikan anggaran kesehatan itu bisa menjadi momentum pemerintah untuk mensinergikan progran Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sehingga anggaran program kuratif dan rehabilitatif bida ditekan seefektif mungkin.

Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “Penguatan Sinergi UKM dan JKN untuk mencapai Indonesia Sehat” yang digelar Indo Healthcare Forum dan Ikkesindo, di Jakarta, Selasa (22/9).

Sekjen Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Untung Suseno Sutarjo mengatakan, kenaikan anggaran kesehatan itu akan digunakan untuk mengintensifkan program promotif dan preventif, guna membangun kesadaran tentang gaya hidup sehat.

“Tidak mudah merancang program intervensi kesehatan masyarakat yang segera menekan angka kesakitan, baik akibat penyakit menular maupun tidak menular. Karena hampir semua program promotif dan preventif memerlukan waktu yang tidak sebentar,” tuturnya.

Ketua Komite Indo Healthcare Forum, Rufi I Susanto mengatakan tema tersebut diusung guna mengupas pengaruh JKN terhadap program UKM khususnya di Puskesmas sebagai penyedia layanan kesehatan primer.

“Karena Puskesmas memiliki berbagai keterbatasan, namun memiliki tanggung jawab yang besar di era JKN. Sehingga ketimpangan dalam besaran insentif dan biaya operasional bisa ditekan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (Ikkesindo) Supriyantoro menambahkan, beban biaya program JKN akan semakin tinggi dan menggerus anggaran BPJS apabila tidak diimbangi upaya kesehatan masyarakat.

“Khususnya upaya promotif dan preventif di Puskesmas yang efektif,” kata seraya menambahkan kenaikan anggaran kesehatan pada 2016 adalah momentum terbaik untuk penguatan sinergi UKM dan JKN. (TW)

 

Kabut Asap “Racuni” Lebih dari 31 Ribu Orang

Bncana kabut asap yang terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan sejak 1 Maret 2015 hingga saat ini telah membuat 6,3 juta penduduk di 12 kabupaten/kota terpapar asap. Dari jumlah itu, sebanyak 31.518 jiwa mengalami dampak penurunan kesehatan.

Disebutkan, dari 31.518 jiwa yang mengalami penurunan kesehatan ada sebanyak 25.834 orang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), 2.246 orang terkena iritasi kulit, 1.656 mengalami iritasi mata dan 538 orang menderita pneumonia.

“Sejak 14 September, status Siaga Darurat untuk bencana asap sudah meningkat menjadi tanggap darurat,” kata Menkes Nila FA Moeloek, di Jakarta, Jumat (18/9), usai melepas tim kesehatan yang akan diberangkatkan ke provinsi Riau.

Kemkes, lanjut Nila, sudah memberikan 260 ribu lembar masker secara gratis ke seluruh wilayah bencana asap di Sumatera dan Kalimantan. Obat-obatan juga sudah dikirim sesuai permintaan dinas kesehatan provinsi masing-masing.

“Mereka yang dikirim adalah tim dokter spesialis penyakit paru, penyakit anak, penyakit dalam, tim penyehatan lingkungan, tim promosi kesehatan, tim ppkk dan logistik kesehatan berupa paket gizi, makanan tambahan ASI sebanyak 3 ton, paket obat dasar 0,5 ton serta tenda pos kesehatan,” ujar Nila.

Menkes berharap masyarakat bersedia dengan segera memeriksakan diri ke dokter, bila merasakan kabut asap yang dihirup sudah terlalu banyak.

Ditanya soal rencana evakuasi bagi ibu hamil, Nila Moeloek mengemukakan, pemerintah belum memiliki rencana untuk mengevakuasi ibu hamil di Sumatera dan Kalimantan, sebagai dampak atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah tersebut.

Kalaupun ada ibu hamil yang akan dievakuasi, lanjut Menkes, hal itu hanya bersifat kasuistik. “Dinas kesehatan nanti yang melakukan evakuasi terhadap ibu hamil, jika diperlukan,” ucap Menkes menandaskan. (TW)

{jcomments on}

BPJS Kesehatan Gandeng Pos Indonesia Permudah Bayar Iuran

16sept

16septBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menggandeng PT Pos Indonesia untuk memudahkan pembayaran iuran bagi peserta yang tinggal di desa. Mengingat kantor pos menjangkau hingga tingkat kelurahan.

“Diharapkan tidak ada tunggakan iuran, karena peserta sudah bisa bayar di kantor pos,” kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatanganan naskah kerja sama dengan PT Pos Indonesia yang dilakukan Pelaksana Tugas Dirut, Poernomo, di Jakarta, Rabu (16/9).

Fachmi mengungkapkan, upaya itu dilakukan karena tunggakan iuran bagi peserta BPJS Kesehatan kelompok mandiri terbilang cukup besar. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp 600 miliar.

Hal itu terjadi, menurut Fachmi, karena ketidaktahuan masyarakat seputar progran JKN. Mereka tidak tahu, bahwa iuran BPJS Kesehatan harus dibayar secara rutin setiap bulan, meski peserta sudah tidak sakit lagi.

“Informasi semacam ini akan terus kita sosialisasikan ke masyarakat. PT Pos membuat brosur yang isinya seputar program JKN, yang diharapkan membuka wawasan masyarakat. Sehingga tak ada lagi warga yang “lupa” membayar iuran,” tuturnya.

Ditanya soal biaya tambahan untuk pembayaran iuran diluar loket BPJS Kesehatan, Fachmi menyebut biaya sekitar Rp 5-7 ribu. Biaya itu jauh lebih rendah dibanding biaya transportasi ke kantor BPJS Kesehatan.

“Adanya biaya tambahan ini tak terhindarkan, karena kami menggunakan jasa ketiga. Jika tidak mau terkena biaya, warga bisa membayar langsung loket BPJS Kesehatan,” ucapnya.

Soal biaya penagihan tunggakan peserta oleh PT Pos, Fachmi mengatakan, hal itu menjadi tanggungan BPJS Kesehatan. “Peserta tidak dipungut biaya lagi. Kecuali saat bayar iuran melalui pihak ketiga,” tuturnya.

Fachmi menambahkan, pihaknya juga akan bekerja sama dengan jaringan mini market yang kini tumbuh subur di desa-desa. Sehingga peserta memiliki banyak akses untuk pembayaran iuran.

“Selain lewat bank mitra BPJS Kesehatan seperti dilakukan selama ini, peserta bisa membayar di loket Pos dan jaringan mini market yang berkembang hingga ke desa-desa,” kata Fachmi menegaskan. (TW)

{jcomments on}

Pengembangan Obat, Kemenkes Kembangkan Konsorsium Riset

15sept

15septKementerian Kesehatan (Kemkes) menggagas pembentukan konsorsium riset untuk pengembangan obat di Tanah Air. Karena kolaborasi antara peneliti, pengguna industri, pemegang program dan pelaku pelayanan kesehatan sangatlah penting.

“Kolaborasi ini bisa dilakukan, dengan mulai menetapkan agenda riset dan menyusun protokol penelitian,” kata Nila Moeloek saat pembukaan Simposium Internasional ke-2 Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, di Jakarta, Selasa (15/9).

Menkes menambahkan, informasi terkini seputar penelitian dan pembangunan kesehatan, utamanya terkait dengan pengobatan (vaksin, obat-obatan dan peralatan medis) menjadi sangat krusial. Karena semua itu menjadi dasar pengambilan keputusan berbasis bukti.

“Badan kesehatan dunia WHO juga meminta kita untuk mengendalikan sejumlah penyakit seperti tuberkulosis, malaria dan HIV dalam Millenium Development Goal Post 2015,”tutur Menkes yang pada kesempatan itu didampingi Kabalitbangkes, Tjandra Yoga Aditama.

Dari Indonesia sendiri, lanjut Menkes, hasil penelitian mengindikasikan ada 23 penyakit yang perlu mendapat perhatian, karena berpotensi menjadi wabah. Selain penyakit yang mendapat sorotan dari WHO.

“Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan produk guna deteksi (diagnosis), pencegahan (vaksin), penyembuhan (obat) dan alat kesehatan untuk mengatasi penyakit tersebut,” ujar Nila.

Ia mencontohkan pengembangan bahan baku obat malaria artemisin dari tanaman artemisia annua yang didahului dengan penelitian riset tanaman obat dan jamu. Untuk sekitar 2 juta kasus malaria di Indonesia, dibutuhkan sebanyak 900 kg yang dibuat dari sekitar 450 ton simplisia kering.

“Untuk mendapatkan 450 ton simplisia kering dibutuhkan 100 hektar lahan untuk tanam artemisia annua. Ini bukan kerja ringan. Jika kita ingin serius mengembangkan industri tanaman obat,” ucap Nila.

Disebutkan, saat ini Indonesia masih menggunakan bahan obat artemisin import untuk pengendalian malaria.

“Kami akan melakukan terobosan untuk mewujudkan kemandirian dalam penyediaan artemisinin,” kata Menkes menegaskan. (TW)

15sept

Fraud Rongrong Mutu Layanan Kesehatan

Kesehatan Indonesia digemparkan lagi dengan usul naiknya premi untuk penerima bantuan iuran (PBI), dari sebelumnya Rp 19.250 menjadi Rp 23 ribu. Direktur Keuangan dan Investasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Riduan, mengatakan kenaikan premi diharapkan dapat menutupi defisit anggaran BPJS pada 2014, yang mencapai Rp 6 triliun. Defisit anggaran terjadi akibat banyaknya orang yang berobat di rumah sakit.

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkembang amat pesat sejak diluncurkan awal tahun lalu. Saat ini, peserta program itu sudah mencapai 150 juta jiwa dari sekitar 256 juta penduduk Indonesia. Diharapkan pada 2019, seluruh penduduk Indonesia akan tercakup oleh skema ini.

JKN merupakan ikhtiar pemerintah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Melalui program ini, pemerintah berniat memberi kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia agar hidup sehat, produktif, dan sejahtera. JKN sejauh ini berhasil meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pada dimensi aksesibilitas, meski menghadapi persoalan pada dimensi efektif dan efisien.

Belajar dari pengalaman di berbagai negara, memenuhi standar mutu dimensi efektif dan efisien memang merupakan bagian tersulit dari asuransi universal. Soalnya, tingkat efektivitas dan efisiensi sangat erat berkaitan dengan pembiayaan dan standardisasi prosedur layanan kesehatan, dua aspek dalam pelayanan kesehatan ini yang paling sering dimanipulasi oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang terlibat dalam sistem pelayanan, dari petugas administrasi hingga dokter. Demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, mereka mengabaikan mutu dan memberikan layanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis yang baik.

Ulah tak bertanggung jawab yang dikenal luas sebagai fraud ini di Indonesia bisa terjadi dalam bentuk pemberian obat-obatan atas indikasi yang tidak jelas manfaatnya, pemeriksaan laboratorium, diagnosis atas indikasi yang tidak tepat, hingga pembengkakan biaya pengobatan akibat diagnosis palsu.

Akibatnya, selain tidak dilayani sesuai dengan standar mutu yang ada, pasien sering menderita kerugian fisik. Misalnya, karena ingin mendapat pembayaran lebih, rumah sakit atau kalangan profesional di bidang kesehatan memberikan prosedur pelayanan yang tidak diperlukan atau melakukan tindakan medis terpisah yang sebenarnya bisa dilakukan secara bersamaan. Ada banyak contoh ketika fraud dalam pelayanan masyarakat berakibat buruk bagi pasien. Di Chicago, ada dokter spesialis yang melakukan 750 katerisasi jantung yang tidak diperlukan.

Dalam program JKN, biaya dan standar pelayanan dikendalikan melalui sistem pembayaran kapitasi dan INA CBG’s. Kapitasi diberlakukan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, sedangkan INA CBG’s untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjut. INA CBG’s memudahkan pengguna layanan kesehatan karena mereka hanya membayar sesuai dengan kode diagnosis penyakit, bukan layanan yang diberikan. Adapun pembayaran sistem kapitasi dibayar dimuka oleh BPJS kepada puskesmas per bulan tanpa menghitung jenis dan jumlah pelayanan yang diberikan. Jadi setiap masyarakat yang telah menjadi peserta BPJS kesehatan mempunyai hak berobat ke puskesmas dan rumah sakit tanpa harus membayar.

Masalahnya, kedua sistem ini belum sempurna benar. Di sana-sini masih ada celah yang bisa dipakai untuk berbuat curang (fraud) dalam pembiayaan dan prosedur layanan, dari Dinas Kesehatan yang memotong besaran kapitasi puskesmas sampai dokter yang melayani pasien tanpa mengikuti indikasi medis. Jika kita asumsikan potensi fraud sekitar 5 persen, tahun lalu saja ada uang sekitar Rp 1,8 triliun dari prediksi premi BPJS pada 2014 (sekitar Rp 38,5 triliun) yang masuk kantong oknum tak bertanggung jawab.

Amerika Serikat, yang setiap tahun tercatat 3-10 persen anggaran kesehatannya hilang digerogoti fraud, menggunakan pendekatan retrospektif untuk mengatasi ulah kriminal ini. Pendekatan retrospektif merupakan metode deteksi dini percobaan fraud. Caranya adalah menelusuri electronic health record (EHR) atau rekam medis pasien. Dengan cara ini, mereka berhasil mencegah hingga 80 persen upaya penipuan dan penyalahgunaan skema jaminan.

Di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kesehatan Universitas Gadjah Mada juga melakukan pendekatan retrospektif untuk mendeteksi fraud. PKMK melakukan audit klinis menggunakan rekam medis. Rekam medis yang diaudit adalah penyakit dan tindakan yang high cost, high volume, ataupun problem prone yang terjadi di rumah sakit.

Hasil self assessment pada tujuh rumah sakit pemerintah di pulau Jawa menunjukkan memang ada potensi fraud dalam layanan kesehatan di Indonesia. Modus yang potensi penggunaannya hingga 100 persen adalah upcoding, yakni diagnosis atau prosedur pelayanan yang diklaim dibuat lebih kompleks dan lebih mahal daripada yang sebenarnya, sehingga nilai klaim menjadi lebih tinggi ketimbang yang seharusnya. Laporan self assessment ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengembangkan sistem anti-fraud yang lebih baik.

Baru-baru ini, telah keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2015 tentang pencegahan kecurangan alias fraud dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Peraturan ini telah memuat unsur pelaku fraud dan jenis-jenis potensi fraud yang terjadi pada layanan kesehatan primer serta kesehatan rujukan. Namun masih diperlukan peraturan yang dapat memberi efek jera bagi pelaku fraud, misalnya dengan mencabut izin profesi.

Setelah aturan yang komprehensif dan sanksi tegas diterapkan, pada sisi pelaksana, para petugas BPJS dan penyelenggara fasiltas layanan kesehatan seharusnya memahami secara baik modus-modus fraud dan cara pencegahannya. Dengan demikian, mereka secara aktif bisa mencegah upaya manipulasi jaminan kesehatan.

Di luar itu, pemerintah perlu mengembangkan dan terus mengkampanyekan budaya anti fraud. Kemudian, demi mendukung upaya-upaya penindakan, sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat saluran untuk melaporkan fraud, memanfaatkan electronic medical record rumah sakit untuk mendeteksi fraud yang terjadi pada fasilitas layanan kesehatan, serta menjalin kemitraan dengan penegak hukum untuk menindak pelaku fraud. *

Eva Tirtabayu Hasri, periset Fakultas Kedokteran-Universitas Gadjah Mada

sumber: http://www.tempo.co/

 

ASI Eksklusif Mampu Cegah Bayi Terjangkit Hepatitis C

Direktur Bina Kesehatan Anak, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Jane Soepardi mengajak para ibu untuk memberi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Karena ASI memiliki banyak keunggulan dibandingkan susu formula. Salah satunya, mencegah bayi terkena hepatitis C.

“Hepatitis C ini tergolong unik, karena hingga kini belum ada obat maupun vaksinnya. Tapi dalam ASI ada zat yang bisa membunuh virus hepatitis C. Jika tak diobati, hepatitis C bisa menimbulkan sirosis atau kanker hati,” kata dr Jane Soepardi dalam peringatan Pekan ASI Sedunia (PAS) 2015, di Jakarta, Senin (14/9).

ASI, ditegaskan Jane, sebenarnya adalah hak anak, yang dijamin dalam Undang-Undang. Orangtua yang tidak memberi ASI, bisa dikatakan melanggar hak anak. Di negara yang maju, pelanggaran itu ada sanksinya, baik berupa pidana maupun perdata.

“Namun sayangnya, Indonesia belum menerapkan sanksi kepada ibu yang tidak memberi ASI kepada anaknya. Jika ada, ak baayak ibu yang diperkarakan. Karena cakupan ASI di Indonesia masih sangat kecil,” ucapnya.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 disebutkan, angka cakupan ASI di Indonesia hanya 42 persen. Angka itu jelas di bawah target badan kesehatan dunia WHO yang mengharuskan cakupan ASI minimal 50 persen.

“Padahal, ASI memastikan kecukupan nutrisi pada anak untuk tumbuh kembang, sekaligus memperkuat sistem imun tubuhnya,” ucap Jane yang didampingi Direktur Bina Kesehatan Kerja, Kemenkes Muchataruddin Mansyur dan Direktur Bina Gizi Kemenkes, Doddy Izwardi.

Rendahnya cakupan ASI di Indonesia, menurut Jane Soepardi, akibat minimnya pengetahuan ibu seputar ASI. Dampaknya, ibu kurang berusaha maksimal. Ibu lebih memilih susu formula yang lebih praktis, ketimbang repot memerah atau menyusui anaknya.

Manfaat ASI, lanjut Jane, sebetulnya tak hanya semata meningkatkan IQ dan daya tahan tubuh. Pemberian ASI menentukan ikatan antar anak dengan orangtua dan keluarga seutuhnya. Ibu yang rutin menyusui, perlahan akan memahami sifat dan karakter anak.

“Ibu bahkan mengetahui arti tangisan, porsi minum, hingga kapan anak bisa diajak bermain,” ujarnya.

Hal itu, menurut Jane, tentu berperan dalam pertumbuhan anak menjadi remaja. Anak yang dekat dengan keluarga, relatif sanggup meminimalisasi paparan buruk lingkungan sekitar. “Sehingga anak bisa tumbuh dewasa dengan sifat dan karakter positif,” ucap Jane.

Pada kesempatan itu juga diumumkan para pemenang lomba balita sehat tingkat nasional.(TW)

{jcomments on}

Menkes Ajak Masyarakat Dukung Revolusi Mental

14sept

14septMenteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek mengingatkan kembali masyarakat untuk mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental yang digulirkan pemerintah. Karena perubahan itu menjadi penting guna mencapai Indonesia yang lebih di masa depan.

“Ada tiga nilai dalam revolusi mental yang harus dilaksanakan agar terjadi perubahan nyata,”kata Nila FA Moeloek dalam upacara bendera bertajuk “Gerakan Nasional Revolusi Mental” di Jakarta, Senin (14/9).

Nila menyebutkan tiga nilai dari revolusi mental untuk Indonesia. Pertama, terkait integritas yang didalamnya mencakup kejujuran, kepercayaan, karakter, sikap bertanggung jawab.

Nilai kedua terkait etos kerja yakni bagaimana bangsa Indonesia bisa memiliki daya saing, optimis, inovatif dan produktif. Dan nilai ketiga adalah gotong royong yakni saling kerja sama, solidaritas, komunal, serta berorientasi pada kemaslahatan.

Nila menegaskan, faham seputar Revolusi Mental ini akan terus didengungkan dalam setiap kegiatan upacara yang diselenggarakan Kemenkes. ut. Karena revolusi mental itu harus mulai ditanamkan saat bayi dilahirkan hingga lanjut usia (lansia).

Ditanyakan bentuk intervensi yang bisa dilakukan terkait revolusi mental, Nila mencontohkan pada ibu yang baru melahirkan. Mereka harus tahu bahwa bayi harus diberi air susu ibu (ASI). Karena ASI adalah hak anak. Selain pemberian makanan bergizi sebagai pendamping ASI.

“Dalam merawat para ibu tidak boleh lagi sembarangan. Bayi harus diberi ASI Eksklusif selama 6 bulan dan setelah itu diberi makanan pendamping ASI yang bergizi. Agar tercipta generasi berkualitas,” ucap Nila.

Nila juga menyinggung soal revolusi mental yang ingin diwujudkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada pemuda di Indonesia. Bagaimana mewujudkan pemuda yang maju, berkarakter, berdaya saing untuk kemajuan bangsa.

“Pemuda yang maju adalah pemuda yang memiliki berbagai keahlian, sehingga mampu menghadapi persaingan global. Apalagi tahun depan, Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” kata Nila menegaskan. (TW)

{jcomments on}

Kementerian Agama terus pantau kesehatan jemaah korban “crane” ambruk

Kementerian Agama Kabupaten Jombang, Jawa Timur, masih terus memantau kesehatan Sainten Said Tarub, calon haji asal daerah ini yang menjadi korban ambruknya crane di kompleks Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

“Dari laporan ketua kloter 15, Bu Sainten luka ringan dan masih dirawat di RSAS,” kata Kepala Seksi Haji dan Umrah Kemenag Kabupaten Jombang, Nur Habib Adnan, di Jombang, Sabtu.

Ia juga mengatakan terus berkomunikasi dengan ketua kloter, guna memastikan kesehatan Sainten serta jamaah asal Jombang lain yang berangkat menunaikan ibadah haji pada 2015.

Jumlah calon haji asal Jombang yang berangkat menunaikan ibadah haji pada musim haji tahun 2015 sebanyak 1.045 jamaah. Mereka terbagi dalam tiga kelompok terbang (kloter), yakni kolter 14, 15, dan 16 yang berangkat pada 27 Agustus lalu.

Sementara itu Koordinator Jaringan Islam AntiDiskriminasi (JIAD) Jawa Timur Aan Anshori mengatakan berita ambruknya crane di kompleks Masjidil Haram mengagetkan banyak pihak.

Ia mengatakan peristiwa tersebut semakin memilukan, karena banyak jamaah yang menjadi korban, termasuk jamaah asal Indonesia. Lebih dari 30 jamaah asal Indonesia dilarikan ke rumah sakit terdekat karena terluka akibat reruntuhan tersebut.

Musibah itu terjadi, yang diduga karena badai pasir berat di Timur Tengah dalam beberapa hari terakhir.

Aan mengatakan, pemerintah Indonesia harus memanggil duta besar Arab Saudi untuk Indonesia, untuk menjelaskan standar keamanan kerja dalam pembangunan.

“Misalnya, kenapa area renovasi, dimana crane berada masih bisa diakses oleh jamaah haji tanpa perlengkapan pengaman khusus?. Bukankah hal tersebut sangat berisiko bagi jamaah haji?,” katanya.

Pemerintah Indonesia pun, lanjut dia, punya kewajiban penuh untuk melindungi warganya agar bisa menunaikam ibadah dengan tenang tanpa was-was.

Pemerintah harus mendesak Arab Saudi agar memperbaiki sistem pengamanan konstruksi, terutama di lokasi yang ada jamaah hajinya.

“Pemerintah Arab Saudi juga perlu melakukan audit investigatif bersama negara-negara asal jamaah haji yang menjadi korban untuk menemukan penanggung jawab terjadinya peristiwa tersebut,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan serius untuk melakukan moratorium haji untuk musim haji tahun depan, jika tidak ada respons serius terkait dengan insiden tersebut.

sumber: http://www.antaranews.com/

 

Dokter Layanan Primer Diajari Kesehatan Jiwa

11sept

11septDokter yang bertugas di layanan primer akan diberi pelatihan tentang kesehatan jiwa. Hal itu merujuk pada badan kesehatan dunia WHO yang menyebutkan trend bunuh diri meningkat setiap tahun di banyak negara.

Bahkan catatan WHO tahun 2015 menunjukkan, ada sekitar 800 ribu orang di dunia yang mati karena bunuh diri. Padahal, kasus bunuh diri bisa dicegah.

“Bunuh diri menjadi penyebab kematian nomor dua pada penduduk usia 15-29 tahun,” kata Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Eka Viora, Sp KJ kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/9) terkait peringatan Hari pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang jatuh pada 10 September.

Di Indonesia, lanjut Eka Viora, trend bunuh diri itu juga terjadi. Diperkirakan jumlahnya sekitar 1,6-1,8 persen per 100 ribu penduduk. Jika tidak ada upaya pencegahan bersama, bukan tak mungkin kasus bunuh diri, mencapai angka 2,4 per 100.000 penduduk pada tahun 2020.

“Padahal bunuh diri bisa dicegah. Semua anggota masyarakat dapat melakukan tindakan, yang akan menyelamatkan kehidupan seseorang,” ucap Eko Viora yang pada kesempatan itu didampingi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, dr Albert Maramis SpKJ dan perwakilan WHO untuk Indonesia, dr Priska Primastuti.

Untuk itu, lanjut Eka Viora, pemerintah telah memberi pelatihan ke sejumlah dokter di layanan tingkat pertama atau Puskesmas agar bisa mengenali gejala depresi pada pasiennya. Sehingga bisa dilakukan upaya pencegahan dini.

“Mulai tahun ini, sedang dibahas kurikulum pendidikan kedokteran yang memasukkan kesehatan jiwa menjadi bagian dari 144 penyakit yang bisa ditangani di Puskesmas,” katanya.

Sehingga dokter lulusan masa depan, lanjut Eka Viora sudah bisa langsung “tune in” dalam masalah kesehatan jiwa dasar. Pemerintah tak perlu memberi pelatihan lagi, karena butuh biaya besar.

“Memberdayakan layanan primer untuk mengindetifikasi, menilai, mengelola dan merujuk orang yang berisiko tinggi bunuh diri, merupakan langkah yang tidak bisa ditunda-tumda lagi,” tutur Eka Viora.

Dijelaskan, bunuh diri merupakan masalah kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal, karena merupakan interaksi yang kompleks daru faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya, dan lingkungan.

Untuk itu, lanjut Eka Viora, penting untuk mendeteksi secara dini percobaan bunuh diri pada individu, seperti kesedihan, kecemasan, perubahan suasana perasaan, keresahan, cepat marah, perilaku menyakiti diri sendiri seperti tidak mau makan, melukai diri sendiri atau mengisolasi diri.

Hal senada dikemukan dr Priska Primastuti, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2003 telah menganggap serius isu bunuh diri, hingga menggandengInternational Association of Suicide Prevention (IASP) untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap tanggal 10 September. (TW)

{jcomments on}

RS Swasta Minta Akses E-Catalog Obat Fornas Dipermudah

10sept

10septRumah sakit swasta yang bergabung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berharap pemerintah membuat terobosan dalam penyediaan obat formularium nasional (Fornas). Mengingat RS swasta tak punya akses membeli obat Fornas lewat e-catalog.

“Membeli obat di e-catalog kan harganya jauh lebih murah. Jika akses itu dipermudah, bukan mustahil makin banyak rumah sakit swasta bergabung dalam program JKN,” kata Dirut RS Hermina Daan Mogot, Jakarta, dr Ichsan Hanafi MARS di Jakarta, Kamis (10/9).

Hadir dalam kesempatan itu, Kepala Departemen Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Irfan Humaidi dan Kepala Puskesmas Sudiang, Makassar, dr Muhammad Sofyan.

Ichsan menyayangkan pembelian obat Fornas melalui e-catalog hanya untuk rumah sakit milik pemerintah. Padahal, ketersediaan obat murah bagi rumah sakit swasta merupakan hal yang krusial, agar pengelolaan biaya pengobatan di rumah sakit bisa lebih efektif dan efisien.

“Kami memang tidak bisa membuat proyeksi kebutuhan obat-obat selama satu tahun anggaran seperti halnya rumah sakit pemerintah. Tetapi paling tidak ada terobosan untuk rumah sakit swasta,” tuturnya.

Ichsan mengungkapkan, pihaknya tertarik bergabung dalam program JKN setelah membaca kisah sukses sejumlah rumah sakit swasta setelah bergabung sebagai mitra BPJS kesehatan.

“Sebelum bergabung, kami membuat tim khusus yang membahas program JKN. Selain juga sosialisasi tentang sistem pembiayaan INA-CBGs di kalangan medis. Persiapan yang baik memberi hasil yang menggembirakan,” tutur Ichsan.

Ichsan mengakui, dari sisi marjin keuntungan ada penurunan nilai, tetapi dari sisi jumlah pasien angkanya bertambah. Sehingga keikutsertaannya di BPJS Kesehatan tetap memberi keuntungan.

“Sejak bergabung BPJS Kesehatan awal 2015, pendapatan rumah sakit naik sebesar 30 persen. Setiap hari rumah sakit tersebut melayani 40 pasien rawat inap dan 210 pasien rawat jalan,”ujarnya.

Disebutkan, perbandingan antara pasien umum dan pasien BPJS Kesehatan untuk pasien rawat inap 65 berbanding 35 dan pasien rawat jalan 70 berbanding 30.

Ichsan menegaskan, kuncinya ada pada pengelolaan manajemen rumah sakit yang efisien dan efektif dengan memperhatikan kendali mutu dan biaya. Selain itu, rumah sakit harus memberi pelayanan sesuai standar operasional yang berlaku, dengan menggunakan obat dari Fornas serta melengkapi clinical pathway.

Irfan Humaidi mengemukakan RS Hermina Daan Mogot merupakan satu dari lebih 800 rumah swasta yang telah bergabung ke BPJS Kesehatan. Diharapkan jumlahnya meningkat setiap tahun. Karena jumlah peserta BPJS kesehatan yang harus dilayani mencakup seluruh Indonesia.

“Rumah sakit swasta memang tidak diwajibkan sebagai provider dalam program JKN. Tetapi jika ingin bergabung disilakan. Karena banyak keuntungan jika bergabung dalam program JKN,” ucap Irfan menandaskan. (TW)

{jcomments on}