DPR: Anggaran Kesehatan Minimal 5 Persen

Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai masih banyak kekurangannya. DPR menilai, hal itu salah satunya disebabkan minimnya anggaran kesehatan yang dialokasikan pemerintah.

Anggota Komisi IX DPR RI Siti Musrifah mengungkapkan, anggaran untuk kesehatan sekitar empat persen dinilai tidak mencukupi. “‎Idealnya, anggaran untuk kesehatan seharusnya minimal 5 persen (dari total belanja negara),” ujarnya di Jakarta, Minggu (9/8).

DPR, lanjut dia, meminta anggaran tersebut dinaikkan. Tujuannya, menaikkan pelayanan kesehatan. “Selain itu, anggaran tersebut juga untuk menaikkan penerima bantuan iuran (PBI),” ucapnya.

Pihaknya ingin pemerintah meng-cover seluruh biaya kesehatan masyarakat Indonesia. “Saat ini yang ter-cover pemerintah hanya 92,6 juta jiwa. Sedangkan, jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa,” terangnya.

Di sisi lain, Siti mengaku jika kenaikan anggaran kesehatan sulit dilakukan oleh pemerintah. Sebab, banyak pos anggaran lain yang harus diperhatikan pemerintah. “Itu juga yang menjadi kendala selama ini,” jelasnya.

Siti memaparkan, meski pemerintah sulit menaikkan anggaran kesehatan, pihaknya terus melakukan upaya untuk mewujudkannya. “Kami akan terus berjuang. Misalnya, dengan memberikan saran kepada pemerintah untuk menambahkan anggaran kesehatan dari cukai rokok atau menurunan pajak obat sehingga menurunkan cost kesehatan dan yang lainnya,” terangnya.

sumber: http://www.jawapos.com/

 

Diskes Prioritas Tempatkan Tenaga Kesehatan di Perbatasan

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Andi Jap mengatakan, untuk meningkatkan peran dokter dalam peningkatan kesehatan masyarakat, pemerintah memprioritaskan penempatan tenaga kesehatan di daerah-daerah perbatasan.

“Prioritas sekarang menempatkan tenaga kesehatan di daerah-daerah perbatasan, salah satu terobosan dari Kementerian Kesehatan salah satunya menempatkan yang namanya tenaga kesehatan secara tim,” ujar Andi kepada Tribunpontianak saat seminar bersama dan halalbihalal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kalbar di Hotel Mercure, Jl A Yani, Pontianak, Sabtu (8/8/2015).

Tim tersebut adalah dokter, perawat, bidan tenaga kesehatan lingkungan, tenaga farmasi dan lain-lain di tempatkan dalam satu daerah yang disebut program Nusantara Sehat. Kalbar pada launching program yang pertama mendapatkkan 22 tenaga yang disebar di tiga Kabupaten, yakni Kabupaten Kapuas Hulu, Sanggau dan Bengkayang.

“Kita tidak ada jumlah kuota, itu sekarang memang Kementerian Kesehatan dan pemerintah tidak bisa memaksa dokter untuk harus ke sana. Kebutuhan dokter-dokter kita memang masih kurang, idealnya dokter itu kan satu dokter untuk 2.500 penduduk, dari rasio penduduk kita masih sangat kurang,” katanya.

sumber: http://pontianak.tribunnews.com/

 

Ekonomi Aceh Tumbuh di Sektor Kesehatan

Sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial merupakan lapangan usaha yang pertumbuhan ekonomi untuk triwulan kedua tahun 2015 sebesar 5,47 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Hermanto, Selasa (5/8) mengatakan, selain sektor jasa kesehatan, sektor administrasi pemerintahan menyumbang sebesar 4,59 persen, disusul jasa pendidikan sebesar 4,54 persen.

“Pertumbuhan ketiga lapangan usaha ini terkait dengan serapan anggaran yang meningkat pada triwulan II, terutama belanja pegawai,” ujar Hermanto. Jika dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan II tahun ini masih disokong oleh pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 0,67 persen, diikuti kategoti industri pengolahan sebesar 0,18 persen dan kategori konstruksi sebesar 0,12 persen.

Sementara secara garis besar pertumbuhan ekonomi aceh dengan migas pada triwulan II tahun 2015 2,29 persen, tanpa migas tumbuh 2,67 persen.

Hermanto menyebutkan, pertumbuhan ekonomi tahunan Aceh (year on year) Aceh dengan minyak dan gas (migas) tumbuh negatif 1,72 persen, turun bila dibandingkan periode yang sama yang tumbuh 2,62 persen. Sementara pertumbuhan year on year tanpa migas adalah sebesar 4,34 persen, lebih baik dari periode yang sama tahun lalu sebesar 4,25 persen.

Untuk nilai Produk Domestik Bruto (PDRB) dengan migas mencapai Rp 33,07 triliun atau sebesar 2,51 miliar dolar Amerika Serikat. Sementara untuk PDRB tanpa migas adalah sebesar Rp 31,65 triliun atau 2,40 miliar dolar Amerika Serikat. (avi)

sumber: http://aceh.tribunnews.com/

 

Upaya Pemerintah Tekan Prevalensi Kanker Paru di Indonesia

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa ada lima upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan kanker paru di Tanah Air.

“Melalui lima upaya ini, kami berharap prevalensi kasus kanker paru di Indonesia bisa semakin menurun,” kata Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (4/8) petang.

Pernyataan itu disampaikan terkait dengan Hari Kanker Paru Sedunia yang diperingati setiap 1 Agustus.

Tjandra yang juga merupakan Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menjelaskan, upaya pertama terkait penanggulangan masalah merokok.

“Upaya yang dilakukan adalah penyuluhan kesehatan terkait bahaya merokok, terutama pada kemungkinan terkena penyakit paru mulai dari tingkat masyarakat, pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tertier,” ujarnya.

Upaya penyuluhan dan promosi kesehatan menjadi penting guna menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan, sehingga terhindar dari penyakit. Termasuk kanker paru, sebagai dampak dari merokok.

“Dampak merokok sebenarnya banyak mulai dari jantung koroner, stroke, kemandulan hingga kanker paru. Semua penyakitnya membutuhkan biaya yang sangat besar. Karena itu sedari dini harus dicegah agar tidak terkena,” katanya.

Upaya ketiga yang dilakukan, Tjandra Yoga menyebutkan, pemerintah berupaya melakukan penyediaan alat diagnostik seperti laboratorium klinik, patologi anatomik dan radiologik.Dengan demikian, masyarakat bisa mengetahui penyakit kanker paru yang dideritanya sejak stadium dini.

“Semakin dini penyakit diketahui, akan semakin murah pengobatannya. Selain itu, tingkat kesembuhannya juga semakin tinggi. Lewat teknologi ini kami berharap masyarakat bisa segera berobat ke dokter begitu mengetahui ada sejumlah gejala yang dialami, sehingga bisa diobati secara tuntas,” katanya.

Jika pasien telah didiagnosa terkena penyakit kanker paru, lanjut Tjandra Yoga, pemerintah menyediakan modalitas terapi pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.

Dan yang tak kalah penting, menurut Tjandra Yoga, penyiapan tenaga ahli seperti dokter spesialis paru, dokter bedah toraks, dokter radioterapi, dokter patologi anatomik dan klinik serta semua tim pendukungnya.

“Upaya ini harus didukung oleh sistem pembiayaan kesehatan yang mumpuni. Beruntung kita punya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengcover biaya pasien kanker paru,” katanya. (TW)

{jcomments on}

Resistensi Antibiotik Jadi Ancaman Serius

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek minta pada para pengelola layanan kesehatan untuk melakukan pengendalian penggunaan obat antibiotika. Pasalnya, resistensi terhadap antibiotika saat ini sudah menjadi ancaman serius dalam dunia kesehatan di Indonesia.

“Penggunaan antibiotika yang tidak bijak menjadi penyebab terjadinya resistensi obat. Dan ini terjadi tidak hanya pada manusia tetapi juga hewan,” kata Nila saat membuka seminar bertajuk “Cegah Resistensi Antibiotika Demi Selamatkan Manusia”, di Jakarta, Rabu (5/8).

Menurut Menkes, resistensi antibiotika menyebabkan penurunan kemampuan antibiotika tersebut dalam mengobati infeksi dan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan. Akibatnya, pengobatan menjadi lebih sulit dan membutuhkan biaya lebih tinggi.

“Jika tidak dicegah dari sekarang, resistensi antibiotika ini akan menimbulkan kerugian yang luas, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi,” ucap Nila FA Moeloek menegaskan.

Menkes mengakui, hingga saat ini banyak masyarakat yang masih belum paham bahaya penggunaan antibiotika yang tidak tuntas dan konsumsi yang berlebihan.

“Setiap flu selalu minum obat antibiotika. Padahal, penyakit influenza tak butuh antibiotik hanya makan yang benar dan istirahat yang cukup,” ujarnya.

Selain itu, penggunaan antibiotika yang tidak tuntas juga bisa menyebabkan resistensi. Obat antibiotika tak dikonsumsi lagi setelah badan dirasakan lebih baik. Padahal obat antibiotika harus dikonsumsi sesuai aturan.

Nila mengemukakan, penggunaan antibiotika secara berlebihan tak hanya menjadi masalah nasional, tetapi juga global.

Hal senada dikemukakan Hari Paraton, SpOG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA). Pihaknya belum memiliki data terkait prevalensi kasus penyakit resisten antibiotik di Indonesia.

“Jika di Thailand tercatat ada 38 ribu kematian per tahun akibat resiatensi antibiotika. Padahal penduduknya hanya 70 juta orang disana. Kemungkinan kasus resistensi antibiotika di Indonesia mencapau 130 ribu per tahun,” ujarnya.

“Kasus resistensi antibiotika sulit dilacak karena di rumah sakit biasanya penyebab kematian pada gejala terdekat saja seperti gagal jantung, ginjal atau stroke. Padahal kalau dilihat, di dalam tubuh pasien itu ada bakteri resisten yang tersembunyi, cuma tidak terlaporkan,” ucap Hari Paraton. (TW)

{jcomments on}

JELANG MEA IDI: Tolak Sektor Kesehatan Jadi Komoditas Dagang

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menolak sektor kesehatan jadi komoditas dagang ASEAN. Karena hal itu menyimpang dari Undang-Undang Dasar (UUD) 45.

“Kebijakan negara harus kembali pada tujuan negara yang tertera di UUD 45, mengikuti ideologi welfare state. Karena terbukti ideologi itu membawa derajat kesehatan banyak negara menjadi lebih baik dengan biaya kesehatan yang lebih murah,” kata Ketua Umum PB IDI, Zaenal Abidin di Jakarta, Rabu (5/8).

Saat menyampaikan Sikap IDI terkait Sektor Kesehatan Jelang Penerapan Masyarajat Ekonomi ASEAN, Zaenal Abidin didampingi Ketua Bidang Penataan Globalisasi Praktik Kedokteran PB IDI, Ario Djatmiko dan pengurus lainnya.

Menurut Zaenal, adanya dua ideologi dalam satu negara, pada saat sistem kesehatan negara belum sehat akan mengundang ketidakadilan. Pemerintah harus sepenuhnya pegang kendali memimpin perbaikan sistem kesehatan nasional.

“Membiarkan mekanisme pasar bebas berlakudi sektor kesehatan hanya akan membawa negeri ini ke pelayanan kesehatan berbiaya tinggi. Sehingga terjadi gap and lost generation,” ucapnya.

Untuk itu, Zaenal mengusulkan agar pemerintah membangun aliansi “public private partnership office” untuk sektor kesehatan. Lembaga tersebut nantinya melakukan review untuk mendeteksi bagaimana mana yang harus segera diperbaiki agar sistem kesehatan berjalan dengan baik.

Selain itu, lanjut Zaenal, pemerintah harus melakukan terobosan-terobosan kreatif guna meningkatkan performa sektor kesehatan di semula lini. Mulai dari level primer, sekunder dan tertier.

“Tanpa sistem referral yang baik, keadilan di bidang pelayanan medik tidak akan tercapai dan sektor primer tidak akan pernah tergarap,” ujarnya.

Dan yang tak kalah penting, menurut alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar itu, pekerja medik dan pelayanan kesehatan di Indonesia harus berbangsa Indonesia.

“Siapkan langkah strategis untuk mengejar ketertinggalan teknologi di bidang kesehatan,” katanya menegaskan.

Upaya lain yang harus dilakukan adalah menata ulang sistem kesehatan nasional dan sistem jaminan kesehatan nasional agar benar-benar dijalankan sesuai dengan tujuan utama berbangsa.

“Jadi bukan sekadar sikap reaktif pemerintah dalam menyambut MEA,” kata Zaenal Abidin. (TW)

{jcomments on}

Dana PKH, Solusi Kesehatan dan Pendidikan Keluarga Indonesia

Program Keluarga Harapan (PKH) diselenggarakan Kementerian Sosial RI untuk memajukan kesehatan dan pendidikan keluarga Indonesia. Setiap warga yang tercatat menjadi Keluarga Sangat Miskin (KSM) berhak menerima dana tersebut.

Tahap kedua pencairan dana PKH sendiri telah dilangsungkan beberapa waktu lalu, setelah sebelumnya pertama kali dicairkan pada April 2015.

Para warga dapat mencairkan dana PKH di kantor pos kecamatan atau balai desa. Uniknya, pencairan tersebut ditujukan bukan kepada pria yang menjadi kepala keluarga, tapi istri. Hal itu dimaksudkan agar dana PKH dapat dimanfaatkan sesuai keperluan keluarga.

Nominal dana PKH yang diterima per keluarga juga bervariasi satu sama lain. Hal itu dilakukan mengingat kondisi keluarga para penerimanya berbeda-beda. Tanggungan ibu hamil, anak balita, atau anak sekolah adalah tiga faktor yang melandasi nominal dana PKH yang diterima.

Dengan demikian, pemerintah melalui Kementerian Sosial bermaksud memanfaatkan program tersebut dengan maksimal. Jumlah nominal dan target sasaran diharapkan dapat seakurat mungkin, sehingga tujuan menyejahterakan masyarakat Indonesia benar-benar tercapai.

Salah satu daerah yang telah melaksanakan pencairan dana PKH adalah Blora, Jawa Timur. Daerah tersebut telah menerima dana sebesar Rp 11,30 miliar untuk 13.773 KSM yang ada di sana. (advertorial)

sumber; http://www.tribunnews.com/

 

Daerah Terpencil: Kemenkes Buka Pendaftaran Dokter PTT 2015

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuka pendaftaran dokter dan dokter gigi sebagai pegawai tidak tetap (PTT) untuk tahun anggaran 2015. Dibutuhkan sebanyak 1.780 orang untuk mengisi Puskesmas di daerah terpencil.

“Pendaftaran dibuka secara online mulai hari ini, 31 Juli hingga 11 Agustus 2015 mendatang melalui website www.ropeg.kemkes.go.id,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, drg Murti Utami MPH di Jakarta, Jumat (31/7).

Murti menyebutkan, persyaratan untuk menjadi dokter dan dokter gigi PTT adalah yang bersangkutan harus Warga Negara Indonesia (WNI) dan bersedia ditugaskan di daerah terpencil dan sangat terpencil dengan lama penugasan selama 2 (dua) tahun.

Para dokter dan dokter gigi PTN akan mendapat gaji dan insentif sebesar Rp 5,4 juta per bulan untuk daerah terpencil dan sebesar Rp 7,8 juta per bulan untuk daerah sangat terpencil.

“Untuk informasi lebih lanjut bisa dilihat di website karena rinciannya sangat panjang,” ucap Murti Utami.

Program dokter dan dokter gigi PTT dilakukan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Hal itu bida terjadi jika pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau oleh semua pihak.

“Fasilitas pelayanan kesehatan itu harus didukung oleh ketersediaan tenaga kesehatan dalam arti pendayagunaan maupun penyebarannya yang merata ke seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil,” kata Murti menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Menkes Lantik 6 Pejabat Eselon II

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek melantik 6 pejabat eselon II di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Proses rotasi dan mutasi adalah hal biasa dalam sebuah organisasi yang dinamis.

“Pemimpin datang dan pergi. Siapapun dia, yang penting mampu melayani dan melaksanakan amanah rakyat, bangsa dan negara,” kata Nila Moeloek, Sp.M(K) di Jakarta, Senin (27/7).

Ditambahkan, pergantian jabatan itu sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, bahwa penempatan dan promosi jabatan pimpinan tinggi dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif. Selain memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, rekam jejak jabatan, pendidikan dan pelatihan serta integritas.

Adapun pejabat yang dilantik, disebutkan, dr Eni Agustina, MPH sebagai Kepala Pusat Promosi Kesehatan, Sekretariat Jenderal Kemenkes; dr Tri Hesty Widyastoeti Marwotosoeko, Sp.M, MPH sebagai Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes.

Selain itu ada Dr Dra Agusdini Banun Saptaningsih, Apt, MARS sebagai Sekretaris Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes; dr Lily Sriwahyuni Sulistyowati, MM sebagai Direktur Penyakit Tidak Menular.

Drg R Vensya Sitohang M Epid sebagai Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, dan dr Imran Agus Nurali Sp KO sebagai Direktur Penyehatan Lingkungan, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Menkes minta para pejabat yang baru dilantik untuk selalu mengembangkan kemampuan diri, baik aspek tehnis, aspek manajerial, maupun aspek leadership. Hal itu untuk menjadi panutan terkemuka atau Out Standing Role Model for Leadership Character. (TW)

{jcomments on}

Demam Berdarah Masih Jadi Masalah Kesehatan di Asia

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan penting di Asia. Tak hanya di Indonesia, di negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura, kasus-kasus DBD masih menyita perhatian otoritas kesehatan di masing-masing negara.

“Demam berdarah menjadi topik menarik dalam pembahasan pertemuan antarnegara di Manila yang kini sedang berlangsung,” tutur Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Prof Tjandra Yoga Aditama dalam siaran persnya, kemarin.

Menurutnya, demam berdarah di Jepang tidak disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegypti seperti di Indonesia. Tetapi di Jepang, nyamuk vektornya adalah Aedes albopictus, atau dikenal sebagai ‘Tiger Mosquito’‎.

Di Singapura, empat jenis virus Dengue tetap ditemukan bersirkulasi, sehingga di Singapura pun sampai sekarang masih jadi masalah kesehatan penting dan bahkan ada yang menyebut DBD di Singapura sebagai ‘hyperendemic’.

Data menunjukkan bahwa DBD secara global meningkat kasusnya hingga 30 kali dalam 50 tahun terakhir ini. Jumlah kasus DBD dunia diperkirakan 390 juta setiap tahunnya yang ditemukan pada lebih dari 100 negara.

Setiap tahun sekitar setengah juta orang di dunia‎ mengalami DBD berat, dimana sebagian diantaranya seringkali diikuti dengan syok dan perdarahan. Dan sekitar 40% penduduk dunia ada dalam risiko untuk mendapat sakit DBD‎. “Di negara Asia angka ini tentu lebih tinggi lagi,” sambungnya.

Untuk mencegah DBD, ‎kata Tjandra, bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pengendalian vektor nyamuk, khususnya dengan program 3 M plus. Ini masih tetap jadi cara penanggulangan utama, dan juga dilakukan berbagai riset di bidang ini. Lalu melalui vaksin yang kini dikembangkan meski baru menunjukkan perlindungan sekitar 60%.

sumber: http://poskotanews.com/