Rokok Berpotensi Gagalkan Bonus Demografi Indonesia

Satu dari lima penduduk dunia kecanduan merokok. Dari total 1,35 miliar perokok di seluruh dunia, sekitar 22,5 persen di antaranya merupakan anak muda. Hal itu disampaikan CEO Indonesia Medika dr Gamal Albinsaid. Menurut dia, industri rokok jelas mengancam kelanjutan generasi muda yang sehat dan berdaya ekonomi tinggi.

“Sekitar 78 persen perokok di kita sudah mulai merokok sebelum usianya 19 tahun. Bahkan, sepertiganya mengaku sudah mulai mencoba (rokok) sejak 10 tahun,” ujar dr Gamal Albinsaid, Selasa (27/5) di sela-sela acara Youth Forum 2nd Indonesian Conference on Tobacco or Health 2015 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.

Dr Gamal menambahkan, industri rokok menyasar konsumen dari rentang usia anak-anak muda di Indonesia. Karena itu, dia mengapresiasi acara hasil kerja sama dengam Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini.

Sebagai perbandingan, lanjut Gamal, setiap tahunnya pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran Rp 1,1 triliun untuk mengatasi penyakit akibat paparan asap rokok. Bahkan, rumah tangga rata-rata keluarga Indonesia, yang memiliki perokok biasanya sebagai suami/kepala keluarga, cenderung tidak masuk akal dalam mengalokasikan pendapatan per bulannya. Sebab, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan masih kalah dibandingkan untuk membeli rokok.

“Menghabiskan 11,5 persen pendapatan per bulannya untuk konsumsi rokok. Sementara, per bulannya mereka hanya menghabiskan 3,2 persen untuk pendidikan dan 2,3 persen untuk kesehatan,” ucap dr Gamal Albinsaid.

Kondisi demikian, lanjut Gamal, sangat sering dijumpai justru pada keluarga Indonesia dari kelas menengah ke bawah, bukan kalangan berpenghasilan tinggi. “Padahal, sekitar 50 persen dari total penduduk Indonesia per harinya hanya mendapat 2 dolar AS per hari. Bahkan, 18 persennya hidup dengan (penghasilan) di bawah 1 dolar AS per hari.”

Lantaran itu, lanjut dia, perlu peran dan keberpihakan pemerintah terhadap kampanye antirokok. Apalagi, sebut Gamal, menjelang puncak bonus demografi Indonesia pada rentang tahun 2020-2030. Gamal mengatakan, saat ini, jumlah penduduk usia produktif sebanyak kira-kira 180 juta orang, dibandingkan dengan jumlah penduduk usia nonproduktif yakni 85 juta orang.

“Tantangannya, bagaimana agar mereka yang usia produktif, benar-benar produktif. Saya kira, produktivitas itu sangat dekat dengan kesehatan. Jadi, ketika kesehatan itu rendah, produktivitas juga rendah,” tutur dia.

Padahal, lanjut Gamal, bonus demografi pasti segera diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk usia nonproduktif. Dengan demikian, apabila kesehatan kaum muda Indonesia kini terganggu akibat rokok, Indonesia berpeluang besar melewati puncak bonus demografi tanpa hasil yang diharapkan.

“Kita tua sebelum menjadi kaya. Artinya, usia tidak produktif menjadi dominan, sehingga memberikan dampak yang negatif,” pungkasnya.

Acara Indonesian Conference on Tobacco or Health kali ini dihadiri oleh sekira dua ratus orang peserta dari berbagai kelompok kepemudaan. Acara ditutup dengan dibuatnya surat terbuka oleh para pemuda yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah segera meratifikasi FCTC.

sumber: http://www.republika.co.id

 

Pemerintah Dorong BPJS Kesehatan Skrining Hipotiroid Kongenital

26mei-2

26mei-2Kementerian Kesehatan tengah membahas kemungkinan tindakan skrining hipotiroid kongenital pada bayi-bayi baru lahir, masuk dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Skriming itu menjadi penting untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cerdas,” kata Tritarayati, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Mediko Legal dalam diskusi seputar tiroid, di Jakarta, Selasa (26/5).

Ditambahkan, skrining hipotiroid kongenital pada bayi-bayi baru lahir menjadi penting, karena semakin cepat penyakit ditemukan akan semakin baik proses pengobatannya. “Jika gangguan tiroid ditemukan pada bayi dibawah tiga bulan, maka tingkat kesembuhannya bisa 100 persen,” ujarnya.

Jika tindakan skrining hipotiroid kongenital masuk ke dalam program BPJS Kesehatan, menurut Tritarayati, hal itu masuk ke dalam upaya preventif dan promotif. Jika hal itu berjalan dengan baik, maka pemerintah akan menghemat lebih banyak uang. Karena jumlah penduduk Indonesia yang sakit semakin sedikit.

Dijelaskan, gangguan tiroid bukanlah jenis penyakit menular tetapi bisa menimbulkan masalah saat dewasa. Karena hal iyu bisa menimbulkan kanker tiroid, auto imun, gangguan kesuburan, depresi dan defisiensi iondium.

“Pada bayi yang terkena gangguan tiroid, akan mengakibatkan keterbelakangan mental,” kata dr Tritarayati.

Pemeriksaan skrining hipotiroid kongenital (SHK) yang dilakukan selama 2000-2014 di sejumlah lokasi terpilih, kasus positif proporsinya 0,4 per 1000 bayi lahir.

“Bila tidak dilakukan intervensi, diperkirakan 16-26 tahun mendatang 24 ribu-39 ribu orang Indonesia mengalami keterbelakangan mental dengan kerugian Rp 5000-8000 triliun atau per tahun rugi Rp 309 triliun,” katanya.

Ditambahkan, SHK sebenarnya menjadi standar pelayanan bagi semua bayi lahir. Hal itu tertuang dalam Permenkes No 25 Tahun 2014 tentang upaya pelayanan kesehatan anak dan permenkes no 78 tahun 2014 tentang SHK.

Pada 2015 ini, SHK akan diimplementasikan di 19 provinsi yakni Aceh, Sumut. Sumbar, Riau, Lampung, DKI jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel, Sultra dan NTT.

“Pasa 2016, semua wilayah Indonesia telah diperkenalkan dan melayani SHK,” kata Tritarayati menandaskan. (TW)

 

Hadiri Sidang WHA ke-68, Menkes Sampaikan Pernyataan Sikap Indonesia

Menteri Kesehatan Prof. Dr. Nila F. Moeloek menyampaikan beberapa poin penting mengenai posisi Indonesia dalam pembangunan kesehatan pada sidang World Health Assembly (WHA) ke-68 di Jenewa, Swiss.

Dalam acara yang dihadiri Direktur Jenderal WHO dr. Margareth Chan, para menteri kesehatan 193 negara anggota WHO serta berbagai partisipan lainnya tersebut, Menkes menyatakan beberapa sikap Indonesia terhadap berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit polio, keadilan pelayanan kesehatan, dan keberhasilan Indonesia menghadapi pandemi influenza.

Selain itu, Menkes pun menyampaikan keperihatinan rakyat dan pemerintah Indonesia untuk rakyat Nepal dan keluarga yang terkena gempa bumi beberapa waktu lalu.

Dalam pernyataan mengenai polio, Menkes menegaskan komitmen Indonesia pada program global pemberantasan polio dan siap mendukung segala upaya terkait hal tersebut. Indonesia telah berhasil bebas polio sejak 2006 dan akan terus menjaga keberhasilan tersebut hingga saat ini.
Sementara berkenaan dengan kebijakan dunia untuk menggantikan trivalent OPV (Vaksin Polio Oral) ke bivalen OPV, Indonesia menyatakan kesetujuannya, karena hal tersebut merupakan kunci utama mensukseskan pemberantasan Polio.

Meski demikian, Menkes pun menggaris bawahi bahwa Indonesia menyadari kemungkinan munculnya tantangan implementasi di masing-masing negara.

“Indonesia menghimbau WHO memimpin proses transisi ini melalui penetapan kerangka waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara anggota. Indonesia juga terbuka terhadap berbagai usulan, sehingga kami akan terus melakukan kajian dalam pelaksanaan segala rekomendasi global yang mungkin bertentangan dengan program nasional pemberantasan polio,” kata Menkes.

Selain perhatian terhadap polio, Menkes juga menyampaikan pernyataan tentang keadilan dan inklusi dalam layanan kesehatan untuk semua rakyat.
Secara geografis dan demografis, kondisi Indonesia rentan terhadap bencana alam. Pengalaman tsunami tahun 2004 dan wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS) menjadi pelajaran berharga akan pentingnya adaptasi dan persiapan menghadapi bencana, serta bagaimana sistem kesehatan dapat menanggulangi hal tersebut dengan cepat.

Melalui pembangunan dan pengembangan sistem kesehatan, tantangan dari dalam adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), Stunting (tubuh pendek), kesehatan lingkungan, dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Sementara tantangan yang berasal dari luar adalah determinan ekonomi dan sosial.

Target utama pembangunan kesehatan Indonesia tahun 2019 adalah tercapainya penguatan dan transformasi pada layanan kesehatan dasar di Puskesmas. Hal ini perlu didukung dengan sistem rujukan yang efektif, layanan kesehatan yang memadai di rumah sakit rujukan tingkat menengah, penelitian untuk peningkatan ilmu kesehatan pada tingkat tersier, serta mekanisme jaminan sosial untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat (Universal Health Coverage).

“Kami percaya Indonesia berada dalam tahapan yang benar untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional guna memberikan keadilan dan layanan kesehatan yang berkeadilan untuk seluruh masyarakat,” ungkap Menkes.

Selain itu, pada kesempatan tersebut Menkes juga menyampaikan keberhasilan Indonesia dalam mengadaptasi kerangka kerja PIP (Pandemic Influenza Preparedness) atau kesiapan dalam menghadapi pandemik flu pada tahun 2011.

Hal ini membuktikan seluruh tantangan kesehatan global dapat diatasi dengan kerjasama multilateral di bawah kepemimpinan WHO sebagai Badan PBB untuk bidang kesehatan.

“Tugas kita di masa mendatang adalah melaksanakan kerangka kerja ini secara menyeluruh, termasuk finalisasi elemen kontribusi kemitraan yang dibutuhkan negara-negara berkembang dalam peningkatkan kapasitas menghadapi epidemi global yang mungkin timbul,” tegasnya.
Menkes RI menghimbau kepada seluruh negara anggota WHO memperhitungkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki, serta belajar berbagi pengalaman dalam pencapaian MDG selama 15 tahun.

“Oleh karenanya, data yang benar dan digunakan secara tepat menjadi penting di dalam negeri dan antar negara, sehingga kita bisa saling berbagi pengalaman dalam pembangunan ketahanan komunitas global,” tegas Menkes.

Di akhir pernyataannya, Menkes kembali menekankan komitmen tinggi Indonesia untuk bekerjasama dengan komunitas Internasional dalam membangun ketahanan sistem kesehatan.

“Kami percaya, melalui dialog yang terus menerus, pertukaran informasi, dan fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kita akan berada pada derajat kehidupan yang lebih baik dalam melaksanakan resolusi yang bermanfaat untuk masyarakat global,” kata Menkes.
“Resolusi hanya bisa bermanfaat apabila dapat dilaksanakan. Indonesia menghimbau semua dapat bertanggung jawab dalam melaksanakan resolusi yang kita sepakati,” tambahnya.

sumber: http://www.tribunnews.com

 

Kemenkes Luncurkan Iklan Bahaya Menjadi Perokok Pasif

22meikki

22meikkiKementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan iklan kampanye anti rokok versi baru yang mengingatkan para perokok pasif akan bahaya asap rokok. Iklan tersebut menampilkan Ike, perempuan usia 37 tahun yang terkena kanker pita suara.

Ike terpapar asap rokok di tempat kerja,sebuah restoran yang dipenuhi asap rokok terus menerus selama 10 tahun. Suaminya bukan perokok. Ike kini berkomunikasi lewat kertas dan pena, karena pita suaranya hilang lantaran harus dibuang akibat kanker.

Sekjen Kemenkes Untung Suseno Sutarjo dalam peluncuran iklan layanan masyarakat bertajuk “Berhentilah Merokok, Asapmu Membunuh Orang-Orang di Sekitarmu”, di Jakarta, Jumat (22/5) mengatakan, kampanye itu dilakukan untuk membangkitkan lagi kesadaran masyarakat akan bahaya menjadi perokok pasif. Mengingat, jumlah perokok di Indonesia sudah mencapai 53,7 juta orang.

“Bukan saja diingatkan, tapi masyarakat harus berani menegur orang yang merokok di tempat-tempat yang ada larangannya,” ucap Untung Suseno menegaskan.

Mengutip hasil riset kesehatan dasar (Rikesdas) 2010, ada sekitar 95 juta orang di Indonesia terpapar asap rokok, termasuk di dalamnya 40,3 juta anak Indonesia berusia 0 – 14 tahun sebagai perokok pasif. Paparan asap rokok memiliki dampak negatif yang sama bahayanya dengan perokok aktif.

Dalam kutipan buku The Tobacco Atlas yang diterbitkan American Cancer Society dan World Lung Foundation dinyatakan pula paparan asap rokok meningkatkan risiko terkena kanker paru-paru sebesar 30 persen dan penyakit jantung koroner sebanyak 25 persen.

“Hasil penelitian Global Adult Tobacco Survey (GATS) periode 2008 – 2013 menunjukkan data persentase prevalensi paparan asap rokok terhadap orang dewasa di Indonesia. GATS mencatat lebih dari 85 persen orang dewasa Indonesia terkena paparan asap rokok di rumah, lebih dari 78 persen di tempat makan, dan 50 persen di tempat kerja,” katanya.

Terkait kebijakan anti rokok, Untung Suseno mengatakan, Indonesia telah menyusun berbagai aturan yang mengatur perlindungan masyarakat dari bahaya paparan asap rokok. Salah satunya lewar penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai tempat umum maupun tempat kerja, terutama di lingkungan sekolah dan rumah sakit. (TW)

{jcomments on}

Indonesia Prioritaskan Layanan Kesehatan Primer

Indonesia menekankan pentingnya pelayanan kesehatan primer dan jaminan kesehatan guna mewujudkan sistem kesehatan yang tangguh dan kuat. “Saat ini Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah melayani 143 juta orang guna mencapai universal health coverage tahun 2019,” kata Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek.

Pernyataan Nina itu disampaikan saat sesi Pleno Sidang World Health Assembly (WHA) ke-68 pada 19 Mei 2015, di Kantor PBB Jenewa, Swiss. Sidang yang berlangsung pada 18 – 26 Mei 2015 mengambil tema “building resilient health system” khususnya terkait wabah Ebola di kawasan Afrika Barat.

Nina menjelaskan untuk mencapai Indonesia Sehat pada 2019, saat ini sedang dilakukan transformasi dan reformasi pelayanan kesehatan primer. Selain itu penguatan sistem kesehatan melalui sistem rujukan yang efektif, layanan kesehatan yang kuat di rumah sakit dan penelitian visioner untuk ilmu kedokteran guna mewujudkan pelayanan kesehatan yang adil dan inklusif bagi semua masyarakat.

Dalam rilis yang dikirim Minister Counsellor (Politics) Permanent Mission Perutusan Tetap RI pada PBB di Jenewa, Acep Somantri, Indonesia menyampaikan komitmen untuk terus implementasikan International Health Regulation sebagai panduan utama bagi seluruh anggota PBB dalam meningkatkan kapasitas nasionalnya menghadapi berbagai ancaman kesehatan global.

Menurut Acep Somantri, Menteri Nina juga menekankan beberapa isu lain, yaitu pentingnya masyarakat internasional untuk terus memberikan dukungan terhadap kampanye global untuk memberantas polio dengan mempertimbangkan kondisi nasional masing-masing negara. Lalu mendorong implementasi penuh Pandemic Influenza Preparedness Framework yang merupakan salah satu capaian terbesar masyarakat internasional pasca keberhasilan penanganan kasus avian influenza (flu burung).

Delegasi Indonesia pada Sidang WHA tahun 2015 dipimpin Menteri Nina. Anggotanya para pejabat dari Kementrian Kesehatan, Kementrian Luar Negeri, Badan POM, serta Perutusan Tetap RI pada PBB di Jenewa. Selain memberikan pernyataan pada sesi pleno, Menkes Nina juga menyampaikan sambutan pada saat diselenggarakannya pertemuan ke-8 para Menteri Kesehatan negara-negara Gerakan Non-Blok.

sumber: http://nasional.tempo.co/

 

WHO siapkan dana Rp1,3 triliun untuk Ebola

Organisasi kesehatan dunia, WHO, mencanangkan dana darurat US$100 juta (Rp1,3 trilyun) untuk menanggulangi wabah Ebola.

Direktur Jendral WHO, Margaret Chan, menyatakan organisasinya kewalahan menghadapi penyebaran penyakit ini di Afrika Barat. Ia mengatakan kebutuhan penanganannya sepuluh kali lipat lebih besar daripada yang diduga.

Wabah penyakit ini dilaporkan terjadi bulan Maret 2014, dan telah mengambil korban sebanyak 11.000 jiwa. Selama ini, Chan dan WHO diritik banyak pihak karena kelambatan mereka dalam menangani wabah ini.

“Dengan dukungan negara anggota, saya mencanangkan dana darurat US$100 juta, bersumber dari sumbangan sukarela tak mengikat, untuk menjamin bahwa kami memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk segera menyusun tanggapan awal,” kata Chan dalam pertemuan tahunan WHO.
Chan juga sedang menyusun sebuah program ‘terpadu’ untuk menangani darurat kesehatan ini.

Bebas Ebola

Sebelumnya, Kanselir Jerman, Angela Merkel, menyerukan dalam sesi pembukaan pertemuan ini, bahwa WHO wajib merampingkan organisasinya untuk menanggapi segera krisis semacam Ebola.

“Saya yakin jika kita bertindak lebih cepat dan punya struktur komando yang jelas, kita akan lebih siap menghadapi krisis seperti Ebola, apabila terjadi lagi di masa depan.” katanya.

Wabah Ebola merupakan yang paling mematikan sejak penyakit itu ‘ditemukan’ pada tahun 1976. Kasus pertama terjadi di Guinea tenggara awal tahun lalu dan menyebar ke Liberia, Sierra Leone, Nigeria dan Mali.

Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Norwegia, Prancis, Italia, Swiss dan Inggris Raya, merawat pasien yang terkena virus ini di Afrika Barat.

Belakangan, Liberia menjadi negara pertama -dari tiga negara yang paling terpengaruh- yang sudah dinyatakan bebas virus, setelah selama 42 hari tidak ditemukan kasus baru.

sumber: http://www.bbc.co.uk/

Indonesia Masih Tunda Penggunaan Vaksin Polio Injeksi

Pertemuan seluruh negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Sidang World Health Assembly (WHA) ke-68 mulai dibuka hari ini, Senin (18/5) di Jenewa, Swiss. Menjelang sidang ini, sebelas negara anggota WHO khusus South East Asia Region (SEAR), seperti Bangladesh, Butan, PDR Korea, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Srilanka, Thailand, dan Timor Leste bertemu untuk membahas isu-isu tertentu dalam pertemuan akbar tersebut.

Bagi Indonesia, tema tentang rencana penerapan vaccine polio injection atau Injection Polio Vacine (IPV) menjadi perhatian khusus. Di negara maju, penerapan IPV sudah dilakukan. Sedangkan Indonesia bermaksud masih menunda penerapan penggunaan IPV dikarenakan alasan geografis yang perlu disiapkan secara matang.

“Kami berharap agar dalam pembahasan mengenai polio di sidang WHA ke-68 akan mendapat dukungan dari negara-negara anggota SEAR,” kata Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (Kemkes) dalam siaran pers di Jakarta, Senin (18/5).

Sementara resolusi WHA sebagai forum tertinggi WHO agar di 2015 ini tidak ada lagi negara yang menggunakan vaksin polio oral, melainkan suntikan (injeksi). Alasan dikeluarkannya resolusi WHA untuk menggunakan vaksin injeksi agar eradikasi polio secara global lebih optimal. Sementara penggunaan vaksin oral dikhawatirkan bisa berpindah dan menularkan lagi melalui limbah manusia.

Tahun lalu, di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Kemkes memutuskan untuk beralih dari penggunaan vaksin polio dalam bentuk oral ke injeksi secara bertahap. Mulai tahun 2015, dari empat kali pemberian vaksin, 3 di antaranya dalam bentuk oral, dan 1 lagi injeksi.

Ini dilakukan sampai PT Bio Farma mampu memproduksi injeksi sendiri. Kemkes targetkan 2018 baru Indonesia menggunakan vaksin polio injeksi secara penuh, dan dilakukan dalam tiga tahun berturut-turut.

“Oleh karena itu Indonesia meminta dukungan dari WHO untuk memfasilitasi segera mungkin, seperti pembangunan sarana produksi, sehingga Indonesia mandiri produksi sendiri dan tidak tergantung pada impor,” kata Wakil Menteri Kesehatan kala itu, Prof Ali Ghufron Mukti.

Ghufron kala itu mengungkapkan, beralihnya penggunaan vaksin polio oral ke injeksi menjadi tantangan berat buat Indonesia. Sebab, untuk saat ini Indonesia satu-satunya negara yang mampu memproduksi vaksin polio dengan cara oral.

Melalui PT Bio Farma, produksi vaksin polio cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan bahkan diimpor ke 118 negara. Namun, dengan adanya resolusi WHA tersebut, ekspor kemungkinan dihentikan.

Di sisi lain, pada Maret 2014 Indonesia dinyatakan wilayah bebas polio. Oleh karenanya masih dibutuhkan vaksin untuk terus mengeradikasi penyakit polio.

Itu artinya, Indonesia akan mengimpor vaksin injeksi yang membutuhkan biaya besar. Pasalnya, harga injeksi dibanding oral selisihnya 40-50 kali lipat. Untuk satu provinsi saja, yaitu Yogyakarta sebagai provinsi pilot project untuk penerapan vaksin polio suntik menghabiskan anggaran sebesar Rp 500 juta.

“Bisa dibayangkan berapa kerugian akibat berhenti ekspor, dan berapa banyak dana yang kita harus gelontorkan untuk membeli vaksin dari luar bagi seluruh provinsi ,” kata Ghufron.

Pemerintah Indonesia sendiri belum menghitung berapa besar kerugian karena berhenti mengekspor, dan besarnya anggaran yang digelontorkan untuk impor. Hingga tahun 2018 pemerintah mendapat bantuan vaksin polio suntik dari Global Alliance for Vaccines & Immunization (GAVI).

Untuk kebutuhan tahun 2015 sampai 2018, Indonesia masih sharing cost untuk pembelian injeksi dengan GAVI, dan diharapkan pada 2018, Bio Farma sudah bisa memproduksi sendiri vaksin polio injeksi.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

InaSH: 75% Kasus Hipertensi Belum Terjangkau Pelayanan Kesehatan

Memperingati Hari Hipertensi Sedunia 2015 yang tahun ini mengambil tema “Know Your Number”, Indonesian Society of Hypertension (InaSH) akan mengadakan kegiatan seminar awam di beberapa rumah sakit di Jakarta, serta menyebarluaskan informasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap hipertensi

Hal ini menjadi sangat penting karena hipertensi sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan merupakan faktor risiko utama terjadinya kerusakan organ vital. “Dari hasil Riskesdas (riset kesehatan dasar) 2007, kasus hipertensi yang sudah terdiagnosis atau yang telah minum obat hipertensi masih rendah yaitu 24,2 persen. Hal ini menunjukkan 75,8 persen kasus hipertensi di masyarakat belum terjangkau pelayanan kesehatan. Analisis lebih lanjut pun menunjukkan hanya sekitar 18 persen mempunyai tekanan darah yang terkontrol dari yang telah terdiagnosis,” ungkap Ketua InaSH dan juga dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Nani Hersunarti di Jakarta, Rabu (13/5).

Selain itu, hipertensi juga masih merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Celakanya, hipertensi sering tanpa gejala dan hanya bisa diketahui bila dilakukan pengecekan tekanan darah. “Saat sudah timbul gejala, sebenarnya sudah mengalami kerusakan target organ dan ini sudah sangat terlambat. Kerusakan target organ otak dapat menyebabkan stroke dan gangguan kognitif ringan sampai dengan dementia vascular,” ungkap Yuda Turana, Wakil Ketua I InaSH yang juga seorang ahli syaraf.

Untuk itu, menurutnya edukasi mengenai bahaya hipertensi akan semakin digalakkan InaSH agar masyarakat dapat melakukan pencegahan penyakit ini dengan cara menerapkan pola hidup sehat. Di tahun ini pun Indonesia, yang diwakili oleh InaSH akan menjadi tuan rumah pertemuan ilmiah hipertensi tingkat Asia Pasifik ke-11 pada tanggal 4-7Juni 2015 di Nusa Dua,Bali.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

 

WHO: Liberia Bebas dari Virus Ebola

Pada Sabtu lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Liberia sepenuhnya telah bebas dari virus Ebola. Pernyataan tersebut disampaikan berkenaan dengan upacara peringatan korban terakhir yang meninggal akibat virus tersebut dan telah dikebumikan pada 42 hari lalu.

“Wabah virus Ebola di Liberia dinyatakan sepenuhnya telah berakhir,” kata WHO dalam sebuah pernyataan tertulisnya seperti yang dilansir situs berita The Independent.

Dalam laporannya, WHO juga menyimpulkan bahwa penjangkitan virus dari manusia ke manusia telah berakhir. Menurut data WHO, hingga saat terakhir ada lebih dari 3.000 kasus yang dikonfirmasi terjangkit Ebola di Liberia dan masih terdapat 7.400 kasus Ebola yang dicurigai tidak dideteksi.

Virus Ebola pertama terdeteksi di Liberia pada Maret 2014. Sejak saat itu, lebih dari 4.700 kematian terjadi lantaran Ebola, 189 diantaranya merupakan 189 petugas kesehatan.

Presiden Ellen Johnson Sirleaf mengatakan masa kerusakan dan kematian lantaran virus Ebola sudah selesai. Meski luka dan ingatan terhadap para korban tak akan pernah terlupakan. “Rasa sakit dan kesedihan tak akan bisa hilang, namun generasi Liberia akan terus tersembuhkan,” katanya.

Sementara itu, seorang juru bicara untuk WHO mengatakan, “Ini merupakan penghargaan kepada pemerintah dan rakyat Liberia yang memiliki teak dan keberanian yang tak pernah tergoyahkan untuk mengalahkan Ebola. Bahkan dalam kondisi sesulit apapun, seperti kelengkapan alat pelindung diri yang tak pernah memadai.”

Menurut WHO, empat dari enam negara yang mengalami epidemi Ebola dan telah dinyatakan bebas, kembali kambuh setelah tiga tahun. Kiat-kiat pencegahan telah dikampanyekan di Liberia seperti hidup higienis. (sip)

sumber: http://www.cnnindonesia.com/

Komnas Pengendalian Tembakau Desak Pemerintah Tolak Intervensi Industri Rokok

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) bersama kelompok peduli pengendalian tembakau lainnya mendesak pemerintah agar menolak segala bentuk intervensi industri rokok multinasional dalam mencegah kenaikan cukai rokok yang dilakukan dalam forum-forum yang mereka sponsori.
“Industri rokok bisa mengintervensi lewat berbagai bentuk, misalnya lobi tingkat tinggi lewat lembaga internasional,” kata Ketua Umum Komnas PT Prijo Sidipratomo melalui siaran pers diterima di Jakarta, Kamis (7/5/2015).

Karena itu, Komnas PT menyayangkan keterlibatan sejumlah pejabat Indonesia dari sektor keuangan dan fiskal dalam Asia Pasific Tax Forum yang diselenggarakan International Tax and Investment Center (ITIC) pada Selasa-Kamis (5-7/5) di New Delhi, India.

Pasalnya, ITIC merupakan organisasi yang sudah masuk dalam daftar hitam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia karena disponsori empat perusahaan rokok multinasional seperti Philip Morris International, British American Tobacco, Imperial Tobacco, dan JTI.

Berbagai kritikan terhadap forum tersebut telah menyebabkan Bank Dunia menarik dukungan dan sejumlah pejabat keuangan dari berbagai negara memutuskan tidak ikut berpartisipasi.

Komnas PT menilai forum yang diselenggarakan tersebut merupakan bentuk intervensi industri rokok untuk mengagalkan kebijakan negara menaikkan cukai rokok. Apalagi, forum tersebut mendiskusikan kebijakan pajak.

Menurut Komnas PT, harga rokok di Indonesia masih sangat murah dan dapat dijangkau, termasuk oleh anak-anak. Karena itu, untuk membatasi konsumsi produk adiktif tersebut, perlu ada kenaikan cukai rokok semaksimal mungkin.

Kenaikan cukai rokok akan menyebabkan kenaikan harga rokok sehingga akses kelompok rentan seperti rakyat miskin dan anak-anak dapat dikendalikan.

“Indonesia seperti medan perang di mana pemilik industri menjadi orang-orang terkaya dari uang orang-orang miskin yang kecanduan rokok,” kata guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Jakarta Hasbullah Tabrani.

sumber: http://nasional.kompas.com/