Apotik Tak Boleh Simpan Obat Bermasalah

23mar

23marKepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparringa meminta pada apotik dan toko obat untuk tidak menyimpan obat suntik buvanest spinal produksi PT Kalbe Farma yang bermasalah. Hal itu untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

“Jika ada apotik atau toko obat yang kesulitan dalam proses pengembalikan buvanest, bisa menghubungi BPOM. Akan kami bantu prosesnya,” kata Roy kepada wartawan, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (23/3).

Hadir dalam kesempatan itu Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek dan jajaran eselon satu di lingkungan Kemenkes.

Pernyataan Roy disampaikan terkait dengan ucapan ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta bahwa hingga kini masih ditemukan Buvanest Spinal produksi PT Kalbe Farma di pasaran, meski dengan nomor seri yang berbeda.

Padahal, lanjut Marius, BPOM sejak 17 Februari 2015 lalu telah membekukan izin edar Buvanest Spinal buatan PT Kalbe Farma. Itu artinya, obat anastesi tersebut tak boleh ada di pasaran untuk semua produk, tak hanya pada nomor batch tertentu yang terbukti bermasalah.

“BPOM dan Kemenkes harus serius tangani masalah Buvanest bermasalah ini. Jangan sampai kasus seperti meninggalnya dua pasien di rumah sakit Siloam Karawaci terulang lagi,” kata Marius dalam sebuah diskusi, pekan lalu.

Untuk itu, Kepala BPOM meminta pada para pihak untuk melaporkan apotik yang masih memiliki stok Buvanest Spinal di gudangnya. BPOM akan menurunkan tim untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Sulit kalau hanya berdasarkan katanya. Kami ingin ada daftar nama-nama apotik yang memang masih menyimpan Buvanest,” ucap Roy menegaskan.

Roy menambahkan, pihaknya sejak 18 Maret 2015 lalu telah mengeluarkan sanksi kepada PT Kalbe Farma. Yaitu berupa instruksi untuk menghentikan pendistribusian produk Buvanest Spinal serta menarik produk tersebut yang sudah telanjur beredar di pasaran.

“Kami tidak bisa memberi sanksi pidana atas kasus ini. BPOM tak punya kewenangan itu,”ucap Roy menegaskan.

Hasil investigasi yang dilakukan BPOM dan Kemenkes menunjukkan adanya pencampuran produk. Ampul Buvanest yang seharusnya berisi bupivacaine untuk obat bius, ternyata berisi Asam traneksamat yang merupakan obat untuk mengatasi perdarahan.

Pada 17 Februari 2015, BPOM sebetulnya juga telah membekukan nomor izin edar Buvanest Spinal dan menyegel ruang produksi serta seluruh produk yang diproduksi di line 6. Selain Buvanest Spinal dan Asam traneksamat, masih ada 26 jenis obat yang diproduksi di line tersebut.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan dalam kasus tersebut RS Siloam telah melakukan penanganan sesuai prosedur, baik standard operation procedure (SOP) penanganan obat maupun pelayanan pasien. (TW)

 

KPK Diminta Awasi Sektor Pendidikan dan Kesehatan

Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto (BW) menegaskan KPK harus fokus pencegahan dan pemberantasan korupsi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Alasannya, ada potensi terjadinya korupsi.

Hal itu disampaikan Bambang saat berbicara dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Warga Djakarta (Iwarda) Peduli Indonesia, di Jakarta, Rabu (17/3). Hadir di acara itu dosen Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, Abdul Fickar Hadja dan Ketua Iwarda Peduli Indonesia, Trubus Rahardiansah. Tema diskusi ‘Kisruh Antara KPK-Polri Tak Kunjung Usai’

Bambang menuturkan dari sektor pendidikan ada alokasi dana 20 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang memang perlu dikawal agar tidak terjadi penyimpangan. Begitu juga sektor pelayanan kesehatan, dan BPJS berpotensi terjadinya korupsi.

“Namun memang tidak mudah dalam memberantas korupsi, karena terkadang akan menghadapi fight back (serangan balik), sehingga muncul kekisruhan antarlembaga,” tutur Bambang.

Menurut dia, ancaman pemberantasan korupsi terjadi karena adanya sistem oligarki yakni, konspirasi, atau sekutu yang melibatkan politisi dan birokrasi. “Sistem oligarki memiliki daya rusak terhadap upaya pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Bambang juga mengusulkan dalam pemberatasan korupsi perlu partisipasi masyarakat dengan membangun sistem reward policy atau pemberian hadiah bagi masyarakat yang melaporkan dugaan korupsi.

“Dengan sistem ini masyarakat diberikan hadiah sebesar 20 persen dari uang yang disita dari koruptor yang dilaporkannya. Jadi melalui sistem ini kita mendorong masyarakat untuk partisipasi dalam pemberantasan korupsi,” katanya.

Ketua Iwarda Peduli Indonesia, Trubus Rahardiansah, menyayangkan energi dan konsentrasi aparat penegak hukum, baik KPK dan Polri disedot oleh masalah internal kedua instansi tersebut.

“Penegakkan hukum terhadap pelaku koruptor terancam jalan di tempat, bahkan macet, sehingga ruang gerak koruptor kembali leluasa,” papar Trubus. (johara)

sumber: http://poskotanews.com/

 

Diagnosis Penyakit Makin Cepat dan Tepat Berkat Teleradiologi

Dunia kedokteran semakin maju saja. Berkat Teleradiologi, alat yang dikembangkan VRad (perusahaan telemedicine dari Amerika Serikat), proses diagnosis suatu penyakit dapat diketahui secara akurat dalam waktu kurang dari 1 jam.

“Diagnosis akurat dan cepat sangat diperlukan untuk memastikan pengobatan yang efektif dan segera,” kata dr Ivan Rizal Sini dari Rumah Sakit Bunda Jakarta dalam diskusi tentang teknologi Teleradiologi, di Jakarta, Rabu (18/3).

Ivan mencontohkan benjolan yang ada di paru. Belum jelas apakah itu termasuk tumor jinak atau kanker, karena jika dilihat melalui foto rontgen terlihat sangat mirip.

“Lewat teleradiologi, hasil pencitraan atau imaging baik melalui rontgen, computerized tomography (CT) Scan atau MRI (magnetic resonance imaging) bisa diketahui dengan cepat, apakah benjolan tersebut tumor jinak atau kanker,” katanya.

Kepastian soal penyakit menjadi penting, lanjut dr Ivan Rizal Sini, karena penanganan dua penyakit itu beda. Jika data sudah memastikan bahwa benjolan tersebut adalah tumor jinak, maka akan dilakukan standar penanganan untuk tumor.

“Salah satu faktor ketidakberhasilan terapi atau terjadinya malpraktik akibat salah diagnosis. Itu karena ada banyaj penyakit yang kondisi maupun gejala-nya terlihat mirip satu sama lain. Untuk itu, kami menilai perlunya teleradiologi bagian dari fasilitas rumah sakit bunda,” ujarnya.

Dr Ivan mengakui, pemanfaatan teknologi diagnostik pencitraan seperti teleradiologi ini mempengaruhi biaya pasien. Namun, jika melihat tingkat kecepatan dan keakuratan diagnosis, maka tambahan biaya dalam teleradiologi menjadi terbayarkan.

“Biaya teleradiologi ini sekitar 70-100 dolar Amerika per tindakan. Jika pengobatan menjadi efektif, maka pasien justru lebih hemat karena tidak harus bolak balik ke rumah sakit akibat salah diagnostik,” ujarnya.

Ditanyakan apakah teleradiologi ini wajib dilakukan pada seluruh pasien, dr Ivan mengatakan, hanya pada penyakit tertentu saja yang membutuhkan kejelasan.

“Sesuai kebutuhan saja. Jika dokter merasa butuh kejelasan atas kondisi suatu penyakit, baru dilakukan teleradiologi. Itupun kalo pasien mau,” ujarnya.

Dr Ivan mengemukakan teleradiologi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Namun, teknologi teleradiologi yang dikembangkan VRad mampu mendignosa penyakit lebih cepat dan akurat. Untuk stroke, hasilnya diketahui dalam 20 menit, sedangkan trauma dalam tubuh sekitar 12 menit. (TW)

{jcomments on}

Ratusan Tenaga Kesehatan Dikirim ke Perbatasan

18mar15

18mar15Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui program Nusantara Sehat akan mengirim ratusan tenaga kesehatan ke daerah perbatasan di seluruh Indonesia. Mereka akan ditempatkan di 120 Puskesmas yang tersebar di 44 kabupaten di 15 provinsi.

“Tahun ini kita fokus kirim tenaga kesehatan ke daerah perbatasan,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDM) Kemenkes, Usman Sumantri di Gedung Pusdiklat Aparatur Badan PPSDM Kesehatan Jakarta, Selasa (17/3).

Dijelaskan, proses rekrutmen tenaga kesehatan telah dilakukan secara online. Saat ini memasuki seleksi tahap kedua. “Cukup banyak tenaga kesehatan yang mendaftar menjadi tim Nusantara Sehat pada angkatan pertama ini,” ujarnya.

Disebutkan jumlah pendaftar dari seluruh Indonesia mencapai 6.671 tenaga kesehatan. Dari jumlah itu, yang lolos seleksi sebanyak 630 orang.

“Sebanyak 630 orang itu dipanggil ke Jakarta untuk ikut seleksi tahap II. Nanti kita ambil yang memiliki kompetensi saja, berapapun jumlahnya,” ucap Usman.

Usman menjelaskan, mereka akan bekerja secara tim dengan anggota lainnya sebanyak 9 orang.Tenaga kesehatan yang menjadi tim Nusantara Sehat yaitu, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik atau analis kesehatan, tenaga kefarmasian, dan kesehatan masyarakat.

“Mereka akan ditugaskan di wilayah perbatasan selama 2 tahun,” tutur Usman Sumantri.

Kemenkes sebenarnya menargetkan sekitar 960 tenaga kesehatan untuk disebar ke beberapa daerah di Indonesia selama 2015 ini. Sebelum diberangkatkan ke daerah, mereka akan diberi pembekalan khusus.

Untuk itu, Kemenkes bekerja sama denganTNI Angkatan Laut untuk memberikan bekal pertahanan selama di laut. Sebab, mereka akan dikirim ke daerah yang akses jalannya tidak mudah.

“Mereka akan menempati daerah perbatasan seperti di Kapuas, KalimantanBarat yang berbatasan dengan Malaysia dan Papua yang berbatasan dengan Papua Niugini hingga Indonesia Timur yang berbatasan dengan TimorTimur,” tuturnya.

Setelah melewati berbagai tahapan seleksi, Usman menambahkan, Tim Nusantara Sehat akan diberangkatkan pada pertengahan April 2015, berdasarkan penempatan masing-masing.

Melalui program Nusantara Sehat diharapkan dapat menekan angka kematian ibu dan bayi, menurunkan angka penyakit tidak menular, serta menerapkan pola hidupbersih dan sehat di masyarakat.

“Program Nusantara Sehat ini penekanannya pada kegiatan promotif dan preventif. Kegiatan dilakukan secara tim dengan tenaga kesehatan lain yang ada di wilayah tersebut” kata Usman menandaskan. (TW)

{jcomments on}

BPOM: Tak Ingin Jadi “Watch Dog” Terus

bpom

bpomMengaku lelah menjadi “watch dog”, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparingga mengubah paradigma lembaga yang dipimpinnya dari bersikap reaktif menjadi preventif. Untuk itu, kegiatan yang bersifat pembinaan akan diperbanyak.

“Sikap reaktif yang selama ini kami lakukan ternyata tak selalu efektif mengatasi masalah penyimpangan standar keamanan obat dan makanan. Karena hukum pun tidak membuat efek jera,” kata Roy dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BPOM, di Jakarta, Senin (16/3).

Acara yang dibuka Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek ini akan berlangsung hingga Kamis (19/3) mendatang.

Roy mengatakan, pihaknya selama ini lebih banyak bersikap reaktif terhadap para pelanggar standar keamanan obat dan makanan. Dalam lima tahun mendatang, sikap tersebut akan diubah ke arah preventif.

“Lima tahun mendatang kami ubah paradigma BPOM menjadi lebih proaktif. Mengajak industri baik skala besar maupun skala rumahan untuk membuat produk obat dan makanan sesuai dengan CPOB (cara pembuatan obat yang baik) dan good manufacturing practices (GMP),” ujarnya.

Karena disadari, lanjut Roy Sparingga, penegakan hukum yang seharusnya bisa membuat efek jera, ternyata tidak sesuai harapan. Karena kasus penggunaan barang berbahaya dalam obat dan makanan tetap marak setiap tahunnya.

“Pengawasan yang kita lakukan fokus memperbaiki standar cara produksi obat dan makanan. Ke depan, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang obat-obatan akan diberikan porsi perhatian lebih besar,” katanya menegaskan.

Selain itu, ditambahkan Roy, pihaknya juga akan bersinergi dengan kebijakan pangan dan obat di daerah, ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, dan anggaran pembinaan yang cukup. (TW)

 

Kemitraan Indonesia-Australia untuk kesehatan NTT positif

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Stef Bria Seran, mengatakan kemitraan Indonesia-Australia melalui program “Australia Indonesia Partnership for Maternal And Neonatal Healt” (AIPMNH) atau program kesehatan ibu dan bayi baru lahir berdampak positif.

“Dampak dari kemitraan yang dibangun sejak 2008 itu di bidang kesehatan terutama pada Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) lebih nampak dirasakan jutaan ibu dan bayi di 14 kabupaten di NTT yang mejadi sasaran dari program AIPMNH,” katanya pada Workshop Penguatan Jurnalis Kupang untuk advokasi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kupang, Kamis.

Ia menyebut fakta dari dari dampak kemitraan kedua negara tetangga itu pada tingkat kematian ibu di NTT yang sebelumnya adanya program kemitraan itu (2008) tergolong tinggi di Indonesia yaitu mencapai 330 orang hingga menjelang berakhirnya program tersebut pada Juli 2015, turun menjadi 159 orang per setiap 1.000 kelahiran.

“Ini perlu diapresiasi, karena berkat kebijakan dari Negara Kanguru itu yang telah memberi anggaran untuk terselenggaranya program penguatan, pemberdayaan serta penyelamatan melalui tim dan tenaga teknis dilapangan dalam rangka implementasi rencana dan program kerja yang telah disepakati dan ditetapkan bersama,” katanya.

Meskipun juga harus diakui bahwa dibalik kesuksesan bersama mitra kerja Dinas Kesehatan setempat menurunkan angka kematian ibu, karena tingkat kesadaran para ibu hamil untuk melahirkan pada fasilitas kesehatan yang telah tersedian itu mencapai 87 persen, juga masih menyisakan persoalan tingkat kematian bayi yang belum menggembirkan di NTT.

Hal ini (tingkat kematian bayi) dibenarkan oleh Manager Transisi AIPMNH NTT Dr Henyo Kerong dan Staf program John Th Ire bahwa tingkat kematian bayi di NTT dalam lima tahun terakhir belum menggembirakan (angkanya fluktuatif–naik turun) dari tahun ke tahun.

“Tingkat kematiannya masih kematian bayi di NTT mencapai 1.274, namun pada 2009 turun menjadi 1.215 orang. Tahun 2010 naik lagi menjadi 1.305 orang, namun pada 2011 turun menjadi 1.272 orang bayi,” katanya.

Berikut mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka–Flores Tengah itu menagatakan pada 2012, kasus kematian bayi meningkat menjadi 1.350 orang, namun pada 2013 turun lagi menjadi 1.286 orang, dan pada tahun 2014 turun lagi menjadi 1.282 orang per 1.000 kelahiran yang hidup.

“Ini (tingkat kematian bayi) di NTT memang masih fluktuatif, bahkan tergolong tinggi jika dikaitkan dengan standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan yang hanya boleh mencapai 230 orang per 1.000 kelahiran yang hidup,” katanya.

Namun menurut dia, sukses menurunkan tingkat kematian ibu pada saat melahirkan tidak lantas membuat sekitar 5,1 juta penduduk di NTT cepat puas atau belum menggembirakannya tingkat kematian bayi di NTT dalam kurun waktu tertentu itu membuat putus asa dan tidak lagi berjuang melawan dan menghapus stigma itu.

Ia yakin kompilasi cerita sukses yang telah dirangkum lembaga swadaya masyarakat internasional yang telah peduli akan kesehatan bagi masyarakat daerah pedalaman akan menjadi motivasi dan dan dorongan untuk melanjutkan perjuangan yang akan segera ditinggalkan dan berganti program dengan nama baru, tetapi masih dalam konteks kesehatan.

sumber: http://www.antaranews.com/

 

Indonesia Dinilai Belum Akomodir Teknologi Kesehatan Lokal

C-TECH Group Indonesia, penemu teknologi penyembuh kanker, menilai pemerintah Indonesia belum mampu mengakomodir perkembangan teknologi dunia kesehatan untuk pelaku lokal.

Warsito R. Taruno, Group CEO C-TECH Group Indonesia, mengatakan hingga kini pemerintah belum memiliki regulasi khusus terkait dengan penggunaan secara massal teknologi kesehatan yang ditemukan oleh peneliti dalam negeri.

“Bagi peneliti dalam negeri izin edar dan skema produksi massal masih belum jelas aturannya. Hal ini menghambat perkembangan teknologi dan dunia kesehatan Indonesia,” ujarnya di Tangerang, Rabu (11/3/2015).

Menurutnya, skema izin edar yang ada di Indonesia saat ini penerapannya masih diperuntukkan bagi produk-produk kesehatan luar negeri. Sementara bagi pelaku lokal yang tengah mengembangkan teknologi kesehatan, belum ada regulasi dan ketentuan yang mengaturnya.

Dia mencontohkan keberhasilan pihaknya menemukan teknologi penyembuh kanker payudara dan otak hingga kini kesulitan mendapatkan izin edar untuk digunakan oleh para praktisi kesehatan dalam menyembuhkan penyakit kanker.

Tidak hanya itu, teknologi penyembuh kanker yang ditemukan dengan biaya jauh lebih murah ketimbang teknologi dari luar negeri ini hingga kini kesulitan melakukan produksi massal dan secara resmi digunakan oleh instansi kesehatan di Indonesia.

Padahal, 90% komponen produk yang dapat menyembuhkan penyakit kanker ini berasal dari dalam negeri. Tidak hanya itu, konsep utama dari teknologi ini pun berasal dari peneliti-peneliti Indonesia.

“Produk kami bahkan telah diakui oleh Jepang dan Amerika. Jepang merupakan pihak yang secara regular memesan komponen inti teknologi ini untuk kemudian dikemas ulang dan dipasarkan ke negara lain,” ujarnya.

sumber: http://industri.bisnis.com

 

Dokter Kini Terlindungi Risiko Malpraktek

10mart-1

10mart-1Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menggandeng perusahaan asuransi Asei Indonesia untuk melindungi para dokter atas risiko malpraktek. Diharapkan, proteksi semacam ini membuat dokter bekerja lebih tenang dan profesional.

Penandatanganan kerjasama dilakukan Ketua Ketua Primer Koperasi (Primkop) IDI, dr Kadarsyah dengan Dirut PT Asuransi Asei Indonesia, Eko Wari Santoso, di Jakarta, Selasa (10/3). Turut menyaksikan Ketua Umum IDI, dr Zaenal Abidin.

Pada kesempatan yang sama, dilakukan pula penandatanganan kerjasama PB IDI dengan Dirut PT Asuransi Jiwasraya, Hendrisman Rahim untuk program perlindungan hari tua dan risiko meninggal dunia.

Dr Zaenal Abidin menjelaskan, asuransi risiko malpraktek diperlukan jika melihat kasus gugatan atas tuduhan malpraktek oleh dokter semakin meningkat akhir-akhir ini. Kondisi ini tidak saja membuat stress para dokter, tetapi juga membuat “bangkrut” keuangannya.

“Karena selama proses penyelesaian kasusnya, dokter jarang praktek, padahal butuh biaya untuk jalan ke sana ke sini. Belum lagi, kalau pihak penggugat minta kompensasi uang. Dokter langsung bangkrut,” tuturnya.

Soal proteksi malpraktek bagi dokter, menurut Zaenal B IDI, sebenarnya sudah digagas sejak lama. Namun, sulit mencari perusahaan asuransi yang memiliki produk khusus Tanggung Gugat Medikal Malpraktek.

“Saat bertemu dengan Asuransi Asei Indonesia, gagasan soal proteksi malpraktek ini klop. Sebagai perusahaan asuransi yang khusus menangani kerugian, Asei punya produk asuransi khusus seperti yang diinginkan IDI,” ujarnya.

Ditambahkan, premi untuk bisa ikut program proteksi ini beragam mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu per bulan. Dana tersebut bukan sejenis premi yang hilang jika habis waktunya, tetapi masuk dalam program hari tua yang dikelola Asuransi Jiwasraya.

“Jadi ada 3 manfaat dari program ini, dokter mendapat tunjangan hari tua dari premi yang telah dibayarkan, sekaligus proteksi dari risiko malpraktek. Jadi uangnya tidak hilang. Ini jadi semacam menabung untuk hari tua, tetapi dilindungi asuransi proteksi,” ujarnya.

Dr Dien Kurtanti, General Manager Primkop IDI menjelaskan, setiap dokter yang sudah tergabung dalam asuransi ini jika terkena kasus tinggal menelpon tim penanganan kasus di IDI. Nanti bersama dengan pihak asuransi akan menyelesaikan kasus mulai dari mediasi hingga diputus oleh pengadilan.

“Selama proses mediasi hingga pengadilan, biayanya ditanggung pihak asuransi. Bahkan jika diputuskan bersalah, biaya pertanggungan hingga Rp 1,5 miliar itu pun dibayarkan asuransi. Dokter bisa lebih tenang, karena urusan sudah dilakukan asuransi,” ujarnya.

Peran Primkop IDI dalam kerjasama ini sebagai administrator mulai dari pendistribusian kontribusi premi dan perantara klaim untuk kepentingan asuransi anggota IDI. (TW)

{jcomments on}

Kemkes Bakal Kirim 960 Tenaga Kesehatan ke Wilayah Terpencil

Demi menguatkan layanan kesehatan primer sesuai fokus dari kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) periode 2015-2019 maka dibuatlah program Nusantara Sehat pada Februari 2015.

Dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkenas) 2015, Nusantara Sehat ini menjadi topik yang dibahas oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Farid Moeloek.

Nusantara Sehat, kata Menkes, akan dilaksanakan dengan mengirimkan 960 tenaga kesehatan ke 120 Puskesmas di daerah terpencil, terutama perbatasan dan kepulauan.

“Para tenaga kesehatan ditempatkan sebagai tim, bukan berdiri sendiri, yang akan bekerja untuk mendukung dan kemudian meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, serta memperkuat kapasitas layanan kesehatan di Puskesmas di daerah terpencil,” kata Menteri Kesehatan saat pemaparan Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkenas) 2015 di Grand Clarion Hotel & Convention Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (9/3/2015) malam.

Dilanjutkan Menteri Kesehatan, Nusantara Sehat juga dijadikan sebagai ‘penjaga gawang’ agar semua pihak dapat memelihara dan menjaga kesehatan masyarakat. “Karena tentunya, kita tidak ingin masyarakat yang jatuh sakit jumlahnya semakin banyak,” kata Menkes.

Dengan melakukan penguatan layanan kesehatan primer, Menteri Kesehatan berharap dapat memelihara kesehatan masyarakat Indonesia agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

“Saat ini, tentunya dengan masa transisi, masih banyak masyarakat kita merasakan kewalahan dalam pelayanan kesehatan di sekunder maupun tersier,” kata Menkes.

Berhubung Nusantara Sehat diluncurkan sebagai salah satu prioritas kunci Kementerian Kesehatan selama lima tahun ke depan, Menteri Kesehatan memohon untuk memberikan dukungan penuh dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota agar program ini dapat berjalan sukses.

sumber: http://health.liputan6.com

 

Alasan Indonesia Belum Miliki Regulasi Rokok Elektrik

Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah mengeluarkan sikap bahwa rokok elektrik (rotrik) sangat berbahaya untuk kesehatan. Namun sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum juga mengeluarkan regulasi terkait hal tersebut.

“Sejauh ini masih dalam pembahasan antara Kementerian Kesehatan dan BPOM,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama di seminar kesehatan yang digelar Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia di Jakarta, Selasa (3/3).

Pembahasan terkait rotrik sebetulnya sudah berlangsung sejak tahun 2014. Tapi, menurut Tjandra, ada beberapa persoalan yang membuat regulasi tentang rokok yang dikenalkan pertama kali di Tiongkok pada 2003 itu belum juga rampung.

“Ada banyak hambatan, salah satunya karena rokok elektrik ini belum masuk dalam produk kesehatan. Kalau rokok (konvensional) kan jelas sekali ada aturannya di PP 109, sementara ini (rotrik) hanya barang publik saja yang dijual tanpa izin Kementerian Kesehatan atau BPOM,” ujarnya.

Alasan lainnya juga karena rotrik memiliki jenis yang beragam. WHO sendiri memperkirakan saat ini terdapat 466 merek produk rokok elektrik global dengan nilai penjualan mencapai US$ 3 miliar.

“Rokok elektrik itu banyak macamnya, ada yang menggunakan nikotin, ada juga yang hanya memakai perasa tanpa nikotin. Inilah yang membuat kami kesulitan menyusun regulasi,” ujarnya.

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Rokok Direktorat Pengawasan Napza BPOM, Lela Amelia menambahkan, saat ini rotrik memang dijual bebas tanpa cukai, tanpa label peringatan dan dipasarkan dengan berbagai cara, misalnya pemasukan impor dengan label barang alat elektronik, atau pembelian terbatas dengan frekuensi besar untuk menyiasati cukai.

“(Rokok elektrik) yang beredar di Indonesia itu masuk dalam barang elektronik. Jadi belum ada regulasinya apakah dilarang atau dibatasi. Saat ini (regulasinya) masih dalam proses,” kata Lela.

sumber: http://www.beritasatu.com/