RSPAD Gatot Subroto Temukan Terapi Efektif DBD

7mart15

7mart15Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta berhasil menciptakan terapi efektif penanganan oldemam berdarah dengue (DBD) berstandar internasional.

“Tim peneliti kami telah berhasil membuat ekstrak obat DBD yang bernama Propolis Extract atau Propoelix berbentuk tablet yang berstandar internasional,” kata Kepala RSPAD Gatot Soebroto, Brigjen TNI dr Ponco Agus Prasojo SpB kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (5/3) petang.

Tim peneliti tersebut bekerja sama dengan PT MDxCare sebagai perusahaan netraceutical multinasional yang memfokuskan diri dalam memproduksi suplemen-suplemen dan mineral dengan intensive riset berkualitas tinggi.

Dijelaskan, Propoelix sebenarnya bukan obat utama untuk menyembuhkan DBD, tetapi merupakan obat pendukung yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh sesuai dengan kondisi pasien.

“Monitoring utama DBD adalah pada cairan, dan propoelix ini mendukung pada penambahan cairan pada pasien untuk meningkatkan daya tahan tubuh,” katanya.

Ditambahkan, obat tersebut sudah bisa didapatkan di beberapa rumah sakit besar. Namun, distribusi baru akan diperluas mulai tahun ini. Harga satu botol Propoelix sekitar Rp 400 ribu dengan isi 60 tablet.

“Obat tersebut bisa dikonsumsi orang dewasa tergantung kebutuhan. Namun, belum tersedia untuk dosis anak kecil. Nantinya penggunaan obat tersebut akan disesuaikan dengan anjuran dokter dan kondisi fisik pasien terkait,” katanya.

Dengan adanya obat ini, dr Ponco Agus mengharapkan DBD bisa ditangani lebih cepat dan mengurangi resiko kematian. Kadar obat yang sesuai dengan kondisi tubuh akan mudah diserap oleh kebutuhan cairan tubuh, sehingga pasien tidak akan merasa lemas dan pusing.

“Secara singkat obat ini, mempercepat peningkatan jumlah trombosit dan menurunkan tingkat Tumor Necrosis Factor-a, sehingga mempersingkat durasi rawat inap pasien DBD,” ucapnya menegaskan.

Tim peneliti obat tersebut adalah Kolonel Ckm dr Djoko Wibisono, SpPd-KGH, Letnan Kolonel Ckm dr Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes, Letnan Kolonel Ckm dr Soroy Lardo, SpPD, FINASIM, dan dr Yongkie Iswandi Purnama. (TW)

{jcomments on}

Saatnya Pemerintah Evaluasi Program Imunisasi Dasar

Pemerintah harus segera melakukan evaluasi program imunisasi dasar, terkait maraknya kejadian luar biasa (KLB) atas penyakit campak dan difteria di sejumlah daerah akhir-akhir ini.

“Kondisinya saat ini seperti menyimpan bom waktu yang bisa “meledak” kapan saja ke seluruh Indonesia,”kata Sri Rezeki Hadinegoro, staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusomo, dalam diskusi media tentang program imunisasi, di Jakarta, Rabu (4/3).

Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu menduga, munculnya KLB campak dan difteria disebabkan menurunnya animo masyarakat membawa anaknya untuk imunisasi. Hal itu terjadi akibat “termakan” oleh propaganda ketidakhalalan bahan vaksin untuk imunisasi.

“Pemerintah harus kerja cepat mengembalikan kepercayaan masyarakat akan kehalalan vaksin. Untuk itu, diperlukan klarifikasi yang jelas, baik dari produsen maupun dari Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia,” tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, penetapan KLB difteria terjadi di kota Padang, Bandung dan Jawa Timur pada akhir Januari 2015 lalu. Belum kelar dengan masalah itu, KLB campak pun marak di Kabupaten Aru, Maluku dan sejumlah kota di Jawa Barat seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Bogor.

Padahal, lanjut Sri Rezeki, penyakit seperti tuberkulosis, hepatitis B, difteria, pertusis, polio, tetanus dan campak tergolong ke dalam penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin (vaccine-preventable diseases).

“Jika kemudian penyakit-penyakit itu merebak di kalangan anak-anak, harus dilihat lagi program imunisasi dasar yang telah dilaksanakan pemerintah apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak,” ucap Sri Rezeki mempertanyakan.

Dan yang tak kalah penting, lanjut Sri Rezeki, adalah edukasi ke masyarakat tentang pentingnya program imunisasi dasar pada anak. Mengingat 30 persen dari anak yang ada sekarang ini nanti menentukan arah dan tujuan negara ini. Untuk itu dibutuhkan generasi muda yang cerdas dan sehat. (TW)

{jcomments on}

FKUI: Beberapa wilayah Indonesia alami kejadian kesehatan luar biasa

Beberapa tahun terakhir, beberapa wilayah di Indonesia ada Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam hal kesehatan. Di antaranya KLB difteri di Padang dan Bandung (Januari 2015), KLB campak di Kabupaten Aru, Maluku (2014), KLB difteri di Jawa Timur (2011), dan KLB campak di Bandung, Garut, Tasikmalya, Cianjur, serta Bogor (2011).

Terkait fenomena itu, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menggelar acara temu media tentang “Perkembangan Program Imunisasi di Indonesia” oleh CRID-TROPHID (Center for Research and Integrated Development of Tropical Health and Infectious Diseases) UI. Dilangsungkan di Ruang Kuliah Parasitologi, Departemen Parasitologi FKUI kampus Salemba, Jakarta Pusat, Rabu siang (4/3/15).

Adanya kejadian luar biasa itu, menurut dr. Kartiwa Hadi Nuryanto, SpOG(K), Koordinator Humas dan IRO Fakultas Kedokteran UI, padahal penyakit-penyakit seperti TB, Hepatitis B, Difteri, Pertusis, Polio, Tetanus, dan Campak termasuk ke dalam vaccine-preventable diseases, yaitu penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi.

Data tersebut menunjukkan bahwa cakupan imunisasi disinyalir menurun. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI sejak lama mewajibkan pemberian imunisasi dasar untuk pencegahan penyakit tersebut pada anak.

“Melihat kenyataan ini, diperlukan evaluasi program imunisasi yang menyeluruh oleh semua pihak terkait. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat pun perlu diberi edukasi secara terus-menerus tentang pentingnya imunisasi dan hal-hal yang harus dilakukan,” demikian dijelaskan dalam undangan elekroniknya yang disampaikan Kepala Kantor Komunikasi UI Rifelly Dewi Astuti, SE, MM kepada LICOM, Selasa (3/3/15).

Tak hanya itu, dia menjelaskan, maraknya propaganda mengenai kehalalan bahan vaksin membuat sebagian masyarakat menolak memberikan vaksinasi bagi anaknya. Hal ini diduga menjadi penyebab lainnya dari penurunan cakupan imunisasi di Indonesia. Diperlukan klarifikasi yang jelas, baik dari produsen maupun dari Majelis Ulama Indonesia, sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia mengenai isu ini.

Tidak seperti imunisasi pada anak, pemberian imunisasi pada dewasa hingga saat ini masih belum mendapat perhatian yang semestinya baik dari penyedia pelayanan kesehatan maupun masyarakat.

“Padahal pemberian imunisasi pada dewasa seperti vaksin HPV dan vaksin Hepatitis B, memberikan manfaat yang besar dalam menurunkan angka kematian serta rantai penularan. Untuk itu, edukasi, sosialisasi dan promosi imunisasi dewasa perlu terus dilakukan.”

Acara temu media ini menghadirkan pembicara sebagai berikut:

  1. “Beban Penyakit pada Anak yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia” oleh Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K) (Staf Pengajar FKUI, Anggota Satgas Imunisasi IDAI, dan ketua ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization))
  2. “Beban Penyakit pada Dewasa yang Dapat Dicegah oleh Imunisasi di Indonesia” oleh Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI (Staf pengajar FKUI, anggota Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI)
  3. “Cakupan Program Imunisasi di Indonesia” oleh Ditjen PP & PL, Kementerian Kesehatan RI
  4. “Perkembangan Produksi Vaksin di Indonesia” oleh Prof. dr. Amin Soebandrio, PhD, SpMK(K) (Ketua Lembaga Eijkman)
  5. “Pandangan Agama Islam tentang Imunisasi” oleh Dr. H.M. Hamdan Rasyid, MA (Majelis Ulama Indonesia) @licom_09

sumber: http://www.lensaindonesia.com/

 

Peran Penting Dokter Keluarga

SATU target Millenium Development Goals (MDG’s) 2015 adalah penurunan angka kematian pada anak. Akan tetapi harapan untuk mewujudkan satu target dari MDG’s ini sepertinya tidak akan tercapai tanpa usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait. Di Aceh sendiri ternyata angka kematian bayi juga masih sangat tinggi. Bahkan tiap tahunnya cenderung terjadi peningkatan. Sangat ironis memang, disaat begitu banyaknya dana yang disediakan oleh pemerintah untuk memberikan effort bagi pelayanan kesehatan di Aceh, akan tetapi belum seberapa memberikan kontribusi yang maksimal bagi penurunan morbidity (kesakitan) dan mortality rate (angka kematian) pada anak.

Tingginya kematian anak di Aceh ini dapat disebabkan antara lain oleh karena masih tingginya kasus gizi buruk dan banyaknya anak yang tidak diimunisasi. Berdasarkan data Riskesdas 2013 terdapat 19,8% anak umur 12-23 bulan di Aceh yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Dan patut disayangkan, karena Aceh berada di posisi ke-3 setelah Papua (36,6%) dan Maluku (21,7%). Di antara 33 provinsi di Indonesia, Aceh menempati peringkat tujuh besar dengan kasus gizi buruk/kurang terbanyak. Padahal jika kita tinjau dari aspek perekonomian, pertumbuhan ekonomi kita jauh lebih tinggi dari provinsi lain seperti Papua maupun Jambi. Namun ternyata kasus gizi buruk/kurang yang terjadi pada balita di provinsi kita jauh di atas kedua provinsi tadi.

Hal ini merupakan tamparan keras bagi provider pelayanan kesehatan. Fakta ini sungguh membuat kita terhenyak dan berfikir dimanakah letak permasalahannya? Apakah dari provider pelayanan kesehatan? Ataukah dari sistemnya? Atau bahkan faktor dari pasien sendiri? Namun sudah bukan saatnya lagi bagi kita untuk mencari pihak manakah yang patut dipersalahkan atas fenomena yang terjadi, saatnya kita mencari solusi guna menuntaskan permasalahan gizi buruk-kurang pada balita mengingat untuk mencapai sasaran MDG’s 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4,1% dalam periode 2013-2015.

Menjaga tetap sehat
Penulis kali ini mencoba untuk mengurai simpul satu penghambat tercapainya target MDG’s 2015 melalui peran Dokter Keluarga (DK). Pelayanan DK sangat bermanfaat untuk menyehatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan konsep DK yang bekerja jauh ke hulu, yaitu menjaga masyarakat yang sehat agar tetap sehat dan tidak jatuh sakit. Kalaupun masyarakat jatuh sakit sakit, maka diagnosis awal berjalan dengan baik, dan angka pelayanan kedokteran di strata kedua dan ketiga dapat dikurangi.

Mungkin banyak di antara pembaca yang saat ini sering mendengar istilah dokter keluarga, apalagi saat program BPJS Kesehatan yang berlaku sejak 1 Januari 2014 silam mulai diimplementasikan. Akan tetapi banyak di antara kita yang masih bingung, apakah dokter keluarga itu sama seperti Dokter Praktik Umum (DPU)? Jangankan masyarakat, stakeholder kita pun juga masih kurang begitu memahami apakah perbedaan diantara keduanya, baik itu secara definitif, sifat dan cakupan pelayanan, cara pelayanan, peran keluarga serta jenis pelayanan yang diberikan.

Dokter Keluarga (DK) adalah dokter yang menyelenggarakan pelayanan medis kepada individu dan keluarga secara kontinyu, komprehensif, koordinatif, tanpa memandang jenis kelamin, golongan usia, penyakit, ataupun sistem organ. Jika kita tinjau dari berbagai aspek, maka akan semakin jelaslah perbedaan antara DK dengan DPU. DK memiliki sifat dan cakupan pelayanan yang lebih luas, menyeluruh dan paripurna serta tidak terbatas pada apa yang dikeluhkan oleh pasien saja. Sementara DPU, sifat dan cakupan pelayanannnya lebih terbatas dan hanya berdasar dengan apa yang dikeluhkan oleh pasien saja. Misalkan pada kasus seorang ibu yang datang membawa anaknya dengan keluhan demam, batuk dan pilek. Berbeda dengan DPU, DK tidak hanya mengatasi apa yang dikeluhkan pasien itu, namun ia juga akan melihat dari segala aspek, melihat dan mengukur berat badan, tinggi badan, untuk menentukan status gizi si anak, apakah termasuk normal, kurus atau gemuk.

Masalah kurus dan gemuk merupakan hal yang esensial karena berdasarkan Teori Baker, kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa nanti. Sehingga dari awal, DK sudah dapat melakukan upaya deteksi dini dengan melakukan screening, sehingga dapat menegakkan diagnosa awal, sebelum permasalahan kesehatan itu menjadi kronik dan berakibat kurang baik bagi pasien, keluarga dan tenaga kesehatan. Apapun ceritanya, jika suatu penyakit dapat diketahui secara dini, maka akan lebih mudah untuk diobati, dan tentunya akan berefek pada hematnya dana kesehatan yang harus digelontorkan oleh pemerintah di masa depan (menyangkut cost effectiveness).

sumber: http://aceh.tribunnews.com/

 

BPJS Kesehatan: Gandeng ICMI untuk Promotif dan Preventif

3mar

3marBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menggandeng Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk mengembangkan kegiatan promotif dan preventif. Dua cara itu diharapkan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat, sebagai salah satu keberhasilan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Jika masyarakat sehat maka biaya progran JKN bisa dikendalikan,” kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dalam seminar bertema “Model dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Promotif Preventif” di kantor pusat BPJS Kesehatan di Jakarta, Sabtu (28/2).

Fachmi Idris menjelaskan, kerja sama dengan ICMI akan melibatkan para “Duta Promotif Preventif” dari BPJS Kesehatan yang bertugas memberi edukasi dan melakukan sosialisasi kepada peserta secara langsung mengenai pentingnya menjaga kesehatan.

Para Duta tersebut juga ikut memonitoring pelaksanaan program pada peserta binaan, agar hasilnya bisa tercapai sesuai harapan.”Program promotif dan preventif ini sangat penting untuk menjaga peserta yang sehat tetap sehat, dan peserta yang sakit tidak bertambah parah. Demi keberlangsungan program JKN,” ujarnya.

Sementara Ketua Presidium ICMI, Sugiharto mengatakan, kegiatan promotif dan preventif nantinya akan dimasukkan dalam program satu desa satu BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) yang dikembangkan ICMI.

“Kami akan mendorong para santri di desa untuk membantu BPJS Kesehatan untuk mempromosikan gaya hidup sehat. Sehingga nantinya semakin banyak orang sehat yang membantu orang sakit,” ujar Sugiharto.

Pada tahap awal, lanjut Sugiharto, Duta Promotif Preventif BPJS Kesehatan akan dikolaborasikan dengan program satu desa satu BMT untuk memberdayakan 50 desa di Jawa Barat. Jika program ini berhasil maka bisa diaplikasikan ke desa lain di Indonesia. (TW)

{jcomments on}

Masyarakat Belum Sepenuhnya Memahami Pentingnya K3

Sosialisasi penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dilakukakan Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri pada Car Free Day (CFD) yang digelar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

Hal ini dilakukan karena tingginya kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia, 103 ribu kasus per tahun dengan angka kematian 8 orang per hari .

Dalam CFD Minggu (1/3)tersebut, tema K3 yang dikampanyekan adalah safety is my life.”Hari ini Kemnaker sengaja melakukan kampanye mengenai K3 kepada masyarakat. Tadi jalan dari Monas sampai ke Bundaran HI kemudian tadi ada demo dari beberapa teman yang menggunakan metode dan perlengkapan K3 di ketinggian dengan baik,” kata Hanif.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat belum sepenuhnya memahami arti pentingnya K3. “K3 merupakan instrumen penting dan harus menjadi gaya hidup bagi masyarakat di lingkungan kerjanya. Kami ajak masyarakat untuk bersama-sama menggelorakan K3 di semua sektor pekerjaan, dari berangkat sampai pulang kerja intinya selamat dan sehat,” kata Hanif.

Hanif menambahkan, saat ini tingkat kecelakaan kerja di Indonesia tinggi mencapai sekitar 103 ribu per tahun.”Kondisi ini sangat memperihatinkan, pekerja yang meninggal dunia mencapai 2.400 dari 103 ribu angka kecelakaan kerja per tahun. Kalau dihitung rata-rata per hari ada delapan orang meninggal dunia karena kecelakaan kerja,” jelas Hanif.

Oleh karena itu, Hanif menginstruksikan kepada perusahaan yang tersebar di Indonesia untuk sesegera mungkin menerapkan program Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).

“Kita minta seluruh perusahaan dan industri menerapkan SMK3. Perusahaan harus memastikan agar K3 bisa terlaksana dengan baik. Kita akan terus awasi dan memberikan pembinaan secara intensif agar industri dapat menerapkan K3 dengan baik,” ujar Hanif.

Menurut Hanif, kebanyakan para pekerja Indonesia kurang mementingkan keselamatannya dalam bekerja. Banyak masyarakat mengabaikan keselamatannya saat bekerja, misalnya kalau bekerja helmnya tidak dipakai padahal perusahaan sudah menyediakannya, seharusnya pekerja wajib memakai itu.

Ia mengingatkan, jangan sampai masyarakat Indonesia terus berperilaku seperti itu.” Kita ingin menanamkan kesadaran masyarakat tentang K3 sebagai safety in my life,” tegasnya.

Oleh karena itu, Hanif berharap kepada segenap masyarakat luas untuk bersama-sama berperilaku sehat dan membudayakan K3 di tempat-tempat mereka bekerja. Penerapan K3 di lingkungn kerja baik di kawasan industri maupun perusahaan mutlak diperlukan lantaran selain untuk melindungi keselamatan dan kesehatan bagi pekerja, juga dapat menekan kerugian yang diakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta menunjang tercapainya produktifitas produksi.

“Dewasa ini penerapan K3 tidak hanya diperlukan di tempat kerja saja. K3 perlu dibiasakan mulai di rumah tangga, sekolah tempat kerja. Ini yang kami kampanyekan ke masyarakat,” kata Hanif seraya menambahkan kecelakaan yang dialami pekerja tidak hanya menimbulkan korban jiwa maupun kerugian material bagi pekerja dan pengusaha, tetapi dapat menganggu proses secara menyeluruh.

sumber: http://poskotanews.com/

 

Ikatan Apoteker: Kemenkes Perlu Audit Layanan Kesehatan

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai perlu dilakukan audit layanan kesehatan khususnya di rantai distribusi dan rumah sakit menyusul tewasnya dua pasien di RS Siloam Karawaci.

Sekretaris Jenderal IAI, Noffendri, mengatakan proses audit tersebut perlu dilakukan dan menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan mengingat dari sisi produksi telah dilakukan berdasarkan Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) yang berstandarisasi internasional.

“Proses audit layanan kesehatan khususnya dirantai distribusi dan rumah sakit ini perlu dilakukan. Kami sebagai apoteker sangat mengetahui, proses produksi dilakukan dengan amat ketat. Jangankan isi kemasan, untuk warna kemasan saja pengawasannya begitu ketat. Artinya dari sisi produksi seharusnya tidak ada masalah,” katanya, Kamis (26/2/2015).

Dia mengatakan, produksi farmasi Indonesia sudah diakui secara Internasional. Selain itu, lanjutnya, pengawasan BPOM terhadap CPOB selama ini dilakukan secara ketat dan pengecekan rutin dua tahun sekali.

“Itu semua (pengawasan BPOM) didokumentasikan dan mudah ditelusuri, mulai dari impor bahan baku hingga pengujiannya,” jelasnya.
Noffendri juga menilai peristiwa yang terjadi di RS Siloam Karawaci tersebut tidak terkait adanya kemungkinan sabotase karena persaingan bisnis. “Kita asumsikan saja 90 persen sudah ditarik dari peredaran dan 10 persennya sudah digunakan. Satu batch berisi 13 ribu ampul, namun mengapa hanya dua ampul yang bermasalah, dan lainnya tidak? Jika ini soal sabotase, pasti tidak hanya dua ampul, namun pasti dalam jumlah besar,” ujarnya.

Terkait dugaan tertukar atau kemiripan label, menurut dia juga hal yang mustahil. Menurut dia, label obat berbentuk print out kemasan bukan berupa label bentuk tempel. Dugaan adanya mix up dalam produksi, lanjutnya, juga terbilang janggal, karena dalam produksi obat, ada proses clearance. “Apalagi industri sebesar Kalbe, mereka pasti amat concern terhadap proses tersebut,” tegasnya.

Noffendri mensinyalir ada upaya penggiringan opini untuk menumpukan kesalahan pada sistem produksi, “saya melihat ada upaya kesana,” ujarnya.
Dua hari setelah peristiwa meninggalnya dua pasien RS Siloam Karawaci, pihak rumah sakit menyatakan langkah mereka sudah sesuai SOP, “masa baru dua hari sudah menyatakan SOP benar, padahal pemeriksaan belum dilakukan saat itu,” katanya. IAI berharap BPOM melakukan audit dan bersikap fair.

sumber: http://www.tribunnews.com/

 

Hipertensi Penyebab Tertinggi Gagal Jantung

25feb15-1

25feb15-1Jangan pernah abaikan hipertensi atau tekanan darah tinggi. Hipertensi yang tak terkontrol dapat menimbulkan gagal jantung. Kondisi dimana jantung tidak cukup memompa darah ke seluruh tubuh.

“Dari pengalaman selama ini, gagal jantung paling banyak disebabkan oleh hipertensi. Tapi tak banyak orang yang abai masalah ini, ” kata Dicky Hanafy, dokter spesialis jantung dan pumbuluh darah Rumah Sakit Bunda Jakarta, di Jakarta, Selasa (24/2).

Karena itu, lanjut dr Dicky dalam seminar bertajuk ” “Living with Heart Disease”, penting bagi seseorang yang mempunyai riwayat hipertensi, jantung dan stroke dalam keluarga untuk memeriksakan secara rutin tekanan darahnya. Jika kondisinya sudah masuk pra-hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.

“Tekanan darah 120/80 sebenarnya sudah masuk pra-hipertensi. Meski belum kelihatan ada gejala, jika sudah dalam kondisi ini, harus melakukan perubahan gaya hidup yang mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, hindari stress, rokok dan minuman keras,” ujarnya.

Ditambahkan, gagal jantung dapat disebabkan faktor lain seperti kelainan otot jantung, kelainan katup jantung dan kelainan irama jantung. Selain itu, kelainan paru kronis juga dapat menimbulkan gagal jantung karena sirkulasi darah saling berhubungan.

“Ada beberapa gejala yang timbul akibat gagal jantung, antara lain merasa cepat lelah karena jantung tidak memompa dengan baik, sesak napas saat beraktivitas dan terbangun di malam hari akibat kesulitan bernafas,” tuturnya.

Ditambahkan, saat terbaring telentang, penderita gagal jantung kerap merasa tidak mendapat cukup udara. Gejala lainnya berupa pembengkakan pada tungkai dan napsu makan berkurang karena terlalu banyak cairan dalam tubuh.

{jcomments on}

TB Banyak Ditemukan di Lapas/Rutan

24feb15

24feb15Penyakit tuberkulosis (TB) ternyata paling banyak ditemukan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Hal itu bisa terjadi sebagai dampak dari sesaknya penghuni di kedua tempat tersebut.

“Orang di penjara biasanya mudah stress. Orang stress daya tahan tubuhnya rendah. Kena percikan ludah dari penderita TB sedikit saja, kumannya langsung menular,” kata Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Sigit Priohutomo di Rutan Cipinang, Jakarta, Selasa (24/2).

Hadir dalam kesempatan itu Direktur Bina Kesehatan dan Perawatan Narapidana, Kementerian Hukum dan HAM, Nugroho dan Kepala Rutan Kelas I Cipinang, Asep Sutarda.

Untuk itu, lanjut Sigit, program eliminasi TB sejak tahun lalu difokuskan di rutan maupun lapas. Dari 382 lapas/rutan yang ada di Indonesia, sudah ada 251 lapas/rutan yang mendapat intervensi penanganan TB.

“Biasanya penyakitnya sudah komplikasi dengan penyakit lain seperti TB dengan Hiv/Aids, TB dengan hipertensi atau TB dengan diabetes. Semua diobati sesuai indikasinya,” tutur Sigit Priohutomo.

Sigit mengakui bukan perkara mudah mengobati pasien TB. Karena butuh ketekunan minum obat rutin hingga 6 bulan nonstop. Biasanya, pasien berhenti di bulan kedua, karena merasa kondisi kesehatannya membaik dan ditunjang rasa bosan minum obat terus menerus.

“Begitu berhenti minum obat, kuman jadi resisten atau kebal. Sehingga butuh obat baru TB yang lebih kuat dan waktunya lebih lama,” kata Sigit.

Ia mencontohkan pengobatan TB normalnya selama 6 bulan. Jika kuman sudah resisten, diganti obat lain dengan waktu pengobatan diperpanjang menjadi 1,5 tahun.

Jika menggunakan obat suntik yang biasanya selesai dalam kurun waktu 2 bulan. Jika sudah resisten pengobatan dengan suntik diperpanjang menjadi 6 bulan.

“Kalau sudah resisten, biaya pengobatannya jadi mahal. Karena harga obat baru lebih mahal dibandingkan obat TB lama. Waktunya pun jadi lebih lama. Kenaikan biayanya jadi berlipat-lipat,” ujar Sigit.

Kepala Rutan Cipinang, Asep Sutarda mengakui adanya over kapasitas di setiap lapas/rutan. Di Rutan Cipinang sendiri, kelebihan kapasitas itu mencapai 302 persen.

“Kapasitas Rutan Cipinang yang seharusnya dihuni sekitar 1000 orang, kini menjadi 3 ribu orang. Bisa dibayangkan bagaimana sesaknya di rutan,” kata Asep.

Ditambahkan Asep, penyakit tertinggi yang ada di Rutan Cipinang selain TB juga ada HIV, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), hepatitis, hipertensi, dan penyakit kulit.

“Tahun 2014 ada 42 kematian di Rutan Cipinang. Faktor penyebabnya komplikasi penyakit TB dengan HIV. Ada karena Ispa dan hepatitis,” kata Asep menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Bank Dunia: Pelayanan Kesehatan di Indonesia Memprihatinkan

Bank Dunia mengatakan bahwa penerapan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah sebuah langkah maju yang penting dalam memerangi kemiskinan dan mengurangi kerentanan kemiskinan. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah terkait kesehatan.
Adapun hal tersebut, antara lain fasilitas kesehatan dan akses untuk mendapatkannya. Selain itu, ketersediaan tenaga ahli dalam bidang kesehatan yang dinilai masih minim.

Kepala Tim Bank Dunia yang menangani masalah isu kesejahteraan sosial di Indonesia, Cristobal Ridao Cano mengatakan bahwa negara ini memerlukan pelayanan kesehatan yang memadai.

“Fasilitas kesehatan belum dilengkapi pelayanan dasar secara baik terutama di Indonesia Timur, misalnya imunisasi rutin bayi, pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kebidanan,” ungkap Cristobal di Kantor Bank Dunia, Jakarta, Rabu, 18 Februari 2015.

Selain itu, lanjutnya, akses kesehatan memang sudah meningkat tetapi tetap menjadi tantangan serius di beberapa daerah khususnya Indonesia bagian timur. “Di Indonesia Timur banyak warga yang pergi lebih dari 20 kilometer bahkan di atas 30 kilometer untuk akses kesehatan terdekat,” jelasnya.

Menurut dia, fasilitas puskesmas tidak memiliki sarana pelayanan dasar, seperti perawatan kehamilan dan imunisasi anak. “Oxytocin juga tidak tersedia, lalu lebih dari 20 persen puskesmas di Papua, Papua Barat dan Maluku tidak punya vaksinasi yang baik, apakah itu DPT, Polio dan BCG,” terangnya.

Dia pun menegaskan, tenaga profesional di bidang kesehatan memang sudah diperkuat tetapi kebanyakan hanya berada di Pulau Jawa. Dan berdasarkan penemuannya, kebanyakan pekerja kesehatan yang di daerah tidak mempunyai keterampilan yang memadai.
“Tenaga profesional sudah diperkuat tapi kurangnya keterampilan menjadi masalah,” ucapnya.
Akibat dari pelayanan yang kurang memadai tersebut, berdasarkan hasil penemuannya maka didapat angka kematian Ibu melahirkan tetap tinggi. Kemudian, sebanyak 37 persen balita bertubuh kecil masih ditemukan dan ini sama sekali tidak ada perubahan.
“Kematian Ibu melahirkan dan angka malnutrisi pada anak yang cukup tinggi ini relatif terhadap tingkat pendapatan di Indonesia,” ujarnya.

Oleh karena itu, dia dengan UHC (Universal Health-Care Coverage) ingin mengajak pemerintah Indonesia melakukan sosialisasi kampanye kesehatan publik, juga kampanye tidak merokok agar semua penduduk terlindungi.
“Perlu sosialisasi agar masyarakat berkontribusi. Dengan fasilitas kesehatan yang lengkap maka tingkat kematian akan turun, ” kata dia..

sumber: http://bisnis.news.viva.co.id/