Kalbe Farma Fokus pada Obat Penyakit Degeneratif

Product Manager PT Kalbe Farma Budi Hartono mengatakan, dari sisi produk Kalbe Farma sudah cukup lama fokus pada pengobatan penyakit degeneratif. Bahkan tahun ini, sebanyak 20% dari seluruh produk Kalbe merupakan obat-obatan untuk penananganan penyakit degeneratif ini baik dari pencegahan hingga pengobatan.

“Tahun depan kami akan meluncurkan produk baru untuk penyakit degeneratif ini yaitu autostis. Ini obat khusus bagi hyper kolesterol,” ujarnya.

Workshop Kalbe Academia digelar bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Cabang DIY. Workshop tersebut diikuti lebih dari 600 lebih dokter dan farmasi dari seluruh Indonesia.

Kalbe fokus menggarap penyakit tersebut karena berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Kementrian Kesehatan 2013 diketahui prevalensi penyakit degenaratif di Indonesia cukup tinggi terutama untuk jantung koroner, stroke dan diabetel militus.

“Berdasarkan angka prevalensi jantung koroner sebesar 1,5 persen, penyakit stroke 12,1 per seribu penduduk dan diabetetes militus 2,1 persen. Sedangkan hipertensi 9,4 persen, angka yang cukup tinggi. Karena itulah, Kalbe Farma sebagai produsen obat-obatan konsen terhadap pengobatan penyakit tersebut,” kata Budi.

sumber: http://www.solopos.com/

Demam Berdarah Masih Jadi Ancaman Dunia Kesehatan

Seiring dengan merebaknya wabah Ebola di Afrika Barat, terdapat keprihatinan bahwa ada penyakit lain, yang mematikan dan membunuh banyak orang di dunia, yang secara luas terabaikan.

Demam Dengue atau di Indonesia sering disebut “Demam Berdarah” yang ditularkan oleh nyamuk, terus meluas di negara-negara termasuk India dan Malaysia, di mana hampir separuh dari penduduk dunia tinggal. Tetapi, vaksin yang telah lama dicari, yang memberikan perlindungan terhadap dengue itu, akan segera tersedia.

Demam dengue atau “deman berdarah” menyebabkan kelesuan seperti gejala flu, gatal, sakit kepala dan pegal-pegal pada persendian. Karena gejala itulah, maka disebut “penyakit tulang punggung”.

Seperti Ebola, dengue dianggap penyakit yang berkaitan dengan darah, menyebabkan kematian dalam kasus yang parah. Demikian keterangan penasihat senior dan ilmuwan konsorsium internasional di Dengue Vaccine Initiative, Scott Halstead, yang mengabdikan diri pada pengembangan vaksin.

Tidak seperti Ebola, yang dalam wabah sekarang ini – telah menjangkiti lebih dari 14,000 orang di Afrika Barat, Halstead mengatakan, lingkup demamdengue sangat besar, sampai 100 juta orang yang terinfeksi, kebanyakan di seluruh Asia.

“Saya pikir orang yang bekerja di bidang demam dengue merasa, ‘Ooh, kami akan diabaikan. Tetapi karena ratusan ribu, mungkin jutaan orang memerlukan perawatan klinis, maka itu merupakan masalahyang kita hadapi di semua tempat,” kata Scott Halstead.

Ada empat virus demamdengue, semuanya disebarkan oleh nyamuk. Selamat dari ke-empat jenis virus itu akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap virus itu, namun tidak melindungi orang itu dari infeksi lain pada masa mendatang.

Dua tahun lalu, percobaan vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi Perancis, Sanofi Pasteur diuji coba pada sebuah kelompok terdiri atas 4.000 anak sekolah di Thailand dan tidak manjur seperti yang diharapkan. Hanya 30 persen anak yang terlindungi dari infeksi. Tujuan para peneliti adalah menciptakan vaksin yang 70 persen manjur melawan semua jenis virus dengue.

Kini, dalam uji coba klinik lanjutan yang dilakukan di 5 negara Amerika Latin, yang melibatkan hampir 21.000 anak sehat, perusahaan itu menjanjikan hasil vaksin yang sama.

Halstead mengatakan, vaksin itu gagal di Thailand karena kebanyakan diberikan kepada anak-anak yang terjangkit dengan dengue tipe 2, virus yang terbukti paling sulit di antara ke-4 jenis virus yang paling sulit dicegah.

Dengan uji coba klinis yang direncanakan, para peneliti Sanofi berharap akan belajar tentang bagaimana vaksin itu memberikan perlindungan terhadap demam dengue, dengan meningkatkan kemanjurannya.

sumber: http://www.voaindonesia.com/

 

Kemkes Kembangkan Budaya Minum Jamu

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek akan kembangkan budaya minum herbal berkhasiat atau jamu di lingkungan kantor kementerian kesehatan. Caranya dengan menyajikan minuman jamu dalam setiap rapat maupun acara, menggantikan minuman teh atau kopi.

“Sejak seminggu lalu, dalam setiap rapat atau acara, sudah disediakan minuman herbal berkhasiat mulai dari kunyit asam, beras kencur hingga wedang jahe yang lebih bermanfaat bagi tubuh,” kata Menkes Prof Dr dr Nila F Moeloek SpM (K) usai menyaksikan pengukuhan profesor riset kepada Dr dr Lestari Handayani M.Med, peneliti senior Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), di Jakarta, Senin (24/11).

Profesor Riset merupakan jabatan karir tertinggi peneliti, yang dikukuhkan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Ir Iskandar Zulkarnain. Orasi Ilmiahnya mengangkat topik “Budaya Minum Jamu dalam Mendukung Pelayanan Kesehatan di Indonesia”.

Dengan adanya Profesor Riset maka keberlangsungan pembinaan karir serta kaderisasi peneliti dapat berlangsung. Selain juga adanya sosok panutan terutama dalam menjaga kualitas peneliti dan kegiatan penelitian.

Saat ini peneliti di Balitbangkes berjumlah 444 orang, dengan rincian 176 peneliti pertama, 155 peneliti muda, 92 peneliti madya, dan 21 peneliti utama. Jumlah profesor riset di Balitbangkes saat ini sebanyak 11 orang, namun 4 orang pensiun, dan 2 orang meninggal dunia.

Menkes menambahkan, pengukuhan Lestari Handayani merupakan indikator penting bahwa kegiatan penelitian jamu telah berlangsung secara masif dan menantang untuk diteruskan. Sehingga jamu menjadi bagian penting dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat.

Mengutip data riset kesehatan dasar (rikesdas) 2013, sekitar 30,4 persen penduduk Indonesia telah memanfaatkan kesehatan tradisional, dan 49 persen diantaranya menggunakan ramuan jamu.

“Hampir semua yang mengkonsumsi jamu menyatakan bahwa jamu bermanfaat bagi kesehatan,” ujarnya.

Sejalan dengan hal itu, sejak 2010 lalu Kemkes telah mengeluarkan kebijakan Permenkes No 3/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk landasan ilmiah penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.

Saintifikasi jamu, menurut Prof Lestari Handayani, menjadi penting. Keamanan suplemen itu terkait dosis yang dianjurkan, efektifitas, interaksi terhadap obat lain dan efek samping yang merugikan.

“Penelitian suplemen berbahan jahe dan bawang putih, misalkan, tak boleh diminum bersama aspirin, clopidogrel atau warfarin karena berbahaya terhadap perdarahan spontan,” ujar dokter lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 1987 itu.

Begitupun dengan penggunaan mengkudu, lidah buaya atau jambu biji, kata Lestari Handayani, harus dihindari konsumsi bersama obat anti diabetes karena memiliki pengaruh menurunkan glukosa darah. Wanita hamil dilarang mengkonsumsi herba atau akar comfrey karena dapat menganggu kehamilan.

“Pengembangan produk saintifikasi jamu yang teruji khasiat dan keamanannya, merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam memupuk budaya minum jamu,” kata perempuan dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bidang Humaniora Kesehatan, Balitbangkes.

Untuk itu, menurut doktor lulusan Universitas Brawijaya Malang, jamu tersaintifikasi dan fitofarmaka serta OHT (obat herbal terstandar) dapat dipertimbangkan menjadi bagian dari perbekalan farmasi untuk upaya pelayanan kesehatan.

“Kelompok jamu tersebut perlu dimasukkan dalam Formularium Nasional, yaitu obat terpilih yang dibutuhkan dan harus disediakan di fasillitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” kata Master of Medicine in Public Health dari National University of Singapore menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Indonesia Tuan Rumah Simposium Kesehatan Asia Pasifik

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Simposium Penelitian Pembangunan Kesehatan se-Asia Pasifik ke-2 yang diselenggarakan di Hotel Sahid, Jakarta, 18-20 November 2014.

Dalam sambutannya, Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek Sp.M(K) mengatakan, workshop dan simposium ini sangat penting untuk menghimpun hasil riset dan kajian terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan kebijakan pembangunan kesehatan yang dapat menjadi sumber informasi dalam pengambilan kebijakan kesehatan.

Menteri Kesehatan berharap simposium ini dapat memberikan poin-poin rekomendasi kebijakan kepada Kementerian Kesehatan terkait dengan penguatan Sistem Kesehatan Nasional ke depan, dalam rangka pencapaian Universal Health Coverage.

Simposium ini bertujuan untuk saling bertukar pengetahuan, ide dan pengalaman berdasarkan data dan informasi hasil riset dari berbagai negara yang memiliki sistem jaminan kesehatan, khususnya di wilayah Asia Pasifik.

Simposium ini menghadirkan 71 pembicara dan diikuti oleh sekitar 543 peserta yang berasal dari Indonesia dan luar negeri seperti dari Arab Saudi, Oman, Filipina, Australia, Thailand dan Korea Selatan. Dalam acara ini, Menkes juga meluncurkan sekitar 50 buku yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemkes RI.

sumber: http://analisadaily.com/

 

TPA (Taman Pengasuhan Anak), Solusi Pengasuhan di Tempat Kerja

21nov

21novJAKARTA (Suara Karya): Meningkatnya ibu bekerja menimbulkan risiko terabaikan periode emas perkembangan anak. Untuk itu, pentingnya TPA (Taman Pengasuhan Anak) dibuka tempat kerja, agar ibu bisa menyusui sekaligus melihat anaknya secara berkala.

“Saat istirahat kerja ibu bisa ke TPA untuk menyusui dan bermain dengan anaknya, sehingga meski ibu bekerja ikatan dengan anak tetap terjaga,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek saat peresmian TPA Terintegrasi “Serama” di kantor Kementerian Kesehatan (Kemkes), di Jakarta, Jumat (21/11).

Dalam sambutannya, Menkes Nila mengapresiasi penggunaan kata ‘pengasuhan’ dalam TPA, menggantikan kata ‘penitipan’ yang biasa digunakan sebelumnya.

“Karena anak kita kan bukan barang. Kalau pakai kata penitipan nantinya seperti penitipan sepeda. Kalau menggunakan kata pengasuhan berarti kan ada sentuhan kasih sayang,” ucap Menkes.

TPA dalam paradigma baru harus menjadi sarana tumbuh kembang anak, bukan sekadar tempat menitipkan anak karena ibunya harus bekerja. Untuk itu, TPA harus identik dengan pola pengasuhan yang mengandung filosofi mencakup tugas dan tanggung jawab orangtua terhadap pemenuhan hak anak.

“Pola asuh, asah dan asih merupakan kebijakan setiap orangtua memenuhi kebutuhan anak, untuk mendidik, mencintai dan membina dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Nilai Moeloek, TPA paradigma baru juga mengembang tugas lainnya berupa kegiatan promosi dan preventif kesehatan bagi para ibu dan anak seperti deteksi dini penyakit, vaksinasi dan penyuluhan gizi. Penting pula setiap TPA dilengkapi kegiatan edukasi seperti aneka permainan edukasi untuk kecerdasan otaknya.

“Faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang antara lain pemenuhan ASI (air susu ibu), gizi lengkap dan seimbang, imunisasi bagi pertumbuhannya. Untuk perkembangan kognitif, tergantung pada stimulasi lingkungan dan kasih sayang. Selain ada faktor genetik,” katanya.

Ditanya soal penerapan Peraturan Pemerintah (PP) ASI yang mewajibkan perkantoran dengan karyawan diatas 100 orang membuka TPA, Menkes mengakui, hal itu memang belum diterapkan secara optimal. Terutama di kantor-kantor swasta.

“Kami tidak punya angkanya berapa perusahaan yang telah menerapkan TPA di tempat kerja. Karena ini sifatnya hanya anjuran. Tetapi di kantor-kantor pemerintahan hampir sebagian besar sudah ada TPA,” ujarnya.

Karena itu, Nila Moeloek berharap pada kalangan swasta untuk saling membahu membuka TPA di tempat kerjanya. Karena upaya ini bisa memperbaiki kualitas manusia Indonesia di masa depan.

Kemkes sebelumnya telah memiliki TPA dan ruang menyusui di lantai 4, namun ruangannya dirasakan kurang memadai. Sehingga perlu dibuat TPA dengan ruang yang lebih besar di lantai dasar.

“Tempat lama di lantai 4 khusus untuk bayi usia 3-18 bulan. Sedangkan lantai dasar adalah ruang bermain untuk anak usia mulai 2 tahun ke atas,” ujar Nila. (TW)

{jcomments on}

Menkes Dorong Produksi Alat Kesehatan Dalam Negeri

Bertempat di Silang Monas Jakarta, Kementerian Kesehatan (Kemkes) menggelar Pameran Pembangunan Kesehatan selama tiga hari dalam rangkaian Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-50, yaitu tanggal 14-16 November 2014.

Pameran ini terbuka bagi masyarakat dengan menampilkan sekitar 150 stan, mulai dari stan pemerintah, dunia usaha, organisasi masyarakat, akademisi, sampai ke penggiat dunia maya.

“Saya sangat mengapresiasi pameran pembangunan kesehatan ini dan mendorong betul produk-produk dalam negeri agar lebih giat diproduksi karena yang saya lihat tadi di pameran, inovasi alat kesehatannya ternyata banyak sekali,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek usai meninjau area pameran, Jumat (14/11).

Menurut Nila, Indonesia seharusnya sudah tidak lagi bergantung pada produksi luar negeri. “Inovasi alat kesehatan seperti tempat tidur untuk orang sakit, alat untuk mereposisi patah tulang, itu bagus sekali. Jadi, kenapa kita harus impor,” tambah Nila.

Pujian juga dilontarkan Nila terhadap perusahaan dalam negeri yang sudah berhasil memproduksi alat suntik sekali pakai yang dilengkapi safety lock untuk mencegah plunger terlepas dari barel.

“Banyak sekali inovasi yang harus kita angkat untuk pembangunan kesehatan di Indonesia,” tambah Nila Moeloek.

sumber: http://www.beritasatu.com/

 

Peraturan Penggunaan Rokok Elektronik, Kemenkes Siapkan Data

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tengah menyiapkan data untuk dasar peraturan penggunaan rokok elektronik di Indonesia.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan bahwa Kemenkes tidak membuat regulasi untuk rokok elektronik. Menurutnya, semua itu kewenangan dari BPOM RI. Pihaknya, tambah Tjandra, hanya berwenang untuk menyiapkan data secara lengkap tentang penggunaan rokok elektronik tersebut.

“Tugas kita menyiapkan data secara lengkap. Nanti kita bicarakan kepada badan POM bentuknya seperti apa. Saat ini hanya baru 5 negara di dunia yang memiliki aturan ketat tentang rokok elektronik yang lain masih mengumpulkan data dan kita liat dampaknya secara jauh rokok elektronik ini,” papar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, saat ditemui di pembukaan simposium regional Asia Pasifik di Hotel Sahid, Jakarta Pusat, Selasa (18/11).

Sebelumnya, Tjandra menjelaskan bahwa rokok elektronik yang marak digunakan itu tidak layak dipakai sebagai pengganti rokok. Hal tersebut karena rokok elektronik juga sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. [ads]

sumber: http://gayahidup.inilah.com

 

Merkuri, Darurat Kesehatan Masyarakat

Kontaminasi merkuri merupakan “darurat kesehatan masyarakat,” menurut aktivis lingkungan hidup. Mereka meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lekas menyetop perdagangan logam beracun itu.

Yuyun Ismawati, pemenang Goldman Enviromental Prize tahun 2009 untuk upayanya dalam pengelolaan limbah, mendesak Jokowi menghentikan penyelundupan ilegal ratusan ton merkuri ke Indonesia. Sebagian besar impor merkuri alias air raksa, kata Yuyun yang juga salah pendiri lembaga pemerhati lingkungan BaliFokus, digunakan dalam operasi pertambangan emas skala kecil.

Menurut Yuyun, beberapa dokter telah mengidentifikasi 30-an lebih dugaan kasus keracunan merkuri. Ia memprediksi paling tidak 5 juta orang di komunitas penambang terpapar merkuri dari udara serta makanan.

Jumlah merkuri yang masuk ke Indonesia secara tidak sah naik tajam. Pada 2013, kata Yuyun dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, jumlahnya mencapai 500 ton.

“Kita mesti menyetop merkuri masuk ke Indonesia,” katanya. Masalah ini “merupakan darurat kesehatan masyarakat.”

Jokowi, yang baru dilantik empat pekan silam dan masih menata kabinetnya, mengampanyekan perbaikan layanan kesehatan serta layanan sosial lainnya.

Selama dua pekan terakhir, BaliFokus dan beberapa lembaga pemerhati lingkungan hidup bertemu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya. Dalam pertemuan, mereka membahas isu prioritas lingkungan hidup di Indonesia.

Sebagian diskusi mereka berfokus pada protes sejumlah aktivis lingkungan. Mereka mempertanyakan langkah Jokowi guna menggabung pengelolaan hutan dan lingkungan hidup dalam satu kementerian. Beberapa aktivis mengkhawatirkan penggabungan bakal memperlemah perlindungan lingkungan hidup.

Sonia Buftheim, petugas program zat beracun di BaliFokus mengikuti satu dari serangkaian pertemuan. Ia mengaku sempat mengatakan kepada Siti soal perluasan penggunaan merkuri. Penyebaran penggunaannya dalam pertambangan emas skala kecil, kata Sonia, memicu darurat kesehatan publik. Siti mencatat kecemasannya, tetapi tak memberikan komentar.

Seorang juru bicara kementerian membenarkan berlangsungnya pertemuan. Tapi ia dan Siti tak merespons pertanyaan dari The Wall Street Journal soal ancaman merkuri.

Pertambangan emas skala kecil menggunakan logam cair itu untuk mengikat partikel kecil emas. Hasil bentukannya adalah sejumlah kecil amalgam. Menggunakan obor, penambang dan pedagang lalu membakar campuran itu, sehingga merkurinya menguap dan hanya tersisa emas.

Biasanya, pelaku pembakaran tak menggunakan pakaian pelindung, sehingga mudah sekali mengirup uap merkuri.

Sejumlah besar merkuri mengendap ke tanah dan udara. Mungkin sekali ikan dan lahan padi menyerap endapannya, sehingga mengganggu pasokan makanan sekaligus membahayakan kesehatan manusia.

Merkuri dapat menyebabkan tubuh gemetar, sakit kepala, otot lunglai, serta mengubah suasana hati, dari beberapa dampak lainnya. Terkadang, racun merkuri baru ditemukan beberapa tahun sesudah seseorang menunjukkan gejala-gejala yang mungkin terjadi. Sebab, gejalanya nyaris sama dengan penyakit lain. Merkuri juga dapat menyebabkan cacat pada bayi yang baru lahir.

Menurut Yuyun, setidaknya 2 juta penambang emas beroperasi di 22 dari 34 provinsi Indonesia. Termasuk Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Lombok. Merkuri dijual terbuka di toko-toko pertambangan, menurut Yuyun.

Ia mendesak pemerintah melarang penggunaan merkuri dalam pertambangan emas, serta memberikan perawatan khusus bagi mereka yang keracunan.

sumber: http://indo.wsj.com/

 

Menkes Konfirmasi Belum Ada Kasus Ebola di Indonesia

Hingga Sabtu malam (15/11), telah dilakukan pengecekan terhadap lima orang di Indonesia yang diduga terjangkit virus ebola. Hasil dari pemeriksaan laboratorium adalah negatif. Mereka adalah MA (32) warga negara Ghana, NN (57) asal Sumatera Utara, AN (31) dari Jawa Tengah, MS (29) Jawa Timur, dan G (46) Jawa Timur.

Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, usai senam sehat bersama karyawan di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam rangkaian Hari Kesehatan Nasional ke-50, di lapangan silang Monas, Jakarta, Minggu (16/11). Dikatakan Nila, situasi global kasus Ebola berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga 11 November 2014 tercatat secara kumulatif sebanyak 14.072 kasus. Sebanyak 5.151 kasus di antaranya meninggal, atau tingkat kematian sebesar 36,60 persen.

“Kasus masih ditemukan pada empat negara terjangkit di Afrika Barat, Amerika, Spanyol, dan Democratic Republik of the Congo,” kata Nila.

Di Afrika, kasus Ebola ditemukan di Guinea dengan 1919 kasus dan 1166 kematian (60,80 persen). Liberia dengan 6878 kasus dan 2812 kematian (41,57 persen), sedangkan di Sierra Leona sebanyak 5586 kasus serta 1169 kematian (21,77 persen). Sementara di Mali, kasusnya sebanyak 4 dengan kematian 3 orang.

Di Amerika, total kasus sebanyak 4 orang, dan 1 di antaranya meninggal dengan total kematian 20,00 persen. Di Spanyol total kasus adalah 1 orang, da tidak meninggal. Di Congo, sebanyak 66 kasus, 49 di antaranya meninggal atau dengan total kematian sebanyak 74,24 persen.

sumber: http://www.beritasatu.com

 

Simposium Litbangkes Regional Asia Pasifik Digelar di Jakarta

14nov

14novBadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan akan menggelar simposium litbangkes regional Asia Pasifik, di Jakarta pada 17-20 November 2014.

Acara yang akan dibuka Menteri Kesehatan ini akan dihadiri Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia, sejumlah pakar sistem jaminan kesehatan dan asuransi kesehatan dari Korea, Thailand, Philipina, Australia, Oman dan Arab Saudi

Demikian dikemukakan Kepala Balitbangkes, Tjandra Yoga Aditama dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (7/11).

Ia menyebutkan pada 17 November digelar pra simposium dengan 4 tema utama, yaitu updating Indonesia Case Based Group (INA CBGs), planning based on health technology assessment (HTA) approach for pharmaceutical products, proposal and protocol development workshop for health research, assessing staffing need at health facility to support nasional health insurance.

“Itu sebabnya simposium ini diikuti ahli sistem jaminan kesehatan dan asuransi kesehatan,” ujar Tjandra Yoga.

Ditambahkan, hasil simposium nantinya akan menjadi masukan bagi penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang diterapkan di Indonesia. Termasuk juga perbaikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah berjalan dalam satu tahun terakhir ini.

Dalam kesempatan yang sama, Tjandra Yoga memaparkan rencana kegiatan menyambut peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-50. Sejumlah kegiatan yang akan digelar adalah open house museum kesehatan (wisata ilmiah kesehatan) di 4 museum kesehatan milik Kemenkes.

Disebutkan ke-4 museum kesehatan itu adalah Museum Kesehatan dr Adhyatma MPH di Surabaya, Jawa Timur, Museum Dunia Vektor B2P2VRP di Salatiga, Jawa Tengah, Museum Nyamuk Loka Litbang P2B2 di Ciamis, Jawa Barat dan Museum B2P2TOOT, di Tawangmangu, Jawa Tengah.

Tjandra Yoga menjelaskan, Balitbangkes selama 2014 melakukan studi diet total (SDT) berupa survei konsumsi makanan individu (SKMI) di 33 provinsi, 490 kabupaten/kota dengan jumlah sampel sebanyak 2.080 blok sensus, sebanyak 52.000 rumah tangga dan 162.045 individu. Jumlah tenaga pengumpul data (enumerator) sebanyak 2.780 orang.

“Hasil dari SDT ini untuk mengukur asupan gizi dan keamanan makanan. Pada Oktober 2014 lalu, juga sudah dilakukan uji coba analisa cemaran kimia makanan di Yogyakarta,” ujarnya.

Pada 2015 mendatang, Tjandra Yoga menambahkan, pihaknya akan menyelenggarakan riset khusus vektor dan reservoir penyakit (rikhus vektora). Dalam riset yang akan dilakukan selama 3 tahun itu, Balitbangkes akan mengumpulkan sekitar 305 ribu spesimen nyamuk, 42 ribu spesimen tikus dan 24 ribu spesimen kelelawar.

“Rikhus Vektora ini dilakukan untuk mengetahui pola jenis vektor dan resevoir penyakit yang ditimbulkan dari nyamuk, tikus dan kelelawar di Indonesia,” ucap Tjandra Yoga.

Dipilihnya ketiga hewan tersebut, menurut Tjandra Yoga, karena ketiga hewan itu jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Mereka menimbulkan penyakit paling banyak.

“Seperti kasus ebola, diduga penularannya lewat kelelawar. Di Indonesia kan juga banyak penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, mulai dari demam berdarah hingga malaria. Sedangkan tikus bisa menimbulkan wabah pes saat banjir,” katanya.

Ditambahkan, proses uji coba telah dilakukan di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah yang selesai pada 31 Oktober 2014 lalu. Selanjutnya penelitian akan dilakukan ke sejumlah daerah di provinsi Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua. (TW)

{jcomments on}