Kartu Jokowi Diambil dari Anggaran Kemenkeu

Pemerintah merencanakan dana untuk program Keluarga Produktif ‘kartu sakti’ Joko Widodo akan diambil dari anggaran Kementerian Keuangan. Dana tersebut diupayakan untuk cair pada bulan November ini.

“Program Keluarga Produktif akan mengambil dana dari Kementerian Keuangan, yakni dana Bendaharawan Umum Negara (BUN),” kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa saat ditemui usai rapat Hari Pahlawan di kantor Kementerian Sosial, Senin (3/11).

Program Keluarga Produktif yang digagas oleh Jokowi dan JK semasa kampanye pemilihan presiden dan capres melibatkan empat kartu sakti, yakni Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS). Keempat kartu tersebut rencananya akan dibagikan kepada 15, 5 juta keluarga kurang mampu yang ada di Indonesia sebagai bentuk bantuan pemerintah untuk menyejahterakan warganya.

Khofifah mengatakan pemerintah telah mengalokasikan dana BUN Kemenkeu sebesar Rp 6,43 triliun ke Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemensos untuk membiayai program Keluarga Produktif. Sebagian besar dana tersebut, yakni Rp 6,2 triliun, akan digunakan untuk memberikan bantuan tunai masyarakat selama 2 bulan dengan besaran masing-masing rumah tangga Rp 200.000 per bulan.

Sedangkan, dana sebesar Rp 119 miliar akan digunakan untuk biaya percetakan, pengiriman kartu, sosialisasi dan dukungan operasional program, yang akan dilakukan oleh PT POS Indonesia. Sementara, untuk biaya sosialisasi pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 14 miliar.

“Perbedaan dari bansos pemerintah saat ini dengan yang lalu-lalu ada di perluasan cakupan penerima dan layanannya,” kata dia.

Sementara itu, mengenai data penerima bansos, Khofifah mengatakan pemerintah mengambil dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemensos, katanya, berperan sebagai validator data yang masuk untuk penerima bantuan. Untuk tahun ini, data juga akan dilengkapi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kementerian Kesehatan untuk kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Nantinya akan kami validasi data dari BPS dan kementerian supaya tidak tumpang tindih,” katanya. “Saat ini, ada kebutuhan untuk mengecilkan irisan agar seluruh elemen masyarakat tidak mampu tersentuh.”

Untuk itu, Khofifah menyampaikan pemerintah melalui Kemensos akan menugaskan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) untuk melakukan validasi data penerima bantuan setiap enam bulan sekali. Validasi itu juga bertujuan untuk menjangkau desa-desa terpencil, terjangkau dan terluar yang selama ini belum tersentuh oleh pemerintah.

“Tujuan dasar dari semua program ini adalah membangun Indonesia sejahtera. Kartu-kartu tersebut hanya menjadi alatnya saja,” kata dia.

Sementara itu, Puan Maharani selaku Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengatakan pemerintah sedang menggodok payung hukum untuk program bansos Jokowi. Nantinya, hukumnya bisa berbentuk instruksi presiden (Inpres) atau keputusan presiden (Keppres).

sumber: http://www.cnnindonesia.com/

 

Stop diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa

“di Indonesia kesehatan jiwa sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting…”

Jakarta (ANTARA News) – Stigmatisasi dan diskriminasi masih sering dialami orang dengan gangguan jiwa.
Ada yang dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, ditelantarkan oleh keluarga, dipasung, serta dirampas harta bendanya.

Kementerian Kesehatan mengajak seluruh jajaran kesehatan segera melaksanakan Empat Seruan Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, yakni:

  • Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan;
  • Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGJ;
  • Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial;
  • Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial.

Komitmen untuk memberdayakan orang dengan gangguan jiwa diperkuat dengan penerbitan Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang disahkan pada 8 Agustus 2014.

Penerbitan undang-undang itu ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik serta mendapat pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Secara garis besar, undang-undang tersebut di antaranya mengamanatkan perlunya peran serta masyarakat dalam melindungi dan memberdayakan orang dengan gangguan jiwa dalam bentuk bantuan berupa tenaga, dana, fasilitas, dan pengobatan bagi orang dengan gangguan jiwa.

Undang-undang juga mengamanatkan perlindungan terhadap tindakan kekerasan, penciptaan lingkungan yang kondusif dan pelatihan keterampilan bagi orang dengan gangguan jiwa serta pengawasan penyelenggaran pelayanan di fasilitas yang melayani orang dengan gangguan jiwa.

Penguatan upaya penanganan masalah kesehatan jiwa mesti dilakukan karena di Indonesia kesehatan jiwa sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas sektor di tingkat pusat dan daerah serta masyarakat.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala gejala depresi dan kecemasan sebesar enam persen pada penduduk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.

Prevalensi gangguan jiwa berat seperti schizophrenia 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.

Dari jumlah tersebut, 14,3 persen di antaranya atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan di pedesaan mencapai 18,2 persen, lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang sebesar 10,7 persen.

sumber: http://www.antaranews.com/

 

Chandra Yoga: Belum ada WNI Yang Tertular Virus EBOLA

Geger tenaga kerja Indonesia (TKI) terkena virus Ebola selepas kembali dari Liberia, Afrika akhirnya terbantahkan. Kapala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Tjandra Yoga Aditama mengemukakan, pembacaan hasil PCR (polymerase chain reaction) dengan elektroforesis, semua dilaporkan “no band”.

“Itu artinya semua sampel dari kasus di Madiun maupun Kediri, hasilnya negatif Ebola. Mereka tidak terkena virus Ebola,” kata Tjandra Yoga Aditama dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin (03/11) pagi.

Dijelaskan, pemeriksaan dilakukan pada seluruh 8 sampel yang ada, masing-masing darah EDTA dan serum, yang dikirim dari Surabaya pada Sabtu (1/11) lalu. Hasilnya bisa diketahui dalam 1 hari pemeriksaan.

Prosedur pemeriksaan yang dilakukan di Lab BSL 3 Balitbangkes, disebutkan, antara lain inaktivasi dengan buffer lysis, ekstraksi RNA dengan kit ekstraksi, RNA diubah menjadi DNA dan diperbanyak dg mesin PCR sebanyak 30 cycle. Lalu dilakukan elektroforesis dan analisis dg gel documentation.

“Semua sampah telah dimusnahkan di autoclave khusus double door, untuk keamanan petugas dan lingkungan,” kata Tjandra Yoga menegaskan.

Terkait kondisi laboratorium, Tjandra Yoga menyatakan bahwa Kemenkes sejak 1 bulan lalu sudah siap, baik biological safety cabinet BSC-3, laboratorium biosafety level BSL 3, maupun petugas laboratorium yang akan menangani.

“Sebelum kasus Madiun dan Kediri, kami sudah bersiap sejak satu bulan lalu. Sebelumnya kami sudah pernah melakukan pemeriksaan terhadap 3 sampel dugaan Ebola, yang terdiri dari 2 orang Indonesia dan 1 orang asing. Semuanya dinyatakan negatif,” ujarnya.

Tjandra juga menuturkan, dirinya kebetulan satu pesawat dengan 29 TKI yang pulang bekerja dari Liberia tersebut. “Dari ngobrol-ngobrol itu, para TKI mengaku tak memiliki keluhan apa pun sepanjang perjalanan. Waktu berangkat dari Monrovia pun, mereka sudah melakukan exit screening,” katanya.

Menurut Tjandra, tindakan karantina sebenarnya tidak diperlukan, jika tidak terdapat riwayat kontak pada kasus. Mengingat, gejala klinis pasien suspect Ebola yang relatif ringan atau membaik, meski terdapat parameter laboratorium
rutin yang terganggu.

“Kendati demikian, kesiapan dan kewaspadaan dari petugas kesehatan tetap harus dilakukan, yaitu tindakan contact tracing dengan lima kemungkinan langkahnya,” ucap Tjandra Yoga.

Soal demam dan panas tinggi, Tjandra Yoga menegaskan, hal itu bisa disebabkan malaria atau penyakit lain. “Mungkin saja para TKI itu kecapaian setelah perjalanan panjang dari Liberia ke Indonesia,” ucap Tjandra Yoga.

Disebutkan, 4 gejala yang menjadi indikasi kuat seseorang terjangkit penyakit Ebola, khususnya bagi mereka yang baru saja pulang dari negara-negara terjangkit. Pertama, pasien mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya. Kedua, pasien mengalami nyeri otot hebat. Ketiga, pasien mengalami gangguan saluran pencernaan dan keempat, manifestasi pendarahan.

“Tindakan rumah sakit sudah benar merawatnya di ruang isolasi, sebagai bentuk kehati-hatian,” kata Tjandra Yoga menandaskan.

Hal senada dikemukakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes, HM Subuh. Jajarannya hingga kini memantau terus kondisi GN (46) TKI asal Kediri yang diduga Ebola sekembalinya dari Liberia. Saat ini, pasien masih dirawat Rumah Sakit Umum Pare, Kediri, Jawa Timur dengan kondisi umum stabil dan membaik.

Seperti diberitakan, sebanyak 28 orang TKI kembali dari Liberia setelah kontraknya habis, termasuk diantaranya GN dan 2 TKI lainnya berasal dari Kediri. Sebagai bentuk kewaspadaan dan pencegahan terhadap penyebaran virus Ebola, sejak 6 hari sebelum kepulangan, GN dan rekan-rekannya menjalani karantina di Liberia.

“Begitu pula setibanya di Jakarta, mereka juga menjalani 1 hari karantina sebagai bentuk pengawasan di pintu masuk Tanah Air. Setelah 7 hari pengawasan, mereka baru boleh pulang ke kampung halaman masing-masing,” ujarnya.

Setelah sampai di Kediri, lanjut HM Subuh, dilaksanakan pengamatan oleh tenaga kesehatan Puskesmas Bendo, Kediri. Sampai saat ini pengamatan sudah dilaksanakan 13 hari dari rencana pengamatan selama 21 hari.

“Pada 28 Oktober lalu, GN merasakan nyeri saat menelan. Pada 30 Oktober, GN berobat ke Puskesmas Bendo, Kecamatan Kediri, dengan gejala demam (suhu tubuh mencapai 38,6 derajat celcius, nyeri telan, nyeri sendi, dan batuk,” katanya.

Pada saat itu juga, kata HM Subuh, GN langsung dirujuk ke RS Umum Pare dengan diagnosis Acute Febrile Illness
(demam) dan lebih dicurigai Paryngitis Acute. Mengingat pasien memiliki riwayat pulang dari daerah endemis Ebola, maka pihak RS memutuskan untuk merawat pasien di ruang isolasi.

“Meski demam tinggi, GN tak memiliki gejala lain dari penularan virus Ebola seperti pendarahan, anorexia da muntah,” kata HM Subuh seraya menambahkan, kondisi GN saat ini semakin membaik.

HM Subuh menambahkan, sebagai bentuk pengawasan, Kemenkes telah meminta pada pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) untuk meningkatkan universal precaution guna mencegah penularan terhadap tenaga kesehatan. (TW)

{jcomments on}

Kasus Suspect Ebola di Indonesia Sudah Lima Kali

Direktur Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, dr Wiendra Waworuntu mengatakan dugaan suspect ebola di Indonesia sudah terjadi empat lima kali. Beberapa waktu lalu, tiga warga Jakarta dan Medan yang baru pulang dari Nigeria juga terindikasi terpapar penyakit ini.

“Yang baru, kasus suspect ini dialami dua warga Madiun dan Kediri,” kata Wiendra seusai menjenguk pasien terduga ebola di Rumah Sakit Umum Daerah dr Soedono, Kota Madiun, Jawa Timur, Sabtu malam, 1 November 2014.

Menurut dia, dari hasil pemeriksaan medis dan setelah melalui masa inkubasi, tiga pasien asal Jakarta dan Medan itu dinyatakan negatif virus ebola. Adapun kepastian indikasi dua pasien lainnya yang tengah dirawat di RSUD dr Soedono Kota Madiun dan RSUD Pare, Kediri, Jawa Timur, masih menunggu hasil pemeriksaan dari laboratorium Badan dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan.

“Kedua pasien suspect ebola yang baru ini sama-sama baru melakukan perjalanan dari negara terjangkit ebola” ujar Wiendra. “Keduanya baru pulang dari Liberia dan bekerja sebagai penebang kayu.

Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUD dr Soedono Kota Madiun Sjaiful Anwar mengatakan kondisi M, 29 tahun, pasien terduga ebola, belum stabil. Suhu tubuh dan trombosit masih naik turun. Meski demikian, pihaknya belum berencana merujuk pria asal Kecamatan Gemarang ini ke rumah sakit lainnya. “Tidak akan merujuk. Tapi, kami tetap berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.

Selain berkoordinasi, ia melanjutkan, pihaknya mengirim sampel daerah pasien ke Kementerian. Hasil uji laboratorium segera diketahui dalam waktu dekat. Adapun pendistribusian sampel darah melalui jalur udara dari Surabaya ke Jakarta. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, pihak Balitbangkes sudah menyiapkan instalasi penyimpanan khusus (biological safety cabinet/BSC-3) serta laboratorium biosafety BSL-3

sumber: http://www.tempo.co/

 

Menkes: Kartu Indonesia Sehat Tak Berbeda dengan BPJS Kesehatan

Rencana peluncuran Kartu Indonesia Sehat (KIS) memunculkan pertanyaan mengenai nasib kartu BPJS Kesehatan. Menkes Nila Moeloek mengatakan konsep KIS tidak berbeda jauh dengan program BPJS Kesehatan.

“(Konsep KIS dan BPJS Kesehatan) Itu yang lagi diatur tapi tidak berbeda dengan BPJS Kesehatan,” ujar Nila saat ditemui di kantor Kemenko PMK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (31/10/2014).

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mengatakan dirinya tengah mengupayakan peleburan KIS dengan BPJS. Puan menerangkan KIS memiliki cakupan pelayanan dan pembiayaan yang lebih luas dibanding kartu sebelumnya.

Adapun target penerima KIS ini adalah masyarakat pra sejahtera yang belum menerima kartu BPJS.

Anggaran KIP dan KIS akan menggunakan APBN 2014 yang sudah disetujui oleh pemerintah dan DPR periode lalu. Anggaran tersebut memang telah difokuskan untuk bidang kesejahteraan rakyat.

“KIS targetnya untuk masyarakat pra sejahtera yang belum terima kartu BPJS. Sebanyak 86,4 juta orang yang akan menerima di tahun 2014 dan 2015 tapi kami harap nanti bisa bertambah,” kata Puan pada Kamis (30/10).

sumber: http://news.detik.com/

 

BPJS Kesehatan Terapkan Aturan Baru

30okt14

30okt14Pendaftaran BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial) Kesehatan untuk peserta mandiri, kini tak lagi bisa secara individual, melainkan dalam satu keluarga. Peserta juga harus memiliki rekening di bank agar pembayaran bisa autodebet setiap bulannya.

“Semua itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 4/2014 tentang tata cara pendaftaran dan pembayaran BPJS Kesehatan, yang baru saja diluncurkan,” kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga (HAL) BPJS Kesehatan, Purnawarman Basundoro dalam keterangan pers, di Jakarta, Kamis (30/10).

Pada kesemapatan itu, Purnawarman didampingi Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Tono Rustiono.

Perubahan lainnya, Purnawarman menambahkan, adalah kartu BPJS Kesehatan tidak bisa langsung dipergunakan begitu selesai mendaftar dan membayar di bank, seperti aturan sebelumnya. Namun, peserta harus menunggu hingga satu minggu atau 7 hari ke depan untuk bisa menggunakannya.

Ditanya kebijakan baru menjadi tak pro rakyat, Purnawarman menukasnya. Katanya, peraturan itu untuk membiasakan masyarakat membuat perencanaan. Masyarakat harus diingatkan bahwa masalah kesehatan bisa terjadi kapan saja, sehingga setiap anggota dalam keluarga harus memiliki jaminan kesehatannya.

“Sudah tidak bisa lagi mau operasi besok, hari ini baru mendaftar BPJS Kesehatan. Harus dibuat sistem yang terencana dan rapi, karena peserta BPJS Kesehata jumlahnya sudah lebih dari 130 juta orang. Dengan jumlah yang begitu besar, tidak bisa diterapkan manajemen terburu-buru,” kata Purnawarman menegaskan.

Soal keharusnya memiliki rekening di bank, Purnawarman menjelaskan, itu semata demi kemudahan para peserta yang harus bolak balik ke bank demi menyetor iuran. Dengan sistem autodebet, pembayaran iuran akan lebih lancar sehingga kartu bisa seketika bisa dipergunakan.

Ditanya apakah sistem autodebet dilakukan lantaran banyak peserta yang enggan membayar iuran, Purnawarman tidak menampik adanya kasus semacam itu. Meski kasusnya masih terbilang kecil, jika tidak ditata sejak awal dikhawatirkan akan menjadi ganjalan di kemudian hari.

“Sukses tidaknya pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini karena adanya iuran dari masyarakat. Itu jadi jantung kami. Karena itu, perlu ditata agar pembayaran iuran bisa lancar, dan program ini bisa berjalan,” tuturnya.

Hal senada dikemukakan Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Tono Rustiano. Ia menyebutka, jumlah peserta BPJS Kesehatan hingga 24 Oktober 2014 sebanyak 130.286.703 jiwa. Target hingga akhir tahun 2014 sebanyak 131 juta jiwa.

Ditambahkan, sepanjang periode Januari-Agustus 2014, BPJS Kesehatan telah menerima pembayaran iuran peserta hingga sebesar Rp 25,656 triliun. Sedangkan pembayaran klaim hingga 31 Agustus 2014 sebanyak Rp 24,4 triliun.

“Adapun penyaluran dana kapitasi ke faskes tingkat pertama untuk periode yang sama mencapai 5,38 triliun,” ucap Tono.

Dari semua itu, menurut Tono, yang lebih penting adalah peningkatan rata-rata waktu penyelesaian klaim yaitu selama 2,95 hari sejak berkas lengkap dari rumah sakit yang diajukan ke BPJS Kesehatan. Capaian itu lebih baik ketimbang catatan per 30 Juni 2014 yang masih rata-rata 3,16 hari.

Jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan pun meningkat dari 16.831 per 30 Juni 2014 menjadi 17.419 per 31 Agustus 2014. Rinciannya 9.768 puskesmas, 3.590 dokter praktik per orangan, 1.890 klinik pratama, 1.327 klinik TNI/Polri dan 836 dokter gigi praktik mandiri dan 8 RS D Pratama.

Di tingkat faskes rujukan, lanjut Tono, penambahan terjadi dari 1.551 per 30 Juni 2014 menjadi 1.574 faskes rujukan. Hal itu mencakup 18 RS pemerintah kelas A, 135 RS pemerintah kelas B, 294 RS pemerintah kelas C, 158 RS pemerintah kelas D, 127 RS Khusus, 34 RS Khusus Jiwa, 602 RS swasta, 103 RS TNI, 40 RS Polri, dan 63 klinik utama.

“Hingga 31 Agustus 2014, BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan faskes penunjang yang meliputi 1.359 apotek dan 801 optikal,” ujar Tono Rustiano menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Tahap Pertama, 1 Juta Kartu Indonesia Sehat, Pintar, dan Keluarga Sejahtera akan Dibagikan

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani memastikan sekitar 1 juta kartu Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera akan dibagikan dalam tahap pertama. Puan menjanjikan 1 juta kartu tersebut bisa dibagikan pada pekan pertama November hingga Desember.

“Peluncuran kartu Indonesia sehat dan pintar merupakan salah satu janji presiden dan wakil presiden. Ini memang harus diluncurkan secepatnya dan jadi prioritas hingga bisa dinikmati rakyat dan rakyat sejahtera,” kata Puan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (29/10/2014) seusai mengikuti rapat dengan Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri lainnya.

Puan mengaku telah melaporkan persiapan peluncuran kartu tersebut kepada Wapres Jusuf Kalla. Menurut Puan, kartu ini akan diluncurkan pada 7 November dan diberkan kepada keluarga pra sejahtera yang belum mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan masyarakat.

Politisi PDI-Perjuangan ini juga menyampaikan bahwa program Kartu Indonesia Sehat, Pintar, dan Keluarga Sejahtera tidak akan tumpang tindih dengan program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang diluncurkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Program Kartu Indonesia Sehat ini, menurut Puan, justru akan melengkapi JKN.

“Ada pengobatan penyakit yang bertambah yang tadinya tidak di-cover Jamkesmas,” kata Puan.

Dengan Kartu Indonesia Sehat, kata dia, bukan hanya warga yang sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan. Kartu ini juga mengakomodasi pencegahan penyakit. Mengenai anggaran untuk 1 juta kartu tersebut, Puan mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Keuangan.

Dalam rapat dengan Wapres hari ini, kata dia, Menteri Keuangan menyampaikan bahwa anggaran untuk peluncuran kartu Indonesia sehat, Indonesia pintar, dan keluarga sejahtera sudah disetujui DPR.

“Dari mana ini kita akan bicara lebih detil lagi dengan Kemenkeu, kita akan bicara dengan menteri pendidikan, menteri kesehatan, mengenai anggaran, teknisnya di kementerian terkait,” ucap dia.

sumber: http://nasional.kompas.com

Angka Kebutaan di Indonesia Masih Tinggi

Angka kebutaan di Indonesia masih relatif tinggi. Hasil riset kesehatan dasar 2013, angka kebutaan di Indonesia mencapai 0.6 persen, dan 35 persen di antaranya kebutaan permanen. Dengan angka tersebut, kesehatan mata di Indonesia masih merupakan masalah sosial yang membutuhkan penanganan dari semua pihak.

“Angka kebutaan di Indonesia masih lebih tinggi dari Singapura dan Thailand yang sudah di bawah 0,5 persen. Tapi jika dibanding tahun 1990-an, dengan angka kebutaan mencapai 1,47 persen, kita sudah menurun sangat signifikan,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Prof dr Suhardjo SU SpM(K), Selasa ( 28/10/2014).

Lebih lanjut Suhardjo menuturkan, penyebab kebutaan terbanyak berturut-turut adalah katarak, kebutaan kornea, glaukoma dan retinopati. Untuk menurunkan angka kebutaan, lanjut Suharjo, pelayanan pemeriksaan kesehatan mata sebaiknya ada di tingkat pusat pelayanan primer, yakni puskesmas. Hal ini juga sejalan dengan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

“Sayangnya, gagasan itu belum bisa dilaksanakan karena puskesmas belum siap. Ketersediaan paramedis mata yang terampil belum ada. Paramedis yang ada saat ini masih umum. Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan pengembangan profesi paramedis khusus mata yang nantinya akan ditempatkan di pusat pelayanan primer,” imbuhnya.

Selain masalah ketersediaan tenaga paramedis, menurut Suharjo, persoalan pembiayaan juga merupakan masalah dalam upaya menekan angka kebutaan di Indonesia.

“Saat ini, tarif pengobatan mata dalam BPJS relatif rendah. Semua pembiayaan kebanyakan disamaratakan. Padahal untuk beberapa kasus, butuh peralatan dan obat-obatan yang tidak murah,” paparnya.

Berbagai persoalan kesehatan mata tersebut akan dibahas dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-39 Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia yang akan diselenggarakan di Yogyakarta pada 1 November 2014 mendatang.

sumber: http://regional.kompas.com

 

Sertijab Menkes Baru: Penurunan AKI Jadi Prioritas

sertijab

sertijabProgram kerja pertama Menteri Kesehatan Kabinet Kerja, Prof dr Nila F Moeloek SpM adalah menekan angka kematian ibu (AKI) yang hingga kini masih tinggi. Padahal, AKI dipergunakan sebagai salah satu faktoryang diperhitungkan dalam pencapaian target target kesehatan Millenium Development Goals (MDGs) 2015.

“Menurunkan AKI memang bukan pekerjaan ringan, karena itu saya butuh dukungan bersama agar capaian target MDGs 2015 bisa tercapai,” kata Menkes Kabinet Kerja, Nila F Moeloek dalam pidato perdananya saat serah terima jabatan dengan Menkes Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Nafsiah Mboi, di Jakarta, Selasa (28/10).

Mengutip data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 disebutkan, angka kematian ibu saat melahirkan mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Jumlah itu meningkat tajam dibandingkan data SDKI 2007 yang mana AKI melahirkan sebanyak 228 per 100 ribu kelahiran hidup.

“Ini tantangan yang harus kita hadapi bagaimana menurunkan AKI melahirkan kita yang tinggi itu hingga mencapai 70 per 100 ribu kelahiran hidup. Karena untuk mencapai target MDGs besaran AKI-nya harus dibawah 100 per 100 ribu kelahiran hidup,” dokter spesialis mata tersebut.

Tingkat kematian ibu melahirkan meningkat tahun 2012, mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Tahun 2007, angka kematian ibu melahirkan tercatat sekitar 228 per 100 ribu kelahiran hidup.

Istri dari Menkes periode 1997-1999, Farid Anfasa Moeloek itu menjelaskan, persoalan lain yang tak kalah penting untuk pencapaian MDGs kesehatan, karena menyangkut berbagai komponen. Disebutkan, selain kematian ibu melahirkan juga ada masalah angka kematian bayi, lingkungan, sanitasi, pengadaan air bersih hingga persoalan jamban.

“Kita masih pada garis merah dalam pencapaian MDGs kesehatan,” ucapnya.

Pada kesempatan itu, ia meminta pada kaum perempuan untuk lebih mandiri, tidak hanya dari sisi finansial tetapi juga kuasa atas tubuhnya. Sedari dini perempuan mengenal program keluarga berencana dan mengatur kehamilan.

“Istri itu bukan mesin anak yang setiap tahun harus melahirkan. Ini harus disadari banyak perempuan, agar tidak terus menerus melahirkan. Ia harus memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri, ingin seperti apa,” ucapnya.

Terkait capaian pembangunan kesehatan pada kepemimpinan Menkes Nafsiah Mboi, Nila mengakui bahwa banyak program yang memberikan hasil luar biasa dan bermaanfaat bagi masyarakat Indonesia. Satu diantaranya adalah program Jaminan Kesehatan Nasional. (JKN).

“Program yang baik tentu akan kita lanjutkan. Program yang belum berhasil akan kita sempurnakan,” katanya menegaskan.

Nila FA Moeloek mengakui, pihaknya diuntungkan dengan keberadaan program JKN yang memberi jaminan kesehatan pada orang-orang miskin. Program tersebut sangat baik untuk pemerataan akses bagi masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang berkeadilan.

“Program JKN ini sudah tepat untuk jaminan kesehatan seluruh penduduk Indonesia, hanya perlu dilakukan perbaikan sana-sini. Programnya sudah sangat bagus sekali. Ini akan membentu langkah dalam menekan AKI melahirkan,” kata perempuan yang aktif sebagai Ketua Umum Dharma Wanita Pusat itu.

Ditanyakan soal program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Nila menegaskan, KIS nantinya sama dengan program JKN. “Untuk penamaan KIS ini belum ada arahan lagi dari Presiden Joko Widodo. Bentuknya akan seperti apa. Tetapi KIS tidak akan membubarkan program JKN,” tutur Nila FA Moeloek. (TW)

{jcomments on}

IDI: Menkes Harus Sentuh Fasilitas Kesehatan di Pulau Terpencil

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) minta Menteri Kesehatan (Menkes) Prof Nila Djuwita F Moeloek melanjutkan program Pencerah Nusantara untuk meningkatkan kesehatan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau.

“Di dunia kesehatan program yang diciptakan Prof Nila cukup populis, membantu masyarakat di pulau-pulau yang sulit terjangkau,” kata Ketua IDI Zaenal Arifin di Jakarta, Senin (27/10).

Program itu dilahirkan saat Prof Nila menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2009-2014.

Menurut Zaenal, program Pencerah Nusantara merupakan gebrakan terarah di dunia kesehatan Indonesia yang memiliki ribuan pulau berpenghuni yaitu untuk mengirim dokter bertugas di pulau-pulau kecil tersebut.

Masyarakat di daerah kepulauan yang biasanya kesulitan mendapatkan pengobatan murah merasa terbantu dengan hadirnya dokter-dokter tersebut. “Penugasan dokter-dokter di pulau berpenghuni itu ibarat memberi air bersih kepada masyarakat yang dahaga,” ujar Zaenal dilansir Antara.

Sebelum dikirim, dokter-dokter mendapatkan pelatihan mental dan fisik di Magelang yang juga merupakan tempat pelatihan TNI sebelum ditugaskan di pulau-pulau.

Para dokter tersebut akan diseleksi secara ketat karena akan ditempatkan di pulau-pulau yang jauh dari perkotaan. “Mereka adalah dokter baru, yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi,” ujar Zaenal.

Program itu disebut Zaenal tidak harus menyediakan dokter dalam jumlah banyak karena tidak perlu satu pulau satu dokter.

Kemenkes dapat bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan untuk mengadakan alat transportasi kesehatan terapung sehingga satu dokter dapat melayani beberapa pulau sekaligus. “Satu dokter itu dapat keliling dengan menggunakan kapal atau perahu dalam melayani pasien,” ucapnya.

IDI akan menyampaikan dukungan kepada Menkes terkait kelanjutan program Pencerah Nusantara dan meminta untuk dapat lebih dimaksimalkan sehingga masyarakat yang tinggal di pulau-pulau mudah mendapat pengobatan murah. “Ini adalah pekerjaan yang mulia. Saya yakin dia (Prof Nila) semakin mengembangkannya,” katanya.

sumber: http://www.harianterbit.com