90 Persen Alat Diimpor, Biaya Kesehatan Mahal

Ketua panitia Seminar Internasional Technomed 2014, Trisasi Lestari, mengatakan lebih dari 90 persen alat kesehatan di Indonesia masih impor atau teknologinya dipegang oleh perusahaan asal luar negeri. Makanya, menurut akademikus Fakultas Kedokteran UGM tersebut, biaya perawatan kesehatan di Indonesia mahal. “Jarum suntik saja masih impor,” kata dia di sela konferensi pers mengenai Seminar Internasional Technomed 2014 di kampus Fakultas Kedokteran UGM, pada Selasa, 21 Oktober 2014.

Trisasi menambah deretan contohnya, yakni alat bantu medis sepele seperti stetoskop atau pengukur tensi darah, sudah diproduksi di dalam negeri, tapi paten teknologinya masih dipegang oleh perusahaan luar negeri. Alat untuk deteksi kadar gula pada penderita diabetes hingga perangkat laboratorium untuk pemeriksaan darah di banyak rumah sakit juga masih impor. “Perangkat radiologi yang dibutuhkan di semua rumah sakit, hampir 100 persen impor,” kata Trisasi.

Karena itu, Trisasi menambahkan, Seminar Technomed, yang berlangsung pada 21 dan 22 Oktober 2014, sengaja digelar untuk mempertemukan peneliti di bidang kesehatan dengan pelaku industri farmasi dan alat bantu medis. Tujuannya untuk menunjukkan besarnya potensi penemuan teknologi bidang medis di Indonesia. “Kami juga datangkan praktisi dari India dan Cina,” katanya.

Trisasi mencontohkan ada pakar kesehatan dari India yang menyebutkan biaya operasi jantung di negaranya jauh lebih murah dari Indonesia karena semua alat bantu medis bukan barang impor. Perbandingannya, harga operasi jantung di India bisa seperlima lebih murah dari Indonesia. “Di Cina juga jauh lebih murah karena alat kesehatannya mayoritas buatan dalam negeri,” kata dia.

Padahal, menurut Trisasi, prosedur penciptaan teknologi alat bantu medis di Indonesia tidak terlalu sulit. Hanya saja, menurut dia, belum banyak akademikus bidang kedokteran menaruh perhatian besar untuk penemuan teknologi baru di bidang kesehatan. “Prosedur pemberlakuan Standard Nasional Indonesia, bukti keamanan dan paten juga tidak susah,” ujarnya.

Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Kerja Sama, Fakultas Kedokteran, UGM, Adi Utarini menambahkan banyak di antara alat kesehatan impor sebenarnya tidak rumit teknologinya. Karena itu, dia optimistis, apabila ada perhatian serius dari para peneliti bidang kesehatan untuk meriset teknologinya, produksi di dalam negeri bisa didorong berkembang. “Universitas harus jadi pusat inovasi,” kata dia.

Utarini mengatakan FK UGM sudah merintis riset untuk penciptaan teknologi sebagian kecil alat-alat bantu medis. Sebagiannya, yang sudah dikembangkan, ialah Rhinomery digital, Pengukur Jari Tabuh, Stress Meter, Vital Sign Simulator, Manekin Resusitasi Jantung Paru, Alat Deteksi Kanker Nasofaring, dan Intrauterine Device (IUD) untuk program keluarga berencana. “Sebagian masih proses pengajuan paten dan ada yang sudah diproduksi,” kata Utarini.

Menurut Utarini, kampusnya mengundang sejumlah perusahaan farmasi di forum Technomed 2014. Di antaranya PT Roche Indonesia, Novartis Institute for Tropical Disease, PT Teguhsindo Lestaritama, dan sebagainya. “Agar periset dari kampus tahu prosedur produksi alat kesehatan dan termotivasi. Peluangnya luas,” katanya.

 

Sdm Kesehatan: Waspadai Keberadaan Dokter Asing Ilegal

24okt

24okt

Pemerintah hingga kini belum pernah mengeluarkan surat tanda registrasi (STR) bagi dokter asing agar bisa praktik di Indonesia. Karena itu, keberadaan dokter asing di rumah sakit non pendidikan adalah ilegal.

“Karena itu, kami minta masyarakat untuk lapor ke kementerian kesehatan atau dinas kesehatan setempat jika melihat ada dokter asing praktik di klinik atau rumah sakit swasta,” kata Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Medikolegal, drg Tritarayati SH, MH Kes dalam keterangan pers, di Jakarta, Jumat (24/10).

Hadir dalam kesempatan itu Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Kemenkes, dr Achmad Soebagio MARS, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dr Dien Emawati M Kes, Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan, Yudi Kurniadi SH MH, dan Kepala Unit Kriminal Khusus Polresta Jakarta Barat, AKBP Viktor DH Inkiriwang.

Jumpa pers tersebut digelar atas kasus 3 klinik kecantikan dan klinik kesehatan di wilayah Jakarta atas dugaan praktik dokter palsu. Klinik tersebut juga tak berisin dan penyalahgunaan izin tinggal oleh tenaga asing bidang medis.

Tritarayati menjelaskan, setiap dokter yang akan praktik di Indonesia harus memiliki surat tanda registrasi (STR) yang dikeluarkan Majelis Konsil Kedokteran Indonesia bersama organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kedua organisasi tersebut menyatakan hingga saat ini belum satupun STR dikeluarkan untuk dokter asing.

“Dokter asing hanya boleh transfer ilmu pengetahuan di rumah sakit pendidikan seperti RS Cipto Mangunkusumo atau Harapan Kita. Dokter asing itu praktik di depan ratusan dokter kita, bukan praktik perorangan,” ucapnya.

Karena itu, Tritarayati kembali mengingatkan masyarakat agar melaporkan jika melihat dokter asing praktik di rumah sakit, terutama banyak beredar di RS swasta. Karena keberadaan mereka ilegal. “Laporkan jika melihat dokter asing disana,” katanya menegaskan.

Ditanya berapa dokter asing yang sudah dideportasi, Tritarayati menyebutkan belum ada satupun. Dokter asing itu biasanya praktik dengan perjanjian. Keberadaan jadi sulit dilacak, karena sering keluar masuk Indonesia.

“Pengaduan dari masyarakat menjadi penting guna melindungi masyarakat dari praktik kedokteran yang tidak memenuhi standar,” ujarnya.

Terkait rencana penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Tritarayati mengatakan, dokter asing yang akan masuk ke Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan dokter di dalam negeri. Terutara untuk kompetensi yang belum ada di Indonesia.

Dokter asing itu harus memiliki sertifikat kompetensi dan pengalaman mengajar minimal 5 tahun. Sejumlah persyaratan harus dipenuhi guna mendapatkan STR.

Setelah memperoleh STR, dokter asing bakan mendapatkan surat izin praktek (SIP) sementara yang hanya berlaku selama 1 tahun. SIP hanya bisa diperpanjang 1 kali.

“Tujuannya hanya untuk transfer ilmu pengetahuan dalam kurun waktu 2 tahun. Setelah itu, kita tak membutuhkan dokter asing tersebut. Dalam prakteknya, dokter asing itu harus didampingi dokter Indonesia yang kompetensinya setara,” kata Tritarayati. (TW)

{jcomments on}

Fujitsu Punya Solusi untuk Masalah Kesehatan Indonesia

Mengenai kualitas layanan kesehatan, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingan negara lain yang sudah menerapkan e-hospital. Solusi e-hospital dapat menjadi jawaban kesenjangan layanan kesehatan di berbagai daerah.

Maka dari itu, perusahaan asal Jepang, Fujitsu, memperkenalkan sistem dan teknologi layanan kesehatan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang kian disempurnakan untuk pasar Indonesia, yakni Fujitsu Healthcare Solutions.

Achmad S. Sofyan, Managing Director Fujitsu Indonesia, mengatakan, melalui penerapan pelayanan kesehatan yang memanfaatkan inovasi teknologi mutakhir dari Fujitsu itu, bisa mengatasi problematika kesehatan di negeri ini.

“Semua orang di setiap wilayah negara ini akan memiliki akses yang sama kepada layanan kesehatan berkualitas, aman, dan profesional,” ujarnya di Jakarta, Kamis 23 Oktober 2014.

Rasa optimistis itu, lanjut Achmad, dikarenakan Fujitsu telah menyediakan teknologi layanan kesehatan di bidang kesehatan dalam kawasan Asia selama lebih dari 38 tahun.

Layanan kesehatan yang ditawarkan Fujitsu mencakup sebuah Sistem Informasi Rumah Sakit, Telemedicine (Pertukaran Informasi Kesehatan), Aplikasi Perangkat Bergerak untuk Optimalisasi Layanan, Virtualisasi Klien dan Server, Bio-simulasi, serta Catatan Medis Elektronik (EMR) berbasis cloud.

Daerah Terpencil

Dikatakannya, solusi tersebut dapat mengantisipasi permasalahan yang mempengaruhi layanan kesehatan akibat letak geografis, seperti di daerah terpencil, jauh dari perkotaan.

“Kini dokter yang berada di pusat bisa membantu dengan berkomunikasi dengan yang di daerah, sehingga dapat memperoleh layanan kesehatan langsung dari tenaga medis profesional yang berada jauh di lain pulau, tanpa harus melakukan perjalanan jarak jauh,” papar Made Suhdarma, Head of Application Services, Fujitsu Indonesia.

Sistem EMR dan Pertukaran Informasi Kesehatan yang ditawarkan Fujitsu ini seperti data riwayat kesehatan dari tiap-tiap pasien akan disimpan dalam sebuah database terpusat yang terhubung, serta dapat diakses oleh penyedia layanan kesehatan yang berbeda.

Achmad menambahkan, solusi ini menjamin kesehatan pasien, karena data medis yang sama dapat diakses oleh tenaga medis profesional, sebagai dasar dalam memberikan layanan kesehatan yang diperlukan pasien tersebut.

“Solusi ini membantu bagi pasien dengan mobilitas tinggi, sehingga mereka dapat memperoleh layanan kesehatan yang memadai di berbagai rumah sakit yang berbeda tanpa ada khawatir akan memperoleh diagnosa yang keliru,” ungkap dia. (art)

sumber: http://teknologi.news.viva.co.id

 

PB IDI minta pemerintah naikkan insentif dokter

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dr Zainal Abidin meminta agar pemerintah menaikkan insentif dokter untuk menarik minat tenaga kesehatan itu mengabdi di daerah.

“Sebab, jika tidak ada perubahan, maka akan sulit melihat ada pemerataan dokter di Indonesia,” kata Zainal Abidin di Mataram, Rabu.

Menurut dia, sebenarnya IDI telah meminta agar pemerintah menaikkan iuran pelayanan kesehatan di semua rumah sakit, termasuk puskesmas. “Ini sebagai konsekuensi agar para dokter bisa turun ke daerah,” katanya.

Ia mengatakan dalam memberikan pelayanan primer kepada masyarakat, seorang dokter ataupun rumah sakit termasuk puskemas mampu membiayai seluruh operasional pelayanan rumah sakit.

Belum lagi, kata dia, persoalan tersebut ditambah dengan masih kurangnya puskemas yang ada di seluruh daerah di Indonesia. “Saat ini saja puskemas kita masih dibawah 10 ribu unit. Itu pun masih kurang, karena jika melihat rasio semestinya puskemas kita 40 ribu unit baru bisa melayani kesehatan masyarakat,” katanya.

Selain itu, menurut dia, dalam membantu pemerintah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah tentunya tidak mungkin hanya akan melibatkan dokter pemerintah, kalau tidak dibantu oleh dokter praktek yang melakukan pelayanan kesehatan di klinik.

“Itu pun kalau semua pelayanan dokter itu dapat ditanggung pemerintah, tetapi tidak semua dokter yang ada berstatus pegawai negeri,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika saat ini iuran pelayanan kesehatan di rumah sakit masih berkisar Rp17 ribu, akan sulit para dokter untuk mengabdi di daerah. Karena idealnya kata Zainal Abidin iuran pelayana kesehatan berada di kisaran Rp20-30 ribu.

“Tidak mungkin dokter datang ke daerah kalau dia tidak bisa hidup di tempatnya bertugas,” ujarnya.

Ia menambahkan, dalam hitung-hitungan IDI, penghasilan dokter Rp12-15 juta

Lain lagi jika persoalan dokter ini diangkat menjadi pegawai pemerintah tetapi itupun pemerintah bisa menjanjikan semua dokter diangkat menjadi pegawai negeri.

Namun, kalaupun, pemerataan dokter didaerah belum bisa dilakukan. IDI menjamin akan para dokter di seluruh Indonesia akan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara baik.

sumber: http://www.antaranews.com/

 

Tiap Tahun, 600 Ribu Orang Indonesia Berobat ke Luar Negeri

Kongres para dokter bedah dunia yang saat ini berlangsung di Nusa Dua Bali, Selasa (21/10), membawa dampak positif bagi pembenahan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

Minimnya peralatan medis di Indonesia dan sebaran tenaga medis yang tidak merata menyebabkan banyak pelayanan kesehatan masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak mendapatkan pelayanan secara adil merata.

Pada kesempatan yang sama, masyarakat kelas menengah ke atas memilih berobat ke luar negeri. Padahal, para dokter di Indonesia secara kapasitas dan kredibilitas serta keahlian tidak jauh berbeda dengan dokter-dokter yang ada di rumah sakit kelas tinggi di luar negeri.

Ketua Kongres Dokter Bedah Paul Tahalele saat ditemui di Nusa Dua Bali, Selasa (21/10) menjelaskan, data terakhir tahun 2013 menunjukkan, ada sekitar 600 ribu Indonesia dari kelompok kelas menengah ke atas yang berobat ke luar negeri. Jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya orang kaya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

“Jumlah ini sejauh yang terdata dalam survei kami, masih ada banyak data yang tidak terekam. Hampir dipastikan jumlahnya melebihi atau meningkat di tahun 2014 ini,” ujarnya.

Negara yang menjadi target pasien asal Indonesia adalah Singapura, Malaysia, China dan beberapa negara di Eropa dan Amerika.

Menurutnya, ada dua penyebab mengapa orang Indonesia banyak yang berobat ke luar negeri. Pertama, faktor gengsi dan secara finansial mereka memang mampu untuk melakukan hal tersebut.

“Bagi orang kaya, berobat ke Singapura atau Jerman bukan masalah bagi mereka. Padahal mereka juga tahu bahwa dokter di Indonesia mampu melakukan hal tersebut. Kedua, faktor peralatan dan teknologi. Memang harus diakui, banyak sekali peralatan medis yang belum memadai sekalipun para dokter dan pakar di Indonesia mampu melakukannya,” ujarnya.

Banyaknya pasien di Indonesia yang berobat ke luar negeri menyebabkan terjadi kerugian devisa bagi Indonesia. Data yang diterima dari Kementerian Kesehatan, potensi kerugian devisa negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp100 triliun per tahun.

Sementara data dari BUMN menjelaskan total kerugian negara akibat banyaknya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri sebanyak Rp60 triliun per tahun.

“Kedua lembaga pemerintah ini memang memiliki data yang berbeda. Namun kalau kita ambil yang tengah-tengahnya, total kerugian itu mencapai Rp80 sampai Rp90 triliun per tahun. Ini angka yang cukup besar bagi Indonesia. Artinya, dalam setahun, jumlah ini sia-sia dibawa keluar negeri. Padahal kalau mau dibenahi pelayanan medis di Indonesia, jumlah ini tidak terbuang sia-sia ke luar negeri,” ujarnya.

Sementara pakar bedah syarat Indonesia Prof Sri Muliawan menjelaskan, saat ini Indonesia hanya memiliki 4 ribu tenaga dokter bedah di tahun 2014. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1800 orang berasal dari dokter bedah umum. Dari jumlah dokter umum sebanyak 1800 orang, ada 1250 orang yang tinggal di kota besar di Jawa dan Bali. Jadi sampai saat ini, di rumah sakit tipe C dan D yang membutuhkana dokter bedah umum ternyata tidak bisa terpenuhi karena masih banyak dokter yang tinggal di daerah perkotaan. (Arnoldus Dhae)

sumber: http://rona.metrotvnews.com

 

Kemenkes dan Bio Farma Bahas Cakupan Imunisasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan PT Bio Farma (Persero) menggelar Pertemuan Nasional Koordinasi Pelaksanaan Intensifikasi Imunisasi Rutin, bertempat di Discovery Kartika Plaza, Bali, akhir pekan lalu.

Acara yang bertujuan untuk meningkatkan cakupan imunisasi atau Universal Child Immunization (UCI) dihadiri oleh 144 peserta terdiri dari perwakilan Dinas Kesehatan (Dinkes) dari 33 provinsi.

Dalam sambutan Dirjen PPPL yang disampaikan oleh Kasie Bimbingan dan Evaluasi, Subdit Imunisasi dr.Sulistya Widada, berharap peserta yang hadir pada pertemuan ini, dapat mengimplementasikan upaya yang inovatif dan strategis untuk perluasan dan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi.

“Dengan adanya upaya yang inovatif, kami berharap jangkauan dan pelayanan imunisasi bisa merata hingga 100% di seluruh desa di Indonesia, khususnya imunisasi untuk bayi usia 0 – 11 bulan, setidaknya bisa mencapai 90%”, kata dr Sulis dalam rilis yang diterima Tribun, Senin (20/10).

Pda kesempatan tersebut hadir pula, Ditjen Binfar Alkes, Ditjen PPPL, Subdit Imunisasi, Komisi Daerah KIPI, perwakilan Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), Indonesian Technical Advisory Group Immunization (ITAGI) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO)

sumber: http://www.tribunnews.com

Calon Menteri Kesehatan Sebaiknya Bukan Politikus

Indonesia akan memasuki pemerintahan baru di bawah pimpinan presiden terpilih Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Kalla. Nama-nama telah disiapkan untuk mengisi kursi menteri, termasuk Menteri Kesehatan (Menkes).

Kesehatan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan bernegara. Menkes akan mengemban tugas yang cukup berat di tengah banyaknya persoalan bidang kesehatan di Indonesia. Untuk itu Menkes dinilai sebaiknya berasal dari kalangan profesional atau bukan dari partai politik.

“Terlalu riskan kalau menyerahkan ke politisi. Apalagi politisi tidak begitu mengerti tentang kesehatan, banyak masalahnya,” ujar Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zainal Abidin di Kantor IDI, Jakarta, Jumat (17/10/2014).

Menurut Zainal, Kemenkes harus mengerti mengenai konsep kesehatan secara menyeluruh. Mulai dari langkah pencegahan, sosialisasi kesehatan, dan penanganannya. Menkes juga diminta dapat bekerja sama secara baik dengan kementerian terkait dan profesi strategis, termasuk dengan para dokter, perawat, bidan, hingga apoteker.

“Harus dekat. Artinya kalau dia ngomong apa semua dengar. Kalau ditolak oleh kelompok ini saya yakin dia lumpuh. Karena itu, dia musti diterima dengan baik,” lanjutnya.

Hal senada dikatakan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Wijayarta. Menurut dia, selain dari kalangan profesional, calon Menkes harus punya rekam jejak yang baik.

“Orangnya harus bersih, jujur, tidak pernah terlibat kasus seperti korupsi, maupun masalah klinik, dan misalnya yang gelar doktor jangan plagiat. Harus profesional, tidak ada hubungan dengan partai,” ujar Marius.

Marius mengatakan, meskipun Menkes dari kalangan profesional misalnya dokter, ia pun harus bekerja profesional dan memiliki program kerja yang jelas untuk menyentuh masyarakat secara menyeluruh.

“Kalau dasar profesional dari dokter, nanti jangan hanya membela dokter dan dia harus lepaskan profesi dokter,” kata dia.

Saat ini ada sejumlah nama yang disebut-sebut bakal menggantikan Menkes Nafsiah Mboi. Mereka diantaranya mantan Ketua IDI yang saat ini menjabat Direktur BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Agus Purwadianto.

Sementara itu, seperti dikutip dari Harian Kompas, Jokowi-JK sudah memastikan tujuh kementerian yang harus diisi oleh kalangan profesional murni. Tujuh kementerian itu adalah Keuangan, Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Pertanian, Pekerjaan Umum, Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan.

Adapun hari ini, Jokowi-JK melalui tim transisi telah menyerahkan 43 calon anggota kabinetnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Nantinya, calon para pembantu Jokowi-Jusuf Kalla itu akan ditelusuri kedua lembaga tersebut.

sumber: http://health.kompas.com

 

Menkes Lantik Pejabat Eselon 1 dan 2

menkes17okt

menkes17oktDihari terakhirnya sebagai menteri kesehatan, Jumat (17/10) Nafsiah Mboi melantik 4 pejabat eselon 1 dan 25 pejabat eselon 2 di lingkup jajarannya. Pergantian itu dilakukan semata mengisi sejumlah jabatan yang kosong dalam beberapa bulan terakhir.

“Kursinya kosong karena ada yang pensiun, ada yang naik jabatan, ada geser ke posisi lain. Tak ada maksud apapun dibalik pelantikan ini,” kata Nafsiah Mboi menegaskan, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta.

Ia mengatakan, pejabat yang dilantik hari ini merupakan pribadi pilihan yang bertanggungjawab, dan bisa bekerjasama dengan lintas sektoral. Karena itu, Menkes meminta pada para pejabat bekerja secara sungguh-sungguh.

Beberapa nama yang dipromosikan antara lain, dr HM Subuh sebagai Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), drg Usman Sumantri, MSC sebagai Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM).

Selain itu, drg Tini Suryanti Suhandi, MKes sebagai staf ahli menteri bidang pembiayaan dan pemberdayaan masyarakat dan drg Tritarayati, SH sebagai staf ahli menteri bidang Mediko Legal.

Nama-nama lainnya adalah pejabat eselon 2, diantaranya dr Slamet, MHP sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran, setelah sebelumnya menjabat Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung.

Selain itu, di lingkungan BPPSDM, pejabat eselon 2 yang dilantik adalah dr Kirana Pritasari MQIH sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan. Dra Meinarwati Apt M.Kes sebagai Kepala Pusat Standardisasi, Sertifikasi, dan Pendidikan Berkelanjutan SDM Kesehatan.

Ditambahkan, dr Achmad Soebagjo Tancarino MARS sebagai Kepala Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan dan dr Zaenal Komar Apt MA sebagai Kepala Balai Besar Pelatihan Kesehatan Jakarta.

Pada kesempatan itu Menkes juga memberikan penghargaan kepada beberapa pegawai atas jasa-jasa dan prestasinya. Beberapa nama yang memperoleh piagam prestasi antara lain Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof Akmal Taher dan Sesjen Kemenkes dr Untung Suseno.

Menkes juga menceritakan sekilas tentang perjalanan karirnya sebagai menteri selama kurang lebih dua tahun terakhir. Meski awalnya banyak pihak yang mengkritik karena ia dinilai terlalu tua untuk jadi menteri, anggapan tersebut terbukti salah karena ternyata ia masih bisa dan sanggup menjabat sebagai menteri hingga akhir jabatannya pada jumat (17/10).

“Katanya waktu saya naik jadi menteri, banyak yang tidak suka. Tapi alhamdulillah di lingkup Kemenkes sendiri tidak ada. Saya menerima banyak dukungan dan cinta. Toh, bekerja paling menyenangkan jika dengan cinta,” kata Nafsiah Mboi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Global Fund Apresiasi Program Kesehatan Jokowi

Global Fund untuk penanganan Aids, Tuberculosis, dan Malaria menyambut baik program kesehatan yang bakal menjadi perhatian Presiden Joko Widodo yang secara resmi memulai pemerintahannya pada Senin, 20 Oktober 2014 ini.

Senior Fund Portofolio Manager High Impact Asia Departemen Global Fund Gail Steckley mengatakan program jaminan kesehatan yang selama ini dijalankan Jokowi ketika menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta patut dilanjutkan untuk program yang berlaku di seluruh Indonesia. “Semoga presiden baru lebih banyak memperhatikan bidang kesehatan, dan pendidikan,” kata Gail.

Ia menyatakan hal ini di sela kegiatan pelatihan yang berfokus pada isu hak asasi manusia untuk orang yang hidup bersama HIV-Aids, penanganan malaria di Asia Tenggara, dan tubercolusis. Pelatihan ini diikuti sejumlah jurnalis dan ahli dari Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika di kantor pusat Global Fund di Jenewa, Swiss, Rabu-Kamis, 15-16 Oktober 2014.

Global Fund berkomitmen untuk mengucurkan duit sebesar lebih dari 693 juta dolar Amerika Serikat atau lebih dari Rp 8,3 triliun ke Indonesia. Dari jumlah itu, Global Fund telah mencairkan setidaknya Rp 6,8 triliun untuk membantu penanganan HIV-Aids, TBC, malaria, dan penguatan sistem kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan laporan Global Fund, program penanangan malaria di Indonesia berjalan sesuai harapan. Program ini berlangsung di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan sejumlah wilayah timur Indonesia. “Program kami di sejumlah provinsi di bagian timur Indonesia saat ini sedang berjalan,” kata Gail.

Upaya penanganan TBC di Indonesia, setengah di antaranya dapat nilai bagus sesuai harapan dan setengah sisanya dapat nilai cukup. Untuk program penguatan sistem kesehatan, Global Fund memberi nilai cukup. Untuk penanganan HIV-Aids, sebagian di antaranya dapat nilai cukup. Namun, Global Fund juga tak menutup mata bahwa ada juga program penanganan HIV-Aids ini yang meleset dari target.

Global Fund merupakan konsorsium negara-negara donor. Negara yang menjadi penyumbang dana, di antaranya Swiss, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Jepang.

sumber: http://www.tempo.co/

 

MENKES: Gunakan Antibiotik Secara Rasional

19okt

19oktMenteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengingatkan kalangan dokter untuk meresepkan obat antibiotik secara rasional. Begitupun dengan masyarakat, hendaknya tak mengonsumsi obat antibiotik tanpa resep dokter.

“Terus terang saja saya galau melihat penggunaan antibiotik yang sudah berlebih. Bukan saja dokternya, tetapi juga masyarakatnya. Kena penyakit flu saja minumnya antibiotik,” kata Nafsiah Mboi usai melantik pengurus Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (PRA) 2014-2019, di Jakarta, Kamis (16/10).

Komite PRA menjadi penting, menurut Menkes, karena resistensi antimikroba sudah menjadi masalah serius di dunia, termasuk Indonesia. Apalagi hasil penelitian Amrin (Antimicrobial Resistance in Indonesia)2000-2005 menunjukkan resistensi antimikroba telah terjadi di sejumlah rumah sakit di Tanah Air.

Malahan, lanjut Menkes, antibiotika banyak dipergunakan di peternakan dan perikanan tanpa tujuan medis, tetapi semata demi bisnis. Padahal, daging hewan dan ikan tersebut untuk konsumsi manusia.

“Pengendalian antibiotik tak hanya pada manusia, tetapi hewan juga. Karena konsumen dari hewan itu kan manusia juga. Ini sungguh sudah merusak kesehatan masyarakat,” kata Nafsiah menegaskan.

Hal senada dikemukakan pula Ketua Komite PRA, Hari Paraton. Ia menjelaskan hasil penelitian resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR) tahun 2013 lalu di 6 rumah sakit di Indonesia.

Hasil penelitian itu menunjukkan, resistensi antimikroba terjadi di semua rumah sakit terutama pada bakteri e-coli dan klebsiela pneumonia yang memproduksi enzim ESBL berada pada kisaran 40-60 persen.

“Kita tahu bakteri itu sudah kebal terhadap antibiotika sefalosporin generasi I-IV,” ujarnya.

Tanpa gerakan pengendalian AMR, Hari Paraton menilai, kondisi Indonesia di masa depan diprediksikan bakal terjadi 4 hal. Disebutkan, angka kematian dan kesakitan akibat AMR akan meningkat.

Selain itu, biaya perawatan pasien infeksi menjadi mahal. Hal itu akan “mengerus” cadangan dana baik di rumah sakit maupun dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Tenaga ahli asing maupun turis akan semakin takut datang ke Indonesia. Karena kumannya sudah imun dengan obat antibiotik yang ada,” ucapnya.

Dampak lainnya yang tak kalah penting, Hari Paraton menambahkan, adalah produktivitas kerja secara nasional menurun, karena tingkat kesakitan yang meningkat. Karena makin banyak penduduk yang mengalami kesakitan akibat belum adanya obat baru untuk penyakitnya tersebut.

“Penyebaran AMR di rumah sakit karena pemahaman serta implementasi universal precaution yang masih rendah,” kata dokter ahli kandungan tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Menkes melantik 5 anggota Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) periode 2014-2017. Menkes juga mencanangkan Gerakan Penggunaan Antimikroba bijak dan menyerahkan Sertifikat Akreditasi Internasional kepada 5 rumah sakit.

Menkes juga menyerahkan buku Pedoman Pengendalian Resistensi Antimikroba di RS kepada RS Dr Soetomo Surabaya, RSPI Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta, RSU Annisa, Tangerang dan RS Bhayangkara Sespimma Polri Jakarta. (TW)

{jcomments on}