Indonesia Kekurangan Tenaga Kesehatan Penerbangan

Menghadapi Open Sky dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 mendatang. Indonesia masih minim infrastruktur. Kekurangan tenaga kesehatan penerbangan juga masih terasa. Hal itu disampaikan Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim, Rabu 15 Oktober.

Chappy yang juga mantan Kasau hadir di Makassar dalam simposium nasinal kesehatan penerbangan yang diadakan di hotel Sahid Jaya. Dalam persentasenya, dia menjelaskan perkembangan teknologi penerbangan searah dengan keselamatan penerbangan. Salah satu aspeknya kesehatan penerbangan. “Semakin modern suatu pesawat, harus safer and safer (semakin aman, red),” ujarnya.

Chappy mencontohkan, rapinya standar operasional prosedur (SOP) salah satu maskapai Australia yang pernah ditumpanginya. Saat itu ada penumpang yang terkena serangan jantung dan berhasil diselamatkan karena sigapnya awak kabin.

Di Indonesia, saat pengusaha beramai-ramai mendirikan airlines, apalagi tingginya pengguna transportasi udara hingga mencapai 64 juta penumpang. Tapi itu tidak dibarengi dengan sumber daya manusia memadai. “Pilot kita kurang, air control juga, termasuk tenaga kesehatan. Akhirnya kita kena banned Uni Eropa,” keluhnya.

Senada, Marsda TNI Achmad Hidayat menyebut, 80 persen penyebab kecelakaan penerbangan faktor manusia. Karena itu dia menekankan pentingnya tenaga kesehatan penerbangan, termasuk kasus MH 370 yang ditengarai akibat human factor akibat pilot yang kurang sehat,”bebernya.

Hal itu sebenarnya coba dijawab Universitas Patria Artha (UPA) dengan mendirikan jurusan perawat penerbangan. Mahasiswanya sendiri saat ini baru berjumlah 80 orang. “Kedepan, alumni UPA akan terserap di bandara, airlines, serta petugas kesehatan haji,” tandas Ketua Yayasan UPA, Bastain Lubis.

Simposium diikuti ratusan peserta dari UPA, TNI AU, akademisi dan masyarakat umum. Hadir sebagai pembicara, Marsekal TNI Chappy Hakim, Marsda TNI Achmad Hidayat, Fasilitator AMS UIMF Dr Soemardoko Tjokrowidigdo, Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib, serta pembicara lainnya. (ris)

sumber: http://fajar.co.id

 

Puncak Peringatan Cuci Tangan Pakai Sabun

15okt

15oktStudi WHO 2007 menunjukkan intervensi modifikasi lingkungan dapat menurunkan angka penyakit diare hingga 94 persen.
Atas dasar itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sejak 2008 lalu membuat program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan harapan terjadi perubahan perilaku higienis dan saniter di masyarakat.

“Program STBM terbukti mampu menurunkan angka kesakitan diare hingga 94 persen dan kecacingan hingga 71,6 persen,” kata Direktur Penyehatan Lingkungan, Ditjen P2PL, Kemenkes, Wilfried H Purba dalam jumpa pers, di Jakarta, Rabu (15/10) terkait puncak peringatan “Hari Cuci Tangan Pakai Sabun (HCTPS) se-Dunia 2014” pada 18 Oktober mendatang di Jakarta.

Wilfried menjelaskan, CTPS merupakan satu bagian dari program STBM yang tak kalah penting diperkenalkan ke masyarakat. Karena dari tindakan yang terlihat sepele itu, mampu mencegah penyakit menular seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas). Bahkan, CTPS dijadikan standar pencegahan penyakit kritis seperti ebola.

“Perilaku CTPS harus dilakukan di 5 waktu penting, yaitu usai buang air besar (BAB), setelah menceboki bayi/balita, sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan dan sebelum menyusui,” ujarnya.

Fakta lain di luar 5 waktu penting yang patut mendapat perhatian terkait CTPS, Wilfried menyebutkan, 71 persen tidak mencuci tangan setelah menyentuh permukaan benda di tempat umum.

“Seharusnya segera CTPS setelah menyentuh gagang pintu, tombol lift di tempat umum. Bahkan di rumah sakit yang bisa menyebabkan infeksi nosokomial. Kuman yang terdapat di tangan akan masuk ke tubuh saat menyapukan tangan ke mata dan hidung,” ujarnya.

Selain itu, Wilfried menambahkan, 86 persen tidak mensterilkan keranjang belanjanya. Kuman tidak hanya ditemukan di gagang keranjang belanja, tetapi juga dalam daging dan makanan lainnya. “Setelah berbelanja, segera lakukan CTPS,” katanya menegaskan.

Tentang penggunaannya cairan pembersih tangan tanpa bilas, Wilfried mengatakan, hal itu bisa dilakukan sebagai alternatif jika tidak ada air bersih di sekitar. Namun, yang terbaik menggunakan sabun dan air.

“Para ahli tetap menyarankan untuk cuci tangan pakai sabun dan air,” kata Wilfried menegaskan.

Ia menyebutkan sejumlah yang paling banyak ditemukan kuman. Di tempat perbelanjaan, terutama pada keranjang belanja yang terbukti 70-90 persen memiliki bakteri e-coli. Tempat bermain anak, padahal sebagian besar anak yang bermain disana memasukan mainan tersebut ke mulutnya.

Selain itu, kuman banyak pada toilet umum. Terutama pada wastafel dan dispenser sabun. Tempat lainnya justru di meja kantor yang terbukti memiliki 400 kali kuman lebih banyak dibandingkan kursi toilet. Bahkan pada meja perempuan, kuman tiga kali lebih banyak dibandingkan meja kerja milik laki-laki.

“Di restoran, kuman paling banyak ditemukan pada lap meja. Ini harus diperhatikan para konsumen,” tutur Wilfried seraya menyebutkan data itu berasal dari International Journal Of Enviromental Health Research 2005.

Tempat lainnya di perpustakaan, terutama pada buku-buku yang paling banyak dipinjam. Sedangkan di pusat perbelanjaan, tempat yang patut diwaspadai adalah pegangan tangan pada eskalator. (TW)

{jcomments on}

Masa Pemulangan Jemaah Haji, Kementerian Kesehatan Antisipasi Ebola

Untuk mengantisipasi masuknya virus Ebola dan MERS, atau sindrom pernafasan Timur Tengah, pada masa pemulangan jemaah haji sekarang ini, Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan dinas kesehatan provinsi, kabupaten kota untuk bekerjasama dengan seluruh bandar udara.

Kerja sama ini untuk memasang alat scanner thermal guna melihat kondisi suhu tubuh saat jemaah haji tiba di tanah air.

Jika ada jemaah haji yang demam tinggi, maka mereka bakal dimasukan ke karantina, ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama.

Dia mengatakan antisipasi pencegahan masuknya kedua penyakit menular itu cukup ketat. Jika ada penumpang di pesawat yang dicurigai terinfeksi kedua penyakit itu, pesawat akan diberi ruang mendarat khusus yang agak terpencil.

Kondisi kesehatan para jemaah haji, tambahnya, juga akan terus dipantau selama dua minggu. Para jemaah, lanjut Tjandra, telah diberikan kartu kewaspadaan kesehatan jemaah haji (K3JH) untuk pengawasan setelah kembali ke Tanah Air.

Hingga saat ini ungkapnya belum ada jemaah haji yang terkena dampak virus tersebut.

“Peningkatan kewaspadaan sebagai antisipasi agar Ebola dan MERS tidak sampai mewabah di Indonesia. Antisipasi ini dilakukan meskipun sampai selesai haji,di Arab Saudi tidak ditemukan kasus Ebola,” ujarnya.

Kementrian Kesehatan juga telah menyiapkan sebanyak 100 rumah sakit milik pemerintah yang berada di daerah-daerah untuk merawat jamaah haji jika ada yang diduga terkena virus mematikan yakni Ebola dan MERS.

Tjandra juga mengimbau masyarakat untuk tidak panik dengan mewabahnya virus Ebola. Meski demikian, lanjut Tjandra, masyarakat tetap harus mewaspadainya terutama jika bepergian ke negara-negara endemik Ebola.

Meski Ebola telah dinyatakan sebagai darurat kesehatan internasional tetapi Indonesia belum perlu melakukan penghentian perjalanan ke negara-negara endemis atau negara terjangkit, ujarnya.

“Deklarasi itu (membuat) perhatian jadi besar sehingga wabahnya bisa dikendalikan kemudian wabahnya bisa dikembalikan dan tidak takut menyebar ke berbagai negara,” ujarnya.

Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Jamil mengatakan lembaganya selama ini terus melakukan koordinasi dengan seluruh pihak baik petugas haji daerah, agen perjalanan haji dan umrah, serta petugas kesehatan haji untuk memberikan informasi tentang virus ebola tersebut.

sumber: http://www.voaindonesia.com

 

Penyalahgunaan Antibiotik Terbanyak Dialami Anak

bukr

bukrPenggunaan obat antimikroba jenis antibiotik yang paling tidak rasional justru terjadi pada anak. Demi reputasi sang dokter, anak diberi antibiotik agar cepat sembuh. Padahal, penyakit pada anak kebanyakan disebabkan oleh virus.

“Penyakit yang disebabkan oleh virus itu bisa sembuh dengan sendiri lewat makan dan istirahat yang cukup. Pemberian antibiotiknya menjadi sia-sia,” kata anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, Purnamawati, di Jakarta, Selasa (14/10).

Hadir dalam kesempatan itu Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Ditjen BUK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Chairul Radjab Nasution, Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, Ditjen Pembinaan Kefarmasian (Binfar), Kemenkes, Bayu Teja Muliawan dan Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimiroba, Anis Karuniawati.

Dalam jumpa pers terkait pencanangan “Penggunaan Antimikroba Bijak”, Purnawati menambahkan, ketika anak butuh antibiotik karena ada infeksi dalam tubuhnya seperti terkena penyakit pneumonia (infeksi saluran nafas) atau infeksi saluran kemih, tubuh anak sudah resisten terhadap antibiotik.

“Penyakit infeksi yang seharusnya bisa cepat disembuhkan dengan obat antibiotik, justru tidak memberi efek sama sekali saat dibutuhkan. Tubuh anak sudah resisten terhadap antibiotik yang tidak bijak sebelumnya. Kondisi ini terjadi riil di lapangan,” ujar dokter spesialis anak tersebut.

Akibat tubuh resisten terhadap antibiotik, lanjut Purnamawati, dibutuhkan obat antibiotik jenis baru yang harganya masih sangat mahal, karena belum bisa dibuat generiknya.

“Kalau saja penggunaan antibiotik dilakukan dokter secara bijaksana, biaya berobat tak akan membebani keluarga,” ujarnya.

Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Chairul Radjab Nasution menjelaskan, pencanangan penggunaan antimikroba secara bijak ini harus dilakukan, guna membangun kesadaran baru di kalangan masyarakat soal obat antibiotik.

“Sudah terjadi pemahaman yang salah soal antibiotik di masyarakat, seolah-olah obat antibiotik itu obat mujarab penyembuh segala penyakit. Pemahaman ini harus diluruskana. Apalagi antibiotik itu jenis obat golongan B yang tak bisa dibeli sembarangan, karena harus pakai resep dokter,” ucapnya.

Melalui pencanangan itu, lanjut Chairul Radjab, ada kewajiban bagi rumah sakit untuk menerapkan “Program Pengendalian Resistensi Antimikroba”. Selain juga perlunya dukungan dari para petugas kesehatan agar meresepkan antibiotik sesuai indikasi.

Ia menyebutkan, kematian akibat kuman yang resisten terhadap antimikroba sebenarnya lebih besar dibandingkan dengan kematian oleh AIDS, kecelakaan lalu lintas dan flu.

Di Amerika ada sekitar 19 ribu orang per tahun yang meninggal akibat resistensi antimikroba. “Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan kematian akibat AIDS yang mencapai 15 ribu orang per tahun,” ujarnya.

Chairul memperkirakan “kerugian” akibat penggunaan antibiotik yang sia-sia di Amerika mencapai dana 1,1 miliar dolar per tahun. “Kondisi ini semoga tidak terjadi di Indonesia,” ucap Chairul menegaskan. (TW)

{jcomments on}

Pemulangan Jemaah Haji, Kemenkes Waspada Ebola

Kementerian Kesehatan tengah melakukan antisipasi masuknya virus Ebola dan MERS ke Indonesia melalui masa pemulangan jemaah haji. Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan dinas kesehatan provinsi, kabupaten kota untuk bekerjasama dengan seluruh bandar udara.

Kerja sama ini untuk memasang alat scanner thermal guna melihat kondisi suhu tubuh saat jemaah haji tiba di tanah air.

Jika ada jemaah haji yang demam tinggi, maka mereka bakal dimasukan ke karantina, ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama.

Dia mengatakan antisipasi pencegahan masuknya kedua penyakit menular itu cukup ketat. Jika ada penumpang di pesawat yang dicurigai terinfeksi kedua penyakit itu, pesawat akan diberi ruang mendarat khusus yang agak terpencil.

Kondisi kesehatan para jemaah haji, tambahnya, juga akan terus dipantau selama dua minggu. Para jemaah, lanjut Tjandra, telah diberikan kartu kewaspadaan kesehatan jemaah haji (K3JH) untuk pengawasan setelah kembali ke Tanah Air.

Hingga saat ini ungkapnya belum ada jemaah haji yang terkena dampak virus tersebut. “Peningkatan kewaspadaan sebagai antisipasi agar Ebola dan MERS tidak sampai mewabah di Indonesia. Antisipasi ini dilakukan meskipun sampai selesai haji,di Arab Saudi tidak ditemukan kasus Ebola,” ujarnya.

Kementrian Kesehatan juga telah menyiapkan sebanyak 100 rumah sakit milik pemerintah yang berada di daerah-daerah untuk merawat jamaah haji jika ada yang diduga terkena virus mematikan yakni Ebola dan MERS.

Tjandra juga mengimbau masyarakat untuk tidak panik dengan mewabahnya virus Ebola. Meski demikian, lanjut Tjandra, masyarakat tetap harus mewaspadainya terutama jika bepergian ke negara-negara endemik Ebola.

Meski Ebola telah dinyatakan sebagai darurat kesehatan internasional tetapi Indonesia belum perlu melakukan penghentian perjalanan ke negara-negara endemis atau negara terjangkit, ujarnya.

“Deklarasi itu (membuat) perhatian jadi besar sehingga wabahnya bisa dikendalikan kemudian wabahnya bisa dikembalikan dan tidak takut menyebar ke berbagai negara,” ujarnya.

Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Jamil mengatakan lembaganya selama ini terus melakukan koordinasi dengan seluruh pihak baik petugas haji daerah, agen perjalanan haji dan umrah, serta petugas kesehatan haji untuk memberikan informasi tentang virus ebola tersebut.

sumber: http://www.harianterbit.com/

 

Teknologi Kedokteran: 9 RS Dilibatkan Dalam Pengembangan Sel Punca

menkesdahlan

menkesdahlanIndonesia siap kembangkan teknologi sel punca (stem cell) dan jaringan secara serius, lewat kerjasama antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang baru saja di tandatangani, di Jakarta, Senin (13/10).

“Langkah pertama adalah pembentukan konsorsium yang beranggotakan pemerintah, akademisi, dunia usaha dan komunitas,” kata Menkes Nafsiah Mboi dalam pidato sambutannya.

Hadir dalam kesempatan itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Kepala Badan POM, Roy Sparringa, dan Ketua Komite Pengembangan Sel Punca dan Jaringan, dr Farid Anfasa Moeloek.

Melalui penandatangan MoU ini, Menkes Nafsiah Mboi berharap pengembangan sel punca dan jaringan dapat terlaksana secara komprehensif, serta mencakup semua aspek. Baik penelitian, penerapan, pemanfaatan, pelayanan, maupun pengawasan.

“Di dunia, sel punca telah banyak digunakan dalam pengobatan baik untuk anak-anak hingga orang tua. Melihat begitu besar manfaat sel punca, kenapa kita tidak mengembangkannya. Padahal teknologi bukan hal baru di kalangan peneliti kita,” ujar Menkes.

Pengembangan teknologi dan pelayanan sel punca dan jaringan telah mulai dilakukan di Indonesia sejak 2008. Sel punca dipergunakan untuk pengobatan seperti parkinson, alzheimer, stroke dan penyakit lain yang disebabkan oleh kerusakan sel dan jaringan.

Menkes menuturkan, dirinya begitu bersemangat menandatangani kerjasama ini tatkala mengetahui mantan presiden BJ Habibie menggunakan sel punca untuk mengobati lututnya.

“Kalau manfaatnya sebesar itu, kenapa kegembiraan ini tidak kita berikan kepada semua orang saja,” kata Menkes.

Selain itu, lanjut Nafsiah, pihaknya juga bosan mendengar produsen sel punca dan jaringan saling menjelekkan satu sama lainnya sehingga terpikir untuk membentuk konsorsium dalam proses pengembangannya.

“Konsorsium ini selain melakukan rekayasa sel punca dan jaringan untuk pengobatan, juga memiliki fungsi pengawasan atas peredaran sel punca dari luar negeri yang telah direkayasa untuk pengobatan,” ucap Nafsiah.

Pemerintah menunjuk 9 rumah sakit (RS) vertikal untuk memulai pengembangan layanan sel punca dan jaringan, yaitu RS Dr M Djamil Padang, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Sardjito Yogyakarta, RS Fatmawati Jakarta, RS Khusus Kanker Dharmais, RS Dr Kariadi Semarang, RS Sanglah Bali, dan RS Persahabatan Jakarta.

Sementara itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan menuturkan, ilmuwan Indonesia sebenarnya tidak kalah kemampuannya dibanding ilmuwan negara lain dalam hal pengembangan sel punca dan jaringan.

Apalagi, Dahlan sendiri sudah merasakan manfaat yang cukup besar dalam penggunaan sel punca dan jaringan di dalam tubuhnya.

“Saya tidak mungkin mau menandatangi MoU ini kalau sel punca tidak bermanfaat. Malah saya sudah merasakannya untuk implan gigi dan rekayasa sel punca untuk memperbaharui sel dalam tubuh saya,” kata Dahlan Iskan.

Bahkan Dahlan sangat bangga dengan hasil kerja tenaga medis asal Indonesia terkait dengan sel punca dan jaringan tersebut. “Saya tidak melakukannya di Jerman, tidak juga di Korea, tapi di Surabaya. Itu sudah menunjukan bahwa sel punca bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,” kata Dahlan menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Puluhan Ribu Pasien Gangguan Jiwa di Indonesia Dipasung

Presiden terpilih Joko Widodo diminta segera memperkuat Undang-Undang (UU) Kesehatan Jiwa yang telah disahkan DPR pada 8 Juli 2014 dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Agustus 2014 lalu.
Hal itu disampaikan inisiator Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Nova Riyanti Yusuf pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia bersama Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Minggu, 12 Oktober 2014.

Menurut Noriyu, sapaan akrabnya, UU Kesehatan Jiwa harus memiliki peraturan turunan. Hal ini dimaksudkan agar UU bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

“UU Kesehatan Jiwa itu sifatnya general berupa bahasa hukum. Tapi pada saat menjadi peraturan turunan lebih sistematis, teknis dan implementantif,” ujar Noriyu.

Mantan anggota DPR dari Fraksi Demokrat ini juga berharap, dalam waktu satu tahun nantinya Jokowi segera mengeluarkan peraturan turunan UU Kesehatan Jiwa ini.

Selain itu, kata Noriyu, ada juga lima peraturan menteri yang harus segera direalisasikan guna memperkuat UU Kesehatan Jiwa yakni, empat Peraturan Menteri Kesehatan dan satu Peraturan Menteri Sosial yang direncanakan terwujud dalam satu tahun ke depan.

“Ini mampu memberikan banyak dampak positif yang nyata bagi kondisi kesehatan jiwa Indonesia. Di mana jika ada masyarakat ada yang ingin berperan membantu orang yang gangguan jiwa, harus memenuhi kriteria dari peraturan tersebut,” ucapnya.

Puluhan ribu dipasung

Noriyu melanjutkan, langkah itu juga nantinya bisa meminimalisir banyaknya panti yang sangat tidak memenuhi kriteria untuk melayani orang dengan gangguan jiwa.

“Ada banyak panti yang peduli pada orang dengan gangguan jiwa. Tapi, sayang sekali panti itu malah memberikan ruang bagi pelanggaran HAM,” katanya

Noriyu memaparkan, di Indonesia ada sekitar 56.000 orang yang dipasung karena mengalami gangguan jiwa.

“Pada 2009, diperkirakan yang dipasung sekitar 18.000 orang. Angka itu dikoreksi menjadi 56.000 berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Itu termasuk orang dengan gangguan jiwa skizofrenia. Kita harus peduli akan hal itu,” kata dia.

sumber: http://nasional.news.viva.co.id

 

Bahaya Merokok: Kemkes Beriklan di Bioskop Sasar Generasi Muda

10okt

10oktKementerian Kesehatan luncurkan iklan layanan masyarakat tentang dampak merokok di jaringan bioskop di dalam negeri dan sejumlah stasiun televisi lokal. Hal itu merupakan bagian dari upaya mengurangi jumlah prevalensi perokok muda di Indonesia.

“Tantangan yang harus dihadapi dalam pengendalian merokok adalah masih kuatnya iklan, promosi, dan sponsor perusahaan rokok. Ini dilakukan secara masif dan intensif agar anak-anak menjadi perokok pemula,” kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi saat peluncuran iklan layanan masyarakat tentanhg bahaya rokok, di Jakarta, Jumat (10/10).

Iklan layanan masyarakat itu bertujuan untuk memperkuat pencantuman peringatan bergambar pada bungkus rokok yang diluncurkan pasa 24 Juni 2014 lalu. Melalui iklan tersebut muncul kesadaran baru sehingga bertekad untuk berhenti merokok, mencegah para perokok pemula, dan membebaskan masyarakat dari asap rokok pasif.

Menkes menjelaskan, sejumlah kegiatan telah dilakukan Kemenkes demi mengurangi prevalensi perokok, mulai dari kampanye, peraturan pemerintah, hingga pemasangan peringatan gambar bahaya merokok di kemasan rokok.

Dengan menembus gedung Bioskop, Menkes berharap, para remaja yang menjadikan aktivitas menonton film di bioskop sebagai gaya hidup mampu menyerap makna dari iklan layanan masyarakat tersebut. Selain membantu sesama anak muda yang terlanjur menjadi perokok.

Iklan berdurasi sekitar 1 menit itu menampilkan kondisi penderita paru-paru yang kesakitan akibat penyakitnya tersebut. Ini untuk melawan iklan komersil dari industri rokok yang menampilkan kemudaan, riang, gembira dan bahagia.

“Kami ingin mengingatkan generasi muda yang merokok di usia muda usia, dampaknya itu setelah tua. Tidak bisa bermain-main dengan cucu karena sakit-sakitan. Penglihatan akan merekam pesan itu ke dalam otak, dan akan terus diingat,” katanya.

Epidemi tembakau telah membunuh sekitar 6 juta orang per tahun. Data badan kesehatan dunia WHO 2014 menyebutkan dimana 600 ribu di antaranya merupakan perokok pasif.

“Jika tidak ada penanganan yang serius, maka pada 2030 diperkirakan jumlah korban akan bertambah menjadi 8 juta orang. Jumlah itu sebgian besar terjadi negara-negara berkembang,” ucapnya.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, perokok usia di atas 15 tahun sebanyak 36,3 persen. Sebagian besar dari mereka adalah perokok laki-laki dengan prevalensi 64,9 persen dan jumlah ini merupakan yang terbesar di dunia.

Sementara itu, lanjut Menkes, prevalensi pada perempuan merokok terjadi peningkatan dari 5,2 persen pada 2007 menjadi 6,9 persen pada 2013. Sekitar 6,3 juta wanita Indonesia usia 15 tahun ke atas juga merokok.

Hal itu juga selaras dengan data Global Youth Tobacco Survey (2009), 89,3 persen remaja Indonesia melihat iklan rokok di billboard, 76,6 persen di media cetak dan 7,7 persen pernah menerima rokok gratis.

Sementara studi yang dilakukan Universitas Muhamadiyah Prof Hamka (Uhamka) dan Studi Komnas Anak pp2007 menunjukkan, 70 persen remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh oleh iklan.

“Sebanyak 77 persen mengaku iklan menyebabkan mereka untuk terus merokok, dan 57 persen mengatakan iklan mendorong mereka untuk kembali merokok setelah berhenti,” tuturnya.

Diakhir sambutannya, Menkes mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama mendukung dan mensukseskan upaya pengendalian tembakau.

“Marilah kita ubah norma di masyarakat agar merokok tak lagi menjadi norma sosial yang lazim dan yang dapat diterima masyarakat. Marilah kita ubah perilaku masyarakat terkait merokok yang sangat merugikan kesehatan individu, masyarakat, dan negara ini,” kata Nafsiah menandaskan. (TW)

 

Pemerintah Mendatang Harus Merekonstuksi Sistem Kesehatan Nasional

Dalam acara dialog nasional bertajuk “Revolusi Kesehatan Menuju Revolusi Mental, di Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, Asisten Deputi Urusan Sumber Daya Kesehatan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), dr. Hanibal Hamidi M.Kes menyatakan, untuk pelaksanaan revolusi mental harus dimulai dari bidang kesehatan.

“Ada lima persoalan kesehatan di Indonesia yang harus menjadi fokus pemerintah mendatang, yaitu, penyediaan dokter tiap desa, penyediaan bidan tiap desa, pemenuhan gizi masyarakat, sanitasi yang baik, dan tersedianya kebutuhan air bersih,” kata Hanibal dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu (8/10)

Kegiatan dialog ini sendiri, menghadirkan narasumber dr. Hanibal Hamidi, M.Kes (Asisten Deputi Bidang Sumber Daya Kesehatan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), Prof.Dr. Purnawan Junadi, MPH, Ph.D (Universitas Indonesia), Prof. DR. Dr. Indrawati Lipoeta (Universitas Andalas), Prof. DR, dr. Tri Martiana,MPH (Universitas Airlangga), Prof. DR, dr. Mulyanto (Universitas Mataram) Prof. DR. Dr.bambang (Univeritas Tanjung Pura), Prof. DR. Dr. Muhamad Syafar dan Prof. DR. Dr. Alimin, MPH (Universitas Hasanuddin).

Hanibal mengatakan, revolusi besar-besaran di bidang kesehatan perlu diwujudkan untuk membangun kembali karakter bangsa. “Revolusi mental erat kaitannya dengan karakteristik bangsa. Gagasan revolusi mental, harus segera dimulai dari revolusi kesehatan,” kata Hanibal.

Revolusi kesehatan, lanjut dia, merupakan upaya menyeluruh untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Hal itu, kata Hanibal, bisa dilakukan lewat rekonstuksi total terhadap sistem kesehatan, ditambah dengan penyempurnaan sistem rekrutmen tenaga kesehatan yang bebas dari sistem transaksional.

“Salah satu alasan, mengapa banyak tenaga kesehatan yang enggan ditempatkan di daerah terpencil adalah kurangnya penghargaan dari pemerintah. Hal ini sangat keliru dan harus ada kepastian soal kesejahteraan bagi mereka,” tambah dia.

sumber: http://www.beritasatu.com

 

 

Dokter di Indonesia Perlu Revolusi Mental

Jumlah dokter di daerah terpencil atau daerah tertinggal masih sangat minim, padahal banyak warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal ini antara lain karena banyak dokter yang tidak mau atau tidak betah ditempatkan di daerah terpencil.

Asisten Deputi Bidang Sumber Daya Kesehatan Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal, Hanibal Hamidi menilai perlu revolusi mental terhadap para dokter ini. Menurut dia, dokter harus memiliki integritas sosial yang tinggi.

“Bukan orang kaya saja yang sekolah di kedokteran karena mahal. Jadi saat bertugas pun kepekaan sosialnya tinggi, mau ditempatkan di mana pun,” kata Hanibal dalam diskusi Revolusi Kesehatan Menuju Revolusi Mental di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (7/10/2014).

Hanibal menilai banyaknya dokter yang memilih bertugas di kota besar merupakan suatu hal yang logis. Mereka telah mengeluarkan banyak biaya untuk sekolah. Akibatnya, dokter menumpuk di suatu kota, sementara daerah terpencil kekurangan dokter.

“Karena sekolah mahal, dia tentutnya ingin dapat tugas yang bisa kembalikan uangnya. Logis. Manusiawi,” kata dia.

Menurut Hanibal, kesejahteraan bagi para dokter sebaiknya dijamin oleh negara. Ia juga meminta pemerintah memastikan pendidikan kedokteran tidak mahal, bahkan gratis. Selain itu, mempertimbangkan adanya sekolah kedinasan bagi tenaga kesehatan ini. Revolusi mental bagi para dokter harus dibangun sejak mereka mengenyam pendidikan.

“Memastikan proses pendidikan menjauhkan spirit transaksional menjadi spirit sosial,” imbuhnya.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Muhammad Syafar yang juga Koordinator Pedesaan Sehat wilayah Sulawesi mengemukakan contoh. Ia mengatakan banyak dokter pegawai tidak tetap (PTT) yang tidak menyelesaikan masa tugasnya di daerah. Mereka tidak mau mengabdi di daerah terpencil sehingga kembali ke kota-kota besar.

“Memang ini menjadi fenomena di lapangan. Beberapa dokter PTT, misalnya di lapangan dia terjadwal 3 tahun, tapi biasanya ditemukan di lapangan tidak ada sampai 3 tahun,” terang dia.

Para dokter itu yang tidak terpantau oleh pemerintah daerah setempat. Syafar mengatakan, di daerah pun sulit mendapatkan lulusan dokter karena tingkat pendidikan yang rendah.

sumber: http://health.kompas.com