RUU Keperawatan Selesai, Perawat Bisa Buka Praktek

Rapat kerja antara Kementerian Kesehatan dengan Komisi IX DPR RI berhasil menyepakati RUU Keperawatan untuk disahkan dalam rapat paripurna. Inti RUU ini adalah payung hukum bagi tenaga kesehatan bidang keperawatan menjalankan profesinya.

Kesepakatan antara Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dengan DPR, diputuskan dalam rapat Jumat pekan lalu. Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning.

“Setelah nanti disahkan, perawat boleh membuka praktek sesuai izin,” ujar Imam Suroso dari Tim Perumus RUU Keperawatan, dalam surat elektronik, Minggu (14/9/2014),

Surat izin yang dimaksud adalah Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh konsil keperawatan. Juga diperlukan Surat Izin Praktek Perawat (SIPP) dari pemerintah daerah setempat.

Imam menjelaskan, UU Keperawatan lahir dari aspirasi kalangan perawat termasuk bidan yang terbentur aturan ketika hendak membuka praktek. Padahal perawat sangat penting dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat di pelosok desa yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh layanan rumah sakit dan puskesmas.

“Apalagi kalau ada yang melahirkan atau musibah kecelakaan, terutama di pedesaan. Warga butuh tenaga medis secara cepat,” sambung politisi dari PDIP ini.

Hadirnya UU Keperawatan ini diharapkan memberi kontribusi besar dalam pelayanan kesehatan yang seluas-luasnya. Dengan layanan kesehatan yang selalu tersedia dan berkualitas dampaknya akan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Menkes Nafsiah Mboi dalam sambutan tertulisnya menyampaikan rasa syukurnya atas kerjasama yang baik parlemen – pemerintah sehingga dapat melahirkan UU Keperawatan yang sudah lama dinantikan insan kesehatan. Kerjasama ini adalah kemajuan besar setelah lahirnya UU Jaminan Kesehatan Nasional yang disahkan awal 2014 ini.

“Kerjasama yang baik antara Komisi IX DPR RI dengan Pemerintah telah melahirkan banyak kemajuan untuk masyarakat,” katanya. ​

sumber: http://news.metrotvnews.com

 

Dokter Tolak RUU Tenaga Kesehatan

Ikatan Dokter Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia menolak pengaturan tenaga medis dalam Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan yang sedang dibahas Komisi IX DPR. Tenaga medis yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis sudah diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Ketua Umum IDI Zaenal Abidin, di Jakarta, Rabu (10/9), mengatakan, penolakan itu bukan berarti IDI dan PDGI sebagai organisasi profesi menolak keberadaan RUU Tenaga Kesehatan. RUU itu adalah amanat Pasal 21 Ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Namun, bagian penjelasan pasal itu secara jelas menegaskan, tenaga kesehatan yang diatur dalam RUU itu adalah selain tenaga medis,” ujarnya.

Pembahasan RUU itu juga terkesan tertutup, tanpa melibatkan organisasi profesi medis ataupun kesehatan serta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang secara langsung akan terkena dampak dari RUU itu. Pengaturan tenaga kesehatan yang dinaungi organisasi-organisasi itu otomatis akan berdampak langsung kepada masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan.

“IDI, PDGI, PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IBI (Ikatan Bidan Indonesia), IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), dan KKI perlu dilibatkan dalam pembahasan RUU Tenaga Kesehatan,” kata Wakil Ketua Umum PDGI Hananto Seno. Karena itu, IDI dan PDGI mendesak agar pengesahan RUU itu ditunda, menunggu pembahasan oleh DPR periode berikut.

Anggota KKI Wakil Tokoh Masyarakat Satryo Soemantri Brodjonegoro mengingatkan, RUU Tenaga Kesehatan seharusnya meningkatkan layanan kesehatan masyarakat menuju Indonesia sehat. Pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU penting karena rakyat berhak menentukan yang terbaik.

Banyak kerancuan

Selain proses pembahasan tak terbuka, materi draf RUU Tenaga Kesehatan juga mengandung banyak kerancuan. Karena pengaturan semua tenaga kesehatan disatukan, potensi bertentangan dengan UU yang ada, seperti UU Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran, amat besar. “Kewenangan tenaga medis, paramedis, atau tenaga kesehatan itu berbeda. Jika digabung, menimbulkan kerancuan,” kata Seno.

RUU Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan dalam 13 jenis, termasuk tenaga medis. Tenaga lain di antaranya tenaga psikologi klinis, keperawatan, kebidanan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, dan gizi. Selain itu ada tenaga keterapian fisik, keteknisian medis, teknik biomedika, kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain.

Anggota KKI Wakil Tokoh Masyarakat lain, Indah Suksmaningsih, mengingatkan, penggabungan berbagai tenaga kesehatan akan menyamakan tenaga kesehatan tradisional dengan tenaga medis. Tak adanya pembedaan jelas membuat tenaga pijat kesehatan dan tenaga pijat untuk aborsi sulit dibedakan. Demikian pula antara tukang gigi dan praktik dokter gigi. “Itu jelas merugikan masyarakat penerima layanan kesehatan,” katanya.

Menurut Zaenal, ada beberapa kerancuan lain dalam draf RUU Tenaga Kesehatan. RUU mengatur uji kompetensi bagi semua tenaga kesehatan dengan mengadopsi sistem uji kompetensi yang berlaku bagi tenaga medis, perawat, bidan, dan apoteker. Uji kompetensi itu diselenggarakan organisasi profesi tiap-tiap tenaga kesehatan.

Padahal, tak semua tenaga kesehatan bisa dikategorikan sebagai profesi, seperti tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan. Profesi diidentikkan dengan pekerjaan yang memiliki kode etik, memiliki asosiasi profesi yang mengatur dan menegakkan etika profesi, serta butuh sertifikasi khusus untuk menjalankan profesi.

Draf RUU juga mengatur soal praktik tenaga kesehatan, tetapi tak ada penjelasan yang dimaksud dengan praktik. Padahal, praktik kerja tenaga medis dengan tenaga kesehatan tertentu, seperti tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku atau tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tentu berbeda.

Selama ini, yang menjalankan praktik hanya tenaga medis. Sebagian tenaga kesehatan, seperti perawat dan bidan, menjalankan praktik mandiri, tetapi kewenangannya terbatas. Untuk membuka praktik, mereka butuh izin praktik, sertifikat kompetensi dari organisasi profesi, serta berbagai prasyarat lain untuk bisa membuka praktik.

RUU juga mengatur rahasia kesehatan penerima pelayanan kesehatan. Ini sulit diwujudkan jika kerja tenaga kesehatan itu bersifat promosi kesehatan. Masalah lain, RUU itu juga akan mengeliminasi peran KKI dan memasukkannya sebagai bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. (MZW)

sumber: http://health.kompas.com

 

Hari Pencegahan Bunuh Diri, Pentingnya Kesehatan Jiwa Sejak Dini

11septjiwa

11septjiwaBadan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan ada lebih dari 800 ribu orang di dunia meninggal karena bunuh diri, atau 1 kematian setiap 40 detik. Karena itu, keluarga, guru maupun masyarakat untuk ikut menanamkan nilai-nilai kesehatan jiwa sejak awal kehidupan anak.

“Di negara maju, faktor penyebab bunuh diri banyak disebabkan gangguan depresi dan ketergantungan alkohol. Tetapi di Asia, kebanyakan berhubungan dengan impulsif,” kata Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Eka Viora di Jakarta, Kamis (11/9) terkait peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri yang jatuh pada 10 September.

Dijelaskan, kesadaran dunia akan aksi bunuh diri ini menjadi penting jika melihat angka bunuh diri di dunia yang terus bertambah, terutama di negara-negara berpenghasilan tinggi. Prevalensinya sebesar 12,7 jiwa per 100 ribu penduduk. Di negara berpenghasilan rendah dan menengah prevalensinya sebesar 11,2 jiwa per 100 ribu penduduk.

“Asia Tenggara, termasuk Korea Utara, India, Indonesia dan Nepal menyumbang angka bunuh diri lebih dari sepertiga kasus bunuh diri tahunan di seluruh dunia,” kata Eka Viora yang pada kesempatan itu didampingi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSPKJI), Darnadi.

Pada 2012, lanjut Eka Viora, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian secara global nomor 5, setelah jantung, stroke, kanker dan AIDS. Mereka berada di usia 30-49 tahun.

“Makin kesini, usia mereka yang bunuh makin muda. Anak-anak usia sekolah dasar bunuh diri karena tak mampu berprestasi di sekolah atau karena putus cinta,” ujarnya.

Tentang Indonesia, Eka Viora tidak menyebutkan angka penduduk yang bunuh diri secara pasti. Namun, badan kesehatan dunia WHO memperkirakan angka bunuh diri di Indonesia sebesar 1,6 per 100 ribu penduduk atau 5.000 orang per tahun.

“Penduduk Indonesia lebih tertutup soal depresi yang dihadapi. Waktu saya masih praktik, setiap minggu ada 2 orang yang dibawa ke rumah sakit akibat konsumsi obat pembasmi serangga atau obat lain yang bisa menghilangkan jiwa,” ujarnya.

Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, lanjut Eka Viora, sebenarnya telah memiliki hotline atau saluran telepon khusus untuk curahan hati (curhat) bagi penderita depresi. Lewat ngobrol dengan konselor diharapkan pelaku tak lagi berpikir soal bunuh diri.

“Tapi sayangnya nomor hotline yang ditempel di fasilitas kesehatan hanya dimanfaatkan untuk bertanya seputar fasilitas kesehatan. Padahal mereka yang berjaga adalah konselor,” tuturnya.

Ditambahkan, bunuh diri adalah masalah yang kompleks yang dipengaruhi berbagai faktor psikologis, sosial, biologis, budaya dan laingkungan. Karena tak ada faktor tunggal, maka pada kasus bunuh diri tidak bisa disalahkan pada satu orang seperti pelakunya, orang tua, teman atau pacar.

Upaya yang bisa dilakukan, menurut Eka Viora, dengan mengenali latar belakang kejadian yang menimbulkan depresi. Dan yang terpenting adalah dengarkan dengan penuh perhatian dan biarkan ia bicara tentang perasaannya. Hargai pemikirannya dan jangan saling menyalahkan.

“Jangan biarkan orang yang mudah depresi sendirian. Bantu atasi krisis dengan berbagai cara. Yang penting selalu terhubung,” ucap Eka Viora.

Hal itu sama dengan tema peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri tahun 2014 yaitu “One World Conneted” atau Satu Dunia Terhububung. Tema tersebut mencerminkan fakta bahwa koneksi penting di setiap tingkatan, jika kita ingin memerangi bunuh diri. (TW)

{jcomments on}

PROGRAM JKN, Menkes Minta RS Hati-hati Saat Koding Penyakit

menkes11sept

menkes11septMenteri Kesehatan (Menkes) mengingatkan pengelola rumah sakit untuk berhati-hati saat memasukkan koding penyakit dalam layanan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal yang melandasi ini ialah tindakan kecurangan (fraud) dalam (JKN) akan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Jangan melanggar aturan, nanti bisa jadi temuan KPK. Jika bingung dalam koding, bisa bertanya pada dewan pertimbangan medik (DPM) di masing-masing provinsi,” kata Menkes Nafsiah Mboi saat membuka Pertemuan Nasional Manajemen Rumah Sakit dan DPM, di kota Bandung, Rabu (10/9) malam.

Pertemuan yang dihadiri sekitar 300 peserta dari unsur DPM baik pusat maupun provinsi, rumah sakit umum daerah (RSUD) tipe A,B,C dan D, TNI Polri dan swasta dan kepala kantor cabang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu juga menghadirkan pembicara Deputi Bidang Pencegahan KPK, Eswan Elmi.

Ditanyakan apakah sudah ada rumah sakit yang terindikasi fraud, Menkes mengatakan, belum ada. Namun, ada sejumlah rumah sakit yang salah dalam koding penyakit. Mereka saat ini dalam pembinaan tim pengendali mutu dan biaya serta DPM Provinsi.

“Bukan fraud, hanya salah koding. Tetapi jika kesalahan ini terus berulang, dan terlihat ada unsur kesengajaan. Kami akan biarkan ini jadi temuan KPK saja,” ucap Nafsiah seraya menambahkan
rumah sakit yang sudah bergabung sebanyak 1551 RS dari 2353 RS.

Disinggung soal toleransi kesalahan yang bisa dilakukan, Menkes secara tegas menyatakan, tidak ada toleransi. Meski orang jahat selalu ada di muka bumi, namun upaya ini harus dicapai seminimal mungkin.

“Inginnya tindakan fraud-nya nol persen. Tetapi rasanya tidak mungkin. Kita upayakan seminimal mungkin,” kata Nafsiah menegaskan.

Menkes menaruh harapan yang sangat besar kepada lembaga DPM pusat dan provinsi serta tim pengendali mutu dan biaya di kantor cabang BPJS Kesehatan untuk menjadi pelindung keselamatan (safe guard). Guna meminimalisasi terjadinya fraud.

“JKN ini kan sistem baru, kita semua masih belajar. Saya berharap semua pihak yang terlibat didalamnya mau belajar sungguh-sungguh dengan meminimalisasikan kesalahan,” tutur istri mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Ben Mboi itu.

Sementara itu, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengemukakan, DPM sebenarnya bukan hal baru dalam JKN. DPM sudah dikembangkan sejak BPJS Kesehatan masih bernama PT Askes.

“DPM yang berangotakan para ahli dari akademisi dan klinisi ini sejak lama menjadi tempat untuk mencari second opinion. DPM memiliki fungsi yang sama dalam struktur BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Terkait fraud, Fachmi mengatakan, DPM bersama tim pengendali mutu dan biaya akan melakukan pembinaan terhadap sejumlah rumah sakit yang terindikasi. Pembinaan dilakukan hingga para pengelola rumah sakit tersebut paham seputar koding.

“Saat ini belum terlihat ada unsur kesengajaan. Baru salah dalam memahami tindakan medis yang dilakukan dengan kodingnya,” katanya.

Ditanya tindakan yang diindikasikan fraud, Fachmi mengatakan, jenis penyakit memiliki nomor kode masing-masing, lengkap dengan rincian tindakan medisnya. Jika ada tindakan yang tak sesuai dengan koding, bisa ditanyakan ke tim pengendali mutu dan biaya BPJS Kesehatan yang ada di rumah sakit.

“Dibutuhkan ketelitian dan kejujuran dalam memasukkan koding agar tidak terjadi tindakan tercela atau fraud,” ujar Fachmi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

TP2RKOKI Minta Revolusi Sistem Perawatan Kesehatan Segera Digalakkan

Ketua Tim Penyelamat dan Pengawas Regulasi Kosmetika Obat Kesehatan Indonesia (TP2RKOKI), Mohammad Ismail mengharap segera dimulainya revolusi sistem pengelolaan perawatan kesehatan di Indonesia, sehingga akan lahir generasi yang lebih kuat dan sehat.

Lewat revolusi perawatan kesehatan ini, semangat yang semula membangun perawatan kesehatan dengan berpusat pada penyakit dan berorientasi pada obat-obatan kimiawi maupun herbal, beralih pada pembahasan yang berpusat pada perawatan kesehatan.

“Artinya setiap individu perlu memancing kemampuan yang ada dalam dirinya agar tetap sehat tanpa obat-obatan kimiawi,” kata Mohammad Ismail dalam acara diskusi kesehatan “Revolusi Sistem Perawatan Kesehatan di Indonesia untuk Melahirkan Generasi Sehat & Kuat Mandiri Secara Universal” di Hotel Harris, Jakarta, Rabu (10/9).

Menurutnya, revolusi Perawatan Kesehatan ini bukan lagi berbicara tentang siapa yang membiayai dan membayar perawatan kesehatan bila kita sakit, melainkan tentang bagaimana caranya supaya tidak perlu minum obat dan tidak perlu sakit lagi.

“Pemerintah harus mulai membangun rakyatnya agar sehat dan kuat secara mandiri, yang keluar dari dalam dirinya sendiri,” tegasnya lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Prof Ahmad Husain Asdie SpPD mengatakan, penyembuhan setiap penyakit sebetulnya dapat dilakukan melalui pendekatan spiritual. Intinya adalah menyadari sepenuhnya bahwa seluruh penyakit dan kesembuhan itu datangnya dari Tuhan.

“Sakit adalah pemberitahuan Allah bahwa ada kesalahan yang telah kita lakukan. Sehingga kita harus menemukan kesalahan diri tersebut, mengakuinya dan memperbaiki diri, kemudian memohon untuk dimaafkan agar diberi kesembuhan,” ujar konsultan di Yayasan Kesehatan Telkom tersebut.

Penulis: Herman/EPR

sumber http://www.beritasatu.com

 

Pemerintah Indonesia Ingatkan Jemaah Haji Antisipasi Corona

Virus corona yang menyebabkan penyakit sindrom pernapasan Timur Tengah atau Middle East Respiratory Syndrom (MERS)-Cov menjadi perhatian dunia. Terutama, di musim haji saat umat Islam dari berbagai belahan dunia berkumpul di Arab Saudi. Pemerintah Indonesia pun melakukan berbagai tindakan agar virus itu tak menyusahkan jemaah asal Tanah Air.

Kepala Seksi Kesehatan Daerah Kerja Makkah, Muhammad Ilyas, mengatakan Kementerian Kesehatan Indonesia telah mensosialisasikan risiko penyakit itu kepada para jemaah. Sehingga para jemaah haji dapat beribadah dengan tenang dan nyaman di Tanah Suci.

“Mulai dari promosi kesehatan dengan terus mensosialisasikan perilaku hidup bersih dan sehat, pengawasan dan pengendalian Sanitasi Lingkungan dan pondokan jamaah, pengawasan katering, sampai pada menyediakan sarana dan prasarana pelayanan Kesehatan,” demikian rilis dari Muhammad Ilyas yang diterima Metrotvnews.com, Jakarta, Selasa (9/9/2014).

Namun demikian, para jemaah sebaiknya tetap peka terhadap gejala MERS-Cov yang bisa saja menyerang. Misalnya demam, nyeri otot, dan sakit kepala selama 3 hingga 7 hari. Kemudian penderitanya mengalami batuk tak berlendir serta sesak yang dapat berkembang menjadi gagal napas.

Sebagian kasus menampakkan gejala mirip influenza ringan. Namun ada pula kasus yang disertai dengan diare dan muntah.

Tak ada pengobatan atau vaksin yang spesifik. Namun tim medis dapat memberikan terapi untuk membantu menghilangkan gejala. Pengobatan simptomik diberikan berdasarkan level penyakit.

Lantaran itu, Kementerian Kesehatan RI mengingatkan jemaah untuk membiasakan mencuci tangan yang berpotensi meminimalisasi penularan virus dan mengenakan masker.
(Rrn)

sumber http://news.metrotvnews.com

 

6 RS Vertikal Raih Penghargaan “Panutan Terbaik”

menkes9sept2

menkes9sept2

Kementerian Kesehatan bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberi anugerah penghargaan “Panutan Terbaik” kepada 6 rumah sakit (RS) vertikal.

Hal itu dilakukan guna memberi model kepada rumah sakit baik vertikal atau non-vertikal lainnya untuk memberi layanan optimal serta pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang baik.

Penghargaan diberikan secara simbolik oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi di Jakarta, pada Senin (8/9) malam. Turut hadir dalam kesempatan itu, Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dan Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK), Akmal Taher.

Enam RS yang mendapat penghargaan, untuk kategori rumah sakit umum diberikan kepada RSUP Sanglah, Bali (Juara I), RSUP Fatmawati Jakarta (Juara 2) dan RSUP Dr Kariadi Semarang (Juara 3).

Untuk kategori rumah sakit khusus yaitu RS Orthopedi Prof Dr R Soeharso, Surakarta (Juara 1), RS Jiwa Lawang, Malang (Juara 2) dan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

Menurut Menkes, RS vertikal berperan penting dalam menyukseskan pelaksanaan program JKN, karena memiliki beberapa keistimewaan. Disebutkan, antara lain, kompetensi sumber dayanya, fasilitas pelayanan yang lengkap, sebagai rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan pusat.

“Sebagai rumah sakit percontohan, RS vertikal selain memberi layanan optimal, harus lebih detil lagi dalam menyusun dan menerapkan clinical pathway sebagai acuan dalam pengendali mutu dan biaya rumah sakit,” ujar Nafsiah.

Selain itu, lanjut Menkes, RS sertikal juga harus melakukan standarisasi penggunaan alat dan obat, termasuk mendisiplinkan penggunaannya dan yang tak kalah penting mengaktifkan tim audit klinis rumah sakit.

“Ini semata dilakukan demi memberi pelayanan JKN yang komprehensif, terintegrasi dan berorientasi pada pasien,” kata Nafsiah Mboi menegaskan.

Pada kesempatan yang sama, Menkes Nafsiah Mboi menyatakan kegembiraannya atas cakupan JKN yang semakin meningkat. Hingga 4 September tercatat ada 127 juta penduduk Indonesia yang menjadi peserta JKN.

Disebutkan, saat ini jumlah rumah sakit yang sudah tergabung dalam program JKN sebanyak 1551 RS dari 2353 RS. Jumlah itu termasuk 33 RS vertikal milik Kemenkes.

“Saya harap jumlah faskes baik di tingkat pertama maupun rujukan secara bertahap dapat terus ditingkatkan. Sehingga akses seluruh peserta JKN semakin mudah dan cepat,” tuturnya.

Sementara itu, Dirjen BUK Akmal Taher menjelaskan, ada 4 kategori besar yang dinilai dalam proses pemilihan Panutan Terbaik yaitu sistem pendaftaran, sistem manajemen pelayanan, sistem penagihan klaim JKN dan sistem penanganan komplain.

“Seluruhnya ada 17 variabel dari kriterian penilaian dengan bobot yang berbeda-beda,” kata mantan Dirut RS Cipto Mangunkusumo itu seraya menambahkan penghargaan akan diberikan setiap tahun.

Ditambahkan, peraih penghargaan tahun ini berpeluang untuk menang lagi di tahun depan. Dengan demikian, masing-masing rumah sakit vertikal harus berlomba-lomba memperbaiki terus kinerjanya. (TW)

 

Berita Terkait

 

{jcomments on}

RS Khusus Vertikal Harus Jadi Center of Excellence

menkes9sept

menkes9sept

Rumah sakit khusus vertikal milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus memperbanyak pengembangan layanan unggulan. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan medik spesialistik, juga memperkuat fungsi pendidikan dan penelitian.

“Rumah sakit khusus vertikal harus bisa jadi center of excellence. Jangan berlaku biasa-biasa saja. Fungsi pendidikan dan penelitiannya harus diperkuat,” kata Menkes Nafsiah Mboi saat kunjungan kerja ke 3 rumah sakit vertikal Kemenkes, di Jakarta, Senin (8/9).

Tiga rumah sakit yang dikunjungi adalah RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, RS Ibu dan Anak (RSIA) Harapan Kita dan RS Kanker Dharmais, yang berada dalam satu kompleks di wilayah Jakarta Barat.

Di Era pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), lanjut Nafsiah Mboi, RS khusus harus melakukan penguatan pelayanan dengan memberdayakan komite medik dalam menyusun Panduan Praktik Klinik dan Clinical Pathway. Melalui panduan tersebut, diharapkan setiap klinisi dilakukan secara sungguh-sungguh.

“Upaya ini, dapat memacu rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang bermutu dengan biaya terjangkau,” ujarnya.

Menkes menegaskan, keberhasilan pelaksanaan JKN sangat ditentukan oleh komitmen seluruh sumber daya manusia bagi tenaga kesehatan maupun non-kesehatan yang berada di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

“Utamakan patient safety dan berikan pelayanan terbaik. Pelayanan itu tak hanya pada aspek medik dan keperawatan, tetapi dalam aspek sikap dan perilaku seperti keramahan, empati, komunikatif. Ini yang sering diabaikan tenaga kesehatan kita,” ujarnya.

Menkes memberi perhatian pada ketiga rumah sakit vertikal itu, karena penanganan kanker dan penyakit jantung di Indonesia masih sangat tinggi. Dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) 2012, pengobatan kanker menempati urutan ke-4 setelah hemodialisa (cuci darah), thalasemia (kanker darah) dan Tuberkulosis (TB).

“Jumlahnya mencapai Rp 144,7 miliar. Kondisi ini jelas menjadi beban ekonomi dan sosial masyarakat. Untuk menekan beban pelayanan kesehatan, perlu upaya penguatan pelaksanaan kegiatan promotif-preventif termasuk upaya deteksi dini penyakit tidak menular,” tutur Nafsiah Mboi.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk. Artinya, pada 2013 terdapat sekitar 3 juta orang terkena kanker di seluruh Indonesia.

Menkes menambahkan, salah satu tantangan besar lainnya yang harus disikapi secara sungguh-sungguh adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Hasil survey demogragi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup.

Sedangkan angka kematian bayi (AKB) pada 2012 adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 adalah menurunkan AKI menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup. (TW)

Berita Terkait

 

{jcomments on}

MSF: Dunia Gagal Segera Atasi Epidemi Ebola

Organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas (MSF) menilai para pemimpin dunia telah gagal mengatasi epidemi Ebola yang telah berlangsung selama enam bulan terakhir. Menurut pemaparan Presiden Internasional MSF, dr. Joanne Liu di kantor Sekretaris Jenderal PBB dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyebaran virus tidak akan bisa dicegah tanpa adanya pengiriman bantuan massif berupa unit-unit medis khusus untuk memperkuat upaya pengendalian epidemi di negara yan terkena dampak.

Pemaparan Joanne itu tertuang dalam keterangan pers MSF yang diterima VIVAnews pada Rabu, 3 September 2014. Dia menyebut kenyataan yang terjadi di lapangan selama ini untuk melawan Ebola, negara di kawasan Afrika Barat hanya mengandalkan Kementerian Kesehatan dan organisasi non pemerintah. Padahal, MSF sudah berulang kali menyerukan adanya mobilisasi bantuan yang massif di lapangan. Tetap saja, respons internasional dirasakan kurang.

Continue reading

Sosialisasi Tarif Baru Layanan Kesehatan Belum Merata

Sosialisasi tarif baru pada sebagian kelompok Indonesia Case Based Groups atau INA-CBGs yang dipakai dalam klaim layanan kesehatan di fasilitas kesehatan lanjutan belum merata. Padahal, tarif baru layanan kesehatan di rumah sakit itu mulai berlaku per 1 September.

Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Junus, Bengkulu, Daisy Novira, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/9), mengatakan, pihaknya belum tahu ada tarif baru INA-CBGs. Ia sebatas mengetahui akan ada perbaikan tarif, tetapi belum tahu kapan tarif baru itu berlaku dan bagaimana perubahannya.

“Saya tahunya tarif INA-CBGs akan dievaluasi. Tetapi, kalau ternyata tarif baru sudah ada dan mulai berlaku, saya tak tahu. Biasanya, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) memberi tahu kami kalau ada perkembangan terbaru. Sekarang belum ada informasi apa pun dari BPJS. Mungkin mereka juga belum tahu,” tutur Daisy.

Setelah mengetahui ada penyesuaian tarif pada sebagian kelompok INA-CBGs, Daisy berencana secepatnya mengunduh aplikasi terbaru terkait itu.

Sementara itu Kepala Humas RS Moh Hoesin, Palembang, Emma Huzaimah mengatakan, pimpinan RSMH pada minggu lalu telah menginformasikan akan ada tarif baru INA-CBGs. Informasi itu lalu diteruskan kepada seluruh karyawan RS. Namun, ia tak tahu pasti informasi lebih rinci soal tarif baru itu, misalnya kapan berlaku dan kelompok apa saja yang tarifnya disesuaikan.

Berbeda dengan Daisy dan Emma, Kepala Humas RSUD Tangerang Ahmad Nizar mengaku sudah mengetahui ada tarif baru pada sebagian kelompok INA- CBGs dan siap menjalankan kebijakan itu. “Sebagai RS pemerintah, kami tak ada masalah. Kami bahkan sudah memakai INA- CBGs sejak masih masa Jamkesmas,” ujarnya.

Pantau pelaksanaan

Ahmad menegaskan, meski penyesuaian tarif itu diapresiasi, pihaknya akan memantau perkembangan terbaru di lapangan dalam beberapa bulan ke depan. Pihaknya juga akan memberi masukan jika ada hal mengganjal di lapangan.

Evaluasi dan penyesuaian tarif baru INA-CBGs pada 39 kelompok tarif sudah dilakukan Kementerian Kesehatan. Tarif pada 39 kelompok yang dinilai terlalu rendah itu lalu dinaikkan, di antaranya layanan bedah ortopedi, bedah saraf, dan layanan rawat jalan dengan pemeriksaan penunjang. Untuk mengompensasi kenaikan sebagian tarif itu, 60 kelompok rawat inap yang dinilai terlalu tinggi diturunkan sehingga keseimbangan pendapatan dan pembiayaan terjaga.

Penyesuaian tarif itu diharapkan memperluas keikutsertaan RS dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan demikian, masyarakat mendapat layanan kesehatan yang baik.

Sebelumnya, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede menjelaskan, Peraturan Menkes tentang tarif baru INA-CBGs ditandatangani Menkes dan mulai berlaku September ini. Jadi, klaim terhadap tarif baru bisa dilakukan RS pada Oktober 2014. Sabtu (30/8), Menkes Nafsiah Mboi menyatakan, bahan sosialisasi tarif baru sudah dikirim ke sejumlah RS.

Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur mengatakan, setelah sebagian tarif INA-CBGs berubah, BPJS harus memperbarui aplikasi verifikasi dan klaim biaya RS. Lalu, RS bisa mengklaim dengan tarif baru pada Oktober dengan syarat sudah merampungkan klaim tindakan pada Agustus ketika tarif belum berubah. (ADH/A04)

sumber http://health.kompas.com/