Keamanan Hidup Usia Pensiun di Indonesia Tergolong Rendah

Keamanan hidup ketika pensiun tiap tahun semakin menurun dan tren ini terus menurun karena pemerintah di dunia semakin sulit dalam mengendalikan perekonomian yang cenderung volatil. Natixis Global Asset Management dalam publikasinya yang dirilis pada 2014, menempatkan Indonesia di posisi ke-92 di antara 150 negara yang disurvei untuk peringkat pensiun global. Peringkat tersebut disusun sebagai instrumen perbandingan internasional dengan tujuan menyediakan sebuah patokan global mengenai pensiunan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, peringkat Indonesia masih jauh di bawah. Natixis menggunakan empat indikator untuk menentukan indeks itu, yakni: kesehatan, materi, finansial, dan kualitas hidup. Praktisi dan pengamat ekonomi menjelaskan, permasalahan ini merupakan masalah penduduk di seluruh dunia. Usia pensiun, menurutnya, bukan lagi hal yang banyak dinantikan oleh para pekerja yang akan memasuki usia pensiun.

Darmin SE, MBA, Penasehat Investasi Panin Asset Management menerangkan, ada empat hal yang memengaruhi keamanan finansial seseorang ketika pensiun yaitu inflasi, harapan hidup, biaya pengobatan, dan tata kelola keuangan. Ia menguraikan, inflasi yang tinggi menyebabkan biaya hidup yang sebelumnya masih terjangkau, bisa menjadi tidak terjangkau akibat biaya kebutuhan hidup semakin tinggi.

Yang kedua, terkait harapan hidup rata-rata manusia yang semakin panjang otomatis menyebabkan dukungan finansial yang lebih besar. “Jika pensiun usia 55 tahun, dan ia berharap hidup sampai dengan usia 65 tahun, tentunya ia hanya memerlukan dukungan finansial untuk 10 tahun. Tetapi, kalau harapan hidup sampai dengan usia 75 tahun tentu memerlukan dukungan keuangan selama 20 tahun setelah masa pensiun,” jelasnya, Selasa (3/6).

Ketiga, terkait biaya pengobatan yang semakin tinggi. Usia tua rentan dengan penyakit dan kurang berolah raga, makanan yang berlemak, akan menimbulkan banyak penyakit yang membutuhkan biaya pengobatan yang mahal, jika tanpa asuransi kesehatan yang baik, itu akan menggerogoti sisa uang yang dipersiapkan untuk masa tua, katanya.

Terakhir, yang menurutnya paling penting untuk ditandaskan adalah perencanaan keuangan yang baik. Dengan mengatur uang dengan baik di saat usia produktif, masa tua mungkin akan lebih aman. “Bila hanya mengandalkan pesangon dari Jamsostek yang terbatas jumlahnya, belum tentu mencukupi biaya saat menjalani pensiun,” paparnya.

Darmin mengatakan, solusi agar aman dalam menjalani masa pensiun sejak muda, individu harus melakukan perencanan keuangan dengan baik yaitu menyisihkan minimal 30 persen sampai dengan 40 persen penghasilan bulanan untuk asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan investasi masa tua. Selebihnya, 60 persen untuk konsumsi kebutuhan hidup dan rekreasi. “Dengan financial planning yang baik, kita akan mampu menikmati masa tua yang sejahtera.”

Ia pun menambahkan, pihaknya memiliki keahlian yang dapat membantu masyarakat secara cuma-cuma melakukan pemeriksaan kesehatan keuangan, solusi perencanaan pensiun, pendidikan anak, kepemilikan rumah dan perjalanan rohani, kepemilikan mobil, maupun dana rekreasi.

Sementara Pengamat ekonomi Muhammad Ishak, Dosen FE Unimed mengemukakan, rendahnya peringkat Indonesia dipengaruhi oleh tiga pihak yakni invidu yang pensiun, pihak pemberi kerja baik negara maupun pengusaha sebagai pemberi upah atau gaji.

Ishak menandaskan, pemerintah harus memiliki skema yang nyata dalam menangani masalah pensiun. Ia mencontohkan, jika usia seorang karyawan mencapai usia 45 tahun, pemerintah atau perusahaan harus memasukkan karyawan tersebut ke dalam daftar pihak yang akan menerima pelatihan/ketrampilan baru guna menjaga keberlangsungan kehidupannya setelah tidak lagi bekerja.

sumber: analisadaily.com

Indonesia Masuk 10 Besar Obesitas Tertinggi

Indonesia masuk 10 besar negara dengan penduduk obesitas tertinggi di dunia.

Masalah kenaikan berat badan atau obesitas menjadi epidemi kesehatan terbesar di dunia, karena hampir 30 persen dari seluruh populasi di dunia mempunyai masalah kelebihan berat badan atau obesitas. Termasuk Indonesia yang menjadi 10 besar dengan negara obesitas tertinggi.

Kenaikan tingkat kelebihan berat badan atau obesitas menjadi masalah global selama tiga dekade terakhir yang meningkat secara signifikan dan meluas dari angka 857 juta orang menjadi 2 miliar pada tahun 2013.

Kegemukan didefinisikan tubuh yang memiliki Body Mass Index (BMI) lebih besar dari angka 25 dan lebih rendah dari 30. Sedangkan obesitas didefinisikan tubuh yang memiliki BMI sama atau lebih besar dari 30.

Seperti dilansir dari situs berita Redorbit.com pada Minggu (1/6/2014), sebuah studi dilakukan oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Universitas Washington menganalisis kasus tersebut di 188 negara di seluruh dunia.

Obesitas mengalami peningkatan yang mengejutkan di seluruh dunia dengan 28 persen para orang dewasa dan 47 persen pada anak- anak selama 33 tahun terakhir.

Ratusan Juta Orang

Sebanyak 671 juta orang dengan obesitas tertinggi hidup di 10 negara yakni Amerika Serikat, Cina, India, Rusia, Brazil, Meksiko, Mesir, Jerman, Pakistan, dan Indonesia.

Selama tiga dekade terakhir, kenaikan tertinggi obesitas terjadi di kalangan perempuan di negara Mesir, Arab Saudi, Oman, Honduras, dan Bahrain. Untuk kalangan pria, kenaikan tertinggi di Selandia Baru, Bahrain, Kuwait, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.

Di negara maju, kenaikan tertinggi obesitas pada orang dewasa AS, sekitar sepertiga dari populasi orang dewasa. Sedangkan, di Australia dan Inggris terdapat sekitar 29 dan 25 persen dari populasi orang dewasa yang diklasifikasikan sebagai tingkat obesitas tinggi.

“Tidak seperti risiko kesehatan global lainnya, seperti masalah tembakau dan gizi anak, obesitas tidak menunjukkan penurunan di seluruh dunia,” kata penulis studi, Prof Emmanuela Gakidou.

“Analisis kami menunjukkan bahwa target PBB untuk menghentikan peningkatan obesitas pada tahun 2025 sangat ambisius dan tidak mungkin dicapai tanpa tindakan bersama dan penelitian lebih lanjut,” imbuhnya.

Berdasarkan data, obesitas meningkat secara dramatis antara tahun 1980 dan 2013. peneliti mencatat peningkatan berat badan terbesar datang antara tahun 1992 dan 2002, terutama pada orang dengan rentang usia 20 dan 40.

Di negara maju, epidemi obesitas meningkat tajam. Dari 17 persen anak laki- laki pada tahun 1980 menjadi 24 persen pada tahun 2013 dan anak perempuan dari 16 persen menjadi 23 persen. Hal tersebut juga dijumpai di negara berkembang yang mengalami peningkatan sampai 13 persen pada anak laki- laki dan perempuan selama tiga dekade terakhir.

“Obesitas adalah masalah yang mempengaruhi orang dari segala usia dan pendapatan, di mana-mana,” kata direktur IHME dan pendiri Global Burden of Disease (GBD) Dr Christopher Murray.

“Dalam tiga dekade terakhir, tidak satu negara mengalami keberhasilan dalam mengurangi tingkat obesitas,” tambahnya.

Hal serupa juga diungkapkan, Prof Ali Mokdad dari IHME. Dia mengatakan bahwa tidak ada negara yang dapat mengalahkan epidemi obesitas karena hal tersebut merupakan masalah yang relatif baru.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah mendeklarasikan obesitas sebagai epidemik global. Tidak hanya di negara maju, tetapi juga melanda negara berkembang.

Obesitas juga memacu peningkatan risiko sejumlah penyakit seperti diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi (hipertensi, stroke, serangan jantung, kanker prostat, usus dan beberapa penyakit lainnya.

sumber: www.solopos.com

 

IDI: Capres Harus Miliki Paradigma Sehat Berdaulat

Sektor kesehatan saat ini belum dipandang sebagai unsur penting dalam pembangunan nasional. Pembiayaan kesehatan, kecukupan gizi, dan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya sumber daya manusia Indonesia handal serta aset bangsa masih harus mendapat perhatian serius.

Oleh karenanya, selain masyarakat umum, juga dibutuhkan paradigma sehat berdaulat dari para pemimpin bangsa, termasuk calon presiden (capres) 2014. Paradigma sehat berdaulat adalah suatu pandangan pembangunan yang memungkinkan seluruh sumber daya kesehatan di Indonesia secara berdaulat untuk menentukan dan menjamin hak-hak kesehatan bagi seluruh rakyat.

Demikian Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zainal Abidin, dalam orasi Seotomo di sela-sela peringatan Hari Bakti Dokter Indonesia di Depok, Minggu (1/6). Hari Bakti Dokter kali ini diperingati dengan aksi donor darah secara serentak oleh seluruh dokter di Indonesia.

Zainal menambahkan, kedaulatan kesehatan lebih dari sekadar berbicara ketahanan kesehatan, apalagi kecukupan kesehatan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan paradigma sehat berdaulat tersebut, menurut Zainal, adalah dengan melakukan rekonstruksi pemikiran ddan wawasan para pemimpin dan calon pemimpin nasional.

“Rekonstruksi itu dimaksudkan agar pemimpin dan calon pemimpin negara memiliki visi, misi, serta kepemimpinan sehat berdaulat. Dengan begitu kita harapkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya pemimpin lebih peduli dan menyelesaikan persoalan kesehatan di Tanah Air,” kata Zainal.

Zainal mengungkapkan, sudah saatnya dibangun konsep pembangunan kesehatan yang paripurna mengunakan paradigma sehat berdaulat. Oleh karenanya, pemerataan layanan kesehatan yang bermutu hingga ke pelosok daerah menjadi syarat mutlak, dan tidak dapat ditawar.

“Membiarkan disparitas layanan kesehatan tanpa penyelesaian tentu saja menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan nasional dan paradigma kesehatan kita,” kata Zainal.

sumber: www.beritasatu.com

BPOM Cabut Ijin Edar Obat Desktrometorfan Tunggal

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan tenggang waktu penarikan obat yang mengandung dekstrometorfan tunggal dari pasaran hingga 30 Juni 2014. Obat yang kini disalahgunakan sebagai pengganti putaw dan ganja tersebut secara resmi dilarang peredarannya sejak 27 Juni 2013 berdasarkan Keputusan Kepala BPOM No HK.04.1.35.06.13.3534 tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal.

“Waktu efektif bagi produsen farmasi untuk menarik produknya dari pasaran tinggal sebulan lagi. Kami akan bekerjasama dengan kepolisian untuk mengawasinya dilapangan,” papar Direktur Pengawasan Napza BPOM Dra Utami Ekaningtyas Apt,MM

disela diskusi forum wartawan peduli hukum dan keadilan (Forwat PHK) bertema pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen konsumen berkaitan dengan penggunaan zat berbahaya pada obat-obatan: sosialisasi terhadap penarikan zat berbahan dekstrometorfan tunggal.

Dekstrometorfan diakui Ekaningtyas sebenarnya adalah obat anti pusing untuk menekan batuk. Tetapi belakangan, obat tersebut banyak disalahgunakan sebagai pengganti putau, shabu, ekstasi, valium dan ganja.

“Pada obat, biasanya kandungan dekstrometorfan hanya 15 mg. Tetapi kemudian orang pakai sampai 20 hingga 50 biji sekali telan sehingga menimbulkan efek fly,” lanjut Ekaningtyas.

Laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa penggunaan dekstrometorfan dikalangan remaja dan pelajar terus meningkat. Tahun 2010 ditemukan 5,9 persen dan pada 2011 meningkat mejadi 9,7 persen.

Menurut Ekaningtyas, ada beberapa alasan mengapa dekstrametorfen banyak disalahgunakan. Diantaranya efek halusinasi dalam dosis yang tinggi hampir setara dengan putau atau ganja, harganya relative murah, mudah diperoleh di apotek dan toko obat, pengawasan kurang ketat mengingat dekstrametorfen tergolong obat bebas terbatas berlogo lingkaran biru tua.

“Selain itu desktrometorfan bisa dibeli dalam kemasan kecil berupa strip/blister 10 x 10 tablet maupun hospital pack berupa botol berisi 1000 tablet,” tukas Ekaningtyas.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan kasus penyalahgunaan dekstrometorfan hampir terjadi diseluruh wilayah tanah air. Bahkan di Jawa Barat, status penyalahgunaan desktrometorfan sudah mencapai tingkat Kejadian Luar Biasa atau KLB.

Ia mengaku sejauh ini dekstrametorfan sejauh ini memang belum masuk sebagai narkotika sesuai dengan UU no 35 tahun 2009. Tetapi sebagai jenis obat yang merusak kesehatan, pemerintah dalam hal ini BPOM memiliki alasan kuat untuk menarik peredarannya atas dasar Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009.

Sementara itu Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir mengaku heran mengapa penarikan ijin edar dekstrametorfan tidak dipublikasikan secara luas oleh BPOM. “Saya sangat kesulitan untuk mendapatkan dokumen terkait pencabutan ijin edar dekstrametorfan,” jelasnya.

Selain itu, ia juga heran mengapa BPOM memberikan tenggang waktu begitu lama hingga setahun bagi industri farmasi untuk menarik produk yang sudah dicabut ijin edarnya. Sebab, hal itu akan memungkinkan penyalahgunaan dan penimbunan obat itu oleh oknum-oknum tertentu.

“Atau ini karena adanya lobi dari perusahaan-perusahaan farmasi, karena obat yang beredar belum habis?” lanjut Huzna.

Ia berharap BPOM lebih aktif untuk mempublikasikan terkait larangan edar bagi obat-obatan yang mengandung dekstrametorfan tunggal kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasinya dilapangan.

sumber: poskotanews.com

 

TBI Alat Kesehatan Indonesia Kalah Jauh Dibanding Negara ASEAN

Industri alat kesehatan diharapkan mampu menjadi salah satu penopang laju perekonomian di Indonesia. Dengan menjadi salah satu industri yang menarik pelaku industri dan diharapkan mendukung terciptanya banyak lapangan pekerjaan.

Sayang, impor industri alat kesehatan di Indonesia masih cukup tinggi. Hal itu memunculkan pertanyaan, seberapa jauh Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dan bersaing dengan negara maju dalam perdagangan industri alat kesehatan.

Akhmad Akbar Susamto Koordinator Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia (KKDSI) UGM memaparkan, berdasarkan perhitungan keseluruhan alat kesehatan dan dilihat dari keunggulan komparatif melalui nilai revealed symmetric comparative advantage (RSCA), Indonesia berada pada peringkat ke-47 dari 55 negara.

Temuan KKDSI terhadap potret industri alat kesehatan Indonesia memperlihatkan nilai trade balance index (TBI), Indonesia menempati posisi 33.

Bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara, nilai TBI Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura posisi 9, Malaysia 18, Thailand 28, Vietnam 30, dan Filipina 6.

“Hal ini menunjukkan produk alat kesehatan Indonesia belum memiliki keunggulan dan nilai perdagangannya masih rendah,” ujar dosen FEB UGM dalam diskusi bertajuk “Daya Saing Industri Alat Kesehatan Indonesia”, di gedung pusat UGM.

Sementara itu, Prof Mudrajad Kuncoro MSocSc PhD guru besar FEB UGM selaku keynote speech, menyayangkan jika industri alat kesehatan belum termasuk dalam klaster industri prioritas di Indonesia.

Karena itu, menurutnya, diperlukan sinergi antardepartemen, antara pusat dengan daerah, pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan industri alat kesehatan.

sumber: www.suaramerdeka.com

RI Siap Hadapi MERS dan Dampak Perubahan Iklim Bagi Kesehatan

Indonesia telah menerapkan strategi untuk menghadapi dampak perubahan iklim bagi kesehatan, juga virus MERS terutama menjelang pelaksanaan ibadah haji.

Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., MPH di depan sidang paripurna World Health Assembly (WHA) ke-67 di Gedung PBB Jenewa, Senin (19 Mei 2014) waktu setempat.

“Pemerintah RI telah menerapkan berbagai strategi, baik terkait langsung dengan sektor kesehatan maupun multisektoral, termasuk dengan mengintegrasikan penilaian risiko perubahan iklim ke dalam sistem pemantauan kesehatan,” ujar Menkes dalam rilisnya, Kamis (22/5/2014).

Sidang tahunan WHA ke-67, sebagai bagian dari Governing Bodies WHO yang beranggotakan seluruh negara-negara anggota WHO, akan berlangsung selama lima hari (19- 24 Mei 2014).

Sidang WHO ke-67 ini dipimpin Menkes Kuba Roberto Morales Ojeda, akan membahas berbagai isu kesehatan global yang menjadi perhatian bersama masyarakat internasional melalui tema utama

The Link Between Climate Change and Health (Hubungan antara Perubahan Iklim dan Kesehatan).

Selain menyampaikan pernyataan mengenai tema tersebut, Menkes RI juga menyampaikan berbagai pandangan Indonesia terkait berbagai isu kesehatan global, yang saat ini menjadi fokus perhatian masyarakat internasional.

Secara khusus Menkes dr. Nafsiah Mboi menyampaikan langkah-langkah Indonesia dalam mencegah kemungkinan bahaya yang diakibatkan oleh Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS CoV), khususnya terkait pelaksanaan ibadah haji yang diikuti umat Islam dari Indonesia.

Menkes juga menekankan pentingnya masyarakat internasional untuk terus bekerjasama menangani isu penyakit menular, termasuk melalui kerjasama di dalam kerangka Pandemic Influenza Preparedness (PIP).

Terkait proses negosiasi Agenda Pembangunan Pasca 2015, Menkes mewakili Indonesia mendorong seluruh negara untuk terus berupaya agar isu kesehatan tetap dapat dimasukan ke dalam agenda pembangunan baru.

“Indonesia juga menekankan pentingnya implementasi jaminan kesehatan (Universal Health Coverage) sebagai indikator utama pelayanan kesehatan yang memadai,” tandas Menkes.

Menkes sebagaimana disampaikan Sekretaris Pertama PTRI Jenewa Arsi D. Firdausy, memaparkan bahwa situasi kesehatan penduduk Indonesia sangat ditentukan oleh letak geografis Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan.

“Berbagai situasi terkait iklim juga memiliki dampak langsung terhadap keadaan lingkungan serta situasi kesehatan masyarakat Indonesia,” pungkas Menkes.

Selain menyampaikan pernyataan pada sesi pleno, Menkes RI juga direncanakan akan berpartisipasi pada berbagai acara lain, diantaranya menjadi pembicara pada WHO Technical Briefing on the International Health Regulations.

Pertemuan para Menkes negara-negara GNB, pertemuan para Menkes negara-negara Foreign Policy and Global Health, serta melakukan berbagai pertemuan bilateral dengan berbagai pejabat negara lain dan organisasi internasional.

sumber: www.tribunnews.com

 

RI Ajak Anggota Gerakan Non-Blok dan OKI Atasi Virus MERS

Indonesia menilai ancaman virus korona MERS perlu ditanggulangi bersama, meskipun WHO saat ini belum menyatakan virus ini sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat.

Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan RI Dr. Nafsiah Mboi dalam kapasitasnya selaku ketua para Menkes negara-negara Organisasi Kerjasama Islam/OKI (sebelumnya bernama: Organisasi Konferensi Islam) saat menjadi pembicara tamu pada pertemuan para Dubes negara-negara OKI di Jenewa, Rabu (21 Mei 2014) waktu setempat.

“Pada tingkat domestik, pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah dalam rangka penanganan ancaman isu virus korona MERS tersebut,” terang Menkes.

Menurut Menkes, langkah-langkah itu antara lain dengan memperkuat kegiatan pemantauan, mengedarkan berbagai informasi dan pengumuman kepada masyarakat dan petugas kesehatan di seluruh tingkat.

“Di samping itu juga memperkuat kesiapan laboratorium, serta meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar seluruh pemangku kepentingan,” imbuh Menkes.

Pertemuan yang diprakarsai Indonesia tersebut diselenggarakan untuk memanfaatkan kehadiran para pejabat tinggi negara-negara OKI yang sedang menghadiri Sidang World Health Assembly ke-67 di kantor PBB, Jenewa, sekaligus bertukar pikiran mengenai upaya kerjasama penanganan ancaman virus korona MERS.

Menkes RI mengharapkan agar seluruh negara-negara anggota OKI dapat terus melakukan kerjasama dan koordinasi dalam rangka penanganan isu ini di masa-masa mendatang Beberapa Duta Besar OKI yang hadir pada acara ini antara lain adalah dari Tunisia, Palestina, Brunei, Thailand, Jordan, Malaysia, Iran, Libya, Bahrain, UAE, Turki, Saudi, Rusia, Afghanistan, Pakistan, dan Uganda.

 

Selain menjadi pembicara tamu pada acara OKI tersebut, Menkes menurut keterangan pers Sekretaris Pertama PTRI Jenewa Arsi D. Firdausy, sebelumnya juga telah menyampaikan pernyataan pada pertemuan para Menkes negara-negara GNB, Selasa (20 Mei 2014).

Di samping mengangkat isu virus MERS, beberapa isu lain yang diangkat oleh Menkes antara lain adalah isu keterkaitan iklim dengan kesehatan, penyakit-penyakit menular dan masalah polio.

Pada akhir pertemuan, para Menkes GNB mengesahkan sebuah deklarasi para Menkes Negara-negara GNB, di mana delegasi RI telah memasukkan satu paragraf khusus mengenai perlunya seluruh negara GNB bekerjasama dalam mengatasi ancaman polio sekaligus menjamin tersedianya vaksin polio dengan harga terjangkau dan efisien.

Menkes RI juga menjadi pembicara pada acara pengarahan teknis mengenai Regulasi Kesehatan Internasional bersama beberapa pembicara lainnya yaitu Dirjen WHO Dr. Margaret Chan, Menkes AS, Menkes Oman, Menkes Liberia dan Wamenkes Cina (19 Mei 2014).

Pada pertemuan ini Menkes menyampaikan berbagai capaian Indonesia dalam mengimplementasikan regulasi tersebut, sekaligus meningkatkan kemampuan Indonesia dalam menangani ancaman terjadinya penyebaran penyakit secara global.

Secara khusus juga disampaikan bahwa Indonesia telah memiliki Komisi Nasional Zoonosis, yang terdiri dari berbagai instansi pemerintah terkait dan merupakan focal point dari penanganan ancaman suatu pandemi.

Sidang World Health Assembly ke-67, yang saat ini sedang dihadiri Menkes RI serta para anggota delegasi RI lainnya dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, serta Badan POM, berlangsung selama lima hari, 19-24 Mei 2014.

Sidang ini merupakan pertemuan tahunan negara-negara anggota World Health Organization (WHO) serta merupakan badan pengambilan keputusan tertinggi di dalam struktur organisasi WHO.

sumber: news.detik.com

 

Penanganan KAT Terberat di Kawasan Indonesia Timur

Salah satu prioritas pemberdayaan di Tanah Papua adalah untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT). Pemberdayaan menjadi pintu masuk guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat adat di lokasi terpencil.

“Pemberdayaan menjadi salah satu infrastruktur untuk membangun sistem ketahanan sosial, melalui pendekatan kesejahteraan dan kesetiakawanan sosial, ” kata Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri pada acara Rapat Koordinasi Pengembangan SDM dan Pembangunan Kesejahteraan Sosial III Tahun 2014 di Hotel Aerotel Irian, Biak, Papua, Senin (19/5).

Upaya pemberdayaan sejalan dengan Perpres Nomor 25 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua, atas Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pemerintah berkewajiban melindungi dan melakukan pemberdayaan bagi KAT. Keberadaan mereka sebagai bagian dari sistem budaya bangsa yang perlu dilindungi, sehingga tidak tepat kalau dibenturkan dengan dunia modern.

“Terbangunnya sistem ketahanan sosial khususnya pada KAT, diharapkan mampu meredam dan meminimalisir potensi konflik sosial di masyarakat, ” harapnya.

Mensos menegaskan, pemberdayaan KAT tidak bisa sektoral, parsial maupun fragmentaris dan semata tanggungjawab Kementerian Sosial (Kemensos). Tetapi melibatkan Kementerian Kehutanan dan BPN. Pada umumnya, KAT bermukim di dataran tinggi, daerah pegunungan, dataran rendah, daerah rawa, pedalaman, daerah perbatasan, di atas perahu, daerah pinggir pantai, di atas pohon, ataupun pemukiman liar yang sering berpindah-pindah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan berperan untuk mengupayakan akses terhadap dua jenis pelayanan dasar, yaitu di bidang pendidikan dan kesehatan. Sementera itu, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Agama, serta Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal memiliki peran penting sesuai kewenangan masing-masing.

“Ke depan, harus menjadi model dan sistem terpadu dalam pemberdayaan KAT. Saat ini, keterpaduan menjadi kata kunci penting sekaligus agenda strategis RPJMN III Tahun 2015–2019, ” tandasnya.

Pada hakikatnya, pemberdayaan KAT harus mengedepankan kemandirian untuk memanfaatkan sumber daya dan potensi yang mereka miliki dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga bisa lebih optimal.

Data Direktorat Pemberdayaan KAT 2009 memperlihatkan, bahwa persebaran KAT sebanyak 213.080 KK yang tersebar di 30 provinsi, 263 kabupaten, 1.044 kecamatan, 2.304 desa di 2971 lokasi. Pada 2010 dan 2011 Kemensos telah menyelesaikan pemberdayaan KAT di 6 provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Bangka Belitung dan Bali.

“Pada 2012-2014, KAT terdapat di 24 provinsi yang belum tuntas diberdayakan dan permasalahan terberat dalam pemberdayaan KAT adalah di wilayah Indonesia Timur, ” ujarnya.

Selama ini, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan telah melaksanakan program pemukiman dan bantuan bahan rumah dengan target 25.644 KK di 316 lokasi di Papua dan 4.885 KK di 88 lokasi di Papua Barat.(ris/jpnn)

sumber: www.jpnn.com

 

Penelitian Virus MERS Dilakukan pada Susu Mentah

Penelitian terkait sumber penularan Sindrom Pernafasan Timur Tengah Midle East Respiratory Syndrome Corona Virus/MERS CoV) masih terus dilakukan Emergency Committee yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Termasuk penelitian untuk mengetahui kemungkinan bahaya pada susu mentah.

Ini mengacu pada hasil penelitian yang dipublikasi di jurnal kedokteran “Emerging Infectious Diseases”, yang melihat stabilitas virus MERS CoV pada susu unta, domba, dan sapi, sebelum maupun sesudah dipasteurisasi. Meskipun memang virus ini bisa hidup lama di susu, tapi sesudah di pasteurisasi maka virus tidak ditemukan lagi. Saat ini sedang dilakukan penelitian lanjutan tentang kemungkinan bahaya susu mentah.

“Ada juga anjuran lain dari WHO yang menyebutkan tentang jangan konsumsi susu mentah dan jangan mengkonsumsi makanan yang mungkin tercemar oleh kotoran binatang,” kata Prof Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (19/5).

Ini merupakan satu dari tiga penelitian terbaru di 2014 tentang hubungan unta dengan MERS CoV. ‎ Peneliti dari Amerika Serikat dan King Saud University berhasil mengisolasi virus MERS CoV pada usap (swab) hidung pada unta berpunuk satu, dan membuktikan bahwa sekuen genom di unta dan manusia adalah tidak berbeda.

Penelitian lain yang dipublikasi pada jurnal kedokteran yang sama menunjukkan bahwa virus MERS CoV bersirkulasi pada unta di Saudi Arabia, Mesir, Tunisia, Nigeria, Sudan, Etiopia, Jordan, Oman, Qatar dan Uni Arab Emirat. Sementara itu, sebuah penelitian pada Desember 2013 menemukan asam nukleat MERS CoV pada 5 dari 76 sample unta yang mereka periksa.

Peneliti ini juga menemukan bahwa virus MERS CoV di unta ternyata “closely related” dengan virus yg ada di pasien MERS CoV.

Data-data di atas mendukung adanya kecurigaan bahwa unta merupakan sumber penularan dari MERS-COV. Namun, masih dibutuhkan penelitian lebih mendalam untuk memastikan hal ini, termasuk penelitian untuk mengetahui jalur penularan, penelitian kemungkinan pajanan dari binatang dan/atau lingkungan dan kemungkinan rantai / jalur penularannya.

Namun, kata Tjandra, jelasnya data-data ini belum dapat membuktikan bahwa ada penulaan dari unta ke manusia secara jelas, karena hubungan langsung kausal belum ditemukan. Tapi setidaknya data ini bisa membuat kita lebih ber-hati2 dan waspada dalam kaitannya dengan unta. Untuk sementara ini, Tjandra menganjurkan agar warga Indonesia yang bepergian ke jazirah Arab untuk tidak kontak langsung dengan unta. Jangan ada paket kunjungan ke peternakan unta dalam paket perjalanan umroh jamaah.

Sementara, data yang baru dirilis Organisasi Pangan Dunia menunjukkan ada sekitar 260.000 unta Saudi Arabia. Selain itu, ada hampir sejuta ekor unta di Ethiopia, 4,8 juta di Sudan, dan lebih dari 7 juta ekor di Somalia.

Meskipun tingkat keparahan virus MERS di Timur Tengah meningkat, menurut WHO belum menjadi ancaman kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Juga belum dinyatakan sebagai pandemi.

Untuk memutuskan ada tidaknya pandemi, Dirjen WHO sudah membentuk Emergency Committe yang terdiri dari 15 pakar di dunia, termasuk Prof Tjandra salah satu anggotanya. Komite ini akan terus menganalisa keadaan untuk kemudian memberi rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal WHO.

Beberapa pertimbangan untuk menetapkan adanya pandemi, yaitu penyebab penyakit (virus, kuman dan lainnya) adalah jenis baru. Penyakitnya berat dengan angka kematian tinggi, dan sudah menular lintas benua serta terjadinya penularan terus menerus antarmanusia. Jika terjadi pandemi, penanganannya bersifat internasional dan merupakan kegiatan luar biasa besar dunia kesehatan.

Dampak yang ditimbulkan juga amat luas, bukan hanya aspek kesehatan tapi juga ekonomi, pariwisata, keamanan, sosial dan bahkan politik.

WHO IHR Emergency Committee sudah bersidang lima kali , yaitu pada 9 Juli, 17 Juli, 25 September, dan 4 December 2013 serta 13 Mei 2014.

Tjandra menambahkan, berdasarkan data WHO peningkatan kasus MERS CoV konfirmasi di dunia terjadi sejak pertengahan Maret 2014. Dari 536 kasus sejak April 2012 sampai Mei 2014, 330 orang di antaranya terinfeksi sejak 27 Maret 2012. Sebanyak 290 dari 330 kasus itu terjadi di Saudi Arabia.

Wakil Menteri Kesehatan, Prof Ali Ghufron Mukti, kembali menegaskan sampai saat ini belum ada kasus MERS CoV positif di Indonesia. Semua kasus yang terjadi selama ini hanya dugaan dengan keluhan yang mirip dengan MERS dan semua pasien pulang bepergian dari Arab Saudi.

Dugaan MERS ini terus meningkat dan mencapai lebih dari 100 kasus yang terjadi di 18 provinsi. Sebanyak 77 di antaranya sudah diperiksa dan hasilnya negatif, sedangkan sisanya masih dalam proses pemeriksaan.

“MERS adalah virus berbahaya, sehingga kami minta masyarakat waspada, tetapi jangan panik,” kata Ghufron, kepada SP, di Jakarta, Senin.

Menurut Ghufron, sampai sekarang tidak ada larangan bepergian ke negara-negara tertular, termasuk Arab Saudi. Para jamaah haji maupun umroh hanya dianjurkan melakukan imunisasi vaksin influensa dan mewajibkan vaksin meningitis. Vaksinasi ini paling tidak dapat meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga diharapkan tidak mudah terserang virus MERS CoV.

Kemkes sendiri terus melakukan kewaspadaan dan komunikasi dengan WHO, KBRI, serta pihak-pihak terkait.

sumber: www.beritasatu.com

 

Orang Miskin Hidup Lebih Lama

Laporan terbaru WHO tentang tingkat harapan hidup warga dunia menunjukkan perbaikan signifikan di negara-negara miskin. Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam 20 tahun terakhir, tingkat harapan hidup negara-negara termiskin di dunia bertambah rata-rata sembilan tahun. Bahkan menurut laporan statistik tahunan badan kesehatan dunia (WHO), enam dari negara-negara tersebut berhasil meningkatkan harapan hidup hingga lebih dari 10 tahun antara 1992 dan 2012.

Dari laporan yang dikutip Deutsche Welle, Liberia menjadi negara dengan peningkatan paling besar. Tingkat kehidupan di negara itu bertambah 20 tahun, dari 42 menjadi 62 tahun.

Selanjutnya Ethiopia (dari 45 ke 64 tahun), Maladewa (58 ke 77), Kamboja (54 ke 72), Timor Leste (50 ke 66), dan Rwanda (48 ke 65).

INDONESIA MEMBAIK

“Alasan terpenting mengapa tingkat harapan hidup global bertambah adalah karena lebih sedikit anak-anak yang meninggal sebelum usia ke lima,” ujar dirjen WHO Margaret Chan. Secara keseluruhan, tingkat harapan hidup warga dunia bertambah hingga enam tahun untuk periode yang sama.

Indonesia juga mengalami perbaikan. Dari tingkat harapan hidup 67 tahun meningkat menjadi 71 tahun. Indonesia berada di peringkat kelompok kedua terbaik, bersama negara-negara seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Brasil.

Berdasarkan statistik, anak perempuan yang dilahirkan tahun 2012 bisa hidup hingga 73 tahun dan anak laki-laki hingga 68 tahun, tambah WHO. “Tapi tetap ada perbedaan mendasar antara warga kaya dan miskin. Warga negara dengan pendapatan tinggi terus memiliki kesempatan hidup lebih lama dibanding mereka yang hidup di negara pendapatan rendah,” jelas Chan.

Anak laki-laki yang lahir tahun 2012 di negara dengan pendapatan tinggi bisa hidup hingga umur 76 tahun. Ini 16 tahun lebih lama dibandingkan anak laki-laki dari negara miskin. Untuk anak perempuan, perbedaannya lebih drastis lagi. Anak perempuan dari negara dengan pendapatan tinggi bisa hidup hingga 82 tahun dan mereka yang tinggal di negara miskin hanya hingga 63 tahun.

JEPANG TERBAIK

Tingkat harapan hidup perempuan di 10 negara posisi teratas adalah 84 tahun ke atas, menurut WHO. Perempuan di Jepang memiliki harapan hidup paling baik, yakni 87 tahun. Diikuti oleh Spanyol, Swiss dan Singapura dengan masing-masing 85,1 tahun.

“Negara dengan pendapatan tinggi harapan hidupnya meningkat karena sukses mengatasi penyakit yang tidak menular,” ujar Ties Boerma, pimpinan divisi statistik WHO. “Semakin sedikit pria dan wanita yang meninggal sebelum usia 60 tahun. Negara kaya lebih baik dalam hal memonitor dan misalnya menangani pasien dengan tekanan darah tinggi.” Berkurangnya konsumsi tembakau juga faktor penting membantu warga hidup lebih lama di beberapa negara, tambah WHO.

Sementara itu, ada sembilan negara dimana tingkat harapan hidup bagi perempuan maupun laki-laki masih kurang dari 55 tahun. Yakni negara-negara Afrika: Angola, Republik Afrika Tengah, Chad, Republik Demokratik Kongo, Pantai Gading, Mozambik, Nigeria dan Sierra Leone. – DW.DE/d

sumber: poskotanews.com