Masyarakat Indonesia Jauh dari Pola Hidup Sehat

General Manajer PT Herbalife Indonesia Andam Dewi menyatakan, dari segi makanan masyarakat Indonesia masih jauh dari kehidupan dengan pola makan dan hidup sehat, akibat perubahan aktivitas.

“Aktivitas masyarakat Indonesia yang semakin padat dan menumbuhkan pola hidup yang serba instan, namun sayangnya pola makan dan makanan yang dikonsumsi juga masih jauh dari kebutuhan nutrisi, sehingga banyak keluhan terkait masalah kesehatan fisik,” katanya usai “Grand Launching Quick Response Center” (QRC) ke-7 di Malang, Minggu (27/4).

Akibat kesibukan dan aktivitas yang semakin padat itu, katanya, masyarakat juga berupaya menyediakan segala kebutuhannya, termasuk konsumsi pangan juga serba cepat dan yang sering ditemui adalah mengkonsumsi makanan cepat saji. Padahal, pola tersebut tidak baik kesehatan.

Melihat kondisi itu, lanjutnya, herbalife yang bermarkas di Amerika Serikat itu diboyong ke Indonesia untuk menjawab kebutuhan sajian pangan masyarakat secara cepat, bahkan bisa dikonsumsi sambil menjalankan aktivitasnya, namun makanan itu tidak meninggalkan kandungan nutrisi dan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Menurut dia, banyak masyarakat sibuk di Tanah Air ini mulai mengkonsumsi makanan bernutrisi tinggi yang mudah disajikan, sehingga tidak menganggu aktivitasnya sebagai karyawan atau pengusaha sibuk.

Apalagi, kata Andam, herbalife juga berkomitmen untuk mengkampanyekan dan memasyarakatkan gaya hidup sehat. Dengan demikian, herbalife juga terus memperluaas layanan dengan menambah gerai sales center dan QRC di seluruh wilayah nusantara, seperti di Tangerang, Surabaya, Makassar, Bandung, Bekasi, Banjarmasin, Solo, Pekanbaru, dan Papua.

Andam mengemukakan dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), masalah kesehatan menjadi salah satu komponen utama, selain pendidikan dan pendapatan karena kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

IPM Indonesia pada tahun 2012 mencapai 0,624 atau naik 3 peringkat ketimbang tahun sebelumnya yang menempati posisi 124 dari 187 negara di dunia. Namun demikian, Indonesia masih berada di bawah beberapa negara anggota ASEAN, seperti Singapura yang IPM-nya mencapai 0,895, Brunei Darussalam 0,855, Malaysia 0,769, Thailand 0,690, dan Filipina 0,654.

“Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai salah satu investasi untuk meningkatkan kualitas SDM. Oleh karena itu, harus ada kerja sama yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dan sekecil apapun kontribusi kita dalam upaya menyehatkan masyarakat pasti akan membuahkan hasil maksimal di kemudian hari,” tegasnya.

Saat ini herbalife beroperasi di lebih dari 90 negara melalui jaringan distributor independen. Banyak produk nutrisi untuk kesehatan yang ditawarkan herbalife, bahkan hingga produk perawatan kulit.

Herbalife hadir di Indonesia 16 tahun lalu dan menjajaki pasar Kota Malang sejak 10 tahun terakhir. “Perkembangan di Malang ini luar biasa, sehingga kami harus menambah fasilitas gerai sendiri agar layanan pada konsumen dan member lebih cepat dan lebih baik lagi,” ujarnya.

sumber: www.beritasatu.com

 

Pemerintah antisipasi penyebaran MERS

Pemerintah Indonesia mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran virus MERS.

Sementara itu WHO khawatir dengan peningkatan jumlah kasus baru di Arab Saudi.

Kementerian Kesehatan menyatakan belum menemukan penyakit yang disebabkan virus MERS di Indonesia, meski demikian, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan P2PL Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga mengatakan antisipasi pencegahan dilakukan dengan memeriksa WNI yang menderita demam dan batuk sepulang dari Arab Saudi.

Kementerian Kesehatan juga telah memeriksa Jemaah haji dan umroh yang memiliki gejala demam dan batuk, sejak virus MERS merebak dua tahun lalu, dan hasilnya negatif.

‘Karena baru-baru ini baru ada kasus baru di Malaysia, maka saya membuat surat edaran lagi ke kantor kesehatan pelabuhan dan rumah sakit rujukan untuk mewaspadai hal ini, dan ketiga adalah kesiapan diagnostik dan pengobatan kalau diperlukan,” jelas Tjandra.

“Untuk diagnostik laboratorium kita sudah bisa memeriksa, beberapa kecurigaan dan hasilnya negatif, kita menggunakan rumah sakit rujukan flu burung, karena dilengkapi alat-alat,” tambah dia.

Kementerian kesehatan juga mengaku telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh Dinas Kesehatan dan Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk memeriksa penumpang dari Arab saudi dengan gejala demam dan batuk.

Surat edaran

Surat edaran juga disampaikan kepada asosiasi travel umroh dan haji, sebab ratusan ribu orang Indonesia menunaikan ibadah Umroh setiap tahunnya.

Himpunan Penyelenggara Umroh dan Haji HIMPUH mengaku melakukan antisipasi dengan mengingatkan jemaah Umroh agar menjaga daya tahan tubuh dan vaksinasi. Seperti disampaikan oleh Sekjen HIMPUH Muharom Ahmad.

“Yang paling utama adalah bagaimapa memperkuat daya tahan tubuh, karena virus itu menyerang orang yang dalam keadaan yang drop, selebihnya tidak jauh berbeda dengan pemerintah lakukan dengan mewajibkan vaksinasi meningitis dan menganjurkan vaksinasi influenza,” jelas Moharom.

“Namun kami menghimbau kepada khususnya tour and travel terutama yang ada didaerah yang seringkali mengabaikan hal-hal seperti ini hendaknya supaya lebih mempersiapkan jamaahnya ya,” tambah Muharom.

Tetapi, salah seorang jemaah yang baru pulang umroh, Eko Hendrawan mengatakan tak diberi bekal informasi tentang virus Mers sebelum berangkat ke tanah suci.

“Tidak ada informasi dari travel ataupun dari teman-teman tentang penyebaran virus MERS ini, jemaah kita tidak dibekali informasi soal ini jadi tak ada antisipasi buat kita ya,” kata Eko.

Di Arab Saudi virus Mers menjangkiti lebih dari 260 orang, dan di Asia Tenggara seorang warga Malaysia meninggal akibat virus tersebut, pada pekan lalu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Klik khawatir meningkatnya penderita gangguan virus pernafasan parah atau MERS.

Menteri kesehatan Arab Saudi Abdullah al-RabiahKlik dipecat karena dianggap bertanggung jawab atas peningkatan penyebaran virus MERS.

Pekan lalu saja, ada 50 kasus baru yang muncul di Arab Saudi. Peningkatan jumlah kasus juga terjadi di Uni Emirat Arab.

sumber: www.bbc.co.uk

 

Pemerintah Tegaskan MERS Cov Belum Ditemukan di Indonesia

BEBERAPA hari yang lalu, satu orang warga Malaysia meninggal dunia setelah positif terinfeksi Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS Cov). Meski begitu, pemerintah Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa MERS Cov belum ditemukan di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE. Dia mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu memang ada laporan satu kasus MERS Cov di Malaysia dan merupakan kasus pertama di Asia Tenggara, namun hal serupa belum ditemukan di Indonesia.

“Di Indonesia sejauh ini tidak ada. Kita sudah beberapa kali memeriksa orang-orang yang pulang dari Arab Saudi, baik umroh maupun TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dengan keluhan demam dan gangguan pneumonia sekitar lima orang dan semua hasilnya corona negatif,” jelas Prof. Tjandra Yoga pada konferensi pers di Gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 22 April 2014.

Sejauh ini, Prof. Tjandra mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tetap berkomunikasi dengan WHO dan membuat surat edaran ke Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) agar mewaspadai orang-orang yang pulang dan bepergian ke Arab Saudi dan sekitarnya. Selain itu, dia juga menghimbau kepada orang-orang yang hendak berpergian ke Arab Saudi dan sekitar untuk tetap berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan bila ada keluhan, segera berobat ke petugas kesehatan terdekat.

“Bukan hanya ketika sakit di sana, saat sudah pulang di Indonesia kalau ada keluhan demam, batuk dan sebagainya, segera melapor ke petugas kesehatan terdekat. Itu sejauh ini yang kita lakukan dan pantau terus keadaannya,” tutupnya.

sumber: health.okezone.com

 

Kematian Akibat Malaria di Indonesia Turun 95%

Jumlah kematian akibat malaria di Indonesia menurun 95% sepanjang 2010 sampai 2013, yang semula 900 tahun 2010, tahun 2013 hanya 45 kematian saja. Sementara di dunia tercatat 627 ribu nyawa melayang akibat gigitan nyamuk Malaria sepanjang 2012.

“Jadi kita berhasil menurunkan angka kematian akibat malaria sepanjang tahun dari 2010 hingga 95%. Namun ada sejumlah daerah, khususnya di Indonesia bagian Timur yang masih tercatat sebagai daerah epidemis,” ujar Direktur Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Profesor Tjandra Yoga Aditama dalam temu media terkait penyakit malaria di Gedung Kemenkes, Kuningan, Jakatya Selatan, Selasa (22/04/2014).

Hari Malaria Sedunia (HMS) berlangsung setiap 26 April dan tahun 2014 ini bertema Invest in the Future, Defeat Malaria. Sedangkan di Tanah Air peringatan bertema Bebas Malaria, Prestasi Bangga. Sejauh ini, laporan dunia mencatat 3,4 miliar penduduk dunia berisiko malaria di tahun 2012.

Tjandra melanjutkan, Papua masih menjadi provinsi paling tinggi kasus malaria, yaitu 42,65%, Papua Barat 38,44%, NTT 16,37%,Maluku 8,25%, Maluku Utara 4,51 dan Bengkulu 3,89%. Sedangkan Bali dan DKI Jakarta menjadi daerah bebas malaria.

Sejumlah upaya baik pencegahan dan pengobatan terus pemerintah lakukan saat ini. Seperti penyemprotan lingkungan tempat tinggal dengan insektisida, pengobatan secara medis dan yang gencar di lakukan saat ini penyebaran kelambu.

“Jumlah kelambu yang sudah dibagikan sebanyak 3,6 juta dari 2012 hingga 2013, dan jumlah kelambu yang akan dibagikan pada 2014 sebanyak 6,3 juta kelambu,” ungkap Tjandra.

Intervensi pencegahan dengan kelambu, menurut Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kemenkea, dokter Andi Muhadir, menjadi cara paling efektif, selain dari penyemprotan dan pengobatan.

“Karena intervensi pada nyamuknya sangat sulit, apalagi daerah yang masih banyak hutannya seperti Papua, karenanya kita melakukan pencegahan terhadap gigitan nyamuk, yaitu tidur dengan menggunakan kelambu,” jelas dia.

Malaria adalah penyakit infeksi akibat parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah manusia yang tertular akibat gigitan nyamuk anopheles betina. Gejala malaria seperti demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.

“Tapi jangan hanya berpatokan pada gejala, harus diperiksa tes laboratorium dulu,” imbuh Tjandra. [aji].

sumber: gayahidup.inilah.com

 

Konjen: India Dukung Pembangunan Kesehatan Indonesia

Medan, 21/4 (Antara Sumut) – Pemerintah India menyatakan siap mendukung dan bekerja sama dengan institusi terkait di Indonesia untuk mendukung program percepatan pembangunan kesehatan di negara ini.

“Pemerintah kami senantiasa memberikan dukungan kepada dunia kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan kualitasnya,” kata Konsul Jenderal India di Medan, Basir Ahmed, saat menerima audiensi pengurus dan anggota Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut di Medan, baru-baru ini.

Ia menjelaskan, kualitas sumber daya manusia dan teknologi bidang kesehatan di India dewasa ini relatif maju pesat.

Di India, lanjutnya, kualitas pelayanan dan infrastruktur rumah sakit milik pemerintah maupun swasta di India tergolong lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, termasuk Indonesia.

“Selain insfrastrukturnya lebih lengkap, dari sisi biaya yang harus dikeluarkan pasien juga relatif murah,” ucap Basir.

Untuk harga obat, misalnya, obat demam jenis paracetamol di India dijual rata-rata Rp1.000 per kaplet.

Sedangkan di Indonesia, harga obat sejenis dijual minimal Rp3.000 per kaplet.

Basir menilai, pembangunan kesehatan di Indonesia kedepan akan semakin baik bila didukung melalui pemantapan kerja sama dengan pemeritah India.

“Kami siap berkolaborasi dengan Indonesia, khususnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia,” katanya.

Apalagi, menurut dia, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya akan menerapkan forum kerja sama ekonomi atau ASEAN Economic Countries (AEC) tahun 2015.

Pada era pasar bersama ASEAN tersebut, katanya, Indonesia mau tidak mau juga harus siap berkompetisi di bidang infrastruktur kesehatan.

“India siap membantu dunia kesehatan di Indonesia, dengan “mensupport” program pembangunan sarana infrastruktur dan teknologi yang lebih baik,”tambahnya

Bahkan, pihaknya siap mendukung upaya mengurangi pasien asal Indonesia berobat ke luar negeri.

Terkait dengan komitmen tersebut, pihaknya bekerja sama dengan IDI akan menyelenggarakan seminar internasional tentang kesehatan di India pada 17 Mei 2014.(TNA/rel)

sumber: www.antarasumut.com

 

Konjen: India Dukung Pembangunan Kesehatan Indonesia

Medan, 21/4 (Antara Sumut) – Pemerintah India menyatakan siap mendukung dan bekerja sama dengan institusi terkait di Indonesia untuk mendukung program percepatan pembangunan kesehatan di negara ini.

“Pemerintah kami senantiasa memberikan dukungan kepada dunia kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan kualitasnya,” kata Konsul Jenderal India di Medan, Basir Ahmed, saat menerima audiensi pengurus dan anggota Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut di Medan, baru-baru ini.

Ia menjelaskan, kualitas sumber daya manusia dan teknologi bidang kesehatan di India dewasa ini relatif maju pesat.

Di India, lanjutnya, kualitas pelayanan dan infrastruktur rumah sakit milik pemerintah maupun swasta di India tergolong lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, termasuk Indonesia.

“Selain insfrastrukturnya lebih lengkap, dari sisi biaya yang harus dikeluarkan pasien juga relatif murah,” ucap Basir.

Untuk harga obat, misalnya, obat demam jenis paracetamol di India dijual rata-rata Rp1.000 per kaplet.

Sedangkan di Indonesia, harga obat sejenis dijual minimal Rp3.000 per kaplet.

Basir menilai, pembangunan kesehatan di Indonesia kedepan akan semakin baik bila didukung melalui pemantapan kerja sama dengan pemeritah India.

“Kami siap berkolaborasi dengan Indonesia, khususnya IDI (Ikatan Dokter Indonesia,” katanya.

Apalagi, menurut dia, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya akan menerapkan forum kerja sama ekonomi atau ASEAN Economic Countries (AEC) tahun 2015.

Pada era pasar bersama ASEAN tersebut, katanya, Indonesia mau tidak mau juga harus siap berkompetisi di bidang infrastruktur kesehatan.

“India siap membantu dunia kesehatan di Indonesia, dengan “mensupport” program pembangunan sarana infrastruktur dan teknologi yang lebih baik,”tambahnya

Bahkan, pihaknya siap mendukung upaya mengurangi pasien asal Indonesia berobat ke luar negeri.

Terkait dengan komitmen tersebut, pihaknya bekerja sama dengan IDI akan menyelenggarakan seminar internasional tentang kesehatan di India pada 17 Mei 2014.(TNA/rel)

sumber: www.antarasumut.com

 

Dampak Kesehatan dari Polusi Udara Belakangan Ini

Jakarta dan kota lain di Indonesia dilanda cuaca tak menentu seperti sekarang. Sebentar panas, lalu tiba-tiba mendadak hujan turun dengan derasnya. Menurut Tjandra Yoga Aditama, dalam situasi musim tak menentu ini polusi udara juga menjadi bahaya bagi kesehatan.

Pada Tempo, Sabtu, 19 April 2014 Tjandra mengatakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 163, menerangkan bahwa lingkungan yang sehat bisa terwujud bila terhindar dari unsur salah satunya adalah udara yang tercemar.

Menurut Dirjen Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan ini, sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan, antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, dan gas alam beracun. Penggunaan bahan bakar yang kurang ramah lingkungan seperti bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar sulfur tinggi,

Tjandra mengatakan kontribusi pencemaran udara di kota besar sekitar 70-80 persen berasal dari sektor transportasi. Pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Kemudian parameter pencemar udara ambien menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi: sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), oksidan (O3), hidrokarbon (HC), PM 10, PM 2,5, TSP (debu), Pb (Timah Hitam), dustfall (debu jatuh).

Dia juga menjelaskan pada kebakaran lahan dan hutan merugikan aspek ekonomis, sosial, ekologis, politis, dan kesehatan, baik pada skala regional (ASEAN) maupun global (climate change dan global warming) dan menjadi bagian dari skema ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang terdapat di lima provinsi di Indonesia, tentang kebakaran lahan dan hutan atau penyumbang hotspot terbanyak. Antara lain wilayah Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, dan Kalimantan Tengah. (Baca: Polusi Udara Sebabkan 7 Juta Kematian di Dunia)

“Pencemar udara tersebut akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat sekitar dan para pekerja di bandara,” kata dia. Tjandra juga mencatat data menurut WHO, setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan, di mana sekitar 93 persen kasus terjadi di negara berkembang.

“Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan manusia berkisar dari yang relatif ringan hingga menyebabkan kematian demikian terangkum dalam catatan Badan Kesehatan Dunia, WHO, pada 1991,” kata dia.

Dia juga mengutip laporan WHO dari negara-negara Eropa pada tahun 2004, antara lain menyebutkan adanya hubungan antara partikel debu di udara dan berbagai penyakit saluran pernapasan. “Di samping kualitas udara ambien, lalu kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.”

sumber: www.tempo.co

 

Dampak Kesehatan dari Polusi Udara Belakangan Ini

Jakarta dan kota lain di Indonesia dilanda cuaca tak menentu seperti sekarang. Sebentar panas, lalu tiba-tiba mendadak hujan turun dengan derasnya. Menurut Tjandra Yoga Aditama, dalam situasi musim tak menentu ini polusi udara juga menjadi bahaya bagi kesehatan.

Pada Tempo, Sabtu, 19 April 2014 Tjandra mengatakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 163, menerangkan bahwa lingkungan yang sehat bisa terwujud bila terhindar dari unsur salah satunya adalah udara yang tercemar.

Menurut Dirjen Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan ini, sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan, antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, dan gas alam beracun. Penggunaan bahan bakar yang kurang ramah lingkungan seperti bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar sulfur tinggi,

Tjandra mengatakan kontribusi pencemaran udara di kota besar sekitar 70-80 persen berasal dari sektor transportasi. Pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Kemudian parameter pencemar udara ambien menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi: sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), oksidan (O3), hidrokarbon (HC), PM 10, PM 2,5, TSP (debu), Pb (Timah Hitam), dustfall (debu jatuh).

Dia juga menjelaskan pada kebakaran lahan dan hutan merugikan aspek ekonomis, sosial, ekologis, politis, dan kesehatan, baik pada skala regional (ASEAN) maupun global (climate change dan global warming) dan menjadi bagian dari skema ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang terdapat di lima provinsi di Indonesia, tentang kebakaran lahan dan hutan atau penyumbang hotspot terbanyak. Antara lain wilayah Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, dan Kalimantan Tengah. (Baca: Polusi Udara Sebabkan 7 Juta Kematian di Dunia)

“Pencemar udara tersebut akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat sekitar dan para pekerja di bandara,” kata dia. Tjandra juga mencatat data menurut WHO, setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan, di mana sekitar 93 persen kasus terjadi di negara berkembang.

“Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan manusia berkisar dari yang relatif ringan hingga menyebabkan kematian demikian terangkum dalam catatan Badan Kesehatan Dunia, WHO, pada 1991,” kata dia.

Dia juga mengutip laporan WHO dari negara-negara Eropa pada tahun 2004, antara lain menyebutkan adanya hubungan antara partikel debu di udara dan berbagai penyakit saluran pernapasan. “Di samping kualitas udara ambien, lalu kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.”

sumber: www.tempo.co

 

Meniru Gaya Belanda, Indonesia Mesti Menuju Era `Dokter Keluarga`

Bercermin dari sistem jaminan kesehatan masyarakat Belanda yang kuat dalam pelayanan primer seperti dokter keluarga, Kementerian Kesehatan RI menilai ini masih jadi masalah besar di Indonesia.

Seperti diungkapkan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U (K). Baginya, masalah kesehatan di Indonesia begitu kompleks. Mulai dari penyakit menular seperti AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), Tuberkulosis atau Malaria, hingga penyakit lainnya yang sulit dikendalikan seperti penyakit kardiovaskular. Belum lagi, fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau klinik masih lemah, tenaga medis belum merata sehingga dokter keluarga masih sulit.

“Maka itu kami sedang mengupayakan memperkuat dulu layanan kesehatan primer dengan cara penyebaran dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), internship (penguatan faskes primer oleh dokter baru lulus) dan penggunaan kapitasi yang bisa langsung diterapkan puskesmas,” kata Akmal di sela-sela acara ‘Health Care in Urban Setting’ di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Senin (14/4/2014).

Meski begitu, menurut Akmal, sistem JKN yang baru dilaksanakan hampir empat bulan ini direspons cukup positif oleh banyak kalangan. Terbukti dengan peningkatan jumlah peserta BPJS Kesehatan yang hingga 4 April 2014 mengalami kenaikan 6 persen atau dari 112 juta jiwa menjadi 119.404.294 jiwa. Disamping itu penurunan jumlah pasien di rumah sakit juga terhitung signifikan hingga 100 pasien sampai Maret 2014.

Di sisi lain, peneliti senior di NIVEL (Netherlands Institute for Health Service Research) dr. Wienke Boerma, PhD mengungkapkan, kekuatan sistem kesehatan di Belanda terletak pada pelayanan kesehatan primer seperti dokter keluarga.

“Di Belanda penguatan dokter keluarga sangat penting. Perbandingannya, 1 dokter melayani 2.500 pasien. Selain itu, 95 persen perawatan kesehatan dilakukan di rumah. Mereka sangat jarang ke spesialis. Selain mahal, lebih baik konsultasi dengan dokter keluarga. Kalau harus ke spesialis pun harus melalui rujukan dokter keluarga. Tapi kasusnya jarang,” kata Wienke.

sumber: health.liputan6.com

 

57 Juta Orang Indonesia BAB Sembarangan

Indonesia memiliki tantangan besar dalam mengatasi masalah sanitasi dasar bagi rakyatnya. Dari data Bank Dunia diketahui, setengah populasi masyarakat perdesaan Indonesia tidak memiliki akses sanitasi yang layak.

Menurut Bank Dunia, dari 57 juta orang yang melakukan buang air besar (BAB) sembarangan, 40 juta diantaranya tinggal di perdesaan. Rodgigo Chaves, Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia, mengatakan pihaknya akan terus mendukung upaya pemerintah Indonesia meningkatkan akses sanitasi.

Hal itu akan dilakukan melalui proyek-proyek air bersih dan sanitasi yang menerapkan pendekatan programatik skala kabupaten/kota.

“Pendekatan ini memperkuat lembaga-lembaga pemerintah daerah dan menggalang kerjasama antar para pemangku kepentingan untuk mewujudkan perubahan perilaku sanitasi dan peningkatan pasokan produk-produk sanitasi melalui penguatan pasar,” ujar Chaves dalam keterangan resminya Jumat (11/4/2014).

Bank dunia rencanya akan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan untuk mengembangkan rencana dengan fokus global dan berkelanjutan serta komitmen untuk sanitasi dan air untuk semua.

Jim Yong Kim, Presiden Kelompok Bank Dunia mengatakan, Bank Dunia akan bekerja sama dengan Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan, dan Menteri Kesehatan guna menyukseskan program-program Bank Dunia dalam menyelesaikan permasalahan sanitasi tersebut.

Kelompok Bank Dunia dan PBB akan berkolaborasi dengan organisasi seperti WaterAid, Toilet Hackers, Global Poverty Project, dan ONE DROP.

Selain itu, Kelompok Bank Dunia akan memperluas jaringan kerjasama dengan para pemangku kepentingan, termasuk dengan tokoh dan pimpinan dari sektor swasta, yang berminat memahami peran dalam peningkatan layanan.

Selama tujuh tahun terakhir, Kelompok Bank Dunia telah menyalurkan lebih dari 3 miliar dolar per tahun untuk layanan air bersih dan sanitasi. Dengan dana sebesar itu, Bank dunia merupakan lembaga penyandang dana multilateral terbesar untuk air dan sanitasi.(Yoga Sukmana)

sumber: http://www.tribunnews.com