Dokter Puskesmas Setara Kualitasnya dengan Spesialis?

Dua tahun lagi, kemampuan dokter puskesmas akan setara dengan dokter spesialis. Selain dokter puskesmas, kemampuan dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan primer lainnya seperti praktik dokter pribadi dan klinik pratama juga setara kualitasnya dengan spesialis.

“Saat ini Kementerian Kesehatan RI dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pihak terkait tengah menyusun standar kompetensi untuk dokter layanan primer (DLP), sehingga kemampuannya bisa setara spesialis. Mungkin, Juli 2015 standar kompetensi sudah jadi sehingga kualitas DLP bisa teruji,” kata Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kemenkes RI, Akmal Taher, pada dies natalis FKUI bertema “Tantangan Dokter di Era JKN, di Jakarta, Rabu (5/3/2014).

Nantinya DLP berbeda dengan spesialis lainnya yang khusus menguasai satu bidang. DLP tetap seorang generalis yang menguasai masalah secara umum, namun memiliki perbedaan dalam menangani penyakit. Dengan level pendidikan yang lebih tinggi maka kompensasi yang akan diberikan akan lebih besar.

“Nantinya dokter yang baru lulus dan menjalani internship tetap berpraktik di fasilitas layanan primer. Namun mereka berbeda dengan dengan DLP dari standar kompetensinya,” kata Akmal.

Akmal mengatakan, peningkatan kualitas dokter layanan primer merupakan bagian dari program JKN yang berfokus pada layanan promotif dan preventif. Dengan kompetensi yang tinggi, diharapkan standar kesehatan masyarakat akan semakin baik. Hal ini sekaligus memperbaiki citra dokter layanan primer yang kerap dipandang sebelah mata.

“Selama ini pelayanan di fasilitas primer kerap dianggap hanya menunggu waktu sebelum menunjukkan spesialis. Hal ini diperkuat dengan rendahnya reward untuk dokter layanan primer. Padahal dokter layanan primer berfungsi sebagai gate keeper yang menentukan tahap pengobatan selanjutnya,” kata Akmal.

Pendidikan untuk DLP, kata Akmal, hanya disediakan fakultas kedokeran terakreditasi A. Untuk periode 2014- 2019, rencananya akan dilatih 9.600 dokter fasilitas layanan kesehatan primer seluruh Indonesia menuju DLP.

DLP beda

DLP dan dokter muda keduanya adalah generalis, namun standar kompetensi DLP lebih tinggi. kompetensi tersebut antara lain pengetahuan penyebab penyakit dan proses pemeriksaan di rumah sakit

“Kalau dokter biasanya hanya memberi obat berdasarkan penyakit, maka DLP akan mencari penyebab penyakit yang bisa berasal dari lingkungan sekitar atau dalam dirinya. Selain tentunya melakukan upaya promotif dan preventif,” kata Direktur Utama RSCM, Czeresna H Soejono.

DLP juga dipastikan memahami 155 pedoman pelayanan kesehatan sesuai ketetapan organisasi profesi kedokteran. Karenya DLP lebih mudah berdiskusi dengan dokter spesialis yang berpraktik di rumah sakit. Dalam prosesnya, DLP juga menjalani pendidikan di rumah sakit, sehingga mengetahui proses diagnosis hingga terapi pengobatan.

sumber: health.kompas.com

 

Perawatan paliatif di Indonesia belum optimal

Perawatan paliatif terhadap pasien yang berada pada kondisi terminal seperti kanker, alzheimer dan stoke di Indonesia belum optimal. Perawat yang memerankan posisi penting dalam perawatan paliatif masih terkendala baik dari sisi pengetahuan maupun kebijakan. Akibatnya, perawatan paliatif yang seharusnya melibatkan peran keluarga yang cukup besar belum bisa berjalan dengan baik.

Kondisi ini berbeda dengan luar negeri yang sudah berjalan dengan baik,papar staf pengajar di Program Studi Ilmu Keparawatan (PSIK) UGM, Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., M.N di sela-sela acara seminar Interprofessional Work for Enhancing the Family Roles for Palliative Care: Lesson learned from Several Countries di Gd. Ismangoen Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Selasa (4/3).

Martina menambahkan kebijakan perawatan paliatif sebenarnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2007. Sayangnya, pada praktik di lapangan perawatan paliatif tersebut belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan, terutama pada stadium lanjut.

Yang dibutuhkan pasien dan keluarga bukan hanya penyembuhan namun juga perawatan optimal yang pada akhirnya jika pasien meninggal pada kondisi dignity (bermartabat),katanya.

Sejauh ini sudah ada lima rumah sakit yang dinilai mampu memberikan perawatan paliatif di Indonesia tetapi menurut Martina masih tetap belum optimal, termasuk RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta. Ke lima rumah sakit ini ada di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makasar.

Perawatan paliatif ini adalah pelayanan kesehatan yang terintegrasi dan perawat memiliki peran yang sangat penting,tegas Martina.

Seminar yang digelar ke empat kali di PSIK UGM tersebut menyajikan 32 free paper dan 18 poster. Ada sekitar 160 peserta dan tamu undangan hadir dalam kegiatan itu, seperti dari Malaysia, Kalimantan, Semarang, Gombong, Jember, Bali, Jakarta dan Yogyakarta. Melalui seminar ini diharapkan dapat membagikan keilmuan paliatif bagi perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam perawatan paliatif.

sumber: www.merdeka.com

 

Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di Dunia

Meskipun prevalensinya menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TB) di Indonesia masih terbilang tinggi. Bahkan, saat ini jumlah penderita TB di Indonesia menempati peringkat empat terbanyak di seluruh dunia.

“Indonesia peringkat empat terbanyak untuk penderita TB setelah China, India, dan Afrika Selatan. Tapi, itu karena sesuai dengan jumlah penduduknya yang juga banyak,” kata Direktur Jenderal Pengawasan Penyakit dan Pengelolaan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI Tjandra Yoga Aditama di sela-sela acara Forum Stop TB Partnership Kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Mediterania Timur, Senin (3/3/2014), di Jakarta.

Dalam forum tersebut, hadir pula Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia Khanchit Limpakarnjanarat, Executive Director of Global Fund for AIDS, Tuberculosis, and Malaria Mark Dybul, Executive Secretary of Global Stop TB Partnership Lucica Ditiu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan, dan Keluarga Berencana Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Emil Agustiono. Forum tersebut melibatkan 100 peserta dari 13 negara yang terdiri dari pengelola program TB nasional, national stop TB partnership, dan LSM terkait.

Tjandra mengatakan, prevalensi TB di Indonesia pada 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan demikian, total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000-900.000 kasus.

Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi mengatakan, Indonesia dan negara-negara lain dengan beban tertinggi penyakit TB perlu banyak belajar dari negara yang tergolong sukses menanggulangi TB. Maka dari itu, pembentukan forum diskusi untuk berbagi informasi tentang situasi terkini, pelaksanaan, dan tantangan dalam upaya melibatkan kemitraan yang luas dan program penanggulangan TB penting untuk dilakukan.

“Kerja sama antarnegara untuk memperluas dan memperkuat penanggulangan TB juga perlu dilakukan. Tidak hanya kerja sama soal dana, tetapi juga inovasi agar tiap orang bisa terbebas dari TB,” ujarnya.

Nafisah menegaskan, TB dapat dicegah dan diobati, tergantung kepada perilaku seseorang. Menurut dia, selama seseorang menjalani hidup bersih dan sehat, ada banyak penyakit yang bisa dicegah, termasuk TB.

Selain itu, ia juga menekankan pada pentingnya berobat sedini mungkin. Jika terjadi batuk, perlu dicurigai dan diperiksakan. Apabila benar TB, bisa segera diobati. Semakin cepat diobati, kemungkinan kesembuhannya pun besar.

sumber: health.kompas.com

 

Melongok Bisnis Wisata Kesehatan Malaysia

Berbicara mengenai wisata kesehatan, Indonesia sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Negeri Jiran tersebut begitu serius menggarap potensi wisata kesehatan, terutama sejak 10 tahun terakhir.

Salah satu rumah sakit yang memiliki jaringan terbesar dalam wisata kesehatan ialah KPJ Healthcare Berhard, anggota Johor Corporation, milik pemerintahan Johor yang sudah berdiri sejak 1981.

Ilya Arifin, Head, Health Tourism Indonesia dan Group Marketing and Corporation Communication KPJ Healthcare Berhard mengatakan pengembangan wisata kesehatan oleh Healthcare Berhard sudah berjalan sejak sekitar 10 tahun yang lalu.

“Perkembangan health tourism ini sudah mulai terlihat sejak 10 tahun terakhir dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 25% hingga 45% per tahun,” ucapnya ditemui di sela pameran Indonesia Travel and Holiday Fair 2014 yang diselenggarakan sejak Jumat (28/2) hingga Minggu (2/3) di JCC Senayan.

Hingga saat ini, grup yang memiliki 24 jaringan rumah sakit spesialis di Malaysia dan Singapura, serta 2 rumah sakit di Indonesia ini, telah melayani lebih dari 2,5 juta pasien setiap tahunnya yang terdiri dari 2,4 juta pasien rawat jalan, dan sisanya pasien rawat inap.

Pasien tersebut berasal dari berbagai negara, dan dari 20 negara terbanyak yang melakukan perawatan kesehatan di sana, Indonesia menempati posisi pertama yang didominasi oleh masyarakat dari Sumatra seperti Medan, Aceh, Pekanbaru, Batam. Sementara itu, sisanya dari negara Asean lainnya seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand.

Bisa dibayangkan, hanya dari satu rumah sakit saja, negara tersebut sudah mampu mendatangkan 2,5 juta pasien yang sekaligus menjadi wisatawan. Belum lagi, dari setiap pasien biasanya membawa teman atau keluarga.

“Pasien dari Indonesia paling banyak. Adapula yang berobat hanya 3 orang, tetapi yang datang ada 10 orang, mereka membawa keluarganya, dan perawat. Kami banyak bekerja sama dengan maskapai penerbangan dan travel agent untuk mengembangkan health tourism ini,” ucapnya.

Pada 2012 lalu, grup rumah sakit tersebut mampu membukukan pendapatan lebih dari RM2 miliar (Rp7 triliun) dengan laba sebelum zakat dan pajak RM196,9 juta (Rp697 miliar).

Sementara itu, di Indonesia saat ini masih terus dalam proses pembahasan dan sebatas demo. Belum ada langkah konkret baik dari pihak rumah sakit maupun pemerintah untuk meningkatkan dan mempersiapkan diri baik dari segi kualitas pelayanan dan kesehatan.

Padahal, sudah ada dua rumah sakit yang sebetulnya akan disiapkan untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata kesehatan yakni Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung dan Rumah Sakit Dr. Cipto di Jakarta.

“Potensi kita sebetulnya sangat besar dan perlu untuk dikembangkan. Sudah mulai banyak pula fasilitas medical yang modern tetapi kalau dari rumah sakitnya sendiri belum siap dari kualitas pelayanan, akan sulit bagi kami para travel agent untuk mempromosikannya dalam paket wisata,” ucap Asnawi Bahar, President Association of The Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita).

Sementara itu CEO National Hospital Rudi Surjanto mengatakan siap untuk bersaing dengan rumah sakit internasional termasuk rumah sakit di Malaysia. “Rumah sakit Nasional Hospital ini akan terus melengkapi berbagai kesehatan dengan teknologi modern. Kami berharap semua fasilitas yang kami sediakan bisa memberi layanan kepada pasien lokal agar tak perlu lagi untuk pergi ke luar negeri,” kata Rudi.

Ditanya tentang peluang menjadi salah satu destinasi wisata kesehatan di Surabaya Rudi mengaku punya keinginan tersebut. Salah satu upaya dengan terus melengkapi fasilitas yang ada termasuk perencanaan pembangunan hotel serta keberadaan fasiltas restoran yang terlebih dulu ada.

Rumah sakit bertaraf internasional ini dibangun PT Surabaya Jasa Medika, yakni sebuah perusahaan patungan antara PT Istana Mobil Surabaya Indah dengan PT Grande Family View (salah satu anak perusahaan PT Intiland Development Tbk).

“Salah satu misi utama pembangunan Nasional Hospital agar warga Surabaya dan kota lainnya tidak perlu lagi berobat ke negara lain. Dengan berobat disini kan bisa membantu negara agar devisa tidak lari ke luar negeri,” katanya. sh,bn

sumber: www.surabayapagi.com 

 

Jenis Obat Palsu Bertambah

Perdagangan obat palsu dan ilegal marak terjadi di Indonesia. Obat-obat palsu tidak hanya mencakup obat penambah vitalitas, tetapi juga obat malaria, diabetes, dan antibiotik.

“Data regional menunjukkan, obat-obatan penahan rasa sakit, antibiotik, malaria, dan diabetes paling sering dipalsukan,” kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake dalam pidato pembukaan acara Edukasi Bahaya Obat Palsu dan Kosmetik Palsu Melalui Iklan Layanan Masyarakat, di Jakarta, Rabu (26/2/2014). Acara ini melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan.

Kepala BPOM Roy Sparringa mengatakan, obat-obatan yang paling banyak dipalsukan di Indonesia adalah obat disfungsi ereksi, pelangsing badan, penurun kolesterol, dan pemutih kulit. Selain itu, obat yang seharusnya dibeli berdasarkan resep dokter juga dipalsukan dan dijual di warung-warung.

Ini terbukti dalam Operasi Storm yang dilakukan Satuan Tugas Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal BPOM di Jayapura, Kupang, Ambon, dan Jakarta. Dari keempat daerah endemik malaria tersebut, satuan tugas menyita obat-obat malaria palsu dan ilegal bernilai total Rp 5,7 miliar dari warung-warung eceran. Pada tahun 2013, BPOM telah memusnahkan 19.041 jenis obat palsu dan ilegal.

Di bawah standar

Obat palsu yang meniru produk obat yang dikeluarkan produsen resmi biasanya tidak mengandung zat aktif yang dikandung obat asli dan terbuat dari bahan-bahan berkualitas di bawah standar. Obat ilegal adalah obat yang tidak terdaftar di Kementerian Kesehatan dan BPOM. Baik obat palsu maupun ilegal berbahaya bagi kesehatan karena tidak menyembuhkan penyakit dan bahkan bisa menyebabkan kematian.

Obat palsu memiliki banyak konsumen karena berharga murah. Obat-obatan palsu diproduksi di dalam dan luar negeri. Cara obat palsu masuk Indonesia adalah melalui daerah perbatasan, pelabuhan “tikus”, atau dititipkan melalui kerabat yang pergi ke luar negeri. “Tantangan terberat berada di sektor daring (online). Meski berkali-kali digerebek, selalu muncul situs-situs baru penjual obat palsu,” kata Roy.

Masyarakat bisa memastikan keaslian obat dengan cara membeli di tempat-tempat resmi, seperti apotek dan rumah sakit. Selain itu, konsumen juga harus memeriksa tanggal kedaluwarsa, nomor izin BPOM, dan alamat produsen. Cara memastikan keaslian nomor izin bisa dilakukan dengan mengakses situs www.pom.go.id. (A15)

sumber: health.kompas.com

 

 

BPOM: Waspadai Obat serta Kosmetik Palsu di Internet

Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan Roy Sparingga meminta masyarakat menghindari membeli produk obat-obatan atau kosmetik tanpa izin yang dijual melalui situs maupun toko online di internet.

Roy Sparingga mengatakan bahwa obat dan kosmetik yang dijual secara online belum tentu mengantongi izin dari BPOM dan mengandung risiko berbahaya bagi penggunanya.

“Jangan beli secara online. Bahaya sekali. Belilah di tempat-tempat yang legal (mempunyai izin),” kata Roy usai memberikan sambutan dalam acara peluncuran kompetisi iklan layanan masyarakat tentang peredaran obat-kosmetik palsu di pusat kebudayaan Amerika Serikat, @America, Rabu (26/2).

Obat palsu bisa mengandung berbagai macam unsur yang bahkan tidak memiliki khasiat untuk pemakainya dan dalam kondisi ekstrem bisa menyebabkan kematian.

Penampilan fisik obat dan kosmetik yang sangat mirip dengan aslinya dan harga yang lebih murah bisa menimbulkan dampak negatif pada penggunanya setelah penggunaan berulang-ulang dalam jangka waktu lama.

Obat-obat tersebut biasanya hanya mengandung tepung, placebo, dan kandungan-kandungan di bawah standar selain sanitasi dalam pembuatannya yang tidak bagus, kata Roy.

Menurut Roy, BPOM bekerja sama dengan pihak Interpol dalam Operasi Pangea pada 18-25 Juni 2013 berhasil mengamankan obat-obatan tanpa izin senilai Rp5,6 miliar serta menggeledah 20 sarana penjualan di Indonesia, 14 di antaranya sudah diproses hukum.

Sementara itu, sebanyak 129 situs jual beli obat online juga diblokir oleh BPOM bekerja sama dengan unit kejahatan siber (cyber crime) dari Polri.

“Transaksi elektronik itu rumit, oleh karena itu kami akan bekerjasama dengan PPATK untuk menelusurinya,” kata Roy.

Masih maraknya toko-toko obat online tanpa izin itu disebabkan karena masih tingginya permintaan masyarakat akan obat dan kosmetik yang murah.

Obat-obatan ilegal tersebut bisa beredar antara lain karena lemahnya pengawasan di pintu-pintu gerbang masuk ke Indonesia.

Obat tanpa izin bisa dimasukkan ke dalam tas atau “tentengan” yang lolos pemeriksaan di bandara, maupun di pelabuhan-pelabuhan tikus atau daerah perbatasan, dan bisa juga melalui jalur resmi dengan cara memalsukan dokumen, kata Roy.

Obat yang masuk ke Indonesia itu legal jika mempunyai nomer izin edar dan surat keterangan impor, kata dia.

Selain dibawa dari luar Indonesia, obat palsu maupun ilegal juga diproduksi di sejumlah daerah seperti Medan, Aceh, Jambi, Bandung, dan Jakarta, kata Roy.

Sementara itu Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna Buenastuti mengatakan masyarakat sebaiknya membeli obat maupun kosmetik di tempat-tempat yang mempunyai izin.

“Kalau membeli di apotek, hak kita sebagai konsumen terjaga. Jika membeli di luar, hak kita sebagai konsumen tidak terjaga,” kata Widya.

Apa bila konsumen sudah membeli obat di tempat yang berizin namun menemui obat dengan pengemasan yang beda dan mencurigakan, konsumen bisa menanyakan ke apoteker maupun nomer layanan konsumen yang tertera pada kemasan obat.

“Masyarakat bisa mencari tahu obat itu diproduksi dan didistribusi oleh perusahaan apa,” kata Widya.

Menurut riset VIctory Project yang dilakukan di empat wilayah yang meliputi Jabodetabek, Bandung, Surabaya-Malang, dan Medan, dengan Sildenafil sebagai sampel obat yang dibeli, menunjukkan tingkat pemalsuan obat tersebut mencapai 45 persen dari 518 tablet yang diperoleh dari 157 outlet.

Ke-157 outlet yang dilibatkan dalam survey merupakan apotek, toko obat, penjual di pinggir jalan serta tiga situs yang menawarkan pembelian secara online.

sumber: www.beritasatu.com

 

Menkes : Presiden Sudah Setujui Ratifikasi FCTC

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyetujui rencana ratifikasi konvensi internasional tentang pengendalian tembakau (FCTC). “Presiden sudah setuju, sekarang dalam proses menuju ratifikasi,” kata Nafsiah di kantornya, Selasa, 25 Februari 2014.

Menurut Nafsiah, saat ini sudah ada kesepahaman bersama antar kementerian tentang perlunya ratifikasi. Pemerintah tinggal menyusun beberapa kebijakan teknis yang bakal diberlakukan setelah ratifikasi ditandatangani. Misalnya kebijakan untuk melindungi petani tembakau dan buruh industri rokok.

Presiden, kata Nafsiah, sejak awal sudah menyatakan dukungan terhadap ratifikasi konvensi ini. Namun diakui Nafsiah, dukungan resmi berupa penandatangan naskah belum dilakukan. Dia membantah adanya lobi dari industri rokok, agar presiden tak jadi tanda tangan.

Nafsiah berharap, rencana ratifikasi ini tak lagi dipersoalkan publik. Dia yakin tak ada pihak yang dirugikan. “Justru ratifikasi ini untuk melindungi kepentingan banyak orang.”

Ratifikasi konvensi pengendalian tembakau hingga kini masih memunculkan pro dan kontra. Sejumlah pengusaha tembakau dan asosiasi yang mengatasnamakan petani tembakau menentangnya. Saat ini Indonesia merupakan satu dari dua negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi.

sumber: www.tempo.co

 

 

Dokter masih Abaikan Obat Herbal

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluhkan sikap mayoritas dokter yang masih skeptis atas penggunaan jamu dan obat herbal tradisional sebagai bagian dari kegiatan medis.

Padahal, sudah banyak obat herbal terstandar (OHT) dan obat herbal berfitofarmaka yang terbukti secara ilmiah khasiatnya setara dengan obat konvensional.

Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Agus Purwadianto mengatakan belum optimalnya pemanfaatan jamu, OHT, dan fitofarmaka itu tecermin dengan fakta bahwa hingga kini baru 36 rumah sakit dan 20% sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan tradisional, pengobatan alternatif, dan komplementer.

“Padahal Indonesia punya 30 ribu jenis tumbuhan herbal. Dari jumlah itu, 9.600 di antaranya berkhasiat sebagai bahan obat,” keluhnya.

Untuk lebih mengenalkan obat herbal, Kemenkes melakukan program pengilmiahan jamu sejak empat tahun lalu.

Saat ini, telah dilatih 160 dokter untuk pemanfaatan obat tradisional dan 20 apotek yang menjual obat herbal.

Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia Zaenal Abidin mengamini pemanfaatan obat herbal perlu dikenalkan ke dokter. Apalagi, tren pengobatan saat ini ialah back to nature.

Senada dengan itu, Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Irwan Hidayat menegaskan publik tidak perlu khawatir untuk memanfaatkan obat herbal. Pasalnya, produksi obat herbal di Indonesia sudah memenuhi kriteria cara pembuatan obat yang benar setara dengan obat konvensional.

Sido Muncul, lanjut Irwan, adalah salah satu perseroan farmasi yang mengenalkan obat herbal di dunia medis.

Selain dengan IDI, pihaknya menjalin kerja sama dengan Perhimpunan Dokter Herbal Medik dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan obat herbal tersebut ke berbagai kota di Indonesia. (Cornelius Eko)

sumber: www.metrotvnews.com

 

Perokok Remaja Naik Jadi 17,9 Persen akibat Pemerintah Tidak Tegas

Jumlah perokok usia remaja, yaitu rentang usia 10-14 tahun, di Indonesia terus meningkat. Dalam sepuluh tahun ini telah meningkat dari 9 persen menjadi 17,9 persen.

Data memprihatinkan itu diungkap Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Prijo Sidi Pratomo kepada wartawan di sela-sela kampanye “Sudah Waktunya Melek Bahaya Rokok” di Car Free Day Dago, Jalan Ir Djuanda, Minggu (23/2).

Menurut catatan Prijo Sidi, usia perokok yang berusia anak yaitu 10-14 tahun mengalami peningkatan 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir ini.

“Yang merokok pada usia 10 sampai 14 tahun sebelumnya 9 persen, dan sekarang naik menjadi 17,9 persen. Meningkatnya jumlah perokok remaja ini mengancam angkatan muda produktif Indonesia di masa yang akan datang,” kata Prijo Sidi.

Ia menjelaskan, Indonesia pada tahun 2038 akan mempunyai bonus demografi yang besar dimana akan ada 68 persen usia produktif pada tahun itu. “Namun aset itu kalau tidak dijaga hanya akan sia-sia,” ujar Prijo.

Apalagi jika generasi muda usia produktif itu justru tidak produktif sebagaimana mestinya akibat gangguan kesehatan yang dialami. Salah satunya yaitu karena dampak dari merokok.

Menurut World Health Organization (WHO), jumlah perokok Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebanyak 4,8% dari 1,3 miliar perokok di dunia dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.

Bahkan, kebiasaan merokok di kalangan anak pun meningkat pesat dalam 10 terakhir ini dimana Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa 34,7% penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas adalah perokok.

Tidak Tegas

Terkait masalah rokok yang memprihatinkan itu, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia dr Marius Widjajarta mengatakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan tidak tegas dalam menegakkan peraturan tentang pengendalian terhadap perokok.

“Masih serba tanggung. Di satu sisi pemerintah sudah punya aturan larangan merokok, tapi di sisi lain pemerintah tidak bisa membatasi masuknya tembakau. Buktinya, pemerintah belum juga meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), atau perjanjian internasional yang mengatur pengendalian tembakau,” kata dr Marius menjawab Suara Karya terkait makin meningkatnya perokok usia 10 – 14 tahun.

Kalau Indonesia sudah meratifikasi FCTC, kata dr Marius, akan banyak pengaruh yang dirasakan, khususnya dalam menekan angka perokok. Karena dalam FCTC ini terdapat aturan ketat yang harus ditaati, misalnya pembatasan iklan rokok, melarang generasi muda merokok, melindungi para perokok pasif dari bahaya asap rokok dan larangan perdagangan illegal produk tembakau.

“Contoh yang gampang, iklan rokok kan dibatasi pada jam-jam tertentu atau setelah jam 22.00, tapi kenyataannya mereka bisa masuk pada setiap saat, melalui iklan sepak bola, event olah raga dan lain-lain,” kata Marius.

Saat ini, sebanyak 177 negara dunia sudah meratifikasi dan mengaksesi FCTC. Sebanyak 9 negara sudah menandatangi tapi belum lakukan ratifikasi. Sedangkan Indonesia menjadi 1 dari 7 negara dunia yang belum meratifikasi. Padahal sejak awal disusun 1999, Indonesia termasuk negara yang aktif dalam negosiasi.

Pemerintah, kata Marius, masih beranggapan rokok sebagai sumber besar pendapatan negara, dengan kalkulasi sempit yang diperoleh dari pajak cukai rokok. “Pemerintah tidak melakukan kalkulasi atas dampak yang ditimbulkan dari rokok,” katanya.

Kegiatan kampanye ‘Sudah Waktunya Melek Bahaya Rokok’ itu dicetuskan Komnas PT dan terselenggara atas dukungan Kementerian Kesehatan RI serta Komunitas Anti Rokok (KAR) Bandung, Ikatan Seluruh Mahasiswa Kesehatan (Ismakes) Jabar, dan Satuan Petugas Penanggulangan Bencana Wabah dan Penyakit (Satgas PBWP) ini bertujuan menggalang dukungan masyarakat untuk saling melindungi dari bahaya merokok melalui pengawasan implementasi peringatan bergambar pada kemasan rokok pada Juni 2014. (Ant/Sadono)

sumber: www.suarakarya-online.com

 

Rp.6 Miliar Untuk Kesehatan Gratis Bagi

KBRN, Sumenep: Masih banyaknya warga miskin di Sumenep, Madura, Jawa Timur, yang tidak tercaver Program Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek mendapat perhatian Pemkab setempat.

Pemkab Sumenep melalui Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran sebesar Rp6 Miliar pelayanan kesehatan gratis khususnya bagi warga yang tidak mengantongi askes, jamkesmas, termasuk jamsostek.

“Sesuai Peraturan Bupati Nomer 4 2014 itu, dana tersebut diperuntukkan secara khusus bagi warga yang bukan peserta askes, jamkesmas dan jamsostek,” terang Kepala Dinkes Sumenep, Riska Anugera Rahadi, Kamis (20/2/2014).

Dijelaskannya dengan anggaran Rp6 Miliar itu, Pasien miskin khususnya Puskesmas dan Rumah Sakit Kelas 3 B, baik rawat inap maupun rawat jalan tidak dipungut sepersenpun, termasuk untuk kebutuhan obat.

“Anggaran Rp6 Miliar itu dalam rangka mendukung program Bupati mengenai pelayanan kesehatan gratis,” kata Riska.

Mantan Kepala Bidang Evaluasi dan Informasi RSUD Sumenep ini memastikan, warga miskin dipastikan tidak akan dipersulit untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis itu karena persyaratannya cukup mudah.

Selama pasien tersebut tidak tercaver dalam askes, jamkesmas dan jamsostek, maka pasien cukup melampirkan surat keterangan miskin dari Kepala Desa setempat untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis.

“Kedepan, tidak ada istilahnya pasien miskin miskin yang tidak terelayani karena tidak mempunyai biaya. Semua gratis dengan catatan ada keterangan miskin dari Kepala Desa,” pungkas Riska. (Faisal W/BCS).

sumber: rri.co.id