Ke Depan, Takkan Ada Lagi Dokter Umum

Selama ini, dokter umum merupakan istilah yang digunakan untuk dokter dapat mengobati semua penyakit dan paling mudah dijumpai di layanan kesehatan primer seperti puskesmas ataupun klinik. Namun, dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), istilah tersebut akan ditiadakan.

“Ke depannya tidak ada lagi dokter umum, melainkan diganti dengan dokter layanan primer,” ujar Manajer Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Pradana Soewondo dalam Quo Vadis Dokter Indonesia, Sabtu (11/1/2014) di Jakarta.

Kendati demikian, lanjut dia, dokter layanan primer tidaklah sama dengan dokter umum. Sebaliknya, dokter layanan primer memiliki tingkat kompentensi yang lebih tinggi dibanding dokter umum dan setara dengan dokter spesialis.

Pradana menjelaskan, untuk mendapatkan kompetensi sebagai dokter layanan primer, dibutuhkan pendidikan lanjutan seperti halnya dokter spesialis. Namun, dengan mengharuskan setiap dokter yang memberi pelayanan di tingkat primer mengambil pendidikan lanjutan, sebelum praktik dokter membutuhkan waktu yang lebih panjang dari sebelumnya.

“Dari yang semula sejak tahap akademik hingga internship membutuhkan tujuh setengah hingga delapan tahun, dengan adanya pendidikan lanjutan mungkin akan lebih panjang lagi,” kata Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI ini.

Karena itu, Pradana menekankan pentingnya pendidikan non-formal seperti sertifikasi dan pelatihan-pelatihan. Langkah ini bermanfaat untuk menambah jumlah dokter layanan primer dengan waktu yang relatif cepat, mengingat program JKN sudah berjalan.

Menurut dia, perlu dibuat revisi pendidikan dokter sehingga dalam jangka waktu lima hingga lima setengah tahun saja, tahap akademik, profesi, hingga internship bisa selesai dan dilanjutkan dengan pendidikan dokter layanan primer.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar di Bidang Kesehatan Masyarakat Sudarto Ronoatmodjo mengatakan, diperlukan pembentukan standar kompetensi pendidikan dokter layanan primer dengan segera. Pasalnya, tidak mungkin selamanya pendidikan dokter layanan primer hanya diperoleh melalui jalur non-formal.

“Di tahun 2014 sampai 2019 mungkin pendidikan dokter layanan primer bisa diperoleh melalui jalur non-formal. Namun, selebihnya perlu ada pendidikan formal dengan standar kompetensi yang jelas sehingga targetnya pada 2030 jumlah dokter layanan primer sudah cukup dengan kualitas yang baik,” paparnya.

Sementara itu, kendati tingkat kompetensi dokter layanan primer setara dengan dokter spesialis, tetapi jenis kompetensi keduanya berbeda. Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia Sugito Wonodirekso menjelaskan, kompetensi dokter layanan primer meliputi kontak pertama dan langsung dengan pasien dapat mendiagnosis semua macam penyakit, gejala penyakit, usia, kelamin, dan ikut berperan dalam pencegahan penyakit secara umum.

Sedangkan dokter spesialis hanya menindak penyakit-penyakit tertentu yang sesuai dengan spesialisasinya. Dokter spesialis juga perlu kompeten dalam melakukan tindakan invasif terhadap pasien.

“Sebagai contoh, dokter layanan primer boleh saja mempelajari tentang jantung hingga tingkat molekuler, tetapi tetap tidak boleh melakukan tindakan kateterisasi. Yang berwenang melakukannya adalah dokter spesialis jantung dan pembuluh darah,” terangnya.

sumber: health.kompas.com

 

Indonesia-Bill Gates Foundation Kerja Sama Kesehatan

Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono mengatakan Indonesia tengah menjajaki kerja sama dengan Yayasan Bill dan Melinda Gates atauBill dan Melinda Gates Foundation di bidang kesehatan.

“Yayasan Bill dan Melinda Gates akan membantu Indonesia dalam beberapa bidang kesehatan,” kata Agung Laksono usai pertemuan dengan Yayasan Bill dan Melinda Gates dan Mayapada Grup di Kantor Kemenkokesra, Kamis malam.

Dia menjelaskan, Yayasan Bill dan Melinda Gates berencana memberikan bantuan pembangunan infrastruktur dalam bidang kesehatan.

“Khususnya untuk menangani penyakit menular HIV AIDS, Tuberkulosis (TB) dan Malaria serta perkembangan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia,” katanya.

Agung menambahkan, untuk menyukseskan program tersebutYayasan Bill dan Melinda Gatesmengajak pengusaha lokal untuk berbagi program pemberantasan penyakit tersebut di Indonesia.

Agung mengakui, Indonesia masih terus berupaya memberantas HIV/AIDS, TB dan malaria.

“Indonesia juga terus melakukan optimalisasi program keluarga berencana mengingat laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah pesat,” katanya.

Karena itu, kata Agung, Indonesia menyambut baik bila ada pihak yang ingin membantu pemerintah dalam pengentasan beberapa penyakit sekaligus menyukseskan program keluarga berencana.

Dikatakan Agung, Bill and Melinda Gates Foundation akan memberikan sumbangan sebesar 100 juta dolar AS.

Selain itu Tahir Foundation juga akan membantu 100 juta dolar AS.

Program pemberantasan sejumlah penyakit tersebut, kata Agung, ini, akan dilaksanakan selama tiga tahun mendatang.

sumber : www.republika.co.id

 

25% Orang Dewasa di Indonesia Menderita Hipertensi

Menurut Riskedas 2013 lebih dari 25% orang Indonesia yang berusia di atas 18 tahun menderita penyakit darah tinggi (hipertensi). Namun, yang mengkhawatirkan, dari jumlah tersebut, yang menyadari menderita hipertensi (melalui diagnosis tenaga kesehatan dan/atau meminum obat) tidak sampai 10%.

“Pada dasarnya gejala hipertensi bervariasi, di antaranya pusing, leher atau pundaknya pegal, demam, dan sebagainya. Namun, banyak juga yang tidak ada gejala khas. Dengan begitu, diperlukannya perilaku CERDIK, yakni: Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok dan polusi udara lainnya, Rajin aktivitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres,” ujar Dr Ekowati Rahajeng, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemkes RI pada Temu Media dan Workshop Pengendalian Hipertensi di Jakarta, Rabu (8/1).

Dr Ekowati menambahkan, perilaku CERDIK tersebut perlu ditingkatkan dan digencarkan, terutama sosialisasi ke daerah-daerah sub urban.

“Dari tahun 2007 sampai 2013 perbandingan penderita hipertensi antara yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan cukup tinggi. Tidak diduga bahwa warga desa atau kota kecil lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan yang tinggal di kota besar,” lanjut Dr Ekowati.

Menurut Riskesdas 2007 penduduk desa secara umum yang menderita hipertensi sebesar 32,2%, sedangkan yang di perkotaan 14,1%. Untuk data tahun 2013 yang masih belum bisa dipublikasikan, memiliki perbandingan yang tidak jauh berbeda.

“Mie instan dan makanan-makanan berpengawet lain sudah banyak tersedia di desa-desa. Perubahan gaya hidup itulah yang diduga menjadi faktor utama penyebab hipertensi bagi penduduk desa,” imbuh Dr Ekowati.

Menurutnya, orang suka salah mengartikan seperti, makanan yang bersantan dan berlemak tinggi menjadi faktor utama penyebab hipertensi. Padahal, kalori yang dikonsumsi secara berlebihanlah yang mejadi pemicu.

“Tidak ada makanan tertentu yang menjadi penyebab hipertensi. Semua itu bila dikonsumsi berlebihan tentu akan berisiko,” tandasnya.

Dengan begitu, Kemkes, PT Novartis Indonesia dan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (PKEKK UI) bekerjasama untuk menjalankan program intervensi kesehatan masyarakat ke beberapa puskesmas di daerah sub urban, yakni kabupaten Bogor.

“Kita pasti akan meningkatkan kegiatan preventif ke desa-desa, salah satunya melalui program ini. Karena terbukt terjadinya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai hipertensi setelah dilakukannya intervensi,” kata Dr. Ekowati.

Dikatakannya bahwa peningkatan kesadaran jadi lebih baik dari masyarakat, yaitu mencapai 76%, sebelum dilakukan intervensi angkanya sekitar 65%.

Di dalam program tersebut akan dilakukan berbagai workshop dan kegiatan seperti permainan untuk menambah wawasan dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit yang sering disebut silent killer ini.

sumber: www.beritasatu.com

 

Menkes Sedih Indonesia Gagal Aksesi FCTC pada 2013

Gagalnya pemerintah Indonesia mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada 2013 membuat Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sedih dan prihatin.

“Sementara jangan tanyakan itu (FCTC). Itu membuat saya sedih,” katanya usai melantik Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes Anung Sugihantono, Selasa (7/1).

Menkes tetap menolak saat awak media mengejar perkembangan terakhir rencana aksesi FCTC.

Padahal sebelumnya Menkes begitu optimis bahwa aksesi FCTC bisa dilakukan oleh pemerintah pada akhir 2013. Mengingat rencana aksesi FCTC sudah mendapatkan lampu hijau dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tak hanya itu, sikap tiga kementerian yang semula menolak mentah-mentah rencana aksesi FCTC yakni Kementerian Perindustrian,

KementerianPerdagangan dan Kementerian Tenaga Kerja sudah mulai melunak menjelang akhir 2013. Bahkan dalam rapat koordinasi yang dipimpin langsung Menko Kesra Agung Laksono sudah diperoleh sinyal kuat bahwa aksesi FCTC bakal segera dilakukan pemerintah RI.

Tetapi nyatanya hingga 2013 berakhir, aksesi FCTC tersebut gagal dilakukan pemerintah. DPR RI tak berhasil mengeluarkan UU dan Presiden juga tak kunjung menerbitkan Kepres sebagai landasan hukumnya.

Terkait adanya perjuangan industri rokok untuk menggoalkan RUU Pertembakauan, Menko Kesra Agung Laksono mengingatkan bahwa Indonesia sudah memiliki PP 109 tahun 2012 terkait pengaturan tembakau.

“Kita laksanakan dulu aturan yang sudah ada, lalu kita bicara juga aksesi FCTC,” jelasnya.

Untuk menggoalkan RUU Pertembakauan kata Agung bukan masalah gampang. Karena DPR RI tetap harus meminta pendapat dan masukan dari pemerintah.

“Jadi tidak bisa jalan sendiri. Harus ada koordinasi antara DPR RI dengan pemerintah,” pungkas Agung. (inung/d)

sumber: www.poskotanews.com

 

Pencabutan Perpres demi “kesehatan” bersama

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 105 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Paripurna kepada Menteri dan Pejabat Tertentu dan Perpres Nomor 106 tahun 2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara.

Alasan pencabutan Perpres itu, Presiden menilai, sudah tidak diperlukan lagi menyusul diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Peyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Pencabutan atau pembatalan kedua Perpres tersebut disampaikan sendiri oleh Presiden SBY dalam keterangan persnya seusai rapat terbatas kabinet di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (30/12).

Ramainya penolakan dua Perpres tersebut membuat Presiden Yudhoyono mengambil sikap dengan membatalkan Perpres itu.

Rapat terbatas di Istana Bogor tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Boediono serta sejumlah menteri dan pejabat, diantaranya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto.

Juga hadir Menteri Kesehatan Nafsih Mboi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin.

Sebelum dicabut, dua Perpres mendapat sorotan media mengingat para pejabat dinilai mendapatkan pelayanan asuransi kesehatan khusus dan istimewa, dikecualikan dalam program jaminan kesehatan BPJS (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial) bidang kesehatan yang akan di mulai 1 Januari 2014.

“Kami juga mendengar kuatnya persepsi seolah ini diistimewakan, dianggap kurang adil, maka saya putuskan kedua perpres itu saya cabut dan tidak berlaku, karena semua akan diatur dalam BPJS dan SJSN Insya Allah akan dibelakukan pada 1 Januari 2014,” kata Presiden di Istana Bogor.

Kebijakan tersebut diambil Presiden Yudhoyono seusai mendengarkan pemaparan dan masukan dalam rapat kabinet terbatas untuk mengecek persiapan dan kesiapan pelaksanaan BPJS bidang kesehatan.

Presiden dalam kesempatan itu mengatakan, seiring dengan dibelakukannya BPJS bidang kesehatan maka seluruh pejabat dan juga keluarganya akan turut serta dalam program tersebut.

“Kami berpendapat karena kita sudah punya sistem BPJS, kita integrasikan di situ, tidak perlu pengaturan secara khusus,” kata Presiden.

Dalam kedua produk aturan itu sebelumnya diantaranya mencantumkan maksud dari pelayanan paripurna kesehatan kepada para pejabat negara, termasuk pelayanan asuransi kesehatan rumah sakit di luar negeri yang akan diganti oleh negara.

Ketua DPR Marzuki Alie mendukung keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 105 dan 106 tahun 2013 tentang fasilitas berobat ke luar negeri bagi para pejabat negara.

“Ya kita untuk menghilangkan polemik jadi batalkan saja,” ujar Marzuki di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Selasa (31/12/2013).

Dia mengatakan, sebenarnya fasilitas pengobatan ke luar negeri bagi para pejabat negara sudah diatur dalam UU sebelumnya.

Agamawan dan tokoh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A. Hasyim Muzadi mengatakan, mendesak pemerintah untuk mencabut Perpres 105 tahun 2013 dan 106 tahun 2013 yang memberikan fasilitas berobat gratis kepada pejabat negara hingga ke luar negeri.

“Memberikan fasilitas keuangan negara kepada pejabat negara secara berlebihan di tengah kemiskinan ekonomi rakyat serta derita karena bencana alam adalah sebuah kedzaliman,” katanya, melalui pesan elektroniknya.

Kedua perpres itu dinilainya, menyakiti nurani rakyat yang pada umumnya masih menderita dan dapat menjadi pemicu perlawanan rakyat.

“Para penyelenggara negara dan pejabat publik yang masih punya rasa tanggung jawab kepada rakyat hendaknya ada yang menolak fasilitas berlebihan tersebut, sekalipun jumlah pejabat seperti itu pasti sangat minoritas,” katanya.

Seandainya pejabat negara meninggal dunia karena sakit, menurut dia, maka biarlah sang pejabat itu meninggal di Tanah Air bersama rakyat yang mengantarkannya menjadi pejabat.

“Perlu diingat pula, saat ini menjelang pileg (pemilu legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden), maka Perpres 105 dan 106 akan menambah rasa kejengkelan rakyat kepada penyelenggara negara,” katanya.

Oleh karena itu, mantan Ketua Umum PBNU yang dikenal dekat dengan tokoh lintas agama itu menyarankan kepada pemerintah, agar mencabut Perpres 105 dan 106 tahun 2013 demi keselamatan bersama.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga meminta pemerintah untuk mencabut Perpres Nomor 105 dan 106 tahun 2013 yang memberikan fasilitas berobat gratis kepada pejabat negara hingga ke luar negeri.

“Kita mengecam Perpres ini. Kita minta perpres itu dicabut sebelum dilaksanakan karena uang kita terancam dipakai pejabat,” kata Said pada Refleksi Akhir Tahun 2013 di Jakarta.

Dia mengatakan, sebanyak 10,3 juta orang miskin pasti ditolak berobat karena tidak masuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan alasan tidak ada anggaran.

“Tapi, kenapa ada hak istimewa bagi pejabat untuk berobat gratis ke luar negeri. Kalau bicara kepentingan dirinya tidak ada alasan tidak cukup anggarannya tapi untuk 10,5 juta orang miskin tidak ada,” kata Said.

Iqbal menegaskan, jika ada pejabat dan keluarganya yang berobat ke luar negeri gratis, pihaknya akan mendatangi rumah pejabat tersebut.

“Kalau perlu kita gerebek rumahnya karena uang kita dipakai,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia meminta Perpres tersebut dicabut karena dalam jaminan kesehatan semua masyarakat memiliki hak yang sama karena mereka membayar iuran dan tidak ada diskriminasi.

“Sekali berobat ke luar negeri berapa ratus orang bisa diselamatkan,” demikian Said Iqbal.

Jaminan kesehatan menjadi salah satu isu utama yang dituntut oleh kalangan buruh agar pemerintah menjalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat pada 1 Januari 2014 tanpa ada kelas-kelas lagi. (*)

sumber: www.antaranews.com

 

IDI Minta Pemerintah Perbaiki Regulasi dan Sarana Kesehatan

Meskipun ada beberapa rumah sakit di daerah yang menyatakan keberatan untuk ikut program kesehatan yang ditetapkan pemerintah karena belum terlunasinya hutang, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berkomitmen untuk memprakarsai pentingnya dokter memiliki jaminan sosial.

Karena itu Ketua IDI, Dr. Zaenal Abidin menegaskan dan mendesak pemerintah untuk memperbaiki regulasi dan sarana kesehatan yang belum lengkap di beberapa daerah.

“Kelangsungan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan harus dijamin beroperasi dengan baik. IDI masih menganggap kalau iuran terlalu rendah. Kami tidak ingin BPJS colaps, tapi biaya ini sangat menentukan,” kata Zaenal yang ditemui di kantor BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta, Kamis (2/1/2014).

Menurut Zaenal, regulasi yang baik akan mendukung praktik kedokteran yang baik. Dan dari segi perlindungan hukum, regulasi pun harus ada perlindungan hukumnya.

Untuk itu, IDI berharap BPJS dapat mengajak seluruh profesi di dalamnya seperti IDI, IBI (Ikatan bidan Indonesia), PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), Persi (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) serta IAI ( Ikatan Apoteker Indonesia) agar ikut melakukan sosialisasi ke daerah.

“Jangan buat kecewa masyarakat, sekali kita membuat kekecewaan, maka kita akan mengurangi kepercayaan mereka,” jelasnya.

sumber: health.liputan6.com

 

Inhocht: Kesehatan Harus Jadi Isu Besar

Tahun 2014 menjadi ajang pesta politik, perhatian banyak yang tercurah kepada kegiatan dan partai politik. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Hospital and Clinic watch (Inhotch), dr. Fikri Suadu kesehatan perlu juga dijadikan isu politik yang besar.

Hal ini dimaksudkan agar kesehatan menjadi prioritas bersama dengan memperhatikan lima kondisi kesehatan.

“Kesehatan itu perlu juga jadi isu politik yang besar supaya pemimpin berikutnya memprioritaskan kesehatan dengan memperhatikan infrastruktur fasilitas kesehatan, status gizi, HIV/AIDS, sanitasi dan air bersih serta kesehatan ibu dan anak,” kata dr. Fikri menjelaskan Senin (30/12/2013).

Dr. Fikri menambahkan, pemerintah perlu juga memperhatikan kesehatan masyarakat dan fasilitas kesehatan di perkotaan dan pedesaan.

“Dari 9005 puskesmas hanya 18,5 persen puskemas memiliki pusat obstetri dan fasilitas kesehatan untuk ibu dan anak serta masih 17,7 persen puskesmas tidak memiliki listrik 24 jam,” katanya.

Menurut dr. Fikri kesehatan masyarakat akan meningkat jika pemerintah lebih peduli terhadap kesehatan.

“Jangan mengobral janji manis tentang pendidikan, pengobatan gratis saja tetapi perlu direalisasikan juga. Dan pemerintah yang baru nanti semoga lebih peduli dan memikirkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,” ujat dr. Fikri.

Dokter Umum, dr. Betty mengatakan untuk meningkatkan derajat kesehatan di indonesia diperlukan empat faktor pendukung.

“Kalau empat faktor pendukungnya terpenuhi seperti lingkungan, genetik, perilaku masyarakat dan fasilitas kesehatan maka derajat kesehatan orang Indonesia akan tercapai,” katanya. (Mia/Mel)

sumber: health.liputan6.com

 

Indonesia Resmi Luncurkan SJSN

PEOPLE’S DAILY: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Selasa (31/12) pukul 09.00 WIB resmi meluncurkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Penerapan SJSN yang akan dioperasikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) itu dikawal oleh 12 Peraturan Pemerintah (PP) dan lima Peraturan Presiden (Perpres). Indonesia menargetkan 176 juta jiwa atau 72 persen penduduk memperoleh manfaat BPJS di awal pendiriannya.

SJSN memperlonggar batas jenis penyakit yang diberikan jaminan, misalnya flu, operasi jantung dan pengobatan kanker telah dimasukkan daftar layanan SJSN. Peserta SJSN diwajibkan membayar 2 persen dari gajinya setiap bulan, sedangkan perusahaan tempat peserta bekerja diharuskan membayar 3 persen. Kelompok miskin akan diberikan tunjangan pemerintah. Perusahaan asuransi swasta juga diizinkan untuk mengikuti SJSN. Pemerintah Indonesia akan melaksanakan 12 PP untuk mendukung penerapan SJSN hingga tahun 2019, maksudnya adalah semua warga terjamin dengan layanan SJSN. Untuk pelaksanaan rencana kesehatan nasional tersebut, semua fasilitas dan perlengkapan pokok medis akan dipersiapkan paling lambat sebelum tahun 2015 mendatang.

Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany adalah salah satu penyusun SJSN. Ia mengatakan bahwa salah satu ciri khas jaminan kesehatan yang baru ini adalah memadukan asuransi sosial dengan penunjangan sosial sehingga distribusi sumber daya kesehatan menjadi lebih seimbang. Seiring dengan pelaksanaan SJSN, permintaan masyarakat terhadap jaminan kesehatan di Indonesia akan naik 50 hingga 100 persen. Belanja pemerintah untuk jaminan kesehatan dalam waktu lima tahun mendatang akan meningkat berkali lipat, sehingga akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan peluang investasi.

Saat ini kondisi kesehatan di Indonesia masih termasuk terbelakang, baik level layanan medis maupun fasilitasnya perlu diperbaiki. Khususnya di daerah pedesaan dan kepulauan terpencil, kondisi kesehatannya lebih tertinggal. Di Indonesia sebagian besar obat-obatan diimpor dari luar negeri mengakibatkan ongkos melambung tinggi dan ini semakin meningkatkan beban bagi kelompok miskin. Saat ini belanja perkapita warga Indonesia untuk pengobatan jauh lebih rendah daripada level merata dunia. Warga yang berpenghasilan lumayan di Indonesia biasanya menerima pengobatan ke Singapura dan Thailand.

Belanja pemerintah Indonesia di bidang jaminan kesehatan terpelihara di level yang rendah sejak lama. Pada tahun 2012, belanja pemerintah Indonesia untuk jaminan kesehatan hanya 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) negerinya. Angka itu adalah yang angka terendah di antara negara-negara anggota ASEAN. Dengan terbatasnya dana, maka mutu layanan medis di Indonesia termasuk tidak memuaskan. Untuk melaksanakan SJSN, Presiden SBY meminta alokasi dana sebesar Rp 25 triliun sebagai dana penghidupan program tersebut.

Ada juga ahli yang meragukan kemapuan pemerintah Indonesia untuk menerapkan program SJSN yang berskala besar. Kini di Indonesia setiap 10 ribu warga hanya terbagi 6 ranjang rumah sakit, atau dapat dilayani oleh 3 dokter. Kedua angka itu tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Pemerintah Indonesia menargetkan penambahan 30 persen ranjang untuk penerapan SJSN. Biasanya perusahaan Indonesia bekerja sama dengan mitra khusus untuk membantu karyawannya menangani asuransi kesehatan. Sekarang asuransi kesehatan itu akan dialihkan ke kerangka jaminan kesehatan yang baru, dan ini tentu akan menimbulkan banyak masalah.

sumber: indonesian.cri.cn

 

Sebanyak 121 Juta Rakyat Indonesia Masuk Program BPJS

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hari ini (31/12) meluncurkan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Istana Bogor, Jawa Barat.

Dalam sambutannya, Presiden menjelaskan mulai besok, 1 Januari 2014, pada tahap awal, negara memberikan pelayanan kesehatan kepada 121 juta peserta. Ini setara dengan 48 persen jumlah penduduk Indonesia. Menurutnya,

Langkah itu, menurutnya, sebagai lompatan besar yang dilakukan negara ini sejak Indonesia merdeka. “Dengan cakupan pelayanan sebesar itu program ini tidak akan tertandingi oleh lembaga asuransi manapun,” kata SBY.

Ia mengungkap pada tahap awal, jaminan pelayanan kesehatan akan dinikmati oleh 86,4 juta jiwa kepesertaan Jamkesmas untuk rakyat miskin, 11 juta jiwa untuk jaminan kesehatan daerah, 16 juta peserta Askes, 7 juta peserta Jamsostek, dan 1,2 juta peserta dari unsur TNI dan Polri. Sementara pada tahap kedua, paling lambat tanggal 1 Januari 2019, seluruh rakyat Indonesia telah menjadi peserta BPJS Kesehatan.

“BPJS Kesehatan kita hadirkan untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial yang bersifat nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS Kesehatan juga lebih fleksibel dan lebih mandiri dalam pengelolaan keuangannya,” ujar Presiden.

Ia juga mengemukakan BPJS Ketenagakerjaan baru akan mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 2015. Sebelum 1 Juli 2015, PT. JAMSOSTEK tetap memberikan pelayanan kepada peserta lama, kecuali jaminan pemeliharaan kesehatan yang telah dipindahkan ke BPJS Kesehatan.

“Saya minta kepada PT. JAMSOSTEK untuk segera mempersiapkan diri sebaiknya-baik-nya agar pada saatnya dapat mengemban tugas yang mulia ini. Program Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, tentu lebih beragam dengan segudang tantangan yang tidak kalah besar dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” tegasnya.

sumber: www.beritasatu.com

 

Apa Fasilitas Berobat Menteri di Luar Negeri?

Direktur Pelayanan PT Asuransi Kesehatan (Askes) Fajriadinur mengatakan menteri dan pejabat negara tertentu mendapat fasilitas pelayanan kesehatan golongan VVIP di luar negeri dan dalam negeri. Klaim biaya perawatan mereka ditanggung oleh PT Askes.

“Kelas perawatan berbeda, yaitu VIP ataupun VVIP, juga rumah sakit yang melayani lebih banyak,” kata Fajriadinur ketika dihubungi, Sabtu, 28 Desember 2013.

Menteri ataupun pejabat yang tergolong VVIP nantinya akan mendapat kelas perawatan yang berbeda. Peserta VVIP nantinya bisa menerima layanan kesehatan di rumah sakit swasta. Mereka bisa mengurus administrasi melalui hotline khusus.

Para menteri dan pejabat negara itu juga akan mendapat layanan kesehatan VVIP. Mereka akan mendapat layanan, tindakan, dan terapi medis sesuai ketentuan dari PT Askes.

Mereka pun bisa menggunakan layanan kesehatan di rumah sakit luar negeri. Layanan ini bisa diberikan jika rumah sakit di Indonesia tidak dapat menangani penyakit tersebut. “Tetap harus ada rekomendasi dari tim Dokter Menteri dan Pejabat Tertentu,” kata dia. Besar klaim yang dibayarkan pun hanya senilai dengan layanan di dalam negeri.

Namun Fajriadinur mengatakan, keluarga menteri dan pejabat negara tertentu itu tak ditanggung oleh asuransi kesehatan golongan VVIP dari PT ASKES.

sumber: www.tempo.co