Kemenperin dan Kementan Tolak Ratifikasi FCTC

Pemerintah Indonesia dinilai belum perlu meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bahkan dua kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Pertanian (Kementan) secara tegas menolak ratifikasi FCTC tersebut.

Direktur Makanan dan Tembakau Kemenperin, Enny Ratnaningtyas mengatakan, jika alasan ratifikasi FCTC hanya soal kesehatan, sebenarnya Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki aturan serupa. Yaitu melalui PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Bahkan, sejak diluncurkan setahun yang lalu, aturan tersebut belum pernah diimplementasikan. Enny memaparkan, bagaimana mungkin aturan sendiri yang sudah dibuat tidak diimplementasikan, tapi pemerintah justru hendak menggunakan aturan internasional.

“Aturan dalam FCTC juga dikhawatirkan makin ketat dan dinamis dan rawan paksaan inisiator untuk mengikuti kepentingan mereka (asing),” kata Enny dalam seminar bertema “Dampak Aksesi FCTC Bagi Industri Hasil Tembakau” di Jakarta, Selasa (24/12).

Menurut Enny, pada dasarnya Kemenperin mendukung perlindungan kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif rokok. Namun, dikhawatirkan FCTC akan menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan terkait industri rokok, meski dalam pasal-pasal FCTC disebutkan tetap mengutamakan hukum nasional dan kondisi masing-masing negara.

Meski guideline secara hukum tidak wajib dipenuhi anggota, kata dia, negara maju anggota FCTC bakal mendorong semua anggota untuk mematuhinya.

“Ironisnya, dalam perjalanannya, negara-negara maju anggota FCTC sering melakukan review terhadap guideline FCTC dengan menambahkan aturan-aturan baru yang ketat dan seluruh anggota wajib mematuhinya,” kata Enny.

Direktur Tanaman Semusim Kementan, Nurnowo Paridjo menambahkan ratifikasi FCTC dinilai tidak statis. Belajar dari pengalaman ratifikasi food, awalnya hanya diatur soal beras.

Namun dalam perjalanannya, diatur soal yang lain seperti susu. “Sehingga kita harus mencermati dampak peraturan internasional yang lain terhadap aspek ekonomi, budaya, hukum,” katanya.

Nurnowo menuturkan, para pekerja di sektor tembakau mengungkapkan kekhawatiran bahwa FCTC akan mengancam kelangsungan hidup mereka karena konsekuensi ratifikasi FCTC adalah pengendalian tembakau atau rokok.

Berdasarkan data Kementan, ada 6,1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung di industri hulu dan hilir tembakau.

Jumlah ini terdiri dari dua juta orang petani tembakau, 1,5 juta orang petani cengkeh, 600 ribu orang tenaga kerja di pabrik rokok, satu juta orang pengecer rokok dan satu juta orang tenaga percetakan dan periklanan rokok.

Dengan melihat jumlah tenaga kerja dari beragam sektor di atas, ratifikasi FCTC dipastikan berdampak besar pada kesejahteraan pekerja di industri tembakau. Seharusnya, kata dia, Indonesia tetap fokus terhadap upaya mengimplementasikan PP 109 Tahun 2012.

Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah perlu mengkaji lagi apakah perlu Indonesia meratifikasi FCTC. Dia mengingatkan secara substansi pengendalian tembakau patut didukung terlebih bila pengaruhnya membahayakan generasi muda. “Namun, apakah Indonesia perlu meratifikasi FCTC?” kata Hikmahanto.

Dia merasa perlu mengingatkan pengambil kebijakan bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara tertentu kerap dijadikan instrumen pengganti kolonialisme.

Melalui perjanjian internasional maka suatu negara dapat mengendalikan negara lain, bahkan melakukan intervensi kedaulatan hukum. Indonesia memiliki banyak pengalaman terkait hal ini.

Hikmahanto menunjuk UU Hak Kekayaan Intelektual yang diamandemen bukan karena munculnya kesadaran masyarakat Indonesia, tetapi karena kewajiban dalam Perjanjian WTO yang didasarkan pada sistem hukum dan praktik di negara maju.

Kembali terkait aksesi FCTC. Dia mengingatkan pemerintah agar cermat memahami keberadaan FCTC. “Jangan sampai kedaulatan negara dikompromikan dengan kepentingan negara lain,” papar Hikmahanto. n zaky

sumber: www.republika.co.id

 

Ketua MKDKI: Kami Tak Mengenal Istilah Malpraktek

KACA jendela masih basah oleh embun fajar. Di lantai tiga gedung Konsil Kedokteran Indonesia, seorang pria berambut putih sudah duduk di meja sembari membaca beberapa lembar laporan. Pria itu, Ali Baziad, Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sesekali mengerutkan dahi. Tak jarang ia menuliskan sesuatu di buku memo.

Salah satu kertas yang ia baca adalah surat permintaan untuk menginvestigasi ke tiga kota: Banjarmasin, Batam, dan Yogyakarta. Kasusnya bervariasi, dari salah diagnosis pasien, operasi yang tidak benar, hingga salah memberi obat. “Akan saya kirim dua orang untuk investigasi kasus kelalaian dokter,” kata Ali. Setahun belakangan, laporan ketidakpuasan atas profesionalisme dokter ke MKDKI meningkat. Sepanjang tahun ini saja Ali mencatat ada 59 kasus. Dulu tiap tahun cuma ada 27-30 pengaduan.

Delapan tahun terakhir, MKDKI menerima 193 pengaduan dugaan malpraktek. Dari jumlah itu, 34 dokter diberi sanksi tertulis, 6 dokter diwajibkan ikut program pendidikan kembali, dan, yang terberat, 27 dokter dicabut surat tanda registrasinya yang otomatis membuat surat izin prakteknya tidak berlaku.

Toh, Ali mengeluhkan masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang prosedur mengadukan kasus dugaan malpraktek. Padahal Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran jelas menyatakan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktek dokter atau dokter gigi bisa melaporkannya ke MKDKI. Ali menyebut “malpraktek” sebagai istilah yang kurang pas. Dia lebih suka menyebut dugaan “pelanggaran disiplin kedokteran”.

Kasus dugaan malpraktek dokter kembali bergaung senyampang mencuatnya perkara dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani. Ayu, yang masih berstatus mahasiswi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, dipidana karena dianggap menyebabkan pasien, Julia Fransiska Maketey, meninggal. Kolega sesama dokter kemudian melakukan mogok untuk memprotes tindakan yang mereka sebut sebagai “kriminalisasi dokter” itu. Ali menyayangkan kasus tersebut tak dilaporkan ke majelisnya, sementara dia tak bisa menjemput bola. “Harus diperiksa juga konsulennya (senior), rumah sakit, dan lain-lain.”

Selasa pagi dua pekan lalu, Ali menerima Heru Triyono, Nugroho Dewanto, Purwani Diyah Prabandari, dan fotografer Dian Triyuli Handoko dari Tempo di ruang kerjanya di Jalan Teuku Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat. Dengan sabar dan runtut, Ali yang sehari-hari masih berpraktek sebagai dokter spesialis kandungan menjelaskan prosedur majelis menangani dugaan pelanggaran disiplin kedokteran.

Apakah dokter Ayu pantas dihukum 10 bulan penjara?

Susah menjelaskannya. Yang saya tahu, dia tidak memiliki surat izin praktek (SIP).

Tidak memiliki surat izin praktek dan melakukan operasi terhadap pasien, bukankah itu tindak pidana?

Betul.

Siapa yang seharusnya mengawasi sertifikasi surat izin praktek?

Tempat si dokter bekerja. Kalau tidak ada izin, seharusnya rumah sakit yang memperingatkan si dokter untuk mengurusnya di KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) lewat dinas kesehatan setempat dan tidak boleh membiarkan dokternya praktek sebelum ada SIP.

Berapa lama mengurus surat izin praktek?

Cepat, asalkan syarat dipenuhi. Bahkan, kalau lama, bisa dikeluarkan SIP sementara.

Kalau memang dokter Ayu salah, kenapa para dokter membelanya mati-matian dengan berdemo?

Ini sekadar ilustrasi. Kami ada sumpah dokter: perlakukanlah teman seprofesi, juga keluarga dokter, sebagai saudara kandung. Itu sumpah Hipokrates. Kami memperlakukan teman seprofesi seperti saudara kandung. Kami tidak meminta bayaran jika memeriksa keluarga dokter.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) pusat menyatakan tidak ada pelanggaran etik dan disiplin dalam tindakan yang dilakukan dokter Ayu.

Yang berhak menilai salah atau tidaknya dokter itu MKDKI. MKEK itu adalah masalah etik, bukan disiplin. Mereka di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia). IDI ini organisasi profesi, sementara kami organ negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Kami bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Kenapa MKDKI tidak menangani kasus dokter Ayu?

Karena kami tidak bisa menjemput bola. Harus ada aduan lebih dulu, baru bisa bergerak. Undang-undang mengatakan begitu. Kami hanya menerima, memeriksa, dan memutuskan pengaduan.

Idealnya dugaan malpraktek diadili di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Tapi banyak orang curiga bahwa dokter akan selalu melindungi sejawatnya.

Publik tidak perlu ragu terhadap netralitas MKDKI. Dari 11 anggota majelis, dua di antaranya praktisi hukum: Sabil Alwi, doktor bidang hukum kesehatan, dan Akhiar Salmi, ahli hukum pidana.

Bagaimana komposisi majelis hakim tiap kali menggelar sidang?

Komposisinya empat dokter dengan satu praktisi hukum. Minimal terdiri atas dua dokter dan satu orang hukum. Orang hukum ini syarat agar keputusan sah dan sebagai penetralisir agar keputusan tidak subyektif.

Apakah hakim, polisi, dan masyarakat sudah mengerti penegakan disiplin yang dilakukan MKDKI seperti diatur dalam undang-undang itu?

Belum. Kami dari MKDKI gencar melakukan sosialisasi. Tapi, jangankan masyarakat, dokter juga banyak yang belum mengerti. Wartawan juga ada yang salah, fatal.

Bagaimana proses perekrutan anggota MKDKI?

IDI dan PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) mengusulkan nama. Dari perkumpulan ahli hukum mengusulkan juga. Sekian nama itu diseleksi di tiap organisasi, kemudian diambil 11 orang dan disahkan oleh Menteri Kesehatan.

Para dokter sepertinya paranoid terhadap tuduhan malpraktek dan minta tanda tangan lembar persetujuan tindakan (informed consent) meski untuk tindakan minor¦.

Semua tindakan ada risiko. Seorang dokter wajib menjelaskan risiko tindakan medis ke pasien dan keluarganya. Dan harus dokter sendiri yang menyampaikan.

Mengapa di sejumlah rumah sakit yang meminta tanda tangan biasanya hanya petugas administrasi?

Jangan mau. Informed consent itu harus dokter, bukan perawat. Bukan juga bagian administrasi.

Dari sisi medis, kasus emboli udara yang merenggut nyawa Julia Fransiska Maketey apakah sudah sesuai dengan prosedur kedokteran?

Saya tidak tahu, harus didalami dulu.

Berdasarkan otopsi yang dilakukan tim dokter forensik yang menangani kasus ini, ditemukan sumbatan udara di bilik jantung kanan. Pertanyaannya, dari mana dan apa yang menyebabkan udara bisa masuk ke pembuluh darah?

Bisa dari infus. Tapi jangan lihat an sich di situ saja. Lihat hulunya kenapa itu bisa terjadi. Ini kan yang dicerna masyarakat cuma hilirnya saja.

Mungkinkah keterlambatan mengganti botol infus yang sudah kosong bisa menyebabkan masuknya sejumlah besar udara ke pembuluh darah?

Bisa jadi. Tetesan cairan infus harus dicek. Kalau kosong, akan jadi udara. Tapi amat jarang terjadi saat persalinan. Sebab, sekali kena emboli udara, tidak ada yang bisa hidup. Kalaupun hidup, pasti cacat.

Seberapa banyak memang kasus emboli udara dalam persalinan terjadi dalam catatan Anda?

Amat jarang. Kira-kira satu dari 100 ribu persalinan. Nah, risiko dalam operasi caesar ini harus dijelaskan ke pasien. Kalau sudah dijelaskan, saya yakin pasien tidak akan marah, malah menerima.

Bagaimana dengan peran ahli anestesi?

Mungkin dia tidak berperan apa-apa, cuma bius doang.

Mengapa pihak rumah sakit tidak dimintai pertanggungjawaban?

Kewenangan MKDKI sebatas dokter. Kami sering menemukan masalah di rumah sakit. Tapi kami bingung. Itu semestinya lapor ke Kementerian Kesehatan. Tapi di awang-awang.

Tempo pernah meliput korban malpraktek tim dokter sebuah rumah sakit di Jakarta Timur. Tapi kasus itu selesai di komite medik rumah sakit setelah pasien itu menerima Rp 50 juta. Apakah masih bisa mengadu ke MKDKI lagi?

Tergantung pasien, puas atau tidak dengan nilai ganti ruginya. Kalau tidak, jangan terima, dan silakan adukan ke MKDKI. Atau, jika sudah valid kesalahannya, ke jalur hukum (polisi) saja.

Upaya perdamaian yang pernah dilakukan pihak Rumah Sakit Kandou, Manado, dengan memberi keluarga Julia uang Rp 50 juta bukan sogokan?

Komite mencoba mediasi. Ada pasien yang mau, ada yang tidak. Negosiasi bisa dilakukan karena komite medik berfungsi sebagai mediator setelah melakukan audit terhadap dokter yang diduga melakukan kelalaian. Jika tidak puas, seperti saya bilang tadi, bisa ke MKDKI atau polisi. Dua-duanya bisa sekaligus.

Jadi keluarga almarhumah Julia memang berhak mengadu ke polisi?

Berhak. Meski disayangkan juga tidak lapor ke sini (MKDKI). Sebab, salah-tidaknya dokter ditentukan oleh MKDKI. Kami akan memeriksa secara menyeluruh, dari saksi suster, tukang parkir, hingga seniornya (konsulen).

Saat melakukan operasi, dokter Ayu adalah mahasiswi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Artinya penanggung jawab tertinggi bukanlah dia, melainkan senior atau supervisornya¦.

Tapi dokter Ayu harus ada laporan juga ke konsulennya. Apalagi dia PPDS. Kalau dia sudah lama dalam pendidikan itu tapi dia lalai, kena juga. Apalagi alasannya malas lapor atau malas urus SIP, kena lagi dia.

Dokter sering takut kepada seniornya….

Di daerah, hubungan antara dokter dan seniornya agak manut. Mengadukan senior enggak berani. Mengadukan profesor tidak berani. MKDKI sering terhambat kalau di daerah, sehingga aduan terhadap dokter di daerah sedikit sekali.

Apakah MKDKI juga takut kepada senior?

Kami di sini tidak ada senioritas. Siapa saja kami proses dan hukum. Kami sering ditelepon (ditekan), tapi kami tidak peduli.

Siapa nama besar yang pernah Anda tangani dan diberi hukuman?

Dokter Boyke. Dia beberapa tahun lalu kami cabut SIP-nya selama 6 bulan. Tapi ada juga yang setahun. Saya tidak enak menyebutkan nama.

Kalau cuma setahun, bukankah terlalu ringan?

Ada memang aturan pencabutan SIP selamanya. Tapi dokter itu dicabut SIP-nya saja sudah berat. Percaya, deh. Kasihan mereka, cari nafkah di mana.

Apakah ada kasus malpraktek dokter yang secara hukum dinyatakan bersalah tapi MKDKI menyatakan sebaliknya?

Ada, dan tidak kami cabut SIP-nya. Atau sebaliknya di MKDKI salah, di jalur hukum malah tidak.

Kok, bisa?

Sebab, di hukum pidana itu pakai kacamata KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kalau kami pakai aturan perkonsilan kedokteran Indonesia. Ini disiplin ilmu. Kalau KUHP, ada manusia yang meninggal, yang dipakai adalah pasal pembunuhan. Kami tidak mengenal istilah malpraktek.

Jadi apa definisi malpraktek?

Malpraktek itu istilah hukum. Masyarakat yang mengadu kebanyakan memakai istilah itu. Yang kami kenal hanya apakah dokter itu profesional atau tidak. Misalnya apakah dokter melakukan standar operasional medis dengan benar, seperti menjelaskan adekuat sebuah kasus ke pasien, kemudian menulis rekam medik, dan lainnya.

Apakah pihak yang tak puas bisa mengajukan permohonan banding atas keputusan MKDKI?

Tidak. Keputusan kami final dan mengikat. Tapi dokter teradu dapat mengajukan keberatan selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya.

Apakah keputusan MKDKI bisa di-PTUN-kan?

Jelas tidak bisa. Ini bukan administrasi negara. Ini penegakan disiplin.

Berapa lama biasanya satu kasus yang ditangani MKDKI diputuskan?

Bisa sampai satu tahun.

Kok, lama sekali?

Kami ingin cari kebenaran. Kasusnya juga banyak. Kami ini cuma 11 orang. Adanya juga cuma di Jakarta. Kami harus memanggil atau menghampiri saksi atau ahli ke daerah.

Proses peradilan umum juga mencari kebenaran, tapi bisa dipercepat.

Ini kedokteran, beda….

Apakah dokter teradu masih bisa praktek ketika masih dalam proses pemeriksaan MKDKI?

Selama sebelum keluar keputusan dari kami, si dokter bisa terus praktek.

Sebenarnya kualifikasi pelanggaran seperti apa yang dilakukan dokter yang bisa kena sanksi dari MKDKI?

Misalnya pasien meninggal karena stok darah tidak disiapkan. Itu berat. Tapi kami melihat juga sisi di balik itu, jangan-jangan pihak rumah sakit yang salah karena fasilitasnya kurang.

Apa pertimbangan MKDKI yang meringankan sang dokter teradu?

Dokter itu jujur. Misalnya pernah ada kasus dokter mengakui semua kesalahannya. Kami turunkan sanksinya karena dia jujur. Di lapangan, kami juga menemukan bahwa sebenarnya yang salah bukan dia, melainkan rumah sakit terkait dengan fasilitas.

Sering muncul berita tentang rumah sakit yang menelantarkan pasien. Ini sebenarnya salah dokter atau manajemen rumah sakitnya yang tidak baik?

Anda tahu KJS (Kartu Jakarta Sehat)? Nah, karena sistem itu, seorang dokter harus menangani ratusan pasien dalam sehari. Dari situ banyak laporan salah diagnosis dan salah obat.

Dokter kelelahan?

Iya. Saya tanya ke dokter teradu itu, pasien ke berapa yang Anda periksa dan salah diagnosis? Ke-89. Saya bilang, oke, terima kasih. Jelas saja, 20 pasien saja dokter sudah pusing.

Idealnya seorang dokter hanya menangani berapa pasien dalam sehari?

Paling banyak 20 pasien sehari. Ada penelitian ilmiah bahwa dokter hanya sanggup 20 pasien per hari, ya, selebihnya jangan terima lagi. Saya dari pukul 6 sore sampai pukul 10 malam biasa membatasi 20 pasien saja.

Jadi kebijakan Gubernur Jakarta tentang KJS kurang bagus?

Bagus. Saya setuju. Tapi tambah dong dokternya. Ahok (Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) bilang akan menambah jumlah dokternya. Akan saya dukung.

Bagaimana Anda menjelaskan eksodus pasien dalam negeri berobat ke Malaysia atau Singapura? Apakah karena kualitas dokter kita kalah?

Kita tidak kalah. Di sana dokter makan gaji di satu tempat, tidak di banyak tempat. Dokternya juga senang komunikasi, menjelaskan ke pasien. Ini kekurangan kita. Ya, mungkin itu karakter kurang komunikatif. (*)

sumber: www.tempo.co

 

Poros Pelajar Desak Pemerintah Ratifikasi FCTC

Sejumlah organisasi pelajar yang tergabung dalam Poros Pelajar seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Pelajar Puteri Nahdatul Ulama (IPPNU) mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau.

Wakil Sekjen Pengurus Besar PII Helmi Al Djufri SSy mengatakan hal itu penting karena saat ini produksi tembakau untuk rokok sudah mengkhawatirkan, dikatakan, Indonesia adalah negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia, setelah Cina dan India.

“Konsumsi tembakau di Indonesia meningkat dalam 30 tahun terakhir dari 33 milliar batang per tahun pada tahun 1970 menjadi 230 milliar batang per tahun pada 2006, meningkat hampir 7 kali lipat. Saat ini 46 % dari jumlah perokok di Asean ada Indonesia,” kata Helmi kepada suaramerdeka.com, kemarin.

Data dari WHO, lanjut dia, menyatakan bahwa sudah 168 dari 192 negara telah meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), sedangkan Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN dan Asia Pasifik yang belum menanda tangani dan mengaksesi konvensi tersebut.

Pihaknya bersama organisasi pelajar lainnya yang tergabung dalam poros pelajar juga telah melakukan kampanye pelajar nasional: Bebaskan Pelajar Dari Asap Rokok beberapa waktu lalu di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat.

Dalam kesempatan itu, pihaknya meminta kepada pemerintah untuk segera melakukan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

“Kami juga menuntut pemerintah untuk menciptakan lingkungan sehat bebas narkoba dan rokok dengan menerbitkan Undang-undang yang lebih tegas dalam perlindungan masyarakat khususnya generasi muda dari bahaya rokok,” pungkasnya.

Meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau dianggap mendesak karena karena Pemerintah Indonesia merupakan inisiator dan pembahas penyusunan FCTC, sejak 1998-2003.

FCTC juga dinilai instrumen yang elegan untuk mengatasi wabah tembakau, baik dari sisi kesehatan, ekonomi dan sosial karena ratifikasi tidak berarti melarang produksi rokok, melarang tanam tanaman tembakau.

sumber: www.suaramerdeka.com

 

Survei Kesehatan AIA: Pola Hidup Masyarakat Indonesia Terburuk di Asia Pasifik

Masyarakat Indonesia masih jauh dari pola hidup sehat. Bahkan, berdasarkan survei yang diinisiasi perusahaan asuransi AIA Grup di 15 negara di Asia Pasifik, Indonesia menempati peringat terendah dalam penerapan pola hidup sehat. Dalam survei itu, Indonesia hanya meraih skor 55 dari batas skor 100 dalam AIA Healthy Living Index 2013.

“Survei ini kami lakukan rutin, sebagai kontribusi AIA untuk masyarakat Indonesia. Lewat survei ini kami ingin mengingatkan masyarakat pentingnya hidup sehat,” tutur kata Head of Marketing AIA Kathryn Monica Parapak di sela-sela acara pengumuman hasil survei kesehatan AIA Healthy Living Index 2013 di Jakarta, Rabu (18/12).

Hadir pada kesempatan itu, Consultant Intuit Research Thomas Isaac, Ahli Nutrisi dari Universitas Indonesia Dr Samuel Oentoro, aktor Hollywood yang juga mantan atlet judo Indonesia Joe Taslim, dan Personal Trainer Nano Oerip.

Kathryn menjelaskan, survei di 15 negara di mana AIA Grup berada itu melibatkan 10.245 responden dengan usia 18-65 tahun. Khusus di Indonesia, ada 750 responden yang tersebar di Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Dikatakan, dari hasil survei itu menunjukkan, masyarakat Indonesia tidak puas terhadap kondisi kesehatan mereka. Namun, mereka tidak proaktif dalam mengembangkan pola hidup sehat. Sebanyak 71% dari masyarakat dewasa di Indonesia setuju dengan pernyataan: “Kesehatan saya tidak sebaik lima tahun lalu” termasuk 58% masyarakat berusia di bawah 30 tahun.

Thomas Isaac menambahkan, memang terjadi peningkatan jumlah masyarakat dewasa yang berolahraga secara teratur sejak survei pertama 2011 lampau. Tetapi, survei tahun ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai kegiatan pasif untuk melepas stres. “Justru hal ini malah meningkatkan ancaman baru bagi kesehatan,” kata dia.

Kegiatan yang paling sering dilakukan adalah menonton film (57%), jumlah yang jauh lebih tinggi dari kegiatan aktif seperti berolahraga (hanya 26%). Angka itu jauh di bawah jumlah rata-rata negara-negara lain yang sebesar 39%. Kegiatan lain adalah berkumpul bersama teman-teman (49%), menghabiskan waktu bersama keluarga dan anak (45%) untuk melepas stres.

Dipaparkan, kepuasan terhadap kesehatan masing-masing masyarakat Indonesia mendapat nilai 7,6 dari nilai maksimum 10. Hal ini menandakan terjadi penurunan dari nilai 7,9 pada survei 2011 lalu. Meskipun nilai saat ini lebih tinggi dari rata-rata di kawasan lainnya, yaitu sebesar 7,0, tingkat kepuasan ini nampaknya tidak didukung dengan pola hidup sehat.

Pada survei tahun ini, 63% orang dewasa Indonesia mengatakan bahwa mereka berolahraga reguler. Angka itu meningkat dari tahun 2011 yang sebesar 57%. Hal itu merupakan perkembangan positif. “Namun, faktanya, 35% orang dewasa Indonesia belum mengadopsi pola olahraga secara teratur. Demikian juga dengan jumlah waktu olahraga setiap minggunya yang meningkat, yakni rata-rata 2,1 jam per minggu pada 2011 lalu, menjadi 2,2 jam per minggu,” tuturnya.

Isaac melanjutkan, terlepas dari tingkat keprihatinan yang tinggi menyangkut penyakit jantung, kanker, dan diabetes, hanya seperempat dari orang dewasa di Indonesia yang melakukan pemeriksaan medis dalam kurun waktu setahun terakhir.

Menurut Samuel, semestinya cek kesehatan dilakukan rutin. Sehingga, bisa mengetahui kondisi tubuh, termasuk untuk menentukan aktivitas olahraga mana yang tepat. Sebaiknya, orang yang berusia di atas usia 30 tahun, melakukan cek kesehatan dua tahun sekali. Sedangkan yang di atas 40 tahun, setahun sekali. Sebab, terjadinya perubahan dan kelainan dalam tubuh manusia itu periodenya enam bulan hingga satu tahun.

Samuel mengatakan, sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah 5S yakni Sehat makan, Sehat berpikir dan perasaan, Sehat istirahat yakni dengan tidur 6-8 jam sehari, Sehat aktivitas, dan Sehat lingkungan yakni berhenti merokok.

“Tapi, yang penting diperhatikan, kita perlu memiliki pikiran dan perasaan yang harus tenang dan nyaman. Ini juga mempengaruhi kondisi kesehatan kita,” katanya.

Sementara itu, Joe Taslim mengatakan, pola hidup sehat memang harus gencar disosialiasikan. Ia mengaku senang didaulat AIA untuk mensosialisasikan pola hidup sehat. “Saya memang sering mensosialisasikan ini. Setiap hari saya lari lima kilometer, dan ini saya infokan lewat twitter, sehingga para follower juga melihat, Joe Taslim itu lari. Saya berharap, kegiatan positif ini banyak diikuti masyarakat Indonesia,” ujar Joe.

Isaac melanjutkan, dari hasil survei menunjukkan, dengan meningkatnya isu keamanan makanan di seluruh dunia, maka di wilayah Asia-Pasifik, termasuk di Indonesia, masalah keamanan dan integritas juga menjadi hal yang sangat dikhawatirkan.

“Masyarakat dewasa Indonesia mengungkapkan, mereka khawatir terhadap berbagai unsur membahayakan yang terkandung dalam makanan (83%), bahwa unsur yang tertera di label tidak benar (80%), atau makanan yang mereka beli ternyata sudah kedaluwarsa (80%). Keprihatinan ini juga berada di atas rata-rata negara lainnya,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Isaac, polusi juga menjadi kekhawatiran di wilayah Asia Pasifik. Di Indonesia, misalnya, 99% masyarakat dewasa yang diwawancarai mengaku, polusi telah menjadi ancaman nyata bagi kesehatan. Polusi udara adalah polusi yang paling mengkhawatirkan (51%), diikuti oleh polusi air (41%), dan polusi tanah (40%).

Penulis: /YS | Sumber:PR

sumber: www.beritasatu.com

 

Survei: Status Kesehatan Penduduk Indonesia Tempati Peringkat Terendah

Gaya hidup masyarakat Indonesia saat ini turut mempengaruhi hasil survei yang dilakukan oleh AIA Group. Mendapat skor 55 dari 100 dalam survei tersebut, Indonesia berada di tingkat paling rendah dibanding 15 negara lain.

Survei yang dilakukan oleh AIA Group setiap tahunnya ini dinamakan AIA Healthy Living Index 2013. Melibatkan lebih dari 10.000 masyarakat dewasa di kawasan Asia Pasifik, survei ini rupanya menunjukkan hasil yang relatif stabil pada 750 orang responden Indonesia dibandingkan tahun sebelumnya.

Hasil survei tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah masyarakat dewasa yang berolahraga secara teratur sejak tahun 2011. Namun ditemukan juga bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai kegiatan pasif untuk melepas stres, seperti menonton televisi. Padahal kebiasaan ini justru meningkatkan ancaman baru bagi kesehatan.

Terlepas dari tingkat keprihatinan yang tinggi menyangkut penyakit jantung, kanker dan diabetes, hanya seperempat orang dewasa di Indonesia yang melakukan pemeriksaan medis dalam kurun waktu terakhir.

“Padahal medical check up itu penting untuk semua orang. Usia lebih dari 30 tahun paling tidak 2 tahun sekali, kalau sudah lebih dari 40 tahun ya setahun sekali,” tutur dr Samuel Oentoro, MS, SpGK, ahli nutrisi dari Universitas Indonesia, dalam konferensi pers yang diadakan di XXI Premier Lounge Plaza Indonesia, Jl MH Thamrin, Jakarta, Rabu (19/12/2013).

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak puas terhadap kondisi kesehatan mereka, namun sayang tidak semuanya aktif dalam mengembangkan pola hidup sehat. Tak hanya itu, 71 persen dari masyarakat Indonesia yang disurvei juga menyatakan bahwa mereka merasa kesehatannya kini menurun jika dibandingkan saat 5 tahun lalu.

Dilihat dari sisi waktu tidur, responden menghendaki waktu selama 7,8 jam per hari untuk tidur, namun realisasinya hanya 6,8 jam per hari. “Kalau memang malam tidak bisa, diusahakan tidur siang, 30 menit cukup,” lanjut dr Samuel.

Dari berbagai hasil tersebut kemudian dirangkum dan skor Overall Healthy Living Index untuk Indonesia adalah 55. Skor ini menandakan Indonesia berada di peringkat terendah di antara 15 kawasan Asia Pasifik yang berpartisipasi.

sumber: health.detik.com

 

PMI-Kemkes Teken Nota Kesepahaman Peningkatan Pelayanan Darah

Palang Merah Indonesia (PMI) dan Kementerian Kesehatan (Kemkes) menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) di bidang peningkatan pelayanan darah.

Penandatanganan dilakukan Ketua Umum PMI Jusuf Kalla dan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di Jakarta, pada Selasa (17/12), disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Berdasarkan nota kesepahaman, kedua pihak sepakat meningkatkan pelayanan darah, termasuk fraksionasi plasma dan kapasitas Unit Transfusi Darah Pusat PMI agar menjadi Unit Transfusi Darah (UTD) tingkat nasional.

Selain itu, PMI – Kemkes juga bekerja sama di bidang pertolongan pertama pada kecelakaan dan gawat darurat, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan.

Hadir pada kesempatan itu, Menko Kesra Agung Laksono, Mensos Salim Segal Al-Jufrie, dan perwakilan Komite Palang Merah Internasional (ICRC).

Hingga tahun 2012, PMI telah mendirikan 1 Unit Donor Darah (UDD) Pusat di Jakarta dan 211 UDD di 210 Kabupaten/Kota. Pelayanan Darah yang dilaksanakan UDD PMI mencakup pengerahan dan pelestarian donor, pengambilan darah, pengolahan komponen darah, uji saring infeksi, penyimpanan, dan pendistribusian darah ke Bank Darah Rumah Sakit (BDRS).

sumber: www.beritasatu.com

 

Indonesia Perlu Perbaikan Tata Niaga Obat

Tidak seperti negara lain yang memiliki satu obat generik, Indonesia memiliki dua jenis, yaitu obat generik berlogo (OGB) dan obat generik bermerek. Obat generik bermerk bisa didapatkan di apotik dan warung terdekat dengan aneka kemasan dan nama dagang. Sedangkan OGB dilambangkan simbol lingkaran hijau bertuliskan GENERIK dan dikemas sederhana, misalnya per strip isi 12 butir.

OGB biasanya dinamai dengan zat aktif dalam obat misal parasetamol. Walau keduanya memiliki kualitas yang sama, namun obat generik bermerek lebih mahal 40-200 kali dibanding OGB.

“Keduanya memiliki bahan aktif yang sama sehingga khasiat yang dihasilkan sama. Namun obat generik bermerek membutuhkan biaya promosi dan pengemasan karena itu harganya lebih mahal,” kata pemerhati masalah obat dan kesehatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Iwan Dwi Prahasto pada KOMPAS Health.

Obat jenis generik bermerek, kata Iwan, sebetulnya merupakan branding image perusahaan obat untuk dekat dengan masyarakat. Tentunya dibutuhkan promosi dan pengemasan untuk mendekatkan brand tersebut kepada masyarakat.

Kondisi ini, jelas Iwan, sebetulnya sudah terjadi sejak dulu saat penerbitan surat keputusan terkait peredaran obat generik yaitu SK Menteri Kesehatan RI nomor 085/Menkes/1989. Pada akhirnya, pemerintah menempatkan logo untuk memudahkan masyarakat mengenali OGB. Obat generik yang dimaksud dalam SK tersebut sebetulnya adalah OGB.

Lebih lanjut Iwan mengatakan, kondisi ini dikarenakan Indonesia yang tidak memiliki sistem asuransi kesehatan. Padahal selain mengatur pelayanan kesehatan, sistem ini juga mengatur pengoabatan yang diterima masyarakat. Dengan sistem ini pengobatan siatur seefektif mungkin, sehingga masyarakat tidak perlu membayar mahal untuk kualitas yang baik.

Menghadapi kondisi ini, Iwan menyarankan segera dilakukan perbaikan pada sistem tata niaga obat. Perbaikan ini akan menyudahi kebingungan masyarakat terhadap obat generik. Masyarakat juga tidak perlu membayar mahal untuk obat yang sebetulnya berkualitas sama, hanya beda pengemasan.

Perbaikan inilah yang akan dilakukan melalui formularium nasional (fornas) yang merupakan penyedia obat untuk sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014. Melalui fornas dengan harga yang ditentukan pemerintah, masyarakat akan mendapatkan pengobatan yang paling efektif. Tentunya harga ini disesuaikan dengan paket pengobatan INA-CBG’s yang digunakan JKN 2014.

“Pada 2019 nanti diharapkan obat generik bermerek tidak lagi ada dan digantikan OGB. Sehingga masyarakat bisa menikmati pengobatan yang lebih bermutu tanpa tercekik biaya,” kata Iwan.

sumber: health.kompas.com

 

Australia Tutup Program Kesehatan di Bali

Kerja sama antara pemerintah Australia dan Provinsi Bali di bidang kesehatan bernama Australian Bali Memorial Eye Center (ABMEC) ditutup pada hari ini. Dalam penutupan tersebut, diserah-terimakan aset berupa Rumah Sakit Indra kepada Pemerintah Provinsi Bali yang juga dihadiri oleh perwakilan Kementerian Kesehatan RI.

Bantuan dari Australia yang dimulai sejak 2002 pascatragedi bom Bali berupa fasilitas pusat kesehatan mata, pelatihan staf, pengoperasian mobil klinik, dan beasiswa tenaga medis.

Menurut pimpinan program bantuan Australia untuk Indonesia, James Gilling, jaringan klinik ini sudah mengobati secara gratis kepada masyarakat miskin di Bali, terutama masyarakat miskin di daerah terpencil.

“ABMEC telah memberikan operasi mata dan pengobatan gratis untuk masyarakat miskin di Bali. Kami yakin pemerintah Indonesia akan dapat meneruskan kegiatan ini dengan program yang lebih luas,” ujarnya di Denpasar.

sumber: www.tempo.co

 

Unilever Jawab Protes Warga NTT

Unilever membantah iklan cuci tangan sabun Lifebuoy yang ditayangkan di berbagai televisi nasional mendiskreditkan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Perusahaan itu menjawab protes dari warga setempat yang merasa dilecehkan oleh iklan tersebut.

“Jika ada pihak yang merasa tidak nyaman saat menyaksikan iklan itu, kami sampaikan permohonan maaf. Kami tidak pernah bermaksud merendahkan martabat anak-anak dan masyarakat NTT,” kata Head of Corporate Communications PT Unilever Indonesia, Maria Dwianto, Rabu, 11 Desember 2013.

Menurut Maria, iklan tersebut merupakan bagian dari edukasi cuci tangan pakai sabun yang telah secara konsisten dilakukan Unilever selama hampir 10 tahun di Indonesia.

Program “5 Tahun Bisa untuk NTT” yang ditayangkan di televisi, kata Maria pula, berdasarkan data ilmiah yang terdapat dalam ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi NTT dan laporan pendahuluan survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2012.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa NTT merupakan salah satu provinsi dengan angka kematian balita tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, yakni 58 per 1.000 kelahiran hidup. “Satu dari empat kematian balita di NTT disebabkan oleh diare, penyakit yang sebetulnya dapat dicegah dengan cuci tangan pakai sabun,” ujarnya.

Sebelumnya diberitakan bahwa seorang warga NTT, Dany Wetangterah, menulis petisi bahwa warga NTT merasa dilecehkan oleh iklan sabun Lifebuoy, “5 Tahun Bisa untuk NTT”, yang ditayangkan di televisi. “Apa benar anak NTT terancam meninggal dunia sebelum berusia 5 tahun,” kata Dany kepada Tempo, Jumat, 29 November 2013.

sumber: www.tempo.co

 

Tak Sama dengan Makanan, Tak Semua Obat Perlu Sertifikat Halal

Menanggapi kabar mengenai obat yang berasal dari gealatin babi, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH angkat bicara.

Menurutnya memang benar beberapa obat di dalam prosesnya menggunakan zat-zat yang berasal dari babi, tapi tidak lagi dari bentuk yang sama dengan yang ada di babi tersebut.

“Saya enggak pernah bilang tidak boleh sertifikasi halal. Prosesnya itu memang menggunakan zat yang berasal dari babi, tapi itu sudah bio affraction,” kata Nafsiah Mboi di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/12/2013)

Sekarang, lanjut Nafsiah, tersedia ratusan ribu jenis obat dan vaksin yang mana tidak secara menyeluruh bersertifikat halal.

“Saya bukan ahli agama. Kami ada majelis MPKS, syariat. Tapi untuk saya pribadi adalah, kalau pasien tidak boleh, terus bagaimana kalau tidak ada obat lain? Itu saja kerisauan saya,” kata Nafsiah lirih.

Jika ke depannya ada masalah, Nafsiah mengatakan siapa yang akan menanggungnya? Contohnya saja vaksin influenza. Pada eranya Menkes terdahulu, (alm) Endang Rahayu, vaksin itu dikatakan harus ada sertifikat halannya, kalau tidak ada maka tidak boleh diberikan.

“Lalu saya katakan, kalau pasiennya sakit dan meninggal, siapa yang bertanggung jawab?,” kata Nafsiah Mboi

“Kita harus berikan perlindungan. Itu hak setiap orang. Saya sama sekali tidak menolak halal atau tidak halal. Itu bukan urusan saya, karena kami punya badan sendiri,” kata Nafsiah Mboi menambahkan.

Nafsiah Mboi mengatakan, bila nantinya ada pasien tidak mengonsumsi obat karena tidak ada sertifikat halalnya, lalu pasien itu terkena penyakit dan meninggal dunia, ini menjadi tanggung jawab siapa? Apakah pihaknya lagi yang akan disalahkan?

“Jadi ini saja kerisauan saya. Saya sama sekali tidak menolak. Tapi mohon dipertimbangkan, supaya obat dan vaksin jangan dimasukkan sama dengan makanan minuman,” kata Nafsiah Mboi.

Dikatakan Nafsiah Mboi lagi, obat yang ada di Indonesia banyak yang masih diimpor dan itu pun yang menjadi kerisauannya. Kalau boleh meminta, Menkes menginginkan obat dan vaksin harus dipisah.

“Atau kalau pasien sakit tidak boleh minum obat, bagaimana?,” kata Nafsiah Mboi bertanya.

Yang jelas, lanjut Nafsiah Mboi hal-hal seperti ini masih menjadi rancangan undang-undang (RUU) yang sudah dibahas sejak Fadillah Supari menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Nafsiah sendiri bingung, mengapa ini kembali dibahas lagi.

“Waktu itu mandek, karena Menkes dulu juga mempertanyakannya. Kan repot jadinya. Saya risau saja, kasihan pasien yang butuh obat itu,” kata Nafsiah menjelaskan.

sumber: health.liputan6.com