Tiga Menteri Didesak Dukung Ratifikasi FCTC

Upaya Kementerian Kesehatan (Kemkes) agar pemerintah Indonesia segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), atau Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau, masih terganjal oleh sikap tiga kementerian yang masih keberatan.

Untuk itu, Menko Kesra Agung Laksono meminta tiga kementerian itu, yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk satu suara dengan Kemkes. Sehingga akhir tahun ini, atau selambat-lambatnya sebelum berakhirnya pemerintahan SBY, Indonesia sudah bisa meratifikasi FCTC.

Belum adanya satu suara soal rencana ratifikasi tersebut dibawa dalam rapat koordinasi bidang kesra, yang dipimpin Menko Kesra Agung Laksono, di Jakarta, Rabu (6/11). Sayangnya, tiga menteri yang masih keberatan dengan ratifikasi FCTC tersebut tidak hadir.

Agung mengungkapkan, pertemuan tingkat menteri akan terus dilakukan secara intensif, seiring dengan target agar FCTC sudah harus diratifikasi akhir tahun ini. Menurutnya, penolakan tiga menteri tersebut tidak mendasar.

Sebab, selain memahami pentingnya kontribusi FCTC terhadap kesehatan masyarakat, para menteri juga harus memahami bahwa regulasi internasional ini tidak mengancam kedaulatan bangsa dan mengancam pendapatan negara dari sektor industri maupun kepentingan tenaga kerja.

“Menurut saya tidak ada alasan kementerian menolak FTCT. Karena Kementerian Keuangan sendiri tidak terganggu. Negara lain yang sudah menandatangani, pendapatan negaranya tidak menurun,” kata Agung.

Dia menambahkan, pabrik rokok tidak akan tutup hanya dengan penandatanganan konvensi tersebut. Begitu juga dengan petani tembakau akan tetap terjamin kelangsungan hidupnya. “Ratifikasi konvensi ini bertujuan melindungi masyarakat Indonesia dari dampak rokok, terutama mencegah jumlah perokok pemula yang notabene adalah remaja,” jelasnya.

Hingga saat ini, 177 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meratifikasi FCTC, yang mewakili sekitar 87,9 persen populasi dunia. Sayangnya, Indonesia menjadi satu-satunya di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasinya.

Dampaknya, Indonesia dikucilkan dalam pergaulan internasional, terutama berkaitan dengan pertemuan yang membahas upaya pembangunan kesehatan dunia, misalnya pengendalian penyakit tidak menular. “Karena itu saya minta tiga menteri ini agar satu suara dengan Menkes. Sebab, Presiden sendiri berpandangan positif untuk segera mengakses FCTC ini,” kata Agung.

Sejumlah penelitian menunjukkan, prevalensi perokok di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menunjukkan, saat ini perokok di Indonesia mencapai 61,4 juta jiwa, terdiri dari dewasa laki-laki 67,4 persen, dan perempuan 4,5 persen.

Akibat dari perokok aktif ini, sebanyak 92 juta warga Indonesia yang perokok pasif (tidak merokok), harus terpapar asap rokok orang lain. Selain itu, sebanyak 43 juta anak terpapar asap rokok, 11,4 juta di antaranya berusia 0-4 tahun.

“Jadi kita berharap jangan terlalu lama, kalau bisa akhir tahun ini atau paling lama itu sebelum habis masa kabinet ini sudah harus diratifikasi,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam satu kesempatan.

Menkes memaparkan, isu bahwa FCTC akan mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap 6 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri hasil tembakau adalah keliru. Ratifikasi FCTC tidak akan mengakibatkan penurunan konsumsi rokok secara drastis atau mendadak.

sumber: www.beritasatu.com

 

W.H.O., Fighting Polio in Syria, Says More Children Need Vaccinations

Escalating its emergency battle to stop the spread of a polio revival in Syria, the World Health Organization has doubled the number of children it says should be urgently vaccinated to more than 20 million throughout the Middle East, the organization’s top official in charge of eradicating the highly contagious and crippling disease said Wednesday.

The official, Dr. Bruce Aylward, also said the organization’s projection of a two-month vaccination campaign — envisaged just a few weeks ago for 10 million Middle East children — would now take six to eight months, require at least 50 million doses of vaccine for repeated treatments and might require the diversion of vaccine originally intended to be used elsewhere.

Dr. Aylward said the decision to increase significantly the number of children to be vaccinated — from the original two and a half million in Syria and more than eight million in six neighboring countries — was made during a meeting of the W.H.O. regional committee for the eastern Mediterranean last week in Muscat, Oman, which he attended, after the outbreak of polio in the eastern Syrian city of Deir al-Zour had been confirmed.

“The reality is, you’ve got a reinfection of the Middle East,” Dr. Aylward said in a telephone interview from Geneva, the W.H.O. headquarters. “This is going to require a massive coordination.”

Experts at the W.H.O. in viral infection believe that the Syria strain is the same as a polio virus first detected in Pakistan, which was found recently in sewage from Egypt, the Palestinian territories and Israel. Tests to determine its precise lineage are expected to be completed by the end of this week.

Dr. Aylward, a Canadian who has overseen the organization’s antipolio effort since 1998, said health ministers from Syria and its neighbors shared a concern for the urgency of defeating the return of the disease, once thought to be eradicated in the region.

Polio primarily afflicts children ages 5 and under, infecting their digestive systems and leading to paralysis and sometimes death. It had not been seen in Syria for 14 years until last month, and the collapse of the country’s public health system because of the civil war has been blamed in part for the disease’s revival. The unrest has left many young children unprotected not just from the ravages of polio but also from other communicable diseases.

The W.H.O. began a polio eradication campaign 25 years ago and has basically conquered the disease in all but three countries — Pakistan, Afghanistan and Nigeria — down from more than 125 in 1988. But the polio virus has a remarkable ability to find vulnerable populations, and outbreaks were reported last spring in Somalia and Kenya.

Dr. Aylward acknowledged that the vaccination effort in Syria could be particularly difficult because the government does not control some parts of the country and has been criticized by international relief agencies for impeding the delivery of emergency aid to civilians, particularly those in rebel-held areas. The United Nations has said more than nine million people — 40 percent of Syria’s population — have been uprooted by the war, either internally displaced or living as refugees in neighboring countries.

Nonetheless, Dr. Aylward said, Syrian health officials have responded positively to the need to fight polio, which knows no political boundaries.

“There’s a sense of obligation and responsibility,” he said. “Syrians aren’t stupid people, they’re very smart people. With polio, speed is everything — you want to get in there as quickly as possible.”.

source: www.nytimes.com

 

 

 

Indonesia Membutuhkan Tenaga Kesehatan di Daerah Terpencil

Menyediakan layanan kesehatan di wilayah terpencil menjadi perhatian utama bagi Indonesia. Papua adalah satu dari 20 provinsi dengan angka kematian ibu dan anak yang tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah akses yang minim ke fasilitas kesehatan dan tidak adanya tenaga kesehatan yang ahli.

John Gobay yang berusia 29 tahun hanya bisa terbaring. Dia baru saja masuk ke Puskesmas Skuow, di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Lengan kanannya terluka akibat kecelakaan mobil. Suster Amelia Womsior adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang ada saat itu.

“Menurut pemantauan masih normal. Tekanan darah, dan tanda-tanda vital yang menyertai masih dalam batas normal. Nah, karena butuh istirahat, pergelangan tangannya hanya sedikit terjepit, jadi susah untuk digerakkan. Jadi, untuk sementara, kita observasi tanda-tanda vitalnya dulu, keadaan umumnya bagus. “

Dia bukan dokter, kata Martha Retto, kepala puskesmas. Tapi Suster Amelia sangat dipercaya warga setempat. “Paling banyak dikenal warga, kepercayaan juga lebih menjangkau mereka.” Dengan kondisi geografis yang sulit, kebanyakan tenaga kesehatan lebih memilih bekerja di kota besar. Akibatnya tidak ada penyebaran yang rata untuk tenaga kesehatan … dan terjadi kekurangan di daerah terpencil.

Suster Amelia telah bekerja di sini selama 8 tahun.

“Ini panggilan nurani untuk terus melayani, itu yang memotivasi saya. Yang kedua, sudah jadi bakat dalam pelayanan untuk bekerja dalam satu instansi untuk melayani. Jadi sudah terpanggil untuk melayani.” Puskesmas Skuow terletak 60 kilometer dari ibukota Papua, Jayapura. Tempat ini bisa ditempuh dengan 3 jam perjalanan dengan mobil, di jalan yang panjang dan berliku. Sekitar 30 pasien datang ke sini setiap hari… mulai dari terserang malaria, kecelakaan di jalanan atau pengecekan kehamilan.

Kata Amelia, tak mudah bekerja di daerah terpencil seperti ini.

“Kendala secara umumnya, kami kendalanya pada minum. Air kurang bersih. Terus yang kedua, tenaga kesehatan yang harus stand by bersama-sama dengan saya untuk bekerja 24 jam. Karena di sana kerjanya sesuai dengan jam dinas, jam 7 sampai 12. Tapi menurut pemahaman masyarakat di sana, setelah jam 12, kami harus tetap melayani full.”

Tentara berusia 38 tahun bernama Sahruddin ini sering datang langsung ke rumah Amelia untuk mengecek kesehatannya. Dia sudah ditugaskan di sini selama 5 tahun.

“Kalau di sini sudah langganan. Itu tanya Ibu suster. Jadi kalau saya ke sini periksa darah. Ibu suster bilang, malaria, ya sudah, infus. Mudah-mudahan jangan lagi. Mudah-mudahan kebal sudah. Pertama datang ke sini, itu hampir tiap minggu kena.”

Tahun lalu Kementerian Kesehatan memulai inisiatif untuk memprioritaskan program demi mengurangi angka kematian ibu dan anak di 20 provinsi, termasuk di Papua. Papua masuk daftar karena kurangnya akses ke fasilitas kesehatan akibat kendala geografis. Kadang Amelia harus berjalan berjam-jam demi menolong pasiennya.

“Waktu itu saya bantunya di hutan. Cukup jauh dari rumah. Jam 5 pagi, keluarganya jemput di rumah, terus kita sampai di sana, ternyata ibunya ini sudah masuk di hutan. Jadi melahirkannya di hutan. Lalu, saya tenteng semua peralatan. Saya masuk ke hutan, dan saya bantunya di hutan. Pas saya bantu, bayi sudah lahir dan ibunya sudah shock. Pingsan.”

Dinas Kesehatan Jayapura telah meminta lebih dari 5000 tenaga kesehatan baru untuk ditempatkan di daerah terpencil di pulau ini. Tapi banyak yang khawatir akan keselamatan mereka.

Pada 2009, perbatasan Indonesia dan Papua Nugini di Skuow ditutup karena kondisi keamanan yang memburuk – sejumlah polisi ditembak dan ada serangan bom ke kantor polisi.

Tapi ada juga kendala lain: gaji yang kecil dan kurangnya fasilitas. Kepala Dinas Kesehatan Jayapura Dolarina de Breving menjanjikan kenaikan gaji, terutama bagi mereka yang bekerja di daerah perbatasan.

“Mungkin dari pusat juga perlu menambah. Karena mereka juga bekerja di perbatasan yang penuh dengan resiko.” Meski ada banyak tantangan, Amelia terus bertahan. Dia menerima gaji 2 juta rupiah per bulan…. tapi itu tidak cukup karena biaya hidup di sini bisa dua kali lipatnya.

“Hidup kami hanya tergantung pada gaji. Sampai saat ini yang kami harapkan, supaya pemerintah bisa melihat hal ini. Kami di Skouw ini bekerja full, tapi tak mendapat tunjangan itu. Waktu itu ada pertemuan dengan pemerintah, tapi sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti untuk kami.”

sumber: www.portalkbr.com

 

Tingkatkan Kompetensi Apoteker untuk Capai Derajat Kesehatan Masyarakat yang Tinggi

Pada tanggal 1 Januari 2014 mendatang, pemerintah mulai menjalankan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia. Program ini perlu mendapatkan dukungan dan kerja sama dari setiap stakeholder agar dapat berjalan dengan baik.

Di bidang kefarmasian, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, Maura Linda Sitanggang, Ph.D., mengungkapkan, saat ini orientasi bidang kefarmasian telah bergeser dari orientasi produk ke orientasi pelayanan pasien. Sehingga, dengan bergesernya orientasi tersebut terjadi suatu hubungan antara apoteker dengan pasien secara langsung.

“Untuk itu, Apoteker perlu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan terkait pelayanan kefarmasian, kemampuan berkomunikasi, serta bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan terapi yang diinginkan, atau untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,” ujar Maura saat menjadi keynote speaker pada Seminar Nasional “The 1st Indonesian Conference on Clinical Pharmacy”, Rabu (06/11) di Ball Room Hotel Hilton Bandung.

Di ambang pelaksanaan program JKN, Maura memperkirakan cakupan pelayanan masyarakat di bidang kesehatan semakin meningkat. Farmasi sendiri merupakan salah satu sistem yang mandiri, dimana posisinya tidak bisa dipisahkan dari sistem kesehatan lainnya.

“Sistem Farmasi terdiri dari 3 pilar, yaitu ketersediaan pemerataan obat, menjamin keamanan khasiat dan mutu obat serta menjamin keamanan dari penyalahgunaan obat, dan penggunaan obat yang rasional,” ujarnya.

Maura menambahkan, tenaga apoteker pun harus memiliki jaringan kompetensi. Selain menjadi apoteker di rumah sakit dan komunitas, juga memiliki kompetensi sebagai peneliti, scientist, pengajar, serta seorang pharmaceutical care di rumh sakit yang berinteraksi dengan bidang-lainnya.

Lebih lanjut ia pun mengungkapkan, sistem farmasi di Indonesia sudah termasuk kategori baik. Hanya saja, rasio jumlah apoteker perlu ditambah untuk meningkatkan kualitas. “Intinya, peran stakeholder seperti perguruan tinggi, asosiasi, profesi, dan pemerintah sangat dibutuhkan. Kita bekerja sama bagaimana meningkatkan sinergitas,” kata Maura.

Seminar nasional ini digelar oleh Fakultas Farmasi Unpad dalam rangka Perayaan Dies Natalis ke-53. Ketua pelaksana kegiatan, Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt., mengungkapkan seminar ini bertujuan untuk menambah wawasan dalam bentuk teori dan pengalaman praktik farmasi klinik.

Diikuti oleh peserta yang terdiri dari praktisi apoteker dan dokter, peneliti, akademisi, serta mahasiswa dari berbagai institusi di Indonesia. Seminar ini menghadirkan 3 pembicara utama, yaitu Prof. Dr. Joseph T. Dipiro, Pharm, D., (South Carolina College of Pharmacy Univesity of South Carolina, USA), Prof. Syed Azhar Syed Sulaiman, Ph.D., (Universiti Sains Malaysia), Prof. Tomonori Nakamura, Ph.D., (Keio University Japan).*

sumber: www.unpad.ac.idt

 

 

 

870 Dokter Asing Siap Serbu Indonesia

Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) mengeluarkan warning rencana serbuan dokter-dokter asing ke tanah air. Mereka bakal memperebutkan pemberian layanan kesehatan primer masyarakat. PDKI meminta dokter-dokter Indonesia meningkatkan kualitas dan kompetensi di bidang pelayanan pirmer.

Ketua PDKI Amrin Nurdin mengatakan, masuknya dokter-dokter asing itu secara resmi. Mereka memanfaatkan era persaingan bebas dan kesepakatan masyarakat ASEAN 2015 nanti. “Serbuan dokter-dokter asing ini harus disikapi secara bicaksana. Salah satunya adalah kita, dokter-dokter Indonesia harus meningkatkan kualitas,” katanya dalam seminar Jaminan Kesehatan Nasional Berbasis Promotif dan Preventif di Jakarta kemarin. Seminar ini diikuti sekitar 300 orang dokter umum.

Amrin menuturkan dokter asing yang sudah siap membuka jasa pelayanan di Indonesia sedikitnya ada 870 orang. Mereka akan fokus memberikan pelayanan home visit atau dokter kunjung keluarga. “Mereka masuk ke Indonesia dengan membawa berbagai perlengkapan kesehatan yang sangat memadai,” tandasnya.

Menurut Amrin kondisi itu harus menjadi pemacu semangat dokter-dokter Indonesia untuk meningkatkan kemampuannya. “Khususnya untuk menjadi dokter layanan primer dan menjadi dokter keluarga,” papar dia.

Amrin juga menyoroti pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014 nanti. Pada periode itu, mengharuskan para dokter layanan primer memahami konsep dokter keluarga. Keberadaan dokter keluarga, dinilai mampu menignkatkan peran keluarga dalam menjaga kesehatan dan mencegah penyakit atau kesakitan.

Jika masyarakat nanti tahu cara memelihara kesehatan, mereka jarang sakit. Jika jarang sakit, klaim asuransinya tidak banyak terpakai. Itu artinya terjadi penghematan dalam biaya kesehatan masyarakat. “Oleh karena itu pada sistem asuransi kesehatan massal seperti JKN, keberadaan dokter keluarga sangat penting,” paparnya. Upaya pencegahan terhadap penyakit akan lebih dominan terhadap upaya pengobatan atau penyembuhan.

Kondisi saat ini menurut Amrin, dari 80 ribu dokter praktek umum atau dokter layanan primer Indonesia, baru sekitar 5 ribu (6,25 persen) memiliki pemahaman baik tentang perannya sebagai dokter keluarga. Padahal di sejumlah negara, konsep dokter keluarga sudah sangat popular.

Sebab masyarakat setempat sudah paham bahwa penanganan oleh satu dokter yang dipercaya,biayanya jauh lebih irit. Selain itu resiko keluarga juga lebih kecil ketimbang harus berganti-ganti dokter. Dia menegaskan dokter keluarga adalah dokter praktek umum.

Hanya dalam prakteknya, mereka menggunakan pendekatan kedokteran keluarga. Pendekatan ini memiliki empat prinsip. Yaitu pelayanan yang diberikan bersifat personal (individual), pelayanan bersifat primer atau dasar, pelayanan senantiasa mengupayakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi. Dan yang terakhir adalah pelayanan bersifat berkelanjutan. Pada kesempatan ini Amrin mengatakan ada 15 ribu dokter umum menjalani pelatihan menjadi dokter keluarga.

Kendati demikian, mereka tidak bisa langsung dengan mudah masuk ke dalam pusat pelayanan kesehatan. Sebab akan banyak aturan yang harus mereka lengkapi. Sebelumnya pihak Kementerian Kesehatan menegaskan hal tersebut. “Tentu saja mereka tidak bisa langsung melakukan praktek,” ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.

Sejauh ini, lanjutnya, tenaga asing yang bisa masuk ke Indonesia baru sebatas ahli teknis di bidang kedokteran. Mereka sengaja diminta untuk memberikan arahan mengenai alat kesehatan ataupun seminar pendidikan kedokteran. Hampir jarang sekali ditemui adanya dokter asing praktek yang membuka secara langsung layanannya.

“Mereka pun mendapat pendampingan dari dokter Indonesia dalam penyampaiannya, bukan praktek mandiri,” tandas Menkes. Sehingga, menurutnya, tidak akan mudah begitu saja para dokter asing ini masuk ke Indonesia. Pihaknya juga akan melakukan perlindungan untuk dokter-dokter lokal. Oleh karenanya, ia meminta para dokter di Indonesia untuk mau bekerja sama meningkatkan kualitas kerja mereka agar tidak kalah dengan para dokter asing. (wan/mia)

sumber: sumutpos.co

 

Tanggung Biaya Kesehatan Perokok, Indonesia Bisa Bangkrut

Biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat dampak rokok tidaklah sedikit. Jumlah total biaya yang harus dikeluarkan akibat penyakit terkait rokok (PTR) diperkirakan sekitar Rp 39,5 trilyun dalam setahun. Angka ini setara 30 persen dari total keseluruhan biaya yang dikeluarkan ASKES.

Angka ini kemungkinan akan terus membesar setara jumlah perokok yang terus meningkat. “Karena itu perokok tidak perlu diikutsertakan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014. Jika diikutsertakan, negara bisa bangkrut karena menanggung biaya yang begitu besar,” kata Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), dr. Zainal Abidin, MH pada diskusi ‘Gangguan Kesehatan Dan Pembiayaan Penyakit Terkait Rokok, Tanggung Jawab Siapa?’ di Jakarta, Kamis (31/10/2013) kemarin.

Usulan dari IDI memang beralasan dengan mempertimbangkan bentuk demografi penduduk Indonesia saat ini, yang memiliki banyak usia produktif. Padahal, jumlah perokok Indonesia sebanyak 61,4 juta orang sebagian besar adalah generasi muda. Sekitar 10-20 tahun lagi, generasi muda ini akan menjadi lansia dengan berbagai penyakit akibat kebiasaan merokok yang pernah dilakukan.

Dengan keanggotaan JKN yang dimiliki, maka biaya kesehatan mereka ditanggung negara. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi keuangan negara.

Zainal juga mengacu pada Peraturan Presiden tentang JKN nomer 12 tahun 2013 pasal 25 i. Aturan tersebut memuat pelayanan yang tidak ditanggung JKN, yaitu yang diakibatkan sengaja menyakiti atau melakukan hobi yang merugikan diri sendiri.

Zainal menegaskan, menghisap rokok termasuk dalam perbuatan yang sengaja menyakiti diri sendiri, sehingga akibatnya tidak perlu ditanggung pemerintah.

“Perokok umumnya mengerti perbuatannya tidak baik dan menyakiti orang lain, tapi masih juga dilakukan. Kalau begini tidak adil bila pemerintah dan masyarakat masih harus menanggung biaya kesehatan para perokok. Jika keberatan menanggung sendiri, mungkin bisa dibantu perusahaan rokok,” kata Zainal.

Kemungkinan Indonesia yang bakal bangkrut bila menanggung biaya kesehatan perokok juga diungkapkan Direktur PT. Askes Indonesia Tbk, Fahmi Idris. Menurutnya kebangkrutan tak bisa dihindari, karena pada 2030 semua generasi muda perokok saat ini akan menderita sakit. Jenis sakit yang diderita beragam, namun hampir semuanya memerlukan biaya tinggi (katastropik).

“Bila terus begini kita pasti bangkrut. Meski begitu BPJS kesehatan tidak memisahkan pasien perokok dan bukan perokok,” kata Fahmi.

Untuk mengatasi hal ini, Zainal mengusulkan subsidi pembiayaan penyakit katastropik terkait PTR. Jumlah subsidi disarankan menutupi 30 persen biaya yang dikeluarkan Askes akibat PTR setiap tahunnya.

Namun solusi ini hanya bersifat jangka pendek. Fahmi menyatakan, pemerintah tetap harus serius menyelesaikan isu terkait pembatasan rokok dari berbagai aspek. Pembatasan rokok dapat mencegah generasi muda terpapar rokok sejak dini, sehingga faktor risiko berbagai penyakit seperti jantung dan kanker bisa dikurangi.

Solusi lain adalah memperkuat gateaway keeper, yaitu upaya promotif dan preventif. Usaha ini bisa dilakukan dokter di layanan kesehatan primer yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Masyarakat juga dapat membentengi diri sendiri dengan terus menambah pengetahuan dan tidak segan menginfokan kerugian merokok.

“Konsep ini jadi mirip dokter keluarga. Kita juga bisa mencontoh Thailand terkait upaya promotif dan preventif, yang menggunakan cukai dari rokok,” kata Fahmi.

sumber: health.kompas.com

 

Indonesia Masih Kekurangan 1.800 Dokter Gigi

Indonesia masih mengalami kekurangan dokter gigi sebanyak 1.800 orang. Dit Bina Usaha Kesehatan Dasar, Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut, Kementerian Kesehatan, Drg. R Sudono, mengatakan berdasarkan data pada 2011, Indonesia hanya memiliki 21.900 dokter gigi. “Pada 2011, terdapat 21.900 dokter gigi dengan Surat Tanda Registrasi (STR). Idealnya 1:10000 untuk melayani 237 juta penduduk Indonesia. Jadi masih kurang,” kata Sudono.

Sementara itu, berdasarkan data pada 2012, sebanyak 40 persen dari 9.599 puskesmas di Indonesia belum memiliki dokter gigi. “Sekitar 60 persen puskesmas sudah ada dokter giginya,” tambahnya.

Ia menambahkan, saat ini puskesmas memerlukan dukungan dalam meningkatkan peranan dokter gigi di puskesmas. Sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan gigi yang optimal kepada masyarakat.

Menurutnya, peranan tenaga medis di puskesmas untuk memberikan informasi terkait pentingnya merawat gigi dan mulut sangatlah penting. “Puskesmas adalah ujung tombak dalam melakukan upaya kesehatan masyarakat,” kata Sudono.

Sudono mengatakan, untuk mengurangi dampak penyakit dari gigi dan mulut, pihaknya melakukan upaya penyuluhan. Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan, Drg. Marlina Ginting, mengatakan puskesmas selain memberi pengobatan juga memberi pelayanan promotif preventif. “Yaitu upaya edukasi ke masyarakat agar mampu menjaga kesehatan termasuk kesehatan gigi dan mulut, juga mampu mengenali permasalahan kesehatan lebih dini, agar mampu mencegah dan mengatasi,” katanya.

Menurutnya, para petugas-petugas puskesmas tersebut perlu dibekali dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Berdasarkan data pada 2011, terdapat 30,46 persen tenaga media yang telah mendapatkan pelatihan.

Sementara itu, sebanyak 45 persen penduduk Indonesia mengalami gigi sensitif. Namun, hampir separuh lebih penduduk Indonesia masih memiliki kesadaran rendah untuk memeriksakan kepada dokter.

GlaxoSmithKline (GSK) Head of Expert Marketing, Dr. Maria Melisa, mengatakan sebanyak 52 persen masyarakat tidak berkonsultasi kepada dokter terkait keluhannya. “Dan lebih dari 75 persen belum menanganinya dengan solusi baik dan benar,” katanya.

sumber: www.republika.co.id

 

Indonesia Luncurkan Situs AIDS Pertama di Asia Pasifik

Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi secara resmi meluncurkan informasi tentang HIV/AIDS secara digital atau disebut AIDS Digital, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (31/10). AIDS Digital dibuat atas inisiatif Indonesia AIDS Coalition (IAC), yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang anggotanya berasal dari komunitas terdampak AIDS.

Menkes mengatakan, AIDS Digital ini menyediakan informasi, lokasi, dan jadwal pelayanan secara langsung, sehingga menghemat waktu dan biaya. Terutama lagi dapat mengurangi hambatan budaya yaitu rasa malu dengan adanya stigma masyarakat terhadap komunitas orang dengan HIV/AIDS (odha).

“Aplikasi ini sangat membantu para odha yang takut dan malu untuk mengakses layanan maupun informasi karena masih tingginya stigma masyarakat. Ini peluang bagi kita untuk memanfaatkan dunia informasi dan teknologi guna menjangkau odha dengan informasi HIV/AIDS, terutama generasi muda,” kata Menkes.

Menkes mengatakan, aplikasi ini adalah yang pertama di Wilayah Asia dan Pasifik, juga dibuat sendiri oleh komunitas terdampak AIDS, sehingga sangat efektif memberikan informasi yang tepat. Selain itu dengan adanya fasilitasi pemanfaatan teknologi informasi ini tentunya akan memperkuat kampanye edukasi Aku Bangga Aku Tahu, yang sedang gencar disosialisasikan Kemkes dan sejumlah kementerian serta lembaga terkait.

Di dalam aplikasi ini terdapat 3 jenis layanan utama, yaitu HIV 101 yang berisi informasi dasar serta praktis terkait HIV/AIDS. Layanan ini berguna untuk pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan.

Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhana mengatakan, mimpi IAC untuk bisa mengakses informasi tanpa ada rasa tabu, malu dan takut akhirnya terjawab. Selama ini, kata dia, odha mengalami kendala sendiri dalam mengakses informasi tentang penyakitnya karena masih tingginya stigma.

“Dengan aplikasi ini mampu menjaga kualitas kesehatan odha, memberikan dukungan apabila ada keluarga yang menderita HIV/AIDS,” kata Aditya.

Menurutnya, dengan sekitar 63 juta pengguna internet di Indonesia dan jumlahnya terus meningkat menciptakan peluang potensial untuk menyebarkan informasi dan sosialisasi. Ini menjawab kebutuhan untuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi mereka yang membutuhkan informasi tentang HIV/AIDS.

AIDS Digital ini sebagai bentuk kontribusi korban terdampak HIV/AIDS untuk memperkuat dan menyukseskan program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Aplikasi ini juga berisi Direktori Layanan AIDS yang terdiri dari layanan tes HIV, layanan terapi antiretroviral (ARV), layanan kelompok dukungan bagi orang dengan HIV, layanan alat suntik steril, layanan methadone, layanan pencegahan HIV orang tua kepada anak, layanan rumah sakit rujukan AIDS dan layanan infeksi menular seksual.

Selain itu, juga terdapat direktori lembaga dan organisasi yang bekerja untuk program penanggulangan AIDS yang mencakup Kemkes dan jajarannya, Komisi Penanggulangan AIDS sampai tingkat kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat dan juga organisasi jaringan populasi kunci.

sumber: www.beritasatu.com

 

Kebutaan Hambat Tercapainya Target MDGs

Kebutaan menjadi salah satu masalah yang dihadapi pemerintah dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015 mendatang. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah menjamin pengobatan mata termasuk pada Badan Pelaksanaan Jaminan Sosial (BPJS).

Direktur bina Upaya Kesesehatan Dasar (BUK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dedi Kusenda mengatakan kebutaan mempengaruhi keadaan perekonomian seseorang. Hal ini berhubungan dengan target MDGs yaitu penanggulangan kemiskinan dan kelaparan selain dan target Vision 2020. Vision 2020 adalah program yang membantu masyarakat miskin yang mengalami gangguan penglihatan melalui pelayanan di masyarakat, pendidikan dan pelayanan sosial dalam menurunkan kebutaan.

Dedi mengatakan pengobatan mata seperti katarak akan dicover oleh pemerintah dalam BPJS. Untuk itu pemerintah akan menguatkan sistem pelayanan dasar primer khususnya di puskesmas melalui screening mata. Hal ini bertujuan untuk mencegah meledaknya masyarakat yang langsung pergi ke rumah sakit.

“Setiap orang akan didiagnosa sesuai dengan standar komposisi yang ditentukan. Untuk itu kita akan menguatkan dari sistem, biaya dan SDM,” kata Dedy pada Selasa (29/10).

Dia mengatakan hal ini merupakan upaya pencegahan dan antisipasi sebelum penyakit mata berlanjut mengakibatkan kebutaan. Namun lain yang dihadapi adalah penyebaran tenaga kesehatan seperti dokter umum dan dokter spesialis mata yang belum merata. Jumlah dokternya, lanjut Dedy, sudah cukup merata. Tetapi permasalahannya adalah mereka jarang ada yang mau dikirim kedaerah.

Akibat dari otonomi daerah, pemerintah sulit mendapatkan data untuk melakukan penanggulangan di daerah-daerah. Pemerintah akan melakukan pengelompokan sesuai regional dalam melakukan rujukan.

Dari data yang disampaikan Dedi, menurut WHO jumlah orang buta di dunia mencapai 39 juta. Sedangkan yang termasuk kedalam golongan low vision mencapai 246 juta dan yang mengalami kebutaan mencapai 285 juta.

Sedangkan penyebab kebutaan seperti katarak mencapai 51%, glukosa 8%, kelainan refaksi 35% dan kebutaan pada anak 4%. Ia menambahkan sebanyak 90% kebutaan dan gangguan penglihatan terdapat di negara miskin.

Ketua Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Nila F. Moeloek mengatakan selama ini pelayanan kesehatan mata sering ditempatkan pada pelayanan sekunder. Untuk itu diharapkan dalam BPJS nanti, pemerintah dapat mempersiapkan layanan primer di puskesmas maksimal dengan pertanggungan sesuai dengan anggaran yang dipersiapkan.

Dia mengatakan, selain screening sebagai pemeriksaan kesehatan mata di puskesmas diharapkan masyarakat juga memeriksakan tekanan darah dan kadar glukosa. Pola hidup dan pola makan yang banyak dilakukan masyarakat sekarang ini membuat obesitas menjadi permasalahan yang dapat menyebabkan kebutaan.

Nila mengatakan saat ini terdapat sekitar 2000 dokter spesialis mata. “Namun kami meminta agar pemerintah memperbaiki pelayanan kesehatan sekunder harus dilengkapi dengan sarana, alat, dan sistem pembiayaan yang jelas,” kata Nila.

Saat ini di Indonesia prevalensi kebutaan dikarenakan katarak mencapai 52%, glaucoma 13%, retina 9% dan penyebab lainya 10%. Sebagai utusan Presiden untuk percepatan pencapaian target MDGs, Nila mengatakan negara seharusnya dapat mengeluarkan biaya operasi katarak setiap tahunya sebesar Rp 9 Miliar. Jumlah ini membuat negara mengehemat Rp 648 Miliar per tahunya untuk dana beban hidup lansia.

“Harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat menjadi 72 tahun. Sedangkan 46 tahun adalah usia rentan terkan katarak di tengah kebanyakan masyarakat kita,” jelas Nila.(Vera Erwaty Ismainy)

sumber: www.metrotvnews.com

 

Indonesia Jadi Pusat Pengembangan dan Pelatihan Radiologi di Asia Tenggara

Indonesia akan memiliki pusat pengembangan dan pelatihan radiologi pertama di Asia Tenggara. Fasilitas ini terbangun atas kerjasama National Hospital Surabaya dengan General Electric (GE) yang disepakati Senin (28/10/2013) kemarin di Surabaya.

“National Hospital menjalin kerja sama dengan GE untuk menyediakan alat dan memberi pelatihan radiologi untuk memberikan fasilitas yang terbaik se-Asia Tenggara, karena itu tempat ini menjadi pusatnya,” ujar Chief Executive Officer National Hospital Rudy Surjanto di sela-sela peresmian National Hospital pada waktu yang sama.

Rudy mengatakan, pusat pengembangan dan latihan radiologi dibangun khususnya untuk meningkatkan mutu layanan rumah sakit. Oleh sebab itu, National Hospital juga akan terus melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap piranti lunak yang dimilikinya.

“Piranti lunak akan selalu diperbaharui untuk menjaga layanan ini berkesimbungan. Kerja sama yang dilakukan dengan GE bertujuan agar pembarahuan ini menjadi lebih mudah,” kata dia.

Pelatihan yang menjadi layanan dari fasilitas ini sasarannya adalah dokter radiologi, radiografer, teknisi, dan manajemen GE di Asia Tenggara. Didukung dengan peralatan termutakhir, misalnya CT Scan 128 Slice, dengan kemampuan interpolasi 500 slices dan MRI 3 Tesla Wide Bore, dan piranti lunak yang selalu diperbaharui, Rudy optimis National Hospital akan menjadi rujukan pelatihan radiologi.

Menurut Rudy, kerja sama yang dilakukan dengan GE merupakan upaya yang paling tepat guna mewujudkan pusat pengembangan dan pelatihan radiologi pertama di Indonesia, dan Asia Tenggara ini. GE, kata Rudy, tidak hanya inovatif menciptakan alat, tetapi juga selalu memperbaharui piranti lunak secara berkala.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, dengan adanya pusat pengembangan dan pelatihan radiologi diharapkan dapat berdampak positif bagi kemajuan teknologi kedokteran di Indonesia maupun Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga dapat diandalkan sebagai penyedia layanan terpercaya pengobatan.

“Dengan fasilitas peralatan kesehatan yang begitu modern ini, saya harapkan tidak perlu lagi ada orang yang berobat keluar negeri. Karena sebetulnya rumah sakit di Indonesia sudah dapat memberikan pelayanan yang memadai,” pungkasnya.

sumber: health.kompas.com