Indonesia Masih Defisit Tenaga Kesehatan, Ini Data Kemenkes

Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam pemenuhan hak kesehatan masyarakat.

Karena itu, mulai tahun 2014 lalu Indonesia memberlakukan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
UU tersebut mewajibkan pemerintah untuk melakukan perencanaan, pengadaan serta pendayagunaan tenaga kesehatan sesuai kebutuhan warga di berbagai wilayah Indonesia.

Namun, sampai sekarang amanat UU itu belum berhasil terlaksana sepenuhnya.

Menurut data lansiran Kepala Bagian Kepegawaian dan Umum Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian (Ditjen Farmalkes) Kementerian Kesehatan RI, sampai tahun 2019 ini Indonesia masih defisit berbagai jenis tenaga kesehatan. Berikut paparan singkatnya.

Defisit Dokter Gigi

Standar kebutuhan tenaga kesehatan Indonesia telah ditetapkan dalam Permenkes 75 Tahun 2014 dan Permenkes 9 Tahun 2014.

Menurut standar tersebut, Indonesia memiliki kebutuhan dokter gigi sebanyak 9.825 orang untuk Puskesmas Rawat Inap (Ranap) dan Non-Ranap.

Tapi menurut data Ditjen Farmalkes, Indonesia baru memiliki 7.127 dokter gigi untuk Puskesmas. Artinya, masih ada defisit sebanyak 2.698 orang.

Ditjen Farmalkes juga mencatat bahwa Indonesia membutuhkan 28.000 dokter gigi untuk klinik. Namun, sampai saat ini jumlah SDM riilnya belum diketahui.

Defisit Apoteker

Apoteker memiliki peran penting dalam penyelenggaraan layanan kesehatan.
Tugasnya meliputi distribusi obat, menjaga kualitas penyimpanan obat, sampai menyeleksi obat-obatan yang sudah kadaluarsa.
Tapi sayangnya, menurut data Ditjen Farmalkes, jumlah apoteker di Indonesia belum memenuhi standar.

Idealnya, Puskesmas Ranap dan Non-Ranap membutuhkan 13.279 orang apoteker. Namun, SDM riilnya hanya berjumlah 12.155 orang saja.

Artinya, Indonesia masih kekurangan apoteker sebanyak 1.124 orang.

Sementara itu, Indonesia juga membutuhkan 14.000 apoteker untuk klinik. Namun, Ditjen Farmalkes belum punya data soal jumlah SDM riil yang tersedia.

Defisit Tenaga Kesehatan Masyarakat

Menurut UU No. 36 Tahun 2014, Tenaga Kesehatan Masyarakat terdiri dari epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.

Puskesmas dan klinik di Indonesia membutuhkan total 19.650 Tenaga Kesehatan Masyarakat. Namun menurut data Ditjen Farmalkes, SDM riilnya hanya mencapai 13.458 orang saja.

Dengan begitu, Indonesia masih defisit Tenaga Kesehatan Masyarakat sebanyak 6.192 orang.

Defisit Tenaga Gizi

UU No. 36 Tahun 2014 menyebut bahwa Tenaga Gizi adalah ahli di bidang nutrisionis dan dietisien.

Tenaga kesehatan jenis ini bisa menangani pengaturan standar gizi untuk individu, masyarakat umum, ataupun pasien rumah sakit.

Menurut standar yang diatur dalam Permenkes, seluruh Puskesmas Indonesia membutuhkan 13.279 Tenaga Gizi.
Tapi SDM riil yang ada hanya 10.697, sehingga Indonesia masih defisit Tenaga Gizi sebesar 2.582 orang.

Indonesia juga membutuhkan 14.000 Tenaga Gizi untuk klinik. Namun sampai sekarang jumlah SDM riilnya belum diketahui.

Defisit Teknisi Pelayanan Darah

Transfusi darah tergolong sebagai tindakan medis yang sangat beresiko dan bisa berakibat fatal.

Karena itu, layanan kesehatan Indonesia membutuhkan tenaga ahli yang disebut Teknisi Pelayanan Darah.

Menurut Ditjen Farmalkes, Puskesmas serta klinik di seluruh Indonesia membutuhkan 9.825 Teknisi Pelayanan Darah.
Namun SDM riilnya hanya berjumlah 8.124, sehingga Indonesia masih defisit Teknisi Pelayanan Darah sebanyak 1.701 orang.

(Sumber: Paparan Kabag Kepegawaian dan Umum Ditjen Farmalkes, Pemetaan Kebutuhan Tenaga Kefarmasian, Kemenkes RI, 2019; www.farmalkes.kemkes.go.id)

link: https://kbr.id/berita/03-2019/indonesia_masih_defisit_tenaga_kesehatan__ini_data_kemenkes/98931.html

 

Kemenkes Dorong Pembangunan SDM Era 4.0

Kementerian Kesehatan RI melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Hasilnya telah terjadi perbaikan baik sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas kesehatan dengan harapan mampu bersaing di era digital 4.0.

Perbaikan itu dilakukan pada tataran SDM, pemerataan fasilitas kesehatan, pemerataan tenaga kesehatan, dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal itu diwujudkan dalam Program Indonesia Sehat.

Menkes RI Nila Moeloek mengatakan pemerintah mendorong pembangunan kesehatan melalui Program Indonesia Sehat. Program Indonesia Sehat terdapat 3 komponen yakni Mewujudkan Paradigma Sehat, Penguatan Pelayanan Kesehatan, dan Jaminan Kesehatan Nasional.

”Program tersebut dilaksanakan dengan Pendekatan Keluarga sehingga keluarga sehat dapat terwujud,” kata Menkes Nila Moeloek pada diskusi media di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Selasa (12/3).

Terkait perbaikan SDM, Menkeals Nila mengatakan Program Indonesia Sehat telah menunjukkan perbaikan seperti pada kesehatan ibu dan anak. Angka Kematian Ibu (AKI) mengalami penurunan dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 (SDKI,1990) menjadi 305 per 100.000 per kelahiran hidup (SUPAS, 2015).

Data pelaporan rutin dari provinsi juga menunjukkan penurunan jumlah kematian ibu dan bayi

Menkes Nila mengaku adanya penurunan AKI dan AKB terjadi karena beberapa faktor, yakni hampir seluruh Puskesmas yaitu 9456 telah melaksanakan kelas ibu hamil, 96,1% ibu hamil pernah mendapatkan pelayanan antenatal sekali selama kehamilannya, 86% ibu hamil periksa sekali sewaktu trimester I, dan 74,1% ibu hamil periksa sesuai standar, serta persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan telah mencapai 86%.

Menkes Nila menjelaskan, saat ini status gizi masyarakat mengalami perbaikan. Berdasarkan Riskesdas, persentase Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) di tahun 2013 sebesar 24,2% dan pada tahun 2018 mengalami penurunan yaitu sebesar 17,3%.

Persentase Balita stunting di tahun 2013 sebesar 37,2% dan menurun menjadi 30,8% di tahun 2018. Upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi terutama stunting sudah mengalami peningkatan. Sedangkan untuk Balita wasting (kurus dan sangat kurus) di tahun 2013 sebesar 12,1% dan turun menjadi 10,2% pada tahun 2018.

Perbaikan juga dilaksanakan pada pengendalian penyakit menular seperti upaya pengendalian penyakit tuberculosis paru dapat dilihat dari angka keberhasilan pengobatan TB pada tahun 2018 mencapai 86% dan terdata 1.508.864 pasien telah diobati sejak 2015.

Terkait perbaikan di bidang fasilitas kesehatan, dalam rangka pemerataan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, Kemenkes telah melakukan upaya afirmatif melalui dana alokasi khusus.

”Kementerian Kesehatan melakukan upaya afirmatif dengan mengalokasikan dana alokasi khusus afirmasi bidang kesehatan tahun 2018 sehingga pemerintah daerah dapat membangun puskesmas daerah tertinggal dan perbatasan,” ucap Menkes.

Adapun pembangunan Puskesmas daerah tertinggal dan perbatasan pada Tahun 2018 sebanyak 249 Puskesmas Perbatasan dan Daerah Tertinggal di 49 Kabupaten dibandingkan Pembangunan 110 Puskesmas Perbatasan di 48 Kab/Kota di Tahun 2017. Tahun ini, direncanakan pembangunan Puskesmas di daerah Perbatasan dan Tertinggal sebanyak 270 Puskesmas di 98 kabupaten/kota.

Selain Puskesmas, pembangunan RS Pratama juga merupakan salah satu program prioritas Kementerian Kesehatan RPJMN 2015 2019 dalam mendekatkan akses daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan atau sering disebut 3 T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Program ini untuk memenuhi kebutuhan akses pelayanan kesehatan yang masih minim di daerah-daerah pelosok.

Pembangunan RS Pratama dengan target indikator 64 RS Pratama dibangun dalam 5 tahun (kumulatif). Tahun 2015 telah terbangun 22 RS Pratama, tahun 2016 telah terbangun 12 RS Pratama, tahun 2017 telah terbangun 17 RS Pratama, tahun 2018 telah terbangun 10 RS Pratama, dan tahun 2019 direncanakan dibangun 3 RS Pratama.

Selanjutnya, dalam mengurangi ketimpangan pelayanan kesehatan dengan peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2015 hingga September 2018 melakukan pemerataan tenaga kesehatan. Kemenkes telah menempatkan tenaga kesehatan melalui Nusantara Sehat baik secara tim maupun individu.

Sebanyak 7.377 tenaga kesehatan yang tersebar di 1.661 Puskesmas Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan di 361 Kab/Kota di 29 Provinsi.
Selama 4 tahun telah memberikan beasiswa pada 3.601 dokter untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis.

Kementerian Kesehatan dari tahun 2016 sampai 2018 juga telah menempatkan Calon Dokter Spesialis (Residen) sebanyak 1.787 orang dan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) sebanyak 2.039 orang yang tersebar di 631 Rumah Sakit.

Sebagai perwujudan pilar ketiga Program Indonesia Sehat, kepesertaan JKN KIS mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 2014. Pada akhir 2014 tercatat kepesertaan sebanyak 133,4 juta jiwa dan terus meningkat tahun 2018 mencapai 207,8 juta jiwa dan pada bulan februari 2019 mencapai 217 juta jiwa.

Proporsi kepesertaan terbanyak berasal dari segmen PBI JKN sebesar 44% dari total kepesertaan JKN di akhir tahun 2018.

Jumlah PBI JKN terus mengalami peningkatan sejak tahun 2014. Pada akhir tahun 2018 jumlah PBI JKN mencapai 92,4 juta jiwa dengan realisasi pembayaran iuran PBI sebesar 25,49 Triliyun. Tahun 2019 ini Pemerintah telah mengalokasikan 26,7 Triliyun rupiah untuk pembayaran iuran 96,8 juta jiwa peserta PBI JKN setiap bulannya.

Sebagai gambaran bahwa program JKN sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia, terlihat bahwa dari tahun ke tahun pemanfaatan program JKN meningkat terus. Untuk Tahun 2017 program JKN sudah dimanfaatkan sebanyak 223,4 juta kunjungan, sementara untuk tahun 2018 dimanfaatkan sebesar 233,8 juta kunjungan.

Industri 4.0

Dalam perkembangan era industri 4.0, Kementerian Kesehatan membuat aplikasi telemedicine berbasis web yang bermanfaat untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan khususnya untuk daerah-daerah yang sulit terjangkau.

Aplikasi telemedicine berbasis Web dimana menu aplikasi yang dikembangkan saat ini adalah:

  1. Tele radiologi : memberikan ekspertise pemeriksaan radiografi untuk mendukung hasil diagnosis.
  2. Tele USG : memberikan ekspertise pemeriksaan EKG untuk mendukung hasil diagnosis.
  3. Tele EKG : memberikan ekspertise pemeriksaan USG untuk mendukung hasil diagnosis.
  4. Tele Konsultasi : melakukan konsultasi online melalui video dari pasien kepada dokter spesialis.

Kementerian Kesehatan juga mengembangkan aplikasi yang dapat melayani masyarakat dalam memberikan informasi konsultasi seputar kesehatan maupun permasalahan kesehatan lainnya. Aplikasi yang bernama SehatPedia merupakan strategi inovasi dalam peningkatan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan.

SehatPedia memiliki 5 fitur utama, yaitu

  1. Konsultasi Interaktif (Live Chat) konsultasi interaksi masyarakat dengan dokter UPT yang sudah bergabung dengan SehatPedia.
  2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan masyarakat dapat mengakses informasi rumah sakit serta dokter-dokter professional dan berpengalaman yang dapat memberikan konsultasi melalui aplikasi SehatPedia.
  3. Artikel Kesehatan Informasi kesehatan yang memberikan edukasi tentang upaya promotif, preventif dan kuratif di bidang kesehatan.
  4. Regulasi Bidang Kesehatan (ePolicy) masyarakat dan stakeholder bidang kesehatan dapat mengakses seluruh kebijakan bidang kesehatan yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan hingga Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
  5. Link Pendaftaran Online Rawat Jalan masyarakat dapat mendaftar secara online untuk pelayanan rawat jalan di rumah sakit hingga pendaftaran dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

Selanjutnya Kementerian Kesehatan mengembangkan SISRUTE yang merupakan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal dimana seluruh proses rujukan dilakukan secara terintegrasi

”Di era global dan digital ini dibutuhkan kompetensi tenaga kesehatan yang lebih kompleks, selain kompetensi profesional, diperlukan kompetensi baru berupa literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia dilengkapi dengan kompetensi interprofesional agar dapat membangun kultur pelayanan kesehatan secara interdisiplin,” kata Menkes.

Upaya peningkatan kompetensi tenaga kesehatan dilakukan melalui program pengembangan pendidikan keprofesian yang merupakan peran utama organisasi profesi, pelatihan teknis bagi tenaga kesehatan dan pengangkatan dalam jabatan fungsional bagi tenaga kesehatan. Pembiayaan pelatihan teknis bagi tenaga keehatan dapat dilakukan secara mandiri, subsidi maupun pembiayaan dari pemerintah baik pusat maupun daerah.

sumber: http://www.depkes.go.id/article/print/19031200002/kemenkes-dorong-pembangunan-sdm-era-4-0.html

 

Ide Apoteker Nuklir Dipuji Kemenkes

Ikatan Apoteker Indonesia atau IAI merancang naskah akademik studi apoteker spesialis nuklir. Langkah ini bertujuan mematangkan kebutuhan penanganan kesehatan berbasis nuklir.

Ketua IAI, Nurul Falah Eddy Pariang mengatakan, penyediaan spesialis nuklir merupakan momentum pemanfaatan perkembangan ilmu kesehatan yang berkaca ke Amerika maupun Eropa. Nurul menuturkan, apoteker spesialis nuklir merupakan apoteker yang bergerak di bidang farmasi nuklir.

“Jadi di dalam ilmu kesehatan berkembang juga kedokteran nuklir yang menggunakan bahan yang memang kita bicara nuklir itu selalu bom atom, peledak. Padahal itu suatu zat yang bisa digunakan untuk kesehatan,” ujarnya dalam Rakernas dan pertemuan ilmiah nasional 2019 dengan topik Enhancing Public Access to Pharmatcists In Digital Era di Bandung, Rabu 13 Maret 2019.

Menurut Nurul, spesialis nuklir nantinya akan menyediakan obat-obat dengan kualitas lebih unggul dibandingkan produk konvensional. “Dokternya melakukan diagnosis berdasarkan kedokteran nuklir, apoteker menyiapkan ketersediaan untuk farmasi nuklir yang biasanya waktunya sangat pendek. Seperti begitu disiapkan sekitar tiga jam sudah expired dan itu pengobatan yang efektif,” katanya.

Nurul mengatakan, studi nuklir untuk bidang kesehatan baru ada untuk kedokteran, sedangkan untuk apoteker belum didirikan. “Tapi kebutuhannya apoteker nuklir ini ada. Sehingga kita berkolaborasi dengan teman-teman dari kedokteran nuklir untuk bersama-sama,” ungkapnya.

Kampus yang dipersiapkan untuk apoteker spesialis nuklir yaitu Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Jawa Barat. “Rencananya yang akan membuat prodi di Unpad,” katanya.

Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalen mengatakan, lembaganya mengapresiasi rencana tersebut. Kemenkes menyadari, ilmu kesehatan di Indonesia terus berkembang seiring dengan kematangan penanganan medis dari segi obat maupun alat.

“Kalau ada kebutuhan, maka pemerintah wajib merealisasikan kebutuhan tersebut. Saya tahu kedokteran nuklir kan sudah lama berkembang, mesti ada obat-obatannya juga.” (mus)

sumber: https://www.viva.co.id/digital/teknopedia/1129883-ide-apoteker-nuklir-dipuji-kemenkes

 

 

 

Menkes RI Terima Award Holmes Lecture 2019

Menteri Kesehatan Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K) mendapatkan anugerah Holmes Lecture Award 2019 dari Asia-Pacific Academy of Ophthalmology.

Penghargaan tersebut diterima langsung oleh Nila pada acara Pembukaan Kongres APAO ke-34 di Bangkok. Acara tersebut dihadiri sekitar 6.500 peserta, termasuk Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Thailand Ahmad Rusdi.

Presiden APAO Charles N.J. McGhee, menjelaskan bahwa Award tersebut diberikan atas kontribusi dan dedikasi Menkes Nila dalam pembangunan kesehatan global, termasuk mendukung program pelayanan kesehatan mata di kawasan Asia Pasifik.

“APAO bangga dengan kinerja dan pengabdian Ibu Nila Moeloek sebagai dokter spesialis mata dan sukses menjadi Menteri Kesehatan di Indonesia. APAO mengakui kontribusi peran aktif Ibu Nila Moeloek antara lain sebagai anggota Board Maternal, New Born and Child Health WHO, anggota Executive Board WHO, dan anggota Board Eat Forum. Selain itu, juga sukses mendorong peningkatan akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil dan kepulauan,” ungkap McGhee, Rabu (6/3/2019).

McGhee juga berharap kinerja Menteri Kesehatan RI ini dapat menjadi inspirasi bagi seluruh anggota APAO di Kawasan Asia Pasifik.

Dalam kesempatan bertemu dengan Board APAO, Nila menyampaikan terima kasih atas Award yang diberikan sebagai pengakuan atas pengabdian dan kinerjanya selama ini.

Namun demikian, Menteri Kesehatan menyatakan bahwa penghargaan bukan untuk dirinya sendiri.

“Award ini bukan hanya untuk diri saya sendiri saja, namun pada hakekatnya adalah untuk rakyat dan Pemerintah Indonesia, khususnya sahabat-sahabat yang selama ini mendukung saya mencapai kesuksesan pembangunan Indonesia Sehat,” tutur Nila.

Kongres APAO ke-34 akan berlangsung dari tanggal 6 sampai 9 Maret 2019. Kongres menyelenggarakan berbagai program kegiatan berupa Seminar, Diskusi Panel dan Temu Ilmiah serta Pameran di bidang Kedokteran Mata.

Kongres diselenggarakan setiap 2 tahun sekali dan dihadiri para Dokter Ahli Mata dari negara-negara di Kawasan Asia Pasifik.

Menteri Kesehatan dijadwalkan memberikan presentasi mengenai Upaya Promotif dan Preventif Tumor Mata di Indonesia dalam Sesi APAO Scientific Session pada 7 Maret 2019.

sumber: https://lifestyle.bisnis.com/read/20190307/106/897018/menkes-ri-terima-award-holmes-lecture-2019

 

Dorong Kepala Daerah Alokasikan Anggaran JKN-KIS

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Tjahjo Kumolo memberikan apresiasi kepada 4 provinsi, 120 kabupaten dan kota. Karena telah mendukung Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebagai Program Strategis Nasional. Mewujudkan Universal Health Coverage di wilayahnya lebih awal sebelum 2019.

Penyerahan penghargaan dilakukan mendagri kepada gubernur, bupati dan wali kota usai acara penghargaan UHC JKN-KIS 2018 di Istana Negara. Dihadiri Presiden Joko Widodo. Dalam kesempatan tersebut, mendagri mengingatkan kembali implementasi Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Program JKN-KIS.

Dalam Inpres tersebut, bupati dan wali kota diperintahkan untuk mengalokasikan anggaran dalam pelaksanaan Program JKN. Memastikan seluruh penduduk terdaftar dalam JKN-KIS. Menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sesuai standar kesehatan dengan SDM yang berkualitas.

Memastikan BUMD mendaftarkan, memberikan data lengkap dan benar, serta kepastian pembayaran iuran bagi pengurus dan pekerjanya. Serta memberikan sanksi administratif tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu kepada pemberi kerja selain Penyelenggara Negara yang tidak patuh dalam pendaftaran dan pembayaran iuran JKN-KIS.

Memastikannya, presiden menginstruksikan para gubernur meningkatkan pembinaan dan pengawasan kepada bupati dan wali kota. Terhadap hal-hal sebagaimana disebutkan di atas. Serta menginstruksikan agar gubernur mengalokasikan anggaran dalam rangka pelaksanaan Program JKN-KIS.

Kementerian Dalam Negeri telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh kepala daerah. Isi edaran ini, antara lain meminta seluruh gubernur, bupati, dan walikota untuk segera mengintegrasikan Jamkesda ke program JKN-KIS. Kepala daerah juga diminta mendorong seluruh warganya yang belum memiliki jaminan kesehatan agar mendaftar sebagai peserta JKN-KIS. Diharapkan seluruh penduduk terdata berdasarkan by name by address.

”Ke depan juga diharapkan tidak ada lagi Jamkesda. Karena semuanya terintegrasi menjadi satu program nasional, yakni JKN-KIS. Bila pemda ingin memiliki Jamkesda yang dibiayai dari APBD, ada baiknya mengkaver program komplementer (pelengkap) yang belum dijamin dalam program JKN-KIS,” kata Direktur BPJS Kesehatan, Fachmi Idris. (sct/wid/fer)

sumber: https://radarsolo.jawapos.com/read/2019/03/05/123204/dorong-kepala-daerah-alokasikan-anggaran-jkn-kis

 

Demam Berdarah yang Belum Ada Habisnya

JAKARTA — Musim hujan merupakan musimnya penyakit demam berdarah. Konsultan Penyakit Dalam bidang Penyakit Tropik Infeksi dr Adityo Susilo mengatakan ketika musim hujan maka nyamuk akan lebih banyak karena faktor banyaknya pula genangan air.

Menurut dr Adityo, penyebab penyakit demam berdarah adalah nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk ini selalu hadir di lingkungan masyarakat yang kotor sehingga menjadi sarang efektif bagi perkembangan nyamuk.

Larva atau jentik nyamuk adalah populasi yang dapat dilihat dengan kasat mata. Jentik nyamuk dengue hanya ditemukan di air bersih yang tidak mengalir dan dapat ditemukan dimanapun baik tempat kering maupun lembab.

“Penyakit ini masih menjadi sumber masalah di dunia, bahkan kasus ini tidak ada habis-habisnya. Pasien-pasien yang datang ke rumah sakit itu kebanyakan demam untuk tiga bulan terakhir,” ujarnya.

Demam berdarah atau DBD disebabkan oleh virus dangue yang menyebar ke manusia melalui gigitan nyamuk. Artinya DBD tidak bisa menular langsung dari seseorang ke orang lain tanpa perantara nyamuk tersebut. “Menularnya lewat nyamuk, jadi kalau nyamuk tidak bertebangan tidak akan menular,” kata dr Adityo.

Nyamuk Aedes Aegypti merupakan nyamuk yang aktif pada pagi dan sore hari. Nyamuk ini memiliki jarak terbang kurang lebih 100 meter dan umur 14 hari hingga 3 bulan.

Kemarin (25/2), Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) mengadakan forum terbuka di Jakarta dengan tujuan membantu menjelaskan wabah DBD ke masyarakat. Dinas kesehatan DKI Jakarta saat ini sudah menetapkan status waspada terhadap DBD terutama di bulan Februari-Maret 2019.

Dalam forum PAPDI, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah berupaya serius memberantas DBD. Yaitu dengan vaksinasi untuk menguatkan diri terhadap masyarakat serta mengadakan gerakan satu rumah satu jumantik.

“Jadi kalau ditanya kebijakan pemerintah seperti apa, yaitu mendorong gerakan satu rumah satu jumantik,” kata dr Siti.

Jumatik merupakan singkatan dari juru pemantau jentik, anggota masyarakat yang secara sukarela memantau keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di lingkungannya serta melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara rutin. Jumantik juga berperan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapaan masyarakat menghadapi demam berdarah dengue (DBD).

Pemerintah telah memperbarui progam gerakan satu rumah satu jumantik dengan mengajak anggota keluarga ikut serta dalam pencegahan DBD. “Sebenarnya yang paling baru adalah kita melakukan gerakan satu rumah satu jumantik karena prinsipnya itu PSN, bagaimana PSN ini dipahami. Kalau dulu kan lebih pada jumantik yang artinya juru pemantau jentik. Nah kalau sekarang juru pemantau jentik yang artinya benar-benar dilakukan anggota keluarga itu sendiri.” tutup dr. Siti Nadia

Jumantik berperan besar mencegah penularan DBD akibat nyamuk. Saat musim hujan genangan air membuat telur nyamuk lebih cepat mengupas dalam waktu kurang dari dua hari. “Jadi, kalau dulu adalah untuk mengeluarkan demam berdarah nyamuk harus mengigit orang yang terinfeksi demam berdarah ya, tapi sekarang tidak. Sekali dia (nyamuk) sudah mengigit orang demam berdarah, maka virus itu akan terbawa oleh si nyamuk,” kata dr Siti.

sumber: https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/pniqs8328/demam-berdarah-yang-belum-ada-habisnya

 

Data BPJS Kesehatan Bisa Dipakai untuk Penelitian

Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memiliki sumber data kesehatan terbesar di Indonesia. Data-data ini dapat digunakan oleh peneliti dan akademisi. Selain itu data ini juga bisa digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan Program JKN-KIS.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan pihaknya berupaya memudahkan pengelolaan data dengan menyediakan data sampel yang bisa mewakili seluruh data kepesertaan maupun pelayanan kesehatan yang ada di BPJS Kesehatan.

“Kami melihat data yang kami miliki adalah aset yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan pengambilan kebijakan yang kredibel berbasis bukti (evidence based policy) dalam penyelenggaraan Program JKN-KIS. Hal ini juga sebagai salah satu wujud transparansi BPJS Kesehatan dalam memberikan Informasi pada publik,” kata Fachmi Idris dalam acara Peluncuran Data Sampel BPJS Kesehatan Penggunaan Big Data di Gedung BPJS Kesehatan, Senin (25/2/2019).

Fachmi menjelaskan, pengelolaan data sampel sebagai pengembangan pengambilan kebijakan dalam program jaminan kesehatan bukanlah hal baru di dunia. Misalnya, sebagai penyelenggara jaminan kesehatan Korea Selatan.

National Health Insurance Services (NHIS) memiliki NHIS-National Sample Cohort, yang merupakan database data sampel 2% dan total populasi Korea Selatan, NHIS-NSC menjadi sumber data sampel yang digunakan untuk mendukung penelitian dan pengambilan kebijakan kesehatan di Korea Selatan, baik oleh akademisi, peneliti, maupun pemerintah.

Begitu pula di Taiwan National Health Insurance Research Database (NHIRD) menjadi sumber data yang powerful bagi pengambil kebijakan dan penelitian kesehatan NHIRD akan memberikan data set dalam 3 bentuk, yaitu data sampel yang mencakup 2 juta subjek yang diidentifikasi, dataset penyakit, dan data populasi lengkap.

“Data sampel BPJS Kesehatan merupakan perwakilan dari basis data kepesertaan dan jaminan pelayanan kesehatan sepanjang tahun 2015 dan 2016 yang diambil dengan menggunakan metodologi pengambilan sampel yang melibatkan banyak pihak termasuk akademsi. Pembentukan data sampel ini dimaksudkan untuk mempermudah akses dan analisis data oleh publik dan dapat dipergunakan dalam proses analisis untuk menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan,” kata Fachmi.

Dalam data sampel tersebut, disajikan 111 variabel yang bisa diolah, yang terdiri atas 15 variabel kepesertaan, 23 variabel pelayanan kapitasi fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 20 variabel pelayanan non-kapitasi FKTP, dan 53 variabel pelayanan fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang saling terhubung melalui variabel nomor kartu peserta.

Proses penyusunan data sampel harus melewati sejumla tahap. Data mentah dipisah menjadi 3 kelompok berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu 1) peserta yang belum pernah mendapatkan pelayanan kesehatan, 2) peserta yang sudah pernah mendapat pelayanan kesehatan di FKTP, dan 3) peserta yang sudah pernah mendapat pelayanan kesehatan di FKRTL Selanjutnya, dari setiap kelompok tersebut diambil secara acak 10 keluarga dan setiap anggota keluarga dihitung bobotnya.

“Berdasarkan sampel data kepesertaan ini, diambil lah sampel data pelayanan kesehatan di FKTP dan FKRTL. Proses pengambilan data sampel ini dilakukan bersama statistik, sehingga bisa menghasilkan akurasi yang baik. Seluruh masyarakat nantinya bisa mengakses data sampel ini,” kata Fachmi.

Untuk mengakses data sampel, masyarakat dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) BPJS Kesehatan dengan melampirkan surat pengantar dari instansi, formulir permohonan informasi publik, pakta integritas, proposal penelitian, dan salinan (fotocopy) identitas diri seperti KTP. Selanjutnya, BPJS Kesehatan akan memverifikasi berkas permohonan tersebut. Jika lengkap, PPID BPJS Kesehatan akan menyerahkan data sampel kepada pemohon.

Fachmi menuturkan, manajemen data di BPJS Kesehatan sendiri sudah berlangsung cukup lama. bahkan dimulai pada tahun 2013 sebelum BPJS Kesehatan beroperasi. Seiring tahun berjalan, BPJS Kesehatan melakukan pengembangan manajemen data (termasuk data riset), pengembangan business intelligence, pelaksanaan fungsi dan tugas PPID, hingga akhirnya merilis data sampel di tahun 2019 ini.

“Data sampel BPJS Kesehatan masih akan terus dikembangkan sejalan dengan pertumbuhan peserta dan perkembangan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, kami butuh masukan dari berbagai pihak, baik dari akademisi, peneliti, maupun khalayak Iainnya untuk menyempurnakan kualitas data sampel ini,” ujar Fachmi.

 sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4442561/data-bpjs-kesehatan-bisa-dipakai-untuk-penelitian

 

Rumah Sakit Digital untuk Menghemat Biaya Listrik

Sistem layanan rumah sakit berada di bawah tekanan yang menuntut keberlanjutan. Rumah sakit menjadi salah satu penyumbang konsumsi energi terbesar, dengan kegiatan operasional 24/7 dan kebutuhan energi yang besar, seperti kontrol aliran udara dan sistem HVAC (Heating, Ventilation and Air Conditioning) khusus.

Dalam kondisi persaingan bisnis saat ini, menjaga finansial rumah sakit tetap sehat tanpa mengorbankan keselamatan pasien merupakan tugas yang tidak mudah. Sebagai gedung dengan tingkat konsumsi energi terbesar kedua setelah restoran, rumah sakit membutuhkan keandalan listrik setiap saat – dan itu tidak murah.

Biaya listrik mengambil porsi 1 hingga 5% dari total anggaran operasional rumah sakit, permintaan energi yang tinggi berbanding terbalik dengan pasokan terbatas semakin meningkatkan biaya energi, ditambah lagi kebutuhan untuk terus mendatangkan teknologi baru di dunia kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien yang umumnya membutuhkan konsumsi listrik yang juga tidak sedikit menjadi dilema bagi manajemen rumah sakit untuk pintar-pintar mengatur kesehatan finansialnya.

Di Indonesia, pasar rumah sakit diperkirakan akan semakin bertumbuh dengan meningkatnya populasi penduduk, tingkat pengeluaran perawatan kesehatan yang semakin tinggi, meningkatnya risiko penyakit akibat gaya hidup, dan pertumbuhan pendapatan kelas menengah. Namun, tantangan ke depannya adalah bagaimana pertumbuhan pasar rumah sakit diimbangi dengan jumlah tenaga kesehatan, strategi menghadapi ketatnya persaingan rumah sakit domestik dan asing, dan semakin kompleksnya perencanaan ekspansi bisnis dengan penerapan teknologi yang semakin maju.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tingkat pertumbuhan tahunan sektor rumah sakit swasta nirlaba meningkat pesat dengan rata-rata 17,3%. Jumlah rumah sakit swasta nirlaba hingga April 2018 mencapai 1.804 rumah sakit. Ken Research memprediksi pasar layanan kesehatan Indonesia berdasarkan pendapatan diperkirakan akan mencapai USD 32 Miliar pada tahun 2022.

Country President Schneider Electric Indonesia Xavier Denoly mengatakan dengan meningkatnya persaingan di sektor rumah sakit serta ekspektasi yang semakin tinggi terhadap layanan dan fasilitas rumah sakit, manajemen rumah sakit harus memastikan bahwa semua proses dan kegiatan operasional mendukung 100% kepuasan pasien tanpa adanya kesalahan.

“Solusi yang berkelanjutan sangat dibutuhkan, untuk saat ini dan masa depan dan jawabannya terletak pada pemanfaatan teknologi baru dan kolaborasi. Ada tiga area utama di mana rumah sakit dapat mengambil manfaat dari penerapan teknologi, yaitu keandalan akses listrik, optimalisasi penggunaan energi dan infrastruktur, serta pelayanan rumah sakit yang lebih terfokus pada keselamatan dan kenyamanan pasien. Singkatnya, rumah sakit perlu menjadi lebih efisien, dan melakukan lebih banyak dengan konsumsi energi yang lebih sedikit atau tetap,” katanya, dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (20/2/2019).

Keandalan Listrik untuk Keselamatan Pasien

Pemadaman listrik secara tiba-tiba di rumah sakit merupakan risiko besar bagi keselamatan pasien terutama bila sedang dilakukan tindakan di ruang operasi atau mereka yang mengandalkan mesin pendukung kehidupan. Namun yang mengejutkan adalah terjadinya pemadaman sering kali disebabkan oleh kegagalan yang tidak terduga pada fungsi peralatan listrik dibandingkan akibat cuaca ekstrem.

Kegagalan-kegagalan seperti ini menjadi momok bagi reputasi dan kesehatan finansial rumah sakit. Pemadaman listrik selama delapan jam di rumah sakit dengan 300 tempat tidur diperkirakan dapat menimbulkan kerugiaan hingga lebih dari $1 juta dolar atas hilangnya pendapatan karena tindakan operasi yang dibatalkan dan atau pasien harus dipindahkan dari layanan darurat ke fasilitas lain.

Pemanfaatan teknologi dalam memastikan keandalan listrik di rumah sakit sangat krusial karena berdampak langsung terhadap keselamatan pasien. Teknologi analitik dapat membantu memprediksi adanya anomali sebelum terjadinya gangguan fungsi peralatan listrik sehingga rumah sakit dapat beroperasi secara optimal.

“Tantangan terbesar rumah sakit di daerah seperti Rumah Sakit Indriati, rumah sakit umum milik swasta yang berlokasi di Solo Baru, Sukoharjo adalah bagaimana memastikan suplai listrik yang andal dan konsisten untuk memberikan pelayanan yang prima bagi pasien meskipun dengan kondisi distribusi listrik yang tidak stabil. Rumah Sakit Indriati adalah studi kasus terbaik tentang bagaimana solusi EcoStruxure Schneider Electric dapat membantu manajemen rumah sakit untuk meningkatkan kinerja keandalan listrik dengan mengoptimalkan biaya operasional. Pemanfaatan solusi EcoStruxure di Rumah Sakit Indriati dapat mengurangi hingga 40 persen downtime karena pemadaman listrik, dan dapat menghemat listrik dan biaya operasional hingga 30 persen per tahun,” Xavier menjelaskan.

Bagaimana teknologi baru dapat terintegrasi dengan jaringan infrastruktur terdahulu?

Rumah sakit sering mengandalkan jaringan infrastruktur yang sudah lama dan tidak efisien yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pasien yang terus tumbuh.

Secara statistik, rata-rata ruang rumah sakit mengonsumsi energi listrik setara dengan menghidupkan dua rumah tinggal. Pengurangan energi sebesar 30 persen di rumah sakit dengan kapasitas 300 tempat tidur dapat menghasilkan penghematan yang cukup untuk menambah 10 perawat dalam meningkatkan pelayanan yang lebih baik bagi para pasien.

Sistem dan teknologi analitik terbaru untuk manajemen bangunan dapat membantu direktur fasilitas rumah sakit mengidentifikasi komponen apa saja yang dapat ditingkatkan untuk melakukan penghematan. Sebagai ilustrasi fasilitas penelitian biomedis dapat menghemat hingga $ 284.000 pada tahun pertama dengan membuat keputusan yang tepat didasarkan pada hasil temuan dengan data-data yang akurat.

Pemanfaatan sumber energi terbarukan dapat menjadi salah satu cara untuk memangkas biaya. Panel surya yang dipasang di ruangan seperti tempat parkir rumah sakit dapat memotong tagihan rumah sakit hingga lima persen.

Sementara pemanfaatan teknologi seperti EcoStruxure Building Operation dan EcoStruxure Power Monitoring Expert dari Schneider Electric dapat membantu rumah sakit untuk mengimplementasikan pembaruan sistem manajemen gedung, mengurangi biaya dan meningkatkan pemantauan daya listrik dan informasi kondisi ruang operasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pasien selama operasi.

Teknologi Pintar Membuat Pelayanan Jadi Terfokus dan Kenyamanan Pasien Meningkat

sumber: https://www.wartaekonomi.co.id/read216437/rumah-sakit-digital-untuk-menghemat-biaya-listrik.html

 

LETTER: Health care should be based on need

WHAT we need is a health care system that caters for the needs of all Sunraysia residents.

The facilities needed should be based on what those needs are.

Those needs should be well ­researched so that the appropriate assets to meet them can be put in place.

Jeff Kennett and his party have a philosophy that says free enterprise is the answer to all problems and we are the recipients of an ­experiment of that philosophy.

However, in the US, where there is great faith in free enterprise, the health care system costs that country twice as much as comparable developed countries who have health care systems supported and run by the state. While the US has centres of ­excellence, its general outcomes fall far short.

What we need is a well managed health system that is transparent and ­accountable to the community.

It is time the state took respons­ibility and made sure this community has the health system that we need and works for everybody.

Lindsay Leake,

Mildura

source: http://www.sunraysiadaily.com.au/story/5908686/letter-health-care-should-be-based-on-need/

 

Research: In wake of new federal rule, health care costs increase when there’s more competition among insurers

OGDEN — The federally mandated practice of posting hospital prices online falls short of its intended goal, that of helping consumers shop for the best deal. And a recent analysis of how the health care system responds to typical market forces helps to explain why.

Christopher Yencha, an assistant professor of economics at Weber State University and Paula Fitzgerald, a business administration professor at West Virginia University, researched how basic economic tenets function in the health care market versus other markets. And data showed that commonly-held expectations don’t always pan out.

Their article, “A Test of Policy Makers’ Formal and Lay Theories Regarding Health Care Prices,” was published in the American Marketing Association’s Journal of Public Policy and Marketing in 2018.

“It’s super messy,” Yencha said in a recent phone interview. “And we think it has to do primarily with lack of transparency.”

As of Jan. 1, a new federal rule requires hospitals to post all prices online, and some facilities, including McKay Dee Hospital in Ogden, publish a plethora of “Chargemaster” or suggested retail prices.

But Chargemaster prices differ significantly from the more variable, negotiated payments hospitals ultimately receive for services. According to their analysis, the average total payment a hospital receives for a procedure is roughly one-fourth what it billed.

“And that’s the insurance part of the story,” Yencha said.

Fitzgerald, recently reached by phone in West Virginia, elaborated on that point, noting a market situation in play called monopsony — meaning there is only one buyer.

“When you have only one insurer in a local market, that insurer is the kingpin. Everybody’s insurance is going to run through that insurer,” Fitzgerald said. “That gives the insurer power to negotiate prices downward at the hospital.”

Other dynamics also come into play, complicating how price controls typically work. In 2016, Yengcha and Fitzgerald began poring over CMS data, scrutinizing more than seven million consumer-hospital interactions nationwide.

They found that increased competition among hospitals resulted in lower procedure prices, but more competition among insurers correlated with higher hospital prices. And while more insurers worked to decrease consumer premiums, fewer insurers in a local market helped to rein in hospital prices.

They also found that higher prices were no guarantee for higher quality of care. In fact, consumers sometimes paid more for less. While the U.S. leads the world in per capita health care spending, it ranked last of 11 developed nations in 2014 for infant mortality, healthy life expectancy at age 60 and preventable deaths before age 75.

More information needed

Kaiser Health News described the mishmash of online hospital prices as “a dog’s breakfast of medical codes, abbreviations and dollar signs — in little discernible order — that may initially serve to confuse more than illuminate.”

Yencha agreed that the posting of Chargemaster prices could be misleading.

“The policy is to try to make transparency at the price level nobody really pays in practice,” Yencha said. “It sounds like a win … but in reality it’s not the price that insurance companies or consumers internalized.”

For roughly a decade, the Utah PricePoint System has offered online tools for consumers to compare hospital procedure costs. Utah PricePoint is a joint product of the Utah Hospital Association and Utah Department of Health.

But even the Utah PricePoint website warns that several factors can affect a consumer’s final costs, including individual insurance plans, medical conditions and quality-of-care variables.

Scott Horne, who manages Health Policy and Information Systems for the Utah Hospital Association, said he’s overseen Utah PricePoint since its start.

“You can filter on our site based on complexity of the patient, and there’s some level of care in it. At the end of the day though, charges are imperfect,” Horne said. “I think there’s hope that at some point — as complex as it is — we’ll get there, particularly for things that are shoppable.”

The bottom line for consumers, Horne added, is what they’ll pay out of pocket — and that differs from what hospitals pay.

“Charges are based on the information we have, that’s the best we can do,” Horne said.

source: https://www.standard.net/news/health-care/research-in-wake-of-new-federal-rule-health-care-costs/article_77916cf5-d722-5125-ac48-e65ab00a8f0c.html