Masalah Stunting Akan Diteliti Melalui Uji Mikro Nutrisi

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) akan meneliti penyebab kekerdilan alias stunting melakukan uji mikro nutrisi dan lingkungan ke daerah yang mengalami kasus tersebut.

“Pada 2019 digagas oleh LIPI dan Kementerian Pertanian tentang penelitian stunting. Itu program nasional, bagaimana masing-masing instansi mempunyai andil. Batan mempunyai andil dalam bentuk analisisnya (mikro nutrisi dan lingkungan),” kata Plt Kepala Batan Prof Efrizon Umar saat menggelar diskusi dengan wartawan di Kota Bandung, Minggu 10 Februari 2019.

Ia mengatakan dalam waktu dekat ini Batan akan melakukan diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) dengan Kementerian Kesehatan (Kemkes) dan Kementerian Pertanian (Kemtan) terkait penelitian stunting ini. “Jadi ini kan sebenarnya stakeholder utamanya ialah Kemtan dan Kemkes. Makanya dalam waktu dekat kita akan mengadakan FDG dengan Kemenkes apa target utamanya, Batan akan bertanya bagaimana kami akan berperan,” kata Efrizon.

Sementara itu, Kepala Pusat Sains Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) Batan Jupiter Sitorus Pane mengemukakan pihaknya akan melakukan penelitian tentang penyebab stunting di Indonesia dari berbagai aspek.

“Jadi sebetulnya stunting itu disebabkan oleh apa. Apakah stunting itu karena genetik, apakah karena faktor makanan yang masuk atau kurang gizi atau karena faktor lingkungan,” katanya.

Dari berbagai aspek ini Batan akan melihat dan mengamati dari mikronutrisibda dan kondisi lingkungan di daerah-daerah yang mengalami stunting.

Oleh karena itu, lanjut Jupiter, pihaknya telah mengirimkan tim khusus ke Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengambil contoh makanan yang dimakan oleh warga terkait penelitian penyebab stunting tersebut.

Dia mengatakan ada sekitar 400 contoh makanan yang dimakan warga di daerah NTT untuk diteliti lebih lanjut. “Nah dengan teknologi analisis nuklir ini kita bisa melihat unsur-unsur itu jauh lebih jauh, jauh lebih detail sehingga ada unsur-unsur yang tadinya berpengaruh terhadap stunting itu mungkin akan terlihat nantinya,” katanya.

Nantinya, kata dia, peniliti Batan akan membuat hipotesis sementara dari hasil penelitian tersebut. “Harapan kita, peneliti membuat hipotesisnya. Unsur-unsur ini kemungkinan penyebab stunting,” ujar Jupiter.

sumber: https://gaya.tempo.co/read/1174242/masalah-stunting-akan-diteliti-melalui-uji-mikro-nutrisi/

 

Status Gizi Indonesia Mengalami Perbaikan

Masalah gizi di Indonesia terutama di beberapa wilayah di bagian Timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua Barat, dinilai masih tinggi. Namun, secara nasional, status gizi di Indonesia mengalami perbaikan yang signifikan. Sebagai contoh provinsi NTT penurunan prevalensi stunting sebanyak 9,1%, hampir 2% pertahun penurunan, hal ini menunjukkan upaya multisektor yang terkonvergensi pusat dan daerah. Penderita gizi buruk tentu tidak akan lepas dari pantauan tenaga kesehatan, dimana pun kasusnya tenaga kesehatan dibentuk untuk selalu siaga membantu perbaikan gizi penderita.

Perbaikan status gizi nasional dapat dilihat berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Pada prevalensi Gizi Kurang (Underweigth) perbaikan itu terjadi berturut–turut dari tahun 2013 sebesar 19,6% naik menjadi 17,7% 2018. Prevalensi stunting dari 37,2% turun menjadi 30,8%, dan prevalensi kurus (Wasting) dari 12,1% turun menjadi 10,2%.

“Dalam perhitungan data kasus gizi buruk harus diambil dari indeks berat badan menurut tinggi badan (BBTB) atau yang disebut sangat kurus sesuai standar WHO yang disertai dengan gejala klinis,” jelas Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari, di Jakarta, Rabu (30/01/2019).

Ia menegaskan, intervensi terhadap masalah gizi terutama di wilayah Indonesia bagian Timur sudah ditangani atau diintervensi oleh tenaga gizi di Puskesmas. Hasil Riset Tenaga Kesehatan (Risnakes) tahun 2017, Tenaga Gizi di seluruh Indonesia sudah memenuhi 73,1% Puskesmas.

Kirana menjelaskan, untuk 26,1% Puskesmas yang belum memiliki Tenaga Gizi utamanya di daerah terpencil dan sangat terpencil, Kementerian Kesehatan memiliki program Nusantara Sehat. Nusantara Sehat terdiri dari tenaga–tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, tenaga gizi, perawat, bidan, tenaga farmasi, sanitarian, analis kesehatan dan tenaga kesehatan masyarakat yang dilatih untuk ditempatkan di Puskesmas selama 2 tahun.

Bentuk intervensi untuk pemulihan gizi buruk yaikni dengan pemberian makanan tambahan. Kementerian Kesehatan sudah mendistribusikan makanan tambahan berupa Biskuit dengan kandungan kaya zat gizi ke seluruh Puskesmas di Indonesia termasuk wilayah Timur.

Selain itu, dilakukan juga kegiatan surveilans gizi yang dimulai dari masyarakat di Posyandu, Puskesmas, dan Dinas Kesehatan. Pengumpulan data individu yang teratur akan bisa mendeteksi secara dini masalah gizi yang dihadapi, sehingga analisis dan intervensi yang dilakukan akan tepat sasaran dan tepat waktu.

Upaya lain dalam mencegahan masalah gizi adalah dengan perubahan perilaku masyarakat. Komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah sudah tertuang dalam regulasi yang dikeluarkan oleh pemerinta pusat dan Pemerintah Daerah.

Di wilayah Indonesia Timur sudah ada 10 Kabupaten yang menerbitkan regulasi Komunikasi Perubahan Perilaku dalam rangka pencegahan stunting dan masalah gizi lainnya. (kes)

sumber: https://jpp.go.id/humaniora/kesehatan/329770-status-gizi-indonesia-mengalami-perbaikan

 

Sosialisasikan Program JKN, Kemenkominfo Gunakan Media Elektronik

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terus berupaya untuk menyampaikan informasi sejelas-jelasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia mengenai program andalan pemerintah di bidang kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain melakukan sosialisasi dengan media budaya ke berbagai daerah, Kemenkominfo juga menggelar dialog interaktif di beberapa media elektronik.

Diharapkan dengan dialog interaktif, masyarakat bisa lebih proaktif untuk mengikuti program yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Direktur Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Wiryanta mengungkapkan, bahwa penyampaian informasi kepada masyarakat ini adalah sesuai dengan amanat Undang Undang. Kemenkominfo adalah sebagai goverment public relations (GPR), yang mana sesuai dengan instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, diamanatkan untuk ikut berperan dominan dalam menyebarkan informasi kepada publik.

Terutama adalah terkait kebijakan publik serta program strategis pemerintah melalui semua sarana pemberitaan yang ada. Sehingga, masyarakat wajib mendapatkan informasi yang akan, sedang dan sudah dikerjakan.

“Dengan dialog interaktif ini, masyarakat akan semakin paham mengenai program pemerintah. Dengan begitu, masyarakat bisa berperan aktif untuk ikut mengawal setiap program yang ada,” terangnya kepada JawaPos.com, Selasa (5/2).

Wiryanta menyampaikan, bahwa salah satu program strategis dari pemerintah saat ini adalah JKN. Mengingat, program ini menjadi kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, sudah seharusnya seluruh masyarakat mengetahui dan memahami mengenai program JKN.

“Tahun lalu, sudah 200 juta jiwa yang terdaftar sebagai peserta BPBS Kesehatan. Baik yang mandiri, didanai oleh pemerintah pusat atau didanai dari APBD daerah. Dan kami terus mendorong agar masyarakat terdorong untuk aktif menjadi peserta BPJS Kesehatan,” ucapnya.

sumber: https://www.jawapos.com/jpg-today/05/02/2019/sosialisasikan-program-jkn-kemenkominfo-gunakan-media-elektronik

 

Ini Beda Tujuan Urun Biaya dan Selisih Biaya BPJS Kesehatan

Jakarta – Tujuan ada urun biaya dan selisih biaya bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sebagai kendali mutu dan biaya, serta mencegah penyalahgunaan pelayanan fasilitas kesehatan dalam pelayanan JKN. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Sundoyo.

Sundoyo menjelaskan bahwa urun biaya berbeda dengan selisih biaya. Urun biaya adalah tambahan biaya yang dibayarkan oleh peserta, pada saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan.

“Yang beredar di medsos seolah-olah seluruh pelayanan dikenakan urun biaya padahal tidak,” ujar Sundoyo menambahkan dalam temu media di Gedung Kemenkes, Kuningan, Jakarta pada Senin (28/1/2019).

Sementara untuk selisih biaya, adalah tambahan biaya yang dibayarkan peserta pada saat memperoleh manfaat kesehatan yang lebih tinggi daripada hak kepesertaannya. Hal ini hanya bisa dilakukan satu tingkat di atas kelas kepesertaannya.

“Untuk selisih biaya pembayarannya bisa melalui bayar sendiri oleh peserta, bisa oleh pemberi kerja atau melalui asuransi swasta,” tambahnya.

Secara spesifik, tujuan dari urun biaya dan selisih biaya memang berbeda. Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes dr Kalsum Komaryani mengatakan, urun biaya diberlakukan untuk mencegah penyalahgunaan layanan kesehatan untuk selera serta perilaku masyarakat. Sementara, untuk selisih biaya bertujuan untuk kenyamanan pada pasien. Sehingga, pasien yang dianggap mampu tidak bisa semena-mena menaikkan kelas perawatannya.

“Jadi ada beberapa pasien yang merasa nyaman dirawat di kelas VIP atau di kelas 1. Ternyata JKN memperkenankan untuk naik kelas, ” ujar Kalsum.

“Jadi jangan dicampuradukkan antara urun biaya dan selisih biaya,” imbuhnya.

Walau begitu, Sundoyo mencontohkan, peserta bisa saja terkena dua jenis biaya tersebut. Misalnya, jika seorang peserta kelas tiga masuk rumah sakit dan mendapatkan jenis layanan urun biaya.

“Misalnya berdasarkan diagnosis, jenis pelayanan yang diberikan tadi terkena urun biaya maka saya harus membayar 10 persen dari total INA-CBGs. Tetapi ketika dari kelas tiga tadi naik ke kelas dua, di samping saya harus membayar 10 persen, saya harus membayar selisih juga,” kata Sundoyo mencontohkan.

sumber: https://www.liputan6.com/health/read/3881478/ini-beda-tujuan-urun-biaya-dan-selisih-biaya-bpjs-kesehatan

 

Democratizing artificial intelligence in health care

An artificial intelligence program that’s better than human doctors at recommending treatment for sepsis may soon enter clinical trials in London. The machine learning model is part of a new way of practicing medicine that mines electronic medical-record data for more effective ways of diagnosing and treating difficult medical problems, including sepsis, a blood infection that kills an estimated 6 million people worldwide each year.

The discovery of a promising treatment strategy for sepsis didn’t come about the regular way, through lengthy, carefully-controlled experiments. Instead, it emerged during a free-wheeling hackathon in London in 2015.

In a competition bringing together engineers and health care professionals, one team hit on a better way to treat sepsis patients in the intensive-care unit, using MIT’s open-access MIMIC database. One team member, Matthieu Komorowski, would go on to work with the MIT researchers who oversee MIMIC to develop a reinforcement learning model that predicted higher survival rates for patients given lower doses of IV fluids and higher doses of blood vessel-constricting drugs. The researchers published their findings this fall in Nature Medicine.

The paper is part of a stream of research to come out of the “datathons” pioneered by Leo Celi, a researcher at MIT and staff physician at Beth Israel Deaconess Medical Center. Celi held the first datathon in January 2014 to spark collaboration among Boston-area nurses, doctors, pharmacists and data scientists. Five years later a datathon now happens once a month somewhere in the world.

Following months of preparation, participants gather at a sponsoring hospital or university for the weekend tocomb through MIMIC or a local database in search of better ways to diagnose and treat critical care patients. Many go on to publish their work, and in a new milestone for the program, the authors of the reinforcement learning paper are now preparing their sepsis-treatment model for clinical trials at two hospitals affiliated with Imperial College London.

As a young doctor, Celi was troubled by the wide variation he saw in patient care. The optimal treatment for the average patient often seemed ill-suited for the patients he encountered. By the 2000s, Celi could see how powerful new tools for analyzing electronic medical-record data could personalize care for patients. He left his job as a doctor to study for a dual master’s in public health and biomedical informatics at Harvard University and MIT respectively.

Joining MIT’s Institute for Medical Engineering and Science after graduation, he identified two main barriers to a data revolution in health care: medical professionals and engineers rarely interacted, and most hospitals, worried about liability, wanted to keep their patient data — everything from lab tests to doctors’ notes — out of reach.

Celi thought a hackathon-style challenge could break down those barriers. The doctors would brainstorm questions and answer them with the help of the data scientists and the MIMIC database. In the process, their work would demonstrate to hospital administrators the value of their untapped archives. Eventually, Celi hoped that hospitals in developing countries would be inspired to create their own databases, too. Researchers unable to afford clinical trials could understand their own patient populations and treat them better, democratizing the creation and validation of new knowledge.

“Research doesn’t have to be expensive clinical trials,” he says. “A database of patient health records contains the results of millions of mini experiments involving your patients. Suddenly you have several lab notebooks you can analyze and learn from.”

So far, a number of sponsoring hospitals — in London, Madrid, Tarragona, Paris, Sao Paulo, and Beijing — have embarked on plans to build their own version of MIMIC, which took MIT’s Roger Mark and Beth Israel seven years to develop. Today the process is much quicker thanks to tools the MIMIC team has developed and shared with others to standardize and de-identify their patient data.

Celi and his team stay in touch with their foreign collaborators long after the datathons by hosting researchers at MIT, and reconnecting with them at datathons around the globe. “We’re creating regional networks — in Europe, Asia and South America — so they can help each other,” says Celi. “It’s a way of scaling and sustaining the project.”

Humanitas Research Hospital, Italy’s largest, is hosting the next one — the Milan Critical Care Datathon Feb. 1-3 — and Giovanni Angelotti and Pierandrea Morandini, recent exchange students to MIT, are helping to put it on. “Most of the time clinicians and engineers speak different languages, but these events promote interaction and build trust,” Morandini says. “It’s not like at a conference where someone is talking and you take notes. You have to build a project and carry to it to the end. There are no experiences like this in the field.”

The pace of the events has picked up with tools like Jupyter Notebook, Google Colab, and GitHub letting teams dive into the data instantly and collaborate for months after, shortening the time to publication. Celi and his team now teach a semester-long course at MIT, HST.953 (Collaborative Data Science in Medicine), modeled after the datathons, creating a second pipeline for this kind of research.

Beyond standardizing patient care and making AI in health care accessible to all, Celi and his colleagues see another benefit of the datathons: their built-in peer-review process could prevent more flawed research from being published. They outlined their case in a 2016 piece in Science Translational Medicine.

“We tend to celebrate the story that gets told — not the code or the data,” says study co-author Tom Pollard, an MIT researcher who is part of the MIMIC team. “But it’s the code and data that are essential for evaluating whether the story is true, and the research legitimate.”

source: http://news.mit.edu/2019/democratizing-artificial-intelligence-in-health-care-0118

 

Anggaran Kesehatan Mendapat Perhatian Khusus KPK

Anggaran dana kesehatan menjadi salah satu bidang yang mendapat perhatian khusus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Demikian dikatakan Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan usai pertemuan dengan Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (16/1).

“Dana kesehatan ini merupakan salah satu fokus perhatian dari KPK,” ujar Basaria.

Basaria menyebutkan cukup banyak temuan kasus tindak pidana korupsi di bidang kesehatan. Salah satu yang tertinggi adalah pengadaan alat kesehatan.

“Tindak pidana korupsi tentang kesehatan ini alat kesehatan merupakan yang terbanyak di antara 55 jenis tindak pidana korupsi di bidang kesehatan,” jelasnya.

Untuk itu, kata Basaria, dalam pertemuan bersama Menkes dibahas bagaimana strategi yang tepat untuk menghapus permasalahan korupsi dari bidang kesehatan.

“Kira-kira apa yang harus dilakukan untuk perbaikan-perbaikan ke depan,” tukas membocorkan isi pertemuan. [rus]

sumber : https://hukum.rmol.co/read/2019/01/16/375282/Anggaran-Kesehatan-Mendapat-Perhatian-Khusus-KPK-

 

 

Rekrutmen PNS Dokter Spesialis akan Diperlakukan Khusus

Dokter spesialis akan ingin menjadi PNS dalam proses rekrutmen waktu mendatang akan mendapat perlakuan berbeda dibanding profesi lainnya. Terutama menyangkut batas usia maksimal, dokter spesialis yang diizinkan mendaftar.

“Pada sistem rekrutmen lalu, usia pendaftar PNS dibatasi maksimal 35 tahun. Termasuk juga bagi kalangan dokter spesialis. Ke depan, ketentuan batas usia dokter spesialis yang ingin mendaftar sebagai PNS, kemungkinan akan direvisi,” kata Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kabupaten Purbalingga, Heriyanto, Senin (14/1).

Dia menyebutkan, dengan adanya batas usia maksimal 35 tahun bagi pendaftar dokter spesialis, menyebabkan formasi kebutuhan dokter spesialis di berbagai daerah tidak bisa terpenuhi. Seperti di Purbalingga, dalam rekrutmen PNS beberapa waktu lalu menyediakan 18 formasi untuk dokter spesialis berbagai bidang. Namun tidak ada satu pun yang mendaftar, sehingga formasi ini dibiarkan kosong.

Kondisi tersebut, menurutnya juga terjadi di berbagai daerah lainnya, sehingga cukup banyak formasi dokter spesialis yang tidak terisi. “Berdasarkan kondisi inilah, pemerintah pusat mewacanakan untuk menambah batas usia pada formasi dokter spesialis,” katanya.

Dia menyebutkan, seseorang yang mengambil kuliah di bidang kedokteran memang membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa menyelesaikan kuliahnya. Hingga menjadi dokter, kebanyakan membutuhkan waktu hingga 7 tahun. “Itu baru menjadi dokter umum. Kalau hendak menjadi dokter spesialis, harus menempuh pendidikan lagi yang cukup lama,” katanya.

Berdasarkan pertimbangan inilah, pemerintah pemerintah pusat berencana mengubah batasan umur bagi pelamar PNS bagi formasi dokter spesialis. “Jadi pertimbangannya bukan karena hal lain. Tapi karena sistem pendidikannya juga sudah membutuhkan waktu lebih lama dibanding profesi lainnya,” katanya.

Sementara mengenai pelaksanaan seleksi CPNS akhir tahun lalu, Heriyanto menyebutkan, dalam proses rekrutmen tersebut Pemkab Purbalingga membuka lowongan bagi 397 formasi CPNS. Dari hasil seleksi tersebut, yang terisi ada sebanyak 379 formasi sehingga masih kosong 18 formasi. ”Yang kosong itu, ya yang untuk formasi dokter spesialis karena tidak ada pendaftarnya,” ujarnya.

Terkait hal ini, dalam acara pembekalan pemberkasan CPNS dia menyampaikan ucapan selamat pada peserta yang lulus. Termasuk bagi CPNS yang awalnya tidak lolos //passing grade//, namun akhirnya bisa menjadi CPNS setelah ada Permen PANRB No 61/2018. “Hal ini bukan berarti SDM yang lolos tidak bagus. Tapi bisa saja nilai keseluruhan tinggi, namun ada satu materi seleksi yang tidak lolos ambang batas,” katanya.

Salah satu peserta seleksi CPNS yang lolos, Nur Ali Aziz Adetia, mengaku bahagia bisa lolos seleksi dan sampai tahap pemberkasan CPNS. Dia mengaku lolos untuk formasi guru di SD Negeri 1 Jompo Kecamatan Kalimanah. “Saya tidak menyangka akan lolos tes ini. Semoga ke depan saya bisa menjalankan tugas ini dengan baik dan penuh amanah,” katanya.

sumber: https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/19/01/14/plbgz2291-rekrutmen-pns-dokter-spesialis-akan-diperlakukan-khusus

 

Terbit Aturan Urun Biaya JKN, Begini Mekanismenya

Untuk pelayanan kesehatan yang menimbulkan penyalahgunaan pelayanan program JKN, peserta dapat dikenakan urun biaya. YLKI menilai kebijakan urun biaya dan selisih biaya ini cukup rasional untuk diberlakukan dalam program JKN.

Upaya pemerintah membenahi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus dilakukan BPJS Kesehatan. Dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan (JPKR) BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief mengatakan Permenkes yang diundangkan 17 Desember 2018 itu mengatur 2 hal utama. Pertama, urun biaya yang merupakan tambahan biaya yang dibayar peserta saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan yaitu pelayanan yang dipengaruhi selera dan perilaku peserta.

Untuk menentukan jenis pelayanan apa saja yang dapat menimbulkan penyalahgunaan, kata Budi, akan ditetapkan Menteri Kesehatan (Menkes). Penetapan itu dilakukan setelah pemangku kepentingan yakni BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan menyampaikan usulan berdasarkan data dan analisa pendukung. Untuk menetapkan jenis pelayanan itu, Menkes membentuk tim dari unsur Kemenkes, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, akademisi dan pihak lain yang terkait.

“Mekanisme yang pertama itu pemangku kepentingan menyampaikan usulan, tim yang dibentuk Menkes membahas usulan itu. Kemudian dilakukan uji publik dan diserahkan ke Menkes untuk ditetapkan,” kata Budi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (18/1/2019).

Setelah Menteri Kesehatan menetapkan usulan yang telah melalui proses uji publik itu, Budi menekankan urun biaya tidak otomatis berlaku. Proses terakhir yang harus dilalui sebelum kebijakan ini diterapkan yakni melakukan sosialisasi. Jika Menteri Kesehatan menolak usulan itu, penolakan tersebut akan disampaikan kepada pengusul.

Fasilitas Kesehatan (faskes) berperan penting menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya serta besarannya kepada keluarga atau keluarga peserta sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Budi menegaskan urun biaya sekaligus pelayanannya itu dikenakan setelah peserta atau keluarganya memberikan persetujuan. Urun biaya dibayar oleh peserta kepada faskes setelah mendapat pelayanan kesehatan.

Besaran urun biaya yang dibayar peserta Rp20 ribu untuk setiap kali kunjungan rawat jalan pada RS kelas A dan B. Untuk RS kelas C dan D serta klinik utama besarannya Rp10 ribu. Atau paling tinggi Rp350 ribu untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam jangka waktu 3 bulan. Untuk rawat inap besarannya 10 persen dari total biaya pelayanan dihitung dari total tarif INA-CBGs setiap melakukan rawat inap atau paling tinggi (maksimal) Rp30 juta.

Kedua, selisih biaya yaitu tambahan biaya yang dibayar peserta saat mendapat manfaat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi daripada haknya. Misalnya, peserta minta dilayani di poliklinik eksekutif. Dalam kasus ini, peserta dikenakan selisih biaya antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan. Peningkatan pelayanan rawat jalan ini tidak berlaku untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami PHK.

Budi mengingatkan peningkatan kelas pelayanan untuk rawat inap hanya boleh naik satu tingkat di atas kelas pelayanan yang menjadi haknya. Misalnya, dari rawat inap kelas 3 ke kelas 2, dan kelas 2 ke kelas 1. Untuk peningkatan pelayanan ini peserta harus membayar selisih biaya antara tarif INA-CBGs pada kelas rawat inap lebih tinggi yang dipilih dengan tarif INA-CBGs pada kelas rawat inap sesuai hak peserta.

Untuk peningkatan kelas rawat inap di atas kelas 1, Budi menjelaskan pembayaran selisih paling banyak 75 persen dari tarif INA-CBGs kelas 1. Pembayaran selisih biaya pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak Rp400 ribu untuk setiap episode rawat jalan. Selaras itu, Budi menegaskan kebijakan ini tidak ditujukan untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan, tapi mengedukasi peserta agar mengetahui pelayanan apa saja yang tidak diperlukan.

Cukup rasional

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, berpendapat kebijakan urun biaya dan selisih biaya ini cukup rasional untuk diberlakukan dalam program JKN. Dari informasi yang diperolehnya, Tulus melihat sering terjadi persoalan di lapangan, misalnya peserta mendapat hak perawatan kelas 3, tapi ketika membutuhkan pelayanan kesehatan peserta ini melakukan peningkatan kelas perawatan ke VIP.

“Ini celah regulasi. Mengingat program JKN itu asuransi sosial, celah itu layak untuk diantisipasi,” ujarnya.

Tulus menekankan kepada pemangku kepentingan untuk menetapkan secara baik dan benar pelayanan kesehatan apa saja yang dapat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Jangan sampai aturan ini membuat pasien dieksploitasi, misalnya peserta bisa melahirkan secara normal, tapi dokter menyarankan untuk operasi caesar. Tindakan pelayanan kesehatan seperti ini menurut Tulus justru membebani program JKN.

“Tapi kalau konsumen (peserta) itu menginginkan pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak perlu, maka kebijakan urun biaya cukup rasional diterapkan,” katanya.

sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c41a9fc64a5a/terbit-aturan-urun-biaya-jkn–begini-mekanismenya

 

BPJS putus kerja sama dengan puluhan RS, satu juta pasien terdampak

Lebih dari satu juta pasien terancam tidak dapat mengakses layanan BPJS secara maksimal terkait konflik akreditasi dan rekredensialing rumah sakit, kata kepala bidang advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch, Timboel Siregar.

BPJS Kesehatan mengakhiri kerja sama dengan 65 rumah sakit swasta di berbagai daerah di Indonesia terhitung mulai 1 Januari 2019.

Pemutusan itu dilakukan karena puluhan rumah sakit tersebut belum mendapatkan sertifikat akreditasi, menurut keterangan Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf.

Sementara itu 15 rumah sakit lain putus kerja sama karena tidak memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang.

Timboel mengatakan langkah BPJS untuk mengakhiri kerja sama dengan puluhan rumah sakit swasta dapat berdampak buruk pada pelayanan masyarakat yang diterima masyarakat.

Saat ini saja, ujarnya, banyak pasien yang harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.

Timboel mengasumsikan satu rumah sakit memiliki 50 kamar perawatan, sehingga setidaknya 65 rumah sakit yang gagal akreditasi memiliki 3.250 kamar rawat. Jika satu kamar berisi tiga orang, secara hitung-hitungan kasar, akan ada 9.750 orang yang terdampak konflik ini.

Dengan asumsi masa perawatan satu orang sekitar tiga hari dan kamar-kamar hanya terisi 80% saja, kata Timboel, selama satu tahun sebanyak 949.000 orang akan terdampak kebijakan ini.

Jika satu rumah sakit memiliki 100 kamar dan angka pasien rawat jalan dimasukkan dalam hitungan, jumlah orang yang terdampak bisa mencapai sekitar satu juta orang. Angka ini masih belum termasuk jumlah rumah sakit yang tidak memenuhi syarat kredensialing, katanya.

“Kalau saya sih menghitung secara kasar satu jutaan pasien bisa (terdampak) satu tahun,” ujarnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Callistasia Wijaya.

Konflik akreditasi dan kredensialing rumah sakit

Akreditasi dan kredensialing adalah syarat mutlak untuk kerja sama antara BPJS dan rumah sakit yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Iqbal mengatakan pemerintah sudah memberi kesempatan kepada rumah sakit yang ada untuk mengurus sertifikat akreditasi sedari tahun 2014, saat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai.

Mereka diberi waktu lima tahun untuk mendapatkan akreditasi. Jangka waktu itu berakhir di tahun 2019 ini.

Namun, lanjutnya, sampai saat ini beberapa rumah sakit “membandel” dan enggan mengurus akreditasi mereka.

Iqbal mengatakan akreditasi itu wajib hukumnya untuk menjamin keamanan pasien dan tenaga kesejatan rumah sakit.

“Standar Rumah Sakit untuk memberikan layanan yang berkualitas pembuktiannya ya lewat sertifikat akreditasi yang melewati assesment oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit,” kata Iqbal.

Menurut Iqbal, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, telah memberikan kesempatan bagi rumah sakit yang belum diakreditasi untuk melanjutkan kerja sama.

Tahun lalu, mereka diminta untuk memberikan surat komitmen bahwa mereka akan menyelesaikan proses akreditasi.

Jika rumah sakit itu mengirimkan surat komitmen tersebut, kementerian akan menerbitkan surat rekomendasi untuk meneruskan kerja sama. Untuk sementara, rekomendasi itu dapat menggantikan sertifikat akreditasi.

Namun, kata Iqbal, puluhan rumah sakit swasta yang belum terakreditasi tidak juga mengirimkan surat komitmen mereka.

“Ketika rumah sakit ternyata diminta bikin surat komitmen oleh Kemenkes saja tidak buat, apa susahnya sih buat surat komitmen? …Sehingga tidak ada alasan juga kementerian kesehatan untuk memberikan rekomendasi. Dasarnya apa? Wong orangnya juga nggak komit kok,” katanya.

Sejauh ini, sekitar 1.400 rumah sakit di Indonesia sudah terakreditasi. Menurut Iqbal, jika rumah sakit itu memang berkomitmen untuk bekerja sama dengan BPJS, mereka bisa berkonsultasi dengan rumah sakit terakreditasi lainnya.

Sementara itu, untuk memenuhi syarat kredensialing, rumah sakit harus memiliki Surat Izin Operasional, Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit, Surat Izin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik, NPWP badan, perjanjian kerja sana dengan jejaring (jika diperlukan), sertifikat akreditasi dan surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan JKN.

Masih benahi fasilitas

Salah satu rumah sakit yang putus kontrak dengan BPJS adalah Rumah Sakit Ibu Anak Permata Pertiwi, Citeureup, Bogor, Jawa Barat.

Salah satu staf rumah sakit yang bertugas mengurus layanan BPJS, Lisa Atna Aprillia, mengatakan saat ini rumah sakit tersebut tidak melayani pasien BPJS Kesehatan karena rumah sakit belum diakreditasi.

Lisa mengatakan rumah sakit yang baru berdiri sejak tahun 2016 ini memang belum diakreditasi karena fasilitasnya yang belum memadai. Rumah sakit, lanjutnya, baru memiliki laboratorium dan belum memiliki ruang rontgen.

“Selain itu yang pertama dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) juga mesti dilengkapi. Kita juga masih belum lengkap, masih belum sesuai untuk kamar, bed, SDM, pokoknya keperluan rumah sakit aja sih,” kata Lisa.

Oleh karena itu, Lisa mengatakan pihak rumah sakit meminta pasien BPJS Kesehatan, yang jumlahnya sekitar 130 orang per bulan, untuk berobat di fasilitas kesehatan lain.

Sementara itu, Rumah Sakit Karya Medika II, Tambun, Bekasi, Jawa Barat, putus kontrak karena masalah rekredensialing.

Anggita, staf marketing di rumah sakit itu mengatakan rumah sakit sedang menjalani proses renovasi untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan.

Pasien menyayangkan

Salah seorang pengguna BPJS Kesehatan, Suntina, 24, warga Kramatjati, Jakarta Timur, mengatakan ia berharap layanan BPJS tetap diberikan untuk para pasien.

Suntina adalah salah satu pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan untuk operasi Caesar dua bulan lalu di rumah sakit Rumah Sakit Restu Kasih di Kramat Jati, Jakarta Timur.

“Saya [operasi] caesar lahirannya nggak dikenai biaya satu rupiah pun pakai BPJS,” ujarnya.

Dia berharap pasien lain dapat tetap menikmati layanan BPJS.

“Saya berharap jangan dihilangkan BPJS itu karena sangat membantu orang-orang yang nggak mampu, nggak punya,” katanya.

Sementara itu, Iqbal berujar ia yakin pemutusan kontrak dengan beberapa rumah sakit itu tidak akan berimbas signifikan pada pelayanan pasien.

Misalnya, di Cikarang, Jawa Barat, lanjutnya, ada 32 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Ketika ada tiga rumah sakit yang putus kontrak, lanjutnya, jumlah rumah sakit yang bisa melayani pasien BPJS masih cukup banyak.

Lagipula, katanya, rumah sakit pemerintah tetap tersedia untuk para pasien.

Ia kemudian meminta rumah sakit yang putus kontraknya untuk segera menyelesaikan proses akreditasi rumah sakit supaya mereka kembali bisa melayani pasien BPJS.

Jangan ganggu pasien

Timboel mengatakan pemerintah sebaiknya tidak terlalu kaku dengan aturan akreditasi ataupun rekredensialing karena hingga kini suplai layanan kesehatan masih jauh dibawah demand masyarakat.

Saat ini saja, katanya, masyarakat masih sering kesulitan mencari ruang perawatan, juga Intensive Care Unit (ICU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

“Kalau hukum positifnya mengatakan ada sertifikat akreditasi ya memang harus juga, tetapi bisalah dikasih kesempatan kembali. Memang nih rumah sakit ada bandelnya juga. Nah tapi jangan juga langsung diputus kerja samanya karena dari sisi suplai (layanan kesehatannya) kita masih kurang,” katanya.

Terkait rekredensialing, Timboel meminta BPJS untuk tidak sekadar memeriksa rumah sakit dan memutus kerja sama. BPJS, katanya, perlu memonitor rumah sakit yang berkerja sama supaya mereka bisa melengkapi syarat-syarat yang belum terpenuhi.

sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46780599

 

Telemedicine, Strategi alternatif dunia Kesehatan Indonesia

Esaunggul.ac.id, Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan Universitas Esa Unggul, pada hari Minggu, 16 Desember 2018 menggelar Seminar Nasional dengan tema “Perspektif Telemedicine and e-Health di Indonesia” di Ruang 811 Universitas Esa Unggul, Kebon Jeruk. Dalam seminar ini menghadirkan dua pembicara yaitu Andi Saptono, PhD dari Pittsburgh University dan Hasan Sadikin, Amd. Perkes, S.ST, MKM dari DPD Pormiki DKI Jakarta dan sebagai moderator Dr. Hosizah, SKM, MKM.

Pembicara pertama, Andi Saptono menjelaskan tentang konsep dasar dan implementasi Telemedicine di Indonesia. Telemedicine merupakan strategi alternatif yang dapat membantu pasien untuk terhubung dengan tenaga ahli kesehatan. Dengan menggunakan Telemedicine diharapkan mampu mengurangi beban biaya dan waktu perjalanan karena terhubung dengan teleconference. Teknologi ini dapat meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat, khususnya masyarakat di daerah terpencil.

“Permasalahan yang saat ini akrab dihadapi oleh Indonesia ialah jarak tempuh yang dialami masyarakat dalam mengakses fasilitas Kesehatan. Sehingga biaya kesehatan tinggi, tidak jarang masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pengobatan dari tenaga medis untuk itu Telemedic hadir untuk mengurangi bahkan mengatasi permasalahan tersebut, karena pasien dapat langsung berkonsultasi lewat Teleconfrence, karena teknologi ini memungkinkan pasien untuk meminimalisir biaya perjalanan, sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat, khususnya masyarakat di daerah terpencil. ” tutur Andi di Universitas Esa Unggul beberapa waktu yang lalu.

Andi Melanjutkan Telemedicine dipilih sebagai salah satu upaya percepatan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang diinstruksikan Presiden kepada Menteri Kesehatan melalui Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Sayangnya, Andi meneruskan Implementasi telemedicine membutuhkan banyak sumberdaya dan kesiapan meliputi ketersediaan listrik dan internet yang memadai sehingga program ini betul-betul dapat menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Di Indonesia umumnya infrastruktur listrik dan internet masih menjadi kendala sehingga belum cukup efektif diterapkan di Indonesia.

“Telemedicine di Indonesia sendiri saat ini masih terkendala oleh infrastruktur yang belum cukup memadai di daerah-daerah terpencil. Sehingga perlu ada peningkatan Infrastruktur oleh pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur seperti listrik dan internet di sejumlag wilayah di Indonesia,” ujarnya.

Sedangkan pembicara kedua Hasan mengulas tentang peningkatan kompetensi PMIK dalam era revolusi industri 4.0. Perekam Medis dan Informasi Kesehatan (PMIK) merupakan tenaga kesehatan yang melakukan tugas dalam pendokumentasian pelayanan kesehatan pasien. Dengan adanya telemedicine dan secara luas perkembangan revolusi industri 4.0 membuat PMIK bekerja lebih efisien. Butuh kesiapan dari seluruh aspek sumber daya dalam mengahadapi revolusi industri 4.0, oleh karena itu peningkatan kompetensi PMIK harus terus dilakukan.

Selepas acara Seminar Nasional, di hari senin (17/12) dilakukan pembahasan MoU antara Program Studi Informasi Manajemen, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul dengan Department of Health Information Management University of Pittsburgh yang diwakili oleh Andi Saptono, PhD. direncanakan dalam MoU tersebut akan dilaksanakan penjajakan pertukaran pelajar dan tenaga pengajar, kerjasama riset penelitian, pembinaan kurikulum dan sertifikasi.

sumber: https://indonesiana.tempo.co/