Tingkatkan Kompetensi Apoteker untuk Capai Derajat Kesehatan Masyarakat yang Tinggi

Pada tanggal 1 Januari 2014 mendatang, pemerintah mulai menjalankan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia. Program ini perlu mendapatkan dukungan dan kerja sama dari setiap stakeholder agar dapat berjalan dengan baik.

Di bidang kefarmasian, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, Maura Linda Sitanggang, Ph.D., mengungkapkan, saat ini orientasi bidang kefarmasian telah bergeser dari orientasi produk ke orientasi pelayanan pasien. Sehingga, dengan bergesernya orientasi tersebut terjadi suatu hubungan antara apoteker dengan pasien secara langsung.

“Untuk itu, Apoteker perlu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan terkait pelayanan kefarmasian, kemampuan berkomunikasi, serta bekerja sama dalam tim untuk mencapai tujuan terapi yang diinginkan, atau untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,” ujar Maura saat menjadi keynote speaker pada Seminar Nasional “The 1st Indonesian Conference on Clinical Pharmacy”, Rabu (06/11) di Ball Room Hotel Hilton Bandung.

Di ambang pelaksanaan program JKN, Maura memperkirakan cakupan pelayanan masyarakat di bidang kesehatan semakin meningkat. Farmasi sendiri merupakan salah satu sistem yang mandiri, dimana posisinya tidak bisa dipisahkan dari sistem kesehatan lainnya.

“Sistem Farmasi terdiri dari 3 pilar, yaitu ketersediaan pemerataan obat, menjamin keamanan khasiat dan mutu obat serta menjamin keamanan dari penyalahgunaan obat, dan penggunaan obat yang rasional,” ujarnya.

Maura menambahkan, tenaga apoteker pun harus memiliki jaringan kompetensi. Selain menjadi apoteker di rumah sakit dan komunitas, juga memiliki kompetensi sebagai peneliti, scientist, pengajar, serta seorang pharmaceutical care di rumh sakit yang berinteraksi dengan bidang-lainnya.

Lebih lanjut ia pun mengungkapkan, sistem farmasi di Indonesia sudah termasuk kategori baik. Hanya saja, rasio jumlah apoteker perlu ditambah untuk meningkatkan kualitas. “Intinya, peran stakeholder seperti perguruan tinggi, asosiasi, profesi, dan pemerintah sangat dibutuhkan. Kita bekerja sama bagaimana meningkatkan sinergitas,” kata Maura.

Seminar nasional ini digelar oleh Fakultas Farmasi Unpad dalam rangka Perayaan Dies Natalis ke-53. Ketua pelaksana kegiatan, Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt., mengungkapkan seminar ini bertujuan untuk menambah wawasan dalam bentuk teori dan pengalaman praktik farmasi klinik.

Diikuti oleh peserta yang terdiri dari praktisi apoteker dan dokter, peneliti, akademisi, serta mahasiswa dari berbagai institusi di Indonesia. Seminar ini menghadirkan 3 pembicara utama, yaitu Prof. Dr. Joseph T. Dipiro, Pharm, D., (South Carolina College of Pharmacy Univesity of South Carolina, USA), Prof. Syed Azhar Syed Sulaiman, Ph.D., (Universiti Sains Malaysia), Prof. Tomonori Nakamura, Ph.D., (Keio University Japan).*

sumber: www.unpad.ac.idt

 

 

 

Anti-smoking campaign to target students, the poor

In its new anti-smoking campaign, which will be funded by cigarette tax revenue, the city administration will target students and low-income residents, an official has said.

Starting next year, the city is expected to receive around Rp 400 billion (US$35.2 million) per year in revenue from a cigarette excise tax.

“We are currently discussing and fleshing out the anti-smoking programs, which comprise not only curative but also preventive measures. Most smokers in the capital are low-income residents so we will focus on educating them. We will also target students,” Jakarta Health Agency head Dien Emmawati said at City Hall recently.

Even though the agency has yet to elaborate on the details of the education programs, Dien said that her agency would target both active and potential smokers.

“We will work on how to educate non-smokers so they don’t start smoking, while at the same time encouraging active smokers to quit the habit. The programs will be carried out through Puskesmas [community health centers] and hospitals,” she said.

Dien said that the funds allocated for anti-smoking programs would be distinct from those allocated for financing the city’s health care program.

The city set aside Rp 1.2 trillion this year alone to finance its health care program, called the Jakarta Health Card (KJS). It has yet to announce the amount of budget allocated for the KJS program next year.

“We are currently calculating the figures. We want to separate the anti-smoking programs from the KJS so they don’t overlap,” she said, adding that the agency would work together with the Jakarta Education Agency to deliver the programs to students.

Jakarta Education Agency head Taufik Yudi Mulyanto said that the agency had already banned smoking in schools.

“We didn’t only ban smoking for students but also for the teachers,” he said.

“We also have banned sponsors and endorsements from tobacco companies for any kind of school activities, even though they’re part of CSR [corporate social responsibility] programs,” Taufik said.

The agency, however, has said it will support the anti-smoking campaign.

“We will integrate existing programs with the new anti-smoking programs,” he said.

The City Council has endorsed the Bylaw on tobacco tax in lieu of law No. 28/2009 on local taxes and levies, the latter of which stipulates a 10 percent cigarette excise tax.

The tax revenue will be proportionally distributed to all 34 provinces based on population.

Jakarta’s population constitutes 4 percent of the national population, and on the assumption that national cigarette excise tax revenue is Rp 116 trillion, the city will receive around Rp 400 billion per year.

Meanwhile, calls for restricting cigarette distribution are mounting as the number of smokers in Indonesia has reached an alarming level.

According to the World Health Organization, Indonesia is among third-world countries with the highest number of smokers.

The Health Ministry records there are 61.4 million smokers in Indonesia.

The data also shows that 60 percent of the male population and 4.5 percent of women’s population in Indonesia are active smokers.

Meanwhile, the number of passive smokers in the country stood at 97 million people, 43 million of whom were children and 11.4 percent of them were infants.

Tobacco smoking is said to claim 300,000 lives in Indonesia every year

source: www.thejakartapost.com

 

870 Dokter Asing Siap Serbu Indonesia

Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) mengeluarkan warning rencana serbuan dokter-dokter asing ke tanah air. Mereka bakal memperebutkan pemberian layanan kesehatan primer masyarakat. PDKI meminta dokter-dokter Indonesia meningkatkan kualitas dan kompetensi di bidang pelayanan pirmer.

Ketua PDKI Amrin Nurdin mengatakan, masuknya dokter-dokter asing itu secara resmi. Mereka memanfaatkan era persaingan bebas dan kesepakatan masyarakat ASEAN 2015 nanti. “Serbuan dokter-dokter asing ini harus disikapi secara bicaksana. Salah satunya adalah kita, dokter-dokter Indonesia harus meningkatkan kualitas,” katanya dalam seminar Jaminan Kesehatan Nasional Berbasis Promotif dan Preventif di Jakarta kemarin. Seminar ini diikuti sekitar 300 orang dokter umum.

Amrin menuturkan dokter asing yang sudah siap membuka jasa pelayanan di Indonesia sedikitnya ada 870 orang. Mereka akan fokus memberikan pelayanan home visit atau dokter kunjung keluarga. “Mereka masuk ke Indonesia dengan membawa berbagai perlengkapan kesehatan yang sangat memadai,” tandasnya.

Menurut Amrin kondisi itu harus menjadi pemacu semangat dokter-dokter Indonesia untuk meningkatkan kemampuannya. “Khususnya untuk menjadi dokter layanan primer dan menjadi dokter keluarga,” papar dia.

Amrin juga menyoroti pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014 nanti. Pada periode itu, mengharuskan para dokter layanan primer memahami konsep dokter keluarga. Keberadaan dokter keluarga, dinilai mampu menignkatkan peran keluarga dalam menjaga kesehatan dan mencegah penyakit atau kesakitan.

Jika masyarakat nanti tahu cara memelihara kesehatan, mereka jarang sakit. Jika jarang sakit, klaim asuransinya tidak banyak terpakai. Itu artinya terjadi penghematan dalam biaya kesehatan masyarakat. “Oleh karena itu pada sistem asuransi kesehatan massal seperti JKN, keberadaan dokter keluarga sangat penting,” paparnya. Upaya pencegahan terhadap penyakit akan lebih dominan terhadap upaya pengobatan atau penyembuhan.

Kondisi saat ini menurut Amrin, dari 80 ribu dokter praktek umum atau dokter layanan primer Indonesia, baru sekitar 5 ribu (6,25 persen) memiliki pemahaman baik tentang perannya sebagai dokter keluarga. Padahal di sejumlah negara, konsep dokter keluarga sudah sangat popular.

Sebab masyarakat setempat sudah paham bahwa penanganan oleh satu dokter yang dipercaya,biayanya jauh lebih irit. Selain itu resiko keluarga juga lebih kecil ketimbang harus berganti-ganti dokter. Dia menegaskan dokter keluarga adalah dokter praktek umum.

Hanya dalam prakteknya, mereka menggunakan pendekatan kedokteran keluarga. Pendekatan ini memiliki empat prinsip. Yaitu pelayanan yang diberikan bersifat personal (individual), pelayanan bersifat primer atau dasar, pelayanan senantiasa mengupayakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi. Dan yang terakhir adalah pelayanan bersifat berkelanjutan. Pada kesempatan ini Amrin mengatakan ada 15 ribu dokter umum menjalani pelatihan menjadi dokter keluarga.

Kendati demikian, mereka tidak bisa langsung dengan mudah masuk ke dalam pusat pelayanan kesehatan. Sebab akan banyak aturan yang harus mereka lengkapi. Sebelumnya pihak Kementerian Kesehatan menegaskan hal tersebut. “Tentu saja mereka tidak bisa langsung melakukan praktek,” ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.

Sejauh ini, lanjutnya, tenaga asing yang bisa masuk ke Indonesia baru sebatas ahli teknis di bidang kedokteran. Mereka sengaja diminta untuk memberikan arahan mengenai alat kesehatan ataupun seminar pendidikan kedokteran. Hampir jarang sekali ditemui adanya dokter asing praktek yang membuka secara langsung layanannya.

“Mereka pun mendapat pendampingan dari dokter Indonesia dalam penyampaiannya, bukan praktek mandiri,” tandas Menkes. Sehingga, menurutnya, tidak akan mudah begitu saja para dokter asing ini masuk ke Indonesia. Pihaknya juga akan melakukan perlindungan untuk dokter-dokter lokal. Oleh karenanya, ia meminta para dokter di Indonesia untuk mau bekerja sama meningkatkan kualitas kerja mereka agar tidak kalah dengan para dokter asing. (wan/mia)

sumber: sumutpos.co

 

Tanggung Biaya Kesehatan Perokok, Indonesia Bisa Bangkrut

Biaya kesehatan yang dikeluarkan akibat dampak rokok tidaklah sedikit. Jumlah total biaya yang harus dikeluarkan akibat penyakit terkait rokok (PTR) diperkirakan sekitar Rp 39,5 trilyun dalam setahun. Angka ini setara 30 persen dari total keseluruhan biaya yang dikeluarkan ASKES.

Angka ini kemungkinan akan terus membesar setara jumlah perokok yang terus meningkat. “Karena itu perokok tidak perlu diikutsertakan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014. Jika diikutsertakan, negara bisa bangkrut karena menanggung biaya yang begitu besar,” kata Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), dr. Zainal Abidin, MH pada diskusi ‘Gangguan Kesehatan Dan Pembiayaan Penyakit Terkait Rokok, Tanggung Jawab Siapa?’ di Jakarta, Kamis (31/10/2013) kemarin.

Usulan dari IDI memang beralasan dengan mempertimbangkan bentuk demografi penduduk Indonesia saat ini, yang memiliki banyak usia produktif. Padahal, jumlah perokok Indonesia sebanyak 61,4 juta orang sebagian besar adalah generasi muda. Sekitar 10-20 tahun lagi, generasi muda ini akan menjadi lansia dengan berbagai penyakit akibat kebiasaan merokok yang pernah dilakukan.

Dengan keanggotaan JKN yang dimiliki, maka biaya kesehatan mereka ditanggung negara. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi keuangan negara.

Zainal juga mengacu pada Peraturan Presiden tentang JKN nomer 12 tahun 2013 pasal 25 i. Aturan tersebut memuat pelayanan yang tidak ditanggung JKN, yaitu yang diakibatkan sengaja menyakiti atau melakukan hobi yang merugikan diri sendiri.

Zainal menegaskan, menghisap rokok termasuk dalam perbuatan yang sengaja menyakiti diri sendiri, sehingga akibatnya tidak perlu ditanggung pemerintah.

“Perokok umumnya mengerti perbuatannya tidak baik dan menyakiti orang lain, tapi masih juga dilakukan. Kalau begini tidak adil bila pemerintah dan masyarakat masih harus menanggung biaya kesehatan para perokok. Jika keberatan menanggung sendiri, mungkin bisa dibantu perusahaan rokok,” kata Zainal.

Kemungkinan Indonesia yang bakal bangkrut bila menanggung biaya kesehatan perokok juga diungkapkan Direktur PT. Askes Indonesia Tbk, Fahmi Idris. Menurutnya kebangkrutan tak bisa dihindari, karena pada 2030 semua generasi muda perokok saat ini akan menderita sakit. Jenis sakit yang diderita beragam, namun hampir semuanya memerlukan biaya tinggi (katastropik).

“Bila terus begini kita pasti bangkrut. Meski begitu BPJS kesehatan tidak memisahkan pasien perokok dan bukan perokok,” kata Fahmi.

Untuk mengatasi hal ini, Zainal mengusulkan subsidi pembiayaan penyakit katastropik terkait PTR. Jumlah subsidi disarankan menutupi 30 persen biaya yang dikeluarkan Askes akibat PTR setiap tahunnya.

Namun solusi ini hanya bersifat jangka pendek. Fahmi menyatakan, pemerintah tetap harus serius menyelesaikan isu terkait pembatasan rokok dari berbagai aspek. Pembatasan rokok dapat mencegah generasi muda terpapar rokok sejak dini, sehingga faktor risiko berbagai penyakit seperti jantung dan kanker bisa dikurangi.

Solusi lain adalah memperkuat gateaway keeper, yaitu upaya promotif dan preventif. Usaha ini bisa dilakukan dokter di layanan kesehatan primer yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Masyarakat juga dapat membentengi diri sendiri dengan terus menambah pengetahuan dan tidak segan menginfokan kerugian merokok.

“Konsep ini jadi mirip dokter keluarga. Kita juga bisa mencontoh Thailand terkait upaya promotif dan preventif, yang menggunakan cukai dari rokok,” kata Fahmi.

sumber: health.kompas.com

 

Indonesia Masih Kekurangan 1.800 Dokter Gigi

Indonesia masih mengalami kekurangan dokter gigi sebanyak 1.800 orang. Dit Bina Usaha Kesehatan Dasar, Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut, Kementerian Kesehatan, Drg. R Sudono, mengatakan berdasarkan data pada 2011, Indonesia hanya memiliki 21.900 dokter gigi. “Pada 2011, terdapat 21.900 dokter gigi dengan Surat Tanda Registrasi (STR). Idealnya 1:10000 untuk melayani 237 juta penduduk Indonesia. Jadi masih kurang,” kata Sudono.

Sementara itu, berdasarkan data pada 2012, sebanyak 40 persen dari 9.599 puskesmas di Indonesia belum memiliki dokter gigi. “Sekitar 60 persen puskesmas sudah ada dokter giginya,” tambahnya.

Ia menambahkan, saat ini puskesmas memerlukan dukungan dalam meningkatkan peranan dokter gigi di puskesmas. Sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan gigi yang optimal kepada masyarakat.

Menurutnya, peranan tenaga medis di puskesmas untuk memberikan informasi terkait pentingnya merawat gigi dan mulut sangatlah penting. “Puskesmas adalah ujung tombak dalam melakukan upaya kesehatan masyarakat,” kata Sudono.

Sudono mengatakan, untuk mengurangi dampak penyakit dari gigi dan mulut, pihaknya melakukan upaya penyuluhan. Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan, Drg. Marlina Ginting, mengatakan puskesmas selain memberi pengobatan juga memberi pelayanan promotif preventif. “Yaitu upaya edukasi ke masyarakat agar mampu menjaga kesehatan termasuk kesehatan gigi dan mulut, juga mampu mengenali permasalahan kesehatan lebih dini, agar mampu mencegah dan mengatasi,” katanya.

Menurutnya, para petugas-petugas puskesmas tersebut perlu dibekali dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Berdasarkan data pada 2011, terdapat 30,46 persen tenaga media yang telah mendapatkan pelatihan.

Sementara itu, sebanyak 45 persen penduduk Indonesia mengalami gigi sensitif. Namun, hampir separuh lebih penduduk Indonesia masih memiliki kesadaran rendah untuk memeriksakan kepada dokter.

GlaxoSmithKline (GSK) Head of Expert Marketing, Dr. Maria Melisa, mengatakan sebanyak 52 persen masyarakat tidak berkonsultasi kepada dokter terkait keluhannya. “Dan lebih dari 75 persen belum menanganinya dengan solusi baik dan benar,” katanya.

sumber: www.republika.co.id

 

Indonesia Luncurkan Situs AIDS Pertama di Asia Pasifik

Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi secara resmi meluncurkan informasi tentang HIV/AIDS secara digital atau disebut AIDS Digital, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (31/10). AIDS Digital dibuat atas inisiatif Indonesia AIDS Coalition (IAC), yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang anggotanya berasal dari komunitas terdampak AIDS.

Menkes mengatakan, AIDS Digital ini menyediakan informasi, lokasi, dan jadwal pelayanan secara langsung, sehingga menghemat waktu dan biaya. Terutama lagi dapat mengurangi hambatan budaya yaitu rasa malu dengan adanya stigma masyarakat terhadap komunitas orang dengan HIV/AIDS (odha).

“Aplikasi ini sangat membantu para odha yang takut dan malu untuk mengakses layanan maupun informasi karena masih tingginya stigma masyarakat. Ini peluang bagi kita untuk memanfaatkan dunia informasi dan teknologi guna menjangkau odha dengan informasi HIV/AIDS, terutama generasi muda,” kata Menkes.

Menkes mengatakan, aplikasi ini adalah yang pertama di Wilayah Asia dan Pasifik, juga dibuat sendiri oleh komunitas terdampak AIDS, sehingga sangat efektif memberikan informasi yang tepat. Selain itu dengan adanya fasilitasi pemanfaatan teknologi informasi ini tentunya akan memperkuat kampanye edukasi Aku Bangga Aku Tahu, yang sedang gencar disosialisasikan Kemkes dan sejumlah kementerian serta lembaga terkait.

Di dalam aplikasi ini terdapat 3 jenis layanan utama, yaitu HIV 101 yang berisi informasi dasar serta praktis terkait HIV/AIDS. Layanan ini berguna untuk pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan.

Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhana mengatakan, mimpi IAC untuk bisa mengakses informasi tanpa ada rasa tabu, malu dan takut akhirnya terjawab. Selama ini, kata dia, odha mengalami kendala sendiri dalam mengakses informasi tentang penyakitnya karena masih tingginya stigma.

“Dengan aplikasi ini mampu menjaga kualitas kesehatan odha, memberikan dukungan apabila ada keluarga yang menderita HIV/AIDS,” kata Aditya.

Menurutnya, dengan sekitar 63 juta pengguna internet di Indonesia dan jumlahnya terus meningkat menciptakan peluang potensial untuk menyebarkan informasi dan sosialisasi. Ini menjawab kebutuhan untuk menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi mereka yang membutuhkan informasi tentang HIV/AIDS.

AIDS Digital ini sebagai bentuk kontribusi korban terdampak HIV/AIDS untuk memperkuat dan menyukseskan program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Aplikasi ini juga berisi Direktori Layanan AIDS yang terdiri dari layanan tes HIV, layanan terapi antiretroviral (ARV), layanan kelompok dukungan bagi orang dengan HIV, layanan alat suntik steril, layanan methadone, layanan pencegahan HIV orang tua kepada anak, layanan rumah sakit rujukan AIDS dan layanan infeksi menular seksual.

Selain itu, juga terdapat direktori lembaga dan organisasi yang bekerja untuk program penanggulangan AIDS yang mencakup Kemkes dan jajarannya, Komisi Penanggulangan AIDS sampai tingkat kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat dan juga organisasi jaringan populasi kunci.

sumber: www.beritasatu.com

 

India may not fully achieve the MDGs by 2015: Report

India may not be able to fully achieve the Millennium Development Goals (MDGs) ratified by the United Nations with regard to health and nutritional indicators, says a government report.

According to the latest report of Ministry of Statistics and Programme Implementation on MDGs, the progress over the targets in respect of reducing no of people suffering from hunger and improvement in maternal health, is either slow or offtrack.

MDGs are international development goals that United Nations member states and numerous international organisations, including India, have agreed to achieve by the year 2015.

These include eradicating extreme poverty and hunger; achieving universal primary education; promoting gender equality; reducing the child mortality rate and ensuring environmental sustainability.

The ‘Towards Achieving MDGs- India 2013’ revealed that the proportion of underweight children has declined by three percentage points during 1998-99 to 2005-06, from about 43 % to about 40 %. At the historical rate of decline, it is expected to come down to about 33 % only by 2015 vis a vis the target value of 26 %.

As per MDGs, Indian is to halve, between 1990 and 2015, the proportion of people who suffer from hunger.

At the historical pace of decrease, India tends to reach Maternal Mortality Ratio (MMR) of 139 per 100,000 live births by 2015, against the target of 109, the report said.

India has agreed to reduce the MMR by three quarters (3/4th), between 1990 and 2015.

However according to the report, India is on track on MDGs target of reducing the number of people whose income is less than one dollar a day, between 1990 and 2015. India has already achieved the poverty headcount ratio of 23.9 % and likely to achieve the targetted 20.74 % by 2015.

The Millennium Declaration, made during the UN Millennium Summit on September 8, 2000, was signed by 189 countries, including 147 Heads of State and Government, and included eight Goals called the MDGs.

These summarise the key development goals embraced by the main international conferences and world summits during the 1990s, and are declarations of solidarity and determination of the world leaders to rid the world of poverty and improve the lot of humanity.

MDGs and related targets and indicators provide a framework for planning policy interventions and benchmarks to monitor progress in human development and poverty reduction.

sosurce; www.business-standard.com

 

Kebutaan Hambat Tercapainya Target MDGs

Kebutaan menjadi salah satu masalah yang dihadapi pemerintah dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015 mendatang. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah menjamin pengobatan mata termasuk pada Badan Pelaksanaan Jaminan Sosial (BPJS).

Direktur bina Upaya Kesesehatan Dasar (BUK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dedi Kusenda mengatakan kebutaan mempengaruhi keadaan perekonomian seseorang. Hal ini berhubungan dengan target MDGs yaitu penanggulangan kemiskinan dan kelaparan selain dan target Vision 2020. Vision 2020 adalah program yang membantu masyarakat miskin yang mengalami gangguan penglihatan melalui pelayanan di masyarakat, pendidikan dan pelayanan sosial dalam menurunkan kebutaan.

Dedi mengatakan pengobatan mata seperti katarak akan dicover oleh pemerintah dalam BPJS. Untuk itu pemerintah akan menguatkan sistem pelayanan dasar primer khususnya di puskesmas melalui screening mata. Hal ini bertujuan untuk mencegah meledaknya masyarakat yang langsung pergi ke rumah sakit.

“Setiap orang akan didiagnosa sesuai dengan standar komposisi yang ditentukan. Untuk itu kita akan menguatkan dari sistem, biaya dan SDM,” kata Dedy pada Selasa (29/10).

Dia mengatakan hal ini merupakan upaya pencegahan dan antisipasi sebelum penyakit mata berlanjut mengakibatkan kebutaan. Namun lain yang dihadapi adalah penyebaran tenaga kesehatan seperti dokter umum dan dokter spesialis mata yang belum merata. Jumlah dokternya, lanjut Dedy, sudah cukup merata. Tetapi permasalahannya adalah mereka jarang ada yang mau dikirim kedaerah.

Akibat dari otonomi daerah, pemerintah sulit mendapatkan data untuk melakukan penanggulangan di daerah-daerah. Pemerintah akan melakukan pengelompokan sesuai regional dalam melakukan rujukan.

Dari data yang disampaikan Dedi, menurut WHO jumlah orang buta di dunia mencapai 39 juta. Sedangkan yang termasuk kedalam golongan low vision mencapai 246 juta dan yang mengalami kebutaan mencapai 285 juta.

Sedangkan penyebab kebutaan seperti katarak mencapai 51%, glukosa 8%, kelainan refaksi 35% dan kebutaan pada anak 4%. Ia menambahkan sebanyak 90% kebutaan dan gangguan penglihatan terdapat di negara miskin.

Ketua Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Nila F. Moeloek mengatakan selama ini pelayanan kesehatan mata sering ditempatkan pada pelayanan sekunder. Untuk itu diharapkan dalam BPJS nanti, pemerintah dapat mempersiapkan layanan primer di puskesmas maksimal dengan pertanggungan sesuai dengan anggaran yang dipersiapkan.

Dia mengatakan, selain screening sebagai pemeriksaan kesehatan mata di puskesmas diharapkan masyarakat juga memeriksakan tekanan darah dan kadar glukosa. Pola hidup dan pola makan yang banyak dilakukan masyarakat sekarang ini membuat obesitas menjadi permasalahan yang dapat menyebabkan kebutaan.

Nila mengatakan saat ini terdapat sekitar 2000 dokter spesialis mata. “Namun kami meminta agar pemerintah memperbaiki pelayanan kesehatan sekunder harus dilengkapi dengan sarana, alat, dan sistem pembiayaan yang jelas,” kata Nila.

Saat ini di Indonesia prevalensi kebutaan dikarenakan katarak mencapai 52%, glaucoma 13%, retina 9% dan penyebab lainya 10%. Sebagai utusan Presiden untuk percepatan pencapaian target MDGs, Nila mengatakan negara seharusnya dapat mengeluarkan biaya operasi katarak setiap tahunya sebesar Rp 9 Miliar. Jumlah ini membuat negara mengehemat Rp 648 Miliar per tahunya untuk dana beban hidup lansia.

“Harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat menjadi 72 tahun. Sedangkan 46 tahun adalah usia rentan terkan katarak di tengah kebanyakan masyarakat kita,” jelas Nila.(Vera Erwaty Ismainy)

sumber: www.metrotvnews.com

 

Indonesia Jadi Pusat Pengembangan dan Pelatihan Radiologi di Asia Tenggara

Indonesia akan memiliki pusat pengembangan dan pelatihan radiologi pertama di Asia Tenggara. Fasilitas ini terbangun atas kerjasama National Hospital Surabaya dengan General Electric (GE) yang disepakati Senin (28/10/2013) kemarin di Surabaya.

“National Hospital menjalin kerja sama dengan GE untuk menyediakan alat dan memberi pelatihan radiologi untuk memberikan fasilitas yang terbaik se-Asia Tenggara, karena itu tempat ini menjadi pusatnya,” ujar Chief Executive Officer National Hospital Rudy Surjanto di sela-sela peresmian National Hospital pada waktu yang sama.

Rudy mengatakan, pusat pengembangan dan latihan radiologi dibangun khususnya untuk meningkatkan mutu layanan rumah sakit. Oleh sebab itu, National Hospital juga akan terus melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap piranti lunak yang dimilikinya.

“Piranti lunak akan selalu diperbaharui untuk menjaga layanan ini berkesimbungan. Kerja sama yang dilakukan dengan GE bertujuan agar pembarahuan ini menjadi lebih mudah,” kata dia.

Pelatihan yang menjadi layanan dari fasilitas ini sasarannya adalah dokter radiologi, radiografer, teknisi, dan manajemen GE di Asia Tenggara. Didukung dengan peralatan termutakhir, misalnya CT Scan 128 Slice, dengan kemampuan interpolasi 500 slices dan MRI 3 Tesla Wide Bore, dan piranti lunak yang selalu diperbaharui, Rudy optimis National Hospital akan menjadi rujukan pelatihan radiologi.

Menurut Rudy, kerja sama yang dilakukan dengan GE merupakan upaya yang paling tepat guna mewujudkan pusat pengembangan dan pelatihan radiologi pertama di Indonesia, dan Asia Tenggara ini. GE, kata Rudy, tidak hanya inovatif menciptakan alat, tetapi juga selalu memperbaharui piranti lunak secara berkala.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, dengan adanya pusat pengembangan dan pelatihan radiologi diharapkan dapat berdampak positif bagi kemajuan teknologi kedokteran di Indonesia maupun Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga dapat diandalkan sebagai penyedia layanan terpercaya pengobatan.

“Dengan fasilitas peralatan kesehatan yang begitu modern ini, saya harapkan tidak perlu lagi ada orang yang berobat keluar negeri. Karena sebetulnya rumah sakit di Indonesia sudah dapat memberikan pelayanan yang memadai,” pungkasnya.

sumber: health.kompas.com

 

China to monitor link between smog and health

China’s Health Ministry will set up a national network within five years to provide a way of monitoring the long-term impact of chronic air pollution on human health, state media said on Monday.

The network will gather data on PM2.5, or particulate matter with a diameter of 2.5 micrometers, in different locations around the country, the report said, citing a ministry statement.

“The document noted that the absence of a long-term, systematic monitoring system has prevented the country from uncovering the link between air pollution and human health,” the report said.

The network will first cover cities where smog is most prevalent, it added.

“The evaluation will be based on the integrated and long-term analysis of PM2.5 data, weather information and cases of local residents’ diseases and deaths,” Xinhua said.

An international study published in July showed that air pollution is shortening the lives of people in northern China by about 5.5 years compared to the south, a legacy of a policy that provided free coal for heating in the north.

Air quality is of increasing concern to China’s stability-obsessed leaders, anxious to douse potential unrest as a more affluent, urban population turns against a growth-at-all-costs economic model that has besmirched much of the country’s air, water and soil.

The government has announced many plans to fight pollution over the years, but has made little apparent progress, especially in the north and northeast.

Last week, the PM2.5 index reached a reading of 1,000 in some parts of Harbin, the gritty capital of northeastern Heilongjiang province and home to some 11 million people, virtually shutting it down.

A level above 300 is considered hazardous, while the World Health Organization recommends a daily level of no more than 20.

source: uk.reuters.com