Aplikasi ‘AIDS Digital’ Akan Diluncurkan

Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah LSM yang anggotanya berasal dari komunitas terdampak AIDS, dengan dukungan penuh dari Kementrian Kesehatan akan meluncurkan Aplikasi mobile bernama “AIDS Digital”.

Aplikasi ini akan diluncurkan langsung oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 31 Oktober 2013 di Kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan Jakarta.

Aplikasi ini adalah yag pertama di region Asia Pasifik. Aplikasi ini juga dibuat sendiri oleh komunitas terdampak AIDS sehingga mempunyai efektifitas yang tinggi serta mampu menjawab tantangan di lapangan yang diketahui dengan tepat oleh komunitas terdampak AIDS.

Kementrian Kesehatan sebagai leading sector dalam upaya menyehatkan seluruh masyarakat Indonesia, menyambut terbuka inisiatif ini dan mendukung penuh sebagai bagian mendekatkan akses informasi terkait HIV dan AIDS serta IMS kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Aplikasi ini bisa diakses melalui dua metode yaitu berbasis website yang beralamat di www.aidsdigital.net serta berbasis mobile application yang bisa didownload di Apple Store, Blackberry Aplication Store dan Google Play. Aplikasi mobile ini bisa digunakan di Handphone Iphone, Blackberry dan Android.

Di dalam aplikasi ini, terdapat 3 jenis layanan utama yaitu HIV 101 yang berisi informasi dasar dan praktis terkait HIV dan AIDS yang berguna untuk pencegahan serta perawatan dukungan dan pengobatan, Direktori Layanan AIDS yang terdiri dari layanan tes HIV, layanan terapi ARV, layanan kelompok dukungan bagi orang dengan HIV, layanan alat suntik steril, layanan methadone, layanan pencegahan HIV orang tua kepada anak, layanan RS rujukan AIDS dan layanan Infeksi Menular Seksual.

Selain itu, juga terdapat direktori lembaga dan organisasi yang bekerja untuk program penanggulangan AIDS yang mencakup Kementerian Kesehatan dan jajarannya, Komisi Penanggulangan AIDS sampai tingkat kabupaten/kota, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga Organisasi Jaringan Populasi Kunci. Direktori layanan yang tersedia mencakup area di seluruh proponsi di wilayah Indonesia.

Aplikasi ini sangat praktis dan sangat bermanfaat bagi masyarakat sebab setiap isi dari direktori layanan ditampilkan dalam desain yang menarik dan mencakup informasi detail layanan, fasilitas menelpon ke layanan, fasilitas peta dan petunjuk arah serta fasilitas berbagi ke media jejaring sosial yang bermanfaat untuk menyampaikan pesan secara viral.

Hadirnya aplikasi ini diharapkan mampu meningkatkan tingkat pemahaman masyarakat mengenai informasi HIV dan AIDS yang akurat, meningkatkan tingkat kunjungan ke layanan kesehatan dan juga meningkatkan kepatuhan mengkonsumsi obat bagi orang yang terinfeksi HIV dan juga layanan bagi komunitas terdampkak lainnya.

Indonesia AIDS Coalition dan Kemenkes dengan bangga akan meluncurkan aplikasi ini guna mendukung program Zero New HIV Infection, Zero Discrimination dan Zero AIDS Related Deaths.

sumber: www.republika.co.id

 

Antisipasi Dokter Asing, Kualitas Dokter Keluarga Harus Ditingkatkan

Menjamurnya dokter asing yang berpraktek di Indonesia harus disikapi secara bijaksana. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi dokter-dokter Indonesia, khususnya di pelayanan primer, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek mandiri.

Hal tersebut ditegaskan Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), Armin Nurdin, saat membuka seminar bertajuk Jaminan Kesehatan Nasional Berbasis Promotif dan Preventif, di Jakarta, Minggu (27/10). Seminar ini diikuti 300 peserta yang sebagian besar adalah dokter praktek umum.

Armin mengatakan, di era persaingan bebas dan kesepakatan masyarakat ASEAN 2015 memungkinkan dokter-dokter asing bebas masuk ke Indonesia. Diperkirakan sedikitnya 870 dokter asing yang akan berpraktik sebagai dokter “home visit” atau dokter kunjung keluarga.

Mereka membawa berbagai perlengkapan kesehatan yang sangat memadai dan siap bersaing dengan dokter-dokter Indonesia.

“Tidak ada jalan lain, selain terus menerus berupaya memperbaiki kualitas dokter-dokter kita, khususnya dokter layanan primer menjadi dokter keluarga,” kata Armin.

Di samping itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014 mengharuskan para dokter layanan primer memahami konsep dokter keluarga.

Keberadaan dokter keluarga dinilai mampu meningkatkan peran keluarga dalam menjaga kesehatan dan mencegah kesakitan. Dengan demikian beban pembiayaan akibat pengobatan bisa ditekan.

“Kalau masyarakatnya tahu cara memelihara kesehatan, mereka jarang sakit. Kalau jarang sakit, klaim asuransi tidak banyak terpakai, yang artinya ada penghematan dalam hal biaya kesehatan masyarakat. Makanya, pada sistem asuransi kesehatan massal seperti JKN, keberadaan dokter keluarga sangat penting,” kata Armin.

Sayangnya, kata dia, dari 80.000 dokter praktek umum atau dokter layanan primer yang ada di Indonesia, baru sekitar 5.000 di antaranya yang memiliki pemahaman baik tentang perannya sebagai dokter keluarga.

Sementara di banyak negara, konsep dokter keluarga sudah sangat populer. Hal itu dikarenakan masyarakatnya sudah paham bahwa penanganan oleh satu dokter yang dipercaya biayanya jauh lebih irit dan risiko juga jauh lebih kecil ketimbang harus berganti-ganti dokter.

Dokter keluarga, tambah Armin, adalah dokter praktek umum. Hanya dalam prakteknya, para dokter keluarga menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dengan empat prinsip pokok.

Pertama, meski istilahnya adalah dokter keluarga, pelayanan yang diberikan bersifat personal (invidual), bukan keluarga. Kedua, pelayanannya juga bersifat primer artinya hanya melayani sebatas dokter pelayanan primer.

Ketiga, bersifat komprehensif atau senantiasa mengupayakan pelayanan bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, serta keempat adalah berlangsung kontinyu atau kesinambungan pelayanan.

Pemahaman serta keahlian ini, kata Armin, yang akan terus diupayakan PDKI bersama induk organisasinya yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

“Jangan sampai seseorang dilayani oleh banyak dokter, sehingga mengulang pelayanan, pemeriksaan dan beragam jenis obat. Ujung-ujungnya biaya pengobatan menjadi sangat mahal,” ucapnya.

Pelatihan dokter keluarga bagi para dokter layanan primer yang digagas PDKI akan berlangsung mulai minggu depan sampai tiga tahun ke depan. Dikatakan Armin, sedikitnya 15.000 dokter akan disasar dalam pelatihan dokter keluarga.

sumber: www.beritasatu.com

 

BEM UI Tuntut Perbaikan Kualitas Managemen Kesehatan

Puluhan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia ( BEM UI ), Senin (28/10/2013) melakukan aksi unjuk rasa (unras) di depan istana negara, Jakarta Pusat.

Pantauan Tribunnews.com, massa demo menggunakan satu unit sound system B 9575 UK dan satu unit metro mini B7165NL. Saat ini aksi demo masih berlangsung dan massa masih berorasi menyerukan tuntutannya.

“Kami minta sahkan Peraturan Pemerintah turunan UU BPJS, Naikkan Anggaran Kesehatan menjadi 5% dari APBN dan Perbaiki kualitas managemen kesehatan di seluruh Indonesia serta akses yang terjangkau bagi masyarakat,” teriak orator aksi dari atas mobil komando.

Dalam aksinya massa juga menggunakan almamater berwarna kuning dan membawa serta spanduk bertuliskan : “Selamatkan lahirnya JKN untuk kesehatan yang merata dan berkeadilan, Tetapkan kriteria penerima bantuan iuaran (PBI) yang lebih manusiawi, serta wujudkan akses pelayanan kesehatan yg merata diseluruh wilayah Indonesia.

Tak hanya berorasi, massa juga menyebarkan selebaran berisi :

  1. Alokasi anggaran dana kesehatan yang sesuai dengan amanat undang-undang
  2. Segera terbitkan peraturan turunan penerapan jaminan kesehatan nasional sebelum januari 2014.
  3. Akses pelayanan atau fasilitas kesehatan yang merata dan berkeadilan
  4. Kriteria Penerima Bantuan Iuaran (PBI) yang manusiawi.

sumber: www.tribunnews.com

 

Menkes Tantang dan Apresiasi RSHS

Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengapresiasi sekaligus menantang Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin yang merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-90. Nafsiah terkesan dengan tema “Pengabdian Tanpa Batas” karena menginspirasi karyawan dan dokter bekerja ikhlas tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, agama, dan pandangan politik pasiennya.

“Semua harus bangga melayani sesama manusia dengan hati ikhlas. Saya apresiasi karyawan yang bekerja di masa kini, di masa lalu sepanjang 90 tahun, bahkan yang akan bekerja menghadapi tantangan pembangunan kesehatan mendatang,” kata Nafsiah dalam Peringatan Puncak HUT RSUP Hasan Sadikin di Jalan Pasteur, Kota Bandung, Minggu (27/10/2013).

Nafsiah juga mengapresiasi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) yang punya 20 pelayanan dengan dua unggulan yaitu pelayanan kedokteran nuklir dan pelayanan teknologi reproduksi berbantu. Selain itu RSHS juga mengembangkan 125 pelayanan subspesialistik. Sebagai RS yang berusia tua, RSHS menurut Nafsiah merupakan RS pejuang dan perjuangan.

“Mulai masa kolonial, perjuangan, masa Jepang, kembali ke Belanda sampai akhirnya merdeka dan kembali pada Indonesia. Jadi, saya harap semangat juang terus ditingkatkan di kalangan karyawan RSHS,” katanya.

Namun, Nafsiah juga menantang peran RSHS, Dinas Kesehatan Jabar, dan Fakultas Kedokteran Universitas Pajadjaran (Unpad) melindungi warga Jabar. Soalnya, penyakit HiV AIDS di Jabar meningkat di kalangan perilaku seks berisiko.

“HIV bukan meningkat di kalangan pengguna jarum suntik tetapi ibu rumah tangga dan bayi yang terinfeksi dan meninggal di Jabar Saya mohon kita lindungi rakyat Jabar. Jauhkanlah pelaku beresiko,” katanya. (A-199/A-147)

sumber: www.pikiran-rakyat.com

 

KTM OKI, RI Tekankan Pentingnya Kerjasama Bidang Kesehatan

Indonesia Menekankan Pentingnya Kerjasama Bidang Kesehatan antar negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Hal ini disampaikan oleh Wakil Presiden RI, Prof Dr Boediono, saat dilaksanakannya Inaugural Session Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Kesehatan ke-4 Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Istana Wakil Presiden, baru-baru ini.

“Kerjasama antar negara anggota OKI di bidang kesehatan tidak saja akan memperkuat OKI secara organisasi, tetapi juga akan menempatkan OKI sebagai organisasi internasional yang semakin kokoh”. Sebelum acara Inaugural Session tersebut, telah dimulai sesi KTM Kesehatan ke-4 OKI (22/10).

KTM Kesehatan OKI merupakan bentuk kerjasama kesehatan di antara negara-negara dalam kerangka OKI yang dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun sekali. Tema yang diangkat dalam pertemuan KTM Kesehatan ke-4 ini adalah Better Nutrition, Better Health, Better Ummah.

KTM Kesehatan ke-4 ini dihadiri 40 delegasi negara-negara anggota, dari 57 negara anggota, 11 diantaranya dipimpin oleh Menteri Kesehatan, yaitu dari Uganda, Arab Saudi, Suriname, Gabon, Gambia, Palestina, Mesir, Mauritania, Mozambique, Niger, dan Indonesia.

Pada KTM Kesehatan ke-4 ini, Menteri Kesehatan RI, dr Nafsiah Mboi SpA MPH, telah terpilih sebagai Ketua menggantikan Mr. Eric Abenovich Bayzhunusov, Menteri Kesehatan Republik Kazakhstan, selaku Ketua KTM Kesehatan ke-3 OKI. Keketuaan Indonesia dalam KTM Kesehatan OKI akan diemban selama 2 (dua) tahun hingga tahun 2015, sesuai dengan Resolusi No. 1/3 ICHM on Strengthening Health Cooperation pada KTM Kesehatan ke-3 OKI di Astana, Kazakhstan tahun 2011.

KTM Kesehatan OKI ke-4 ini telah membahas berbagai tema diskusi, dalam 8 (delapan) working session, yaitu: Pengendalian Tuberkulosis; Eradikasi malaria; Eradikasi Polio; Menurunkan kasus kematian ibu dan anak yang dapat dicegah; Kemandirian dalam ketersediaan dan produksi farmasi, termasuk vaksin; Gizi dan stunting; Gaya hidup sehat dan pengendalian penyakit tidak menular; dan Kontribusi OKI dalam agenda pembangunan global pasca 2015.

sumber: www.suaramerdeka.com

 

Tobacco Control Stumps Indonesia’s Health Minister

Tobacco industry lobbyists and lawmakers are rebuffing demands for stricter regulation, saying such a move would end millions of livelihoods.

“Many small industries can no longer survive. We feel like we are going to get murdered and only big industry will survive,” said Hafash Gunaman, head of the Association of Kudus Cigarette Makers.

Hafash was responding to renewed calls on the government to accede to the Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), a treaty convened by the World Health Organization in 2003, after the world community singled out Indonesia as the only country in Asia, the Pacific or the G20 that has not attempted to pass tobacco control laws that meet even minimum international standards.

The FCTC requires parties to legislate a comprehensive ban on tobacco advertising and undertake measures to ban sales to minors, reduce demand, help people end tobacco addiction, protect non-smokers’ health through indoor smoking restrictions, and eliminate smuggling.

“If the tax excise is increased, our product’s market [will shrink], because it will be too expensive. We don’t have enough capital to cope with that,” Hafash said.

There are few places in the world where cigarettes are cheaper than in Indonesia. Indeed, they are affordable even for the poorest households and children. A pack of Marlboro, including taxes, sells for $1.30 in Indonesia, compared to $9.70 in Singapore, $14.50 in New York, $3.20 in Malaysia and $1 in the Philippines and Vietnam, according to cigaretteprices.net. The highest price, $17.70, is found in Australia, which has some of the world’s strictest tobacco controls.

The tobacco industry has previously claimed acceding to the FCTC would threaten the livelihood of 10 million people who work as tobacco and clove farmers, factory workers and cigarette vendors.

The Ministry of Health says the framework would not hurt workers’ livelihoods, and would only regulate the tobacco trade to improve the farmers’ welfare and prevent children from taking up the habit.

“Vehicle fumes are more dangerous than cigarette smoke. But why doesn’t the government limit the number of cars?” Hafash said.

Zulvan Kurniawan from the National Coalition to Save Kretek (Cigarettes), or KNPK, said Indonesia already has a tobacco regulation and FCTC accession is unnecessary.

“Current regulationa are strict enough. But is law enforcement working?” he said.

Zulvan denied that cigarette commercials influence people, especially children, to take up the habit.

“Advertisements only inform people about cigarette brands. Smoking itself is more related to influence from people’s surroundings,” he said.

Poempida Hidayatullah, a lawmaker on House of Representatives Commission IX, which oversees health and welfare issues, said FCTC accession was a ridiculous move that would only benefit foreign tobacco.

“Everything was copy-pasted to be implemented in Indonesia based on foreign importance,” he said.

Poempida said the push for FCTC accession is motivated by trade competition and a desire dominate the Indonesian market by killing the local clove cigarette industry.

Minister of Health Nafsiah Mboi said on Wednesday she was thoroughly embarrassed during the Organization of Islamic Countries’ summit of Health Ministers in Jakarta on Tuesday. Indonesia is one of only 10 states that have not signed the FCTC, alongside Zimbabwe and Somalia.

“Somalia has not ratified the framework because they have practically no government. I really don’t know what to say about Indonesia, so I could not give any response when asked about tobacco control. But I was very ashamed,” she said.

Nafsiah said Indonesia has repeatedly violated the global commitments it made in several international forums.

In 2011, Indonesia voted in favor of a UN General Assembly resolution recognizing the most prominent non-communicable diseases are linked to common risk factors, such as tobacco and alcohol use, unhealthy diet and lack of physical activity. The meeting, attended by President Susilo Bambang Yudhoyono, also recognized the fundamental conflict of interest between the tobacco industry and public health.

In 2011, a regional WHO meeting issued the “Jakarta Call for Action on Noncommunicable Diseases,” participants from Southeast Asian countries called on global leaders to combat NCDs by ratifying the FCTC and scaling up a package of interventions proven effective, including the reduction of tobacco use.

In 2007, at an OIC Health Minsters summit in Kuala Lumpur, Indonesia stated its willingness to recognize that tobacco poses one of the greatest threats to health. The country joined an effort to call upon OIC member states to introduce stronger tobacco control legislation.

Diplomats have noted Indonesia’s eagerness to project itself as a leader in international forums, but say the country’s reputation will suffer if, rather than taking action and responsibility on basic agreements, the government is instead seen as merely blowing smoke.

source: www.thejakartaglobe.com

 

130 Juta Dolar untuk Indonesia Atasi AIDS, TB dan Malaria

Kementerian Kesehatan menerima bantuan sebesar total 130 juta dolar AS untuk digunakan memerangi tiga penyakit yaitu AIDS, tuberkulosis dan malaria serta 20 juta dolar AS untuk mendukung akses keluarga berencana (KB).

“Kami berharap dalam 5-10 tahun ke depan, tiga penyakit ini dapat dikendalikan. Mungkin tidak bisa eliminasi tapi paling tidak bisa dikontrol,” ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam jumpa pers di Jakarta, Senin.

Bantuan tersebut berasal dari Tahir Foundation dan Gates Foundation yang masing-masing menyumbangkan 65 juta dolar AS bagi penanggulangan AIDS, Tuberkulosis dan malaria serta 10 juta dolar untuk peningkatan akses KB.

“Dengan tambahan dana yang sedemikian banyak berarti semakin banyak orang yang bisa dijangkau untuk deteksi dan juga pengobatan,” kata Menkes.

Saat ini jumlah penderita TB dan malaria menurutt Menkes telah menurun dan malaria di Indonesia hanya tersisa di enam provinsi yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dan Bangka Belitung.

“Oleh karena itu kami akan konsentrasikan dana kesitu (enam provinsi), baik dana dari pemerintah maupun NGO (lembaga swadaya masyarakat),” kata Menkes.

Dana 130 juta dolar AS itu dikatakan Menkes merupakan bantuan dalam jangka waktu lima tahun ke depan dan Menkes berharap semakin banyak bantuan yang datang kedepannya.

“Sebenarnya kami tahu caranya (menanggulangi) sehingga jika sumber daya (finansial) mencukupi, semakin banyak daerah yang dicapai sehingga suatu saat ketiga penyakit ini akan dapat dikontrol,” papar Menkes.

sumber: health.liputan6.com

 

Pesan Menkes untuk Petugas Medis: Berlakulah Ramah dan Santun pada Pasien

Guna mencapai pemenuhan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tak hanya fasilitas memadai saja yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan kesehatan seperti klinik, puskesmas, atau rumah sakit. Sumber daya manusianya yang berkualitas juga memegang peranan penting.

“Untuk mendukung layanan kesehatan yang optimal, diperlukan sumber daya manusia yang baik, ramah dan bersikap empati serta perhatian pada pasien dan juga santun. Berlaku untuk semua pegawai terutama dokter dan perawat,” kata Menteri Kesehatan Dr Nafsiah Mboi, SpA, MBA dalam Grand Opening Mayapada Hospital di Mayapada Hospital, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2013).

Selain itu, menurut Nafsiah, paramedis juga harus mau berkomunikasi pada pasien dan berkenan menjawab pertanyaan pasien maupun keluarga pasien dengan jujur, sabar, dan arif. Dalam sambutannya, Nafsiah juga menginginkan pelayanan rumah sakit di Indonesia, termasuk rumah sakit yang baru beroperasi bisa dinikmati masyarakat dari seluruh tingkat ekonomi. Sebab, salah satu pembangunan upaya kesehatan di Indonesia yakni dengan meningkatkan akses kesehatan masyarakat.

Selain itu, Nafsiah juga berharap rumah sakit yang baru beroperasi seperti Mayapada Hospital bisa menjadi rumah sakit rujukan dari rumah sakit lain sebagai wujud nyata dukungan swasta dalam memberi layanan kesehatan yang optimal terhadap masyarakat. “Dengan diresmikannya rumah sakit ini jadi ada 143 rumah sakit di Jakarta. Saat ini, jumlah tempat tidur rumah sakit saat ini asa 20.261 itu dua kali lipat dari kebutuhan. Kalau ada rumah sakit yang membeludak jangan salahkan rumah sakit atau Pak Gubernur ya, mungkin banyak yang sakit karena merokok,” kata Nafsiah sembari tertawa.

Sementara itu Menkokesra Agung Laksono mengatakan baru 57,6 persen rumah sakit di Indonesia yang diakreditasi. Meskipun masih banyak tantangan pembangunan kesehatan di Indonesia, Agung menyatakan pemerintah tetap ingin membenahi infrastruktur rumah sakit yang sangat dibutuhkan terutama oleh masyarakat menengah ke bawah.

“Kami ingin mempunyai rumah sakit yang berkualitas baik dan kedepannya (rumah sakit) yang ada di Indoenesia tidak akan kalah dengan yang diluar negeri, seperti di Malaysia, Singapura,” kata Agung.

sumber: health.detik.com

 

 

 

Belum Ratifikasi FCTC, Menkes Malu di Konferensi OKI

Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, mengaku sangat malu di Konferensi Tingkat Menteri Kesehatan Organisasi Kerja Sama Islam atau Organization Islamic Cooperation (OIC), lantaran Indonesia satu-satunya negara yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Masalah dampak rokok terhadap kesehatan menjadi salah satu poin utama yang dibicarakan dalam konferensi ke-4 OKI.

Dari sekitar 57 negara anggota OKI dari kawasan Asia, Arab, dan Afrika, hanya Indonesia dan Somalia yang belum meratifikasi FCTC. Namun Somalia tidak hadir dalam pertemuan OKI kali ini.

“Somalia belum ratifikasi karena tidak ada pemerintahannya, sedangkan Indonesia saya tidak tahu. Jadi, saya tidak menanggapi apa pun soal masalah rokok, tapi saya malu sekali,” kata Nafsiah seusai membuka konferensi tersebut, di Jakarta, Selasa (22/10).

Penyakit tidak menular akibat dipicu konsumsi rokok, seperi kanker, stroke, dan serangan jantung, juga menjadi pembahasan sekitar 37 negara anggota OKI yang hadir. Sebab, sejumlah negara anggota OKI, termasuk Indonesia kini menghadapi masalah kesehatan ganda, yaitu penyakit menular yang belum tertangani ditambah penyakit tidak menular dengan kasusnya terus meningkat.

“Di semua negara masalahnya sama, yaitu karena adanya perubahan gaya hidup, perubahan gizi, dan lingkungan seperti polusi baik udara, darat, maupun air yang banyak menyebabkan kanker, kerusakan janin, dan penyakit tidak menular lainnya,” kata menkes.

Rokok menyebabkan penyakit-penyakit berbiaya mahal dan membebani penderitanya secara ekonomi atau dalam istilah WHO, burden of diseases. Di antara penyakit-penyakit dalam kategori ini, penyakit karena rokok menjadi penyumbang terbesar, termasuk di Indonesia.

Secara terpisah, Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, tidak hanya di antara negara anggota OKI, di dunia internasional pun Indonesia sudah malu. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sangat memalukan karena Indonesia adalah konsumen rokok terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Di antara negara OKI, hanya Indonesia yang memiliki perokok aktif terbanyak, yakni sekitar 72 juta orang.

Juga memalukan karena Indonesia telah melanggar kesepakatan OKI untuk meratifikasi FCTC pada konferensi beberapa tahun lalu di Kuala Lumpur, Malaysia. Padahal Menteri Kesehatan Siti Fadillah kala itu ikut menandatangani kesepakatan tersebut. Sedangkan semua negara OKI, kecuali Somalia, sudah mengharamkan rokok, dan mengimplementasikannya dengan meratifikasi instrumen internasional itu.

“Sebagai negara OKI dengan penduduk muslim terbanyak Indonesia tidak konsisten, dan melanggar asas kepatuhan di OKI,” kata Tulus kepada Beritasatu.com, di Jakarta, Rabu (23/10).

Oleh karena itu, YLKI mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung komitmen Nafsiah Mboi untuk mempercepat ratifikasi FCTC. Jika regulasi yang ditetapkan sejak tahun 2003 itu tidak diratifikasi, Indonesia selalu menjadi pasar potensial rokok.

Target MDGs

Nafsiah Mboi menambahkan, untuk pertama kalinya dalam konferensi kali ini, negara OKI sepakat untuk membuat program kerja dan implementasi jangka panjang yakni 2014-2022. Program kerja ini, antara lain untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) 2015 dan program pasca-MDGs.

Sebab, kata menkes, ada sekitar 14 negara anggota OKI belum mencapai target MDGs terkait masalah kesehatan, termasuk Indonesia yang masih tertinggal dalam hal menekan angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan kasus HIV/AIDS. Namun, menkes tidak secara detail menyebutkan negara mana saja yang belum berhasil.

Terkait HIV/AIDS, kata menkes, anggota OKI pun tidak menyangka kasusnya masih tinggi di negara-negara Muslim, termasuk Malaysia. Pasalnya, penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku seks berisiko, dan di negara yang berpenduduk Muslim terbanyak masalah ini mestinya tidak perlu dikhawatirkan.

Menurut menkes, negara yang belum mencapai MDGs dikarenakan banyak faktor, di antaranya berpenduduk banyak dan terlambat melaksanakan MDGs. Sedangkan yang sudah berhasil mencapai MDGs terkait kesehatan, kata menkes, justru negara kecil yang berpenduduk sedikit namun kaya, seperti Brunei Darussalam dan Kazakhstan.

Adapun konferensi yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali ini membahas masalah prioritas kesehatan masyarakat Muslim dan meninjau berbagai aspek status kesehatan di negara-negara anggota OKI, termasuk perkembangan dan situasi, kekhawatiran, kebutuhan serta prioritas dalam bidang kesehatan. Di antaranya rencana persiapan pandemi gizi dan kerjasama konkrit negara OKI di bidang kesehatan. Juga membahas mengenai penyakit dan masalah kesehatan yang masih dihadapi negara OKI seperti penyakit TB, malaria, polio, kemandirian farmasi termasuk vaksin, gizi dan stunting (pendek), gaya hidup sehat dan penyakit tidak menular serta kontibusi negara OKI dalam dokumen MDGs tahun 2015.

sumber: www.beritasatu.com

 

Indonesia Merdeka, Dunia Kesehatan Terjajah

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kesehatan merupakan hak dasar setiap individu dan warga Negara. Maka Pemerintah wajib untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman,bermutu dan terjangkau sesuai dengan amanah UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan sumber daya dibidang kesehatan yang ada pemerintah coba untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa.

Timbul pertanyaan apakah rakyat Indonesia sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman,bermutu dan terjangkau? Jika telinga kita tuli, mata kita buta dan hati penuh kemunafikan kita akan menjawab “Ya” karena di luar sana kesehatan bukan lagi menjadi tanggung jawab kita sebagai penikmat kemerdekaan namun bentuk penjajahan terhadap sebagian besar saudara sebangsa dan se Tanah Air. Kita tidak bisa diam diarus masyarakat yang kacau dan Tenaga kesehatan dalam hal ini dokter, perawat, bidan, analis, farmasis dan semua tenaga kesehatan lainnya memiliki andil yang besar untuk bisa mewujudkan ini semua.

Antara profesi kesehatan yang satu dan lainnya memiliki keterkaitan, olehnya harus ada kesatuan aksi dari seluruh tenaga kesehatan. Walau dalam kenyataan dilapangan hari ini terjadi kesenjangan di antara profesi kesehatan yang dilatar belakangi oleh tidak meratanya Sumber daya manusia di setiap profesi kesehatan, arogansi pada setiap profesi kesehatan yang terkadang merasa hebat dari lainnya, tingkat kesejahteraan, regulasi pemerintah yang terkadang tidak adil serta kurangnya azas pemerataan.

Salah satu Pemicu yang semakin memperparah dunia kesehatan di Tanah air adalah sikap dari Industri farmasi dan alat kesehatan yang coba menggeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan beberapa profesi kesehatan. Terciptalah simbiosis mutualisme diantara mereka-mereka yang melunturkan sifat kemanusiaannya dan sumpah profesi yang telah di IKRAR kan dalam setiap hembus nafasnya.

Salah satu contoh dalam penetapan Harga Jual Pabrik (HJP) atau Cost of Goods Sales (COGS) untuk suatu produk. HJP = HPP + Biaya Pemasaran + Biaya Administrasi + Biaya Manajemen + Pajak + Keuntungan + Lisensi. Pemerintah bisa menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan dengan menekan Biaya Administrasi + Biaya Manajemen + Pajak Agar harga obat dan alkes bisa terjangkau oleh seluruh masyarakat. Namun lucunya Pemerintah malah sibuk mengurusi pengurangan pajak barang mewah untuk elektronik tanpa pernah sadar impor bahan baku obat yang begitu besarnya berdampak pada semakin mahalnya harga obat dan alat kesehatan.

Dari sisi Biaya Pemasaran Industri farmasi khusus untuk produk ethical/resep bisa mencapai 35 persen dari Harga Jual Pabrik. Timbul pertanyaan mengapa begitu tingginya biaya pemasaran? Biaya pemasaran tersebut dikucurkan oleh industri farmasi melalui pasukan-pasukan detailer (Medical representative) untuk mempengaruhi dokter menuliskan resep obat yang diproduksinya dan Apoteker meyiapkan Obat tersebut di apotek. Sebuah Konspirasi yang nyata dari tenaga kesehatan. Tidak semua begitu tapi kebanyakan.

Strategi Pemasaran yang dilakukan oleh Industri farmasi dan alkes telah berhasil mengadu-domba profesi kesehatan. Karena terbukti mampu untuk memperkaya segelintir dokter, apoteker, perawat, analis, dan lain-lain. Bagaimana dengan tenaga kesehatan yang coba menjaga idealisme mereka? Mereka terpojokkan, mereka menjadi termaginalkan baik dari sisi kesejahteraan, jabatan dan profesi. Yang benar disalahkan, yang salah coba untuk tampil menjadi ratu keadilan. Gratifikasi yang dilakukan oleh Industri Farmasi seharusnya ditindak oleh lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Industri Farmasi, detailer dan tenaga-tenaga kesehatan yang merugikan hajat hidup orang banyak harus ditangkap dan dipenjarakan.

Menjadi tugas kita semua untuk merubah citra dunia kesehatan di Indonesia tanpa harus saling menyalahkan dan membenarkan apa yang kita lakukan. Kita sebagai tenaga kesehatan harus mahfum bahwa dalam menjalankan profesi kita bukan hanya untuk mencari penghasilan yang sebesar-besarnya tetapi ada tanggung jawab sosial didalamnya sebagai putra(i) bangsa ini.

Yang diperlukan di negeri ini adalah tenaga-tenaga kesehatan yang berkerja dengan kerja-kerja kepahlawanan. Harumnya sekuntum bunga ada batasnya Harumnya jasa seorang pahlawan tiada batasnya. M e r d e k a …(*)

sumber: makassar.tribunnews.com