Jumlah Penyuluh KB Melebihi 12 Ribu Orang

Jakarta, PKMK. Jumlah penyuluh lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di Indonesia kini jumlahnya 17 ribu orang. Bukan 12 ribu orang seperti yang diketahui publik. Ada tiga jenis PLKB yakni yang pegawai Pemda , non-PNS yang dikontrak dan direkrut Pemda, serta tenaga hasil kemitraan. Ambar Rahayu, Sekretaris Utama BKKBN, mengungkapkan hal tersebut di Jakarta (7/10/2013).

Ambar mengatakan, BKKBN akan terus meningkatkan nilai insentif bagi PLKB. Selama ini, insentif tersebut sebesar Rp 500.000 untuk PLKB ahli dan senilai Rp 300.000 untuk tingkat di bawah itu. Untuk meningkatkan jumlah PLKB, BKKBN menempuh sejumlah upaya. Salah satunya dengan lebih melibatkan bidan pegawai tidak tetap (PTT). “Untuk itu, kami melakukan lobi kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI,” Ambar menjelaskan.

Poempida Hidayatulloh, Anggota Komisi IX DPR RI, mengatakan bahwa bidan PTT yang segera pensiun atau kontrak kerjanya tidak mungkin lagi diperpanjang, sebaiknya digunakan BKKBN untuk menekan jumlah angka kematian ibu (AKI). “Jadi, bidan PTT diberdayakan agar punya karir yang permanen. Kalau berstatus PTT, kan mereka hanya punya masa kerja maksimal sembilan tahun,” ucap politisi Partai Golkar itu.

Tak Ratifikasi FCTC, Indonesia Sasaran Rokok Impor

Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang belum mengaksesi aturan dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Akibatnya generasi muda Indonesia tidak terlindungi dari pengaruh negatif rokok dan produk tembakau lainnya.

Menurut aktivis anti rokok yang juga mantan ketua umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Kartono Muhammad, salah satu efek yang tak terbendung dari penolakan FCTC adalah masuknya produk rokok impor.

“Karena tidak ikut meratifikasi FCTC, maka Indonesia bisa dikatakan negara yang paling permisif pada produk rokok. Tidak heran bila berbagai negara penghasil rokok melirik Indonesia, yang paling baru Korea,” ujarnya.

FCTC, kata Kartono, sebetulnya bertujuan mengatur peredaran rokok di suatu negara, melalui demand dan supply reduction. Aturan ini semata menjaga supaya rokok tidak membunuh generasi muda dengan kandungan nikotin dan zat kimia berbahaya lainnya. Dengan penjagaan ini, maka kualitas generasi muda bisa terjaga dan tidak menjadi perokok di usia belia, baik secara aktif maupun pasif.

Pada demand reduction, diatur tentang paparan asap pada perokok pasif serta kandungan zat dalam rokok. FCTC juga memuat aturan peningkatan kebijakan publik pada bahaya rokok, serta pelatihan pengendalian tembakau bagi tenaga kesehatan, pekerja sosial, media, pendidik dan pengambil kebijakan.

Selain itu, ada aturan terkait iklan dan promosi rokok, termasuk bagaimana proses berhenti dari ketergantungan yang ditimbulkan. Aturan ini terdapat dalam pasal 8, 9, 10 12, 13, dan 14 dalam FCTC.

Sedangkan dari sisi supply reduction, terdapat aturan perdagangan produk tembakau, yang mengharuskan negara memantau setiap transaksi tembakau. Tiap perdagangan harus mencantumkan tujuan dan asal pengiriman produk. Pada bagian ini, terdapat larangan menjual atau memberikan rokok pada anak berusia di bawah 18 tahun.

Aturan juga memuat perlindungan kebijakan kesehatan masyarakat terkait pengendalian tembakau terhadap kepentingan industri rokok, perlindungan lingkungan, mekanisme koordinasi nasional, pelaporan, dan pertukaran informasi, serta pengaturan kelembagaan.

“Dengan ini, jelas sekali FCTC tidak merugikan industri rokok, namun semata melindungi generasi muda supaya tidak sedini mungkin menjadi perokok aktif maupun pasif. Memang ada vokasi yang selalu dilakukan, tapi kalau ada aturan yang jelas tentu lebih menguntungkan,” kata Kartono.

Dengan tidak diratifikasinya FCTC, maka perlindungan hanya ada pada upaya vokasi. Vokasi yang dilakukan terus menerus diharapkan bisa mengubah cara berikir masyarakat dan generasi muda terkait bahaya merokok, yang tidak hanya bagi kesehatan tapi juga sosial dan ekonomi.

“Tapi lama sekali kalau mengubah mind set. Namun dengan ketidaktegasan pemerintah hanya vokasi yang bisa dilakukan, padahal ancaman dari rokok impor bukan main-main,” kata Kartono.

Boros biaya kesehatan

Keputusan pemerintah yang tidak segera meratifikasi FCTC, dinilai pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Dr. dra. Rita Damayanti MSPH sebagai potensi pemborosan anggaran kesehatan.

“Apalagi kita akan menggunakan BPJS pada 2014 mendatang. Dengan sistem tersebut biaya kesehatan masyarakat ditanggung pemerintah. Sementara perokok sudah pasti akan sakit, akibatnya biaya kesehatan pasti membengkak,” kata Rita.

Apalagi, kata Rita, jumlah perokok menunjukkan kecenderungan peningkatan tanpa memandang usia atau jenis kelamin.

Kondisi ini, menurut Rita seharusnya mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi FCTC. Dengan komitmen yag ditunjukkan lewat FCTC, pemerintah memulai langkah awal mengatur peredaran rokok yang sekaligus menyelamatkan anggaran negara.

“Kalau tidak sekarang kapan lagi? Kita bisa berkaca pada Thailand terkait penerapan FCTC. Saat ini, mereka perlahan tengah mengaplikasikan dengan harapan anggaran dan kesehatan masyarakat menjadi lebih baik,” ujar Rita.

sumber: health.kompas.com

 

Siapkan Pengobatan Tradisonal di RS

Wakil Men­­teri Kesehatan Ali Ghuf­ron Mukti meminta Fakultas Kedokteran se-Indonesia men­d­ukung peningkatan kualitas calon dokter dengan mema­hami filosofi pengobatan tradi­sional asli Indonesia. Men­dukung penyeleng­garaan pe­nelitian kearifan lokal dan metode pengobatannya, untuk dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai pengayaan dalam ku­rikulum pendidikan dokter.

Hal itu disampaikan Ali Ghufron Mukti dalam Loka­karya Penerapan Model Kuri­kulum Kesehatan Tradisional pada Pendidikan Dokter di Universitas Andalas, Sabtu (5/10). Lokakarya diseleng­gara­kan untuk merumuskan bagai­mana melakukan pelayanan kesehatan tradisional terpadu dengan medis, dan memiliki standar sehingga bisa dite­rapkan di rumah sakit dan puskesmas.

Ali Ghufron Mukti mema­parkan, dalam UU No 36 Ta­hun 2009 tentang Kese­hatan, pelayanan kesehatan tradi­sional termasuk salah satu dari 17 jenis upaya kese­hatan yang harus terselenggara secara terpadu, menyeluruh dan ber­kesinambungan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam PP 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional juga diatur pelayanan kesehatan tradisional alter­natif dan komplementer dilak­sanakan secara sinergi dan integrasi dengan pelayanan kesehatan. Diarahkan untuk pengembangan lingkup ke­ilmu­annya supaya sejajar de­ngan pelayanan kesehatan.

Sesuai Rencana Strategis Ke­menterian Kesehatan 2010-2014, pelayanan kesehatan tra­disional akan diterapkan secara bertahap di seluruh fasilitas pe­layanan kesehatan di Indonesia.

Menurut Ali, untuk me­ngembangkan program kese­hatan tradisional sebagaimana yang diharapkan tidak se­mudah membalik telapak ta­ngan. Ba­nyak tantangan yang harus dihadapi, di anta­ranya terkait regulasi, ketersediaan tenaga dan kompetensi kese­hatan tra­disional, dan keter­sediaan ba­han/ramuan obat tradisional. Itu semua mem­butuhkan tekad dan upaya yang keras serta koordinasi yang baik dengan unsur-unsur terkait.

Dia berharap, Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam hal pe­ngo­batan tradisional dan ra­muan pengo­batan. Jangan sampai Indonesia hanya men­jadi obyek pe­ma­saran produk-produk impor, baik bahan ramuan maupun cara atau metode kesehatan tradisional yang banyak masuk ke tanah air. “Hal ini semakin relevan saat kita masih meng­impor bahan baku obat lebih dari 96 persen,” jelas pria kela­hiran Blitar 17 Mei 1962 ini.

Ali menilai, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pene­rapan integrasi pelayanan kese­hatan tradisional pada fasilitas kesehatan di Puskes­mas dan Rumah Sakit. Sebab, inte­grasi pelayanan kesehatan tradisional ke sistem pela­yanan kesehatan nasional me­ru­pakan kesepa­katan nega­ra-negara di bawah naungan WHO,dan komunitas ASEAN juga sepakat untuk mene­rapkannya. ASEAN bah­kan sudah memiliki Roadmap Traditional Medicine 2012-2025, yang setiap tahunnya bertemu dan mengevaluasi pro­gres masing-masing negara dan progres kerjasama antar negara, serta membuat reko­mendasi atau kesepakatan tahunan yang intinya meru­pakan tekad opera­sional ASEAN membangun pe­la­ya­nan kesehatan tradisional.

Dalam penerapannya, pe­ngobatan tradisional harus di­atur agar pengintegrasian pela­yanan kesehatan tradi­sional berjalan sinergi dengan pela­yanan kesehatan konven­sional. Pengobatan tradisional yang terbukti secara il­miah aman dan bermanfaat dapat dikom­binasi­kan dengan pengobatan konven­sional se­ba­gai pelengkap (kom­ple­men­ter), atau sebagai peng­ganti (alternatif) bila terapi kon­vensional tidak bisa diberikan.

“Saat ini kita (Indonesia, red) telah memiliki 73 Rumah Sakit Pemerintah yang menye­diakan layanan kesehatan tra­di­sional sebagai alternatif komplementer (dari target Renstra 2014 sebanyak 70 Rumah Sakit) dan sudah me­lak­sanakan pelayanan keseha­tan tradisional pada 573 Pus­kes­mas pada pertengahan tahun 2013 dari target Renstra pada tahun 2014 sebanyak 502 Puskesmas atau sudah melam­paui target karena permintaan yang tinggi untuk melakukan pelayanan kesehatan tradisio­nal, berupa pelayanan herbal, aku­pressur atau akupunktur,” jelas­nya.

Pencetus Jamkesmas yang juga Dekan Fakultas Kedok­teran UGM termuda itu me­nye­but­kan, alasan meng­ang­kat kese­hatan tradisional seba­gai bagian penting dalam upa­ya mening­katkan keseha­tan di tanah air punya banyak alasan.

Pertama, Indonesia dianu­gerahi kekayaan hayati tana­man obat yang sangat berlim­pah, bahkan terbesar keempat di dunia. “Sekadar catatan, bebe­rapa tahun lalu kita masih pada urutan kedua setelah Brazil. Namun jika dilihat dalam kapa­sitas biodiversitas di darat dan di laut, Indonesia menjadi yang terbesar didu­nia,” papar peraih doktor bi­dang kesehatan ma­syarakat di Universitas New­castle, Australia ini.

Kedua, Ali Ghufron Mukti melihat ada pergeseran pola hidup masyarakat dunia ter­masuk Indonesia yang ber­kem­bang menuju paradigma back to nature, dengan men­g­gunakan cara-cara tradisional untuk kesehatan. Dia mencon­tohkan, Republik Federal Jer­man sudah mencapai 78 per­sen masya­rakatnya back to nature dan mereka menetapkan umur hara­pan hidup menjadi 90 tahun.

Ketiga, pemanfaatan ba­han tanaman obat (jamu) se­cara empiris telah menjadi bagian tradisi budaya ma­syarakat sejak dulu dan sampai saat ini masih terus berkem­bang. Sekaitan dengan itu, presiden telah men­dekla­ra­sikan jamu sebagai Brand of Indonesia dan diama­natkan untuk diterapkan di fasilitas kesehatan.

Keempat, menurutnya pe­ngelolaan kesehatan tradis­io­nal yang baik mempunyai potensi cukup besar dalam menye­jahte­rakan rakyat. Ten­tu saja ini perlu dilakukan melalui kemitraan ma­syara­kat, dunia usaha dan peme­rintah.

Kelima, menurut dia, ke­wa­jiban negara untuk meme­nuhi mandat pasal 28 huruf H Un­dang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara mempunyai hak sama memperoleh pelayanan kese­hatan untuk mencapai dera­jat ke­sehatan yang se­tinggi-tingginya.

“Artinya upaya kesehatan tidak saja mengobati yang sakit menjadi sehat tapi di­ama­natkan mencapai derajat kese­hatan yang setinggi-tingginya,” jelas peraih penghargaan Research Fellow di Brown University, USA ini.

Saat ini Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradi­sional Alternatif dan Kom­ple­menter telah memfasilitasi ter­ben­tuknya Sentra Pe­ngem­ba­ngan dan Penerapan Pe­ngo­batan Tradisional (Sentra P3T) di 30 Provinsi. Tugas utama Sentra P3T adalah me­la­­kukan penapisan terhadap pelayanan kesehatan tradis­io­nal yang ber­kembang di ma­syarakat dan menggali local wisdom di tiap Provinsi. “Sen­tra P3T ini dite­tapkan peng­organisasiannya dengan Surat Keputusan Guber­nur dan pe­lak­sanaannya dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kese­hatan Provinsi,” jelasnya.

Dia minta Fakultas Ke­dok­teran di Indonesia meng­ambil peran dengan mema­sukkan mata kuliah pengo­batan tra­disional dalam ku­riku­lum pen­didikan dokter. Dengan begitu, sekurang-ku­rangnya lulusannya memaha­mi landasan filosofis, khusus­nya pada mata kuliah ilmu biomedis dan prinsip kon­sep pengobatan kesehatan tra­disional, alternatif dan kom­ple­menter, jenis metoda pe­ngo­batan, obat tradisional, tata cara pengobatan, keamanan dan manfaatnya dan seba­gainya.

Kemudian, dia berharap FK memfasilitasi pendidikan tinggi pengobat kesehatan, tradisional, alternatif dan kom­plementer. kemudian, mem­fasilitasi pene­litian pengo­batan kesehatan alternatif dan komplementer di Pergu­ruan Tinggi. (adi)

sumber: padangekspres.co.id

 

Program BKKBN Pusat Sering Tak Sinkron di Daerah

Jakarta, PKMK. Program yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sering tidak sinkron saat pelaksanaan di lapangan. Dalam arti, ada missed link antara program BKKBN tingkat pusat dalam implementasi di tingkat daerah. “Perbaikan hal itu penting, BKKBN kan sedang menekan jumlah angka kelahiran dan mewacanakan bonus demografi,” kata Indra, Anggota Komisi IX DPR RI, di Jakarta (7/10/2013).

Ada sejumlah contoh ketidaksinkronan tersebut. Sebuah program BKKBN diikuti sekitar 1.000 peserta di Tangerang. Padahal anggaran yang tersedia hanya Rp 40 juta, kata legislator dari Partai Keadilan Sejahtera itu. Mengatasi hal tersebut, BKKBN bisa lebih melibatkan Komisi IX DPR RI. Itu karena setiap anggota Komisi IX DPR RI sangat menguasai daerah pemilihannya, ucap Indra.

Okky Asokawati, Anggota Komisi IX DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan, juga mengatakan adanya ketimpangan pelayanan KB di tingkat pusat dengan daerah. Sementara, Profesor Dina Mahdi dari Partai Demokrat menyampaikan saat ini hubungan BKKBN dengan DPR RI tidak seerat dulu. Penyebab hal tersebut pantas dicari tahu. “Ada baiknya kami lebih sering diberi informasi. Seperti soal Program KB, itu kan terkait dengan persoalan ledakan jumlah penduduk dan lapangan kerja. Tapi memang sulit kalau anggaran BKKBN kecil,” kata dia.

Additional MERS Cases Raise Concerns Over Saudi Arabian Pilgrimage

As the hajj season in Saudi Arabia quickly approaches, the country’s Ministry of Health (MOH) is ramping up efforts to keep millions of pilgrims safe from falling ill to the Middle East Respiratory Syndrome-Coronavirus (MERS-CoV).

The annual pilgrimage occurs from October 13-18 with millions expected to be flocking to Mecca and Medina for prayer and worship. While the MOH had not reported any known cases of MERS-CoV stemming from the previous year’s hajj, there are still concerns that the elderly, children and those with compromised immunity could be susceptible to a deadly virus.

The MOH has been continuously updating any and all known cases to the World Health Organization (WHO) since February, when the illness was only labeled as a Novel Coronavirus. Since the MOH’s report on February 21, 2013, MERS-CoV illnesses have climbed from 13 to 136 and from seven to 58 deaths. Most people who have fallen ill and/or died from this virus have been elderly and with underlying health conditions. However, children have also been susceptible to this virus, with several known cases.

The new case count of 136 comes after the MOH reported an additional six lab-confirmed cases to the WHO. The six new cases are all from the Riyadh region and range in age from 14 to 79 years old — including three men and three women. The dates of onset for these patients range from Sept. 15 to Sept. 26, 2013.

Three of the patients are contacts of previously confirmed cases of MERS-CoV, two are reported to have had no exposure to confirmed cases or animals, and there was no exposure information for the final patient.

With the hajj nearly a week away, the MOH is continuing to prepare for the possibility that MERS-CoV could spread, despite no mass spread seen during previous pilgrimages to the holy land. Still, it is urging that elderly, children and those with underlying medical conditions forgo this year’s pilgrimage to protect themselves from possible infection.

The biggest fear is that pilgrims may carry the disease back to their homelands, giving a virus that has so far had limited outbreak beyond the borders of the Middle East a new route to the world, possibly kicking off a global pandemic. Still, Saudi authorities are remaining optimistic that the hajj will come and go without any outbreaks.

Dr. Nazreen Sherbini, a specialist in infectious diseases and influenza with the MOH, has advised pilgrims to wear masks in crowded places, according to CIDRAP.

“Pilgrims should wear protective masks that cover the noses and mouths in crowded places and follow basic health etiquette while sneezing or coughing,” Dr. Nazreen Sherbini was quoted as saying.

Currently, neither the WHO nor the US CDC recommend that travelers where protective masks when visiting the Middle East, and there remains not enough information or concern to issue travel and/or trade restrictions with the region.

source: www.redorbit.com

 

Taraf Kesehatan Rendah, Peringkat Sumber Daya Manusia RI di Urutan Ke-53

World Economic Forum (WEF) baru saja merilis laporan mengenai kualitas sumber daya manusia di tiap-tiap negara di seluruh dunia.

Melalui laporan tersebut, kualitas sumber daya manusia bisa diketahui, yang kemudian bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terdapat empat pilar yang digunakan WEF untuk mengukur tingkat sumber daya manusia di setiap negara.

Keempat pilar itu adalah tingkat kesehatan fisik dan jiwa, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan. Dengan empat pilar itu, level kualitas sumber daya manusia di setiap negara akan bisa diketahui.

Indonesia adalah salah satu negara yang juga diukur. Namun sayangnya, posisi Indonesia masih di bawah negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-53 dari berbagai negara di dunia.

Tidak usah dibandingkan dengan Singapura, dengan Malaysia saja Indonesia kalah jauh lantaran posisi negeri jiran itu berada di urutan ke-22. Adapun Thailand berada di urutan ke-44.

Namun, Indonesia setidaknya masih bisa berbangga lantaran posisinya masih lebih baik dari Filipina, yang berada di urutan ke-66.

Salah satu penyebab jebloknya kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah faktor kesehatan dan kebahagiaan. Untuk poin ini, Indonesia berada di urutan ke-85. Adapun penilaian yang paling baik yang diperoleh Indonesia adalah dari sisi keterampilan kerja.

Berikut urutan tingkat kualitas sumber daya manusia dari berbagai negara di dunia versi WEF:

1. Swiss
2. Finlandia
3. Singapura
4. Belanda
5. Swedia
6. Jerman
7. Norwegia
8. Inggris
9. Denmark
10. Kanada

22. Malaysia
23. Korea Selatan

43. China
44. Thailand

53. Indonesia

66. Filipina

70. Vietnam

78. India

sumber: bisniskeuangan.kompas.com

2020, Indonesia Siap Bebas Rabies

Kementerian Kesehatan menargetkan Indonesia bebas rabies pada 2020 atau sesuai dengan sasaran global dari Badan Kesehatan Dunia, meski baru sembilan dari 33 provinsi yang tidak memiliki kasus rabies.

“Negara-negara ASEAN juga menargetkan bebas rabies 2020, Indonesia juga, kalau bisa lebih cepat lagi,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam diskusi Sehati Bicara memperingati Hari Rabies di Jakarta, Kamis (3/10).

Hari Rabies Sedunia diperingati setiap 28 September untuk meningkatkan kesadaran mengenai penyakit yang mematikan dan ditularkan oleh hewan liar seperti anjing, kucing, monyet maupun beberapa hewan lain.

Sementara itu, Tjandra mengaku Indonesia membutuhkan waktu cukup lama untuk menargetkan bebas rabies karena pengendalian penyakit tersebut harus dilakukan di hewan juga.

“Butuh waktu (untuk bebas rabies) karena ada faktor anjing (dan binatang liar lain) yang harus ditanggulangi juga,” kata Tjandra.

Untuk anjing saja, diperkirakan ada sekitar empat juta ekor di seluruh Indonesia dengan 75 persen diantaranya atau tiga juta anjing merupakan anjing liar tanpa pemilik.

Bahkan anjing yang dipelihara juga dapat tertular dari hewan lainnya karena dibiarkan di luar rumah oleh pemiliknya.

Kepada para pemilik anjing dan hewan lainnya, Tjandra menyarankan untuk melakukan vaksinasi rabies untuk langkah antisipasi penularan lebih lanjut termasuk kepada orang.

Saat ini, hanya sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies karena tidak pernah melaporkan adanya kasus yaitu Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.

Sedangkan kasus rabies terbanyak pada tahun 2012 lalu adalah Sumatera Utara dengan 14 kematian disusul oleh Sumatera Barat dengan enam kematian dan Nusa Tenggara Timur dengan empat kematian.

Di dunia, tiap tahun diperkirakan korban rabies mencapai 55 ribu orang dengan 31 ribu kematian diantaranya berada di Asia dan 24 ribu sisanya di Afrika.

Sepanjang tahun 2010, Kementerian Kesehatan mencatat ada 78.574 kasus rabies dengan 206 korban jiwa.

Wabah rabies di beberapa daerah seperti Bali pada 2009 juga telah memicu gerakan vaksinasi besar-besaran pada hewan serta dibentuknya Komisi Nasional Provinsi/ Kota/ Kabupaten Rabies yang saat ini telah ada di 18 provinsi.

Selain itu juga telah didirikan Rabies Center di Puskesmas dan rumah sakit yang jumlahnya telah mencapai 480 diseluruh Indonesia yang melakukan penanggulangan rabies secara terpadu kepada hewan dan manusia.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Andi Muhadir mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada dengan gigitan binatang liar.

“Jatuhnya korban dapat dicegah dengan cara menghindari gigitan anjing (atau binatang liar lain) namun jika terlanjur tergigit maka lakukan pencucian luka dengan sabun/detergen selama 10-15 menit dan konsultasikan dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan vaksin antirabies,” papar Andi.

sumber: www.beritasatu.com

 

First Ever Tuberculosis Booster Vaccine Shows Promising Results

Canadian researchers have developed a new tuberculosis vaccine that could boost or perhaps replace the only existing way to immunize against the infection.

The researchers say the new vaccine is an important breakthrough because the current tuberculosis vaccine is not effective enough to curb the TB epidemic in some parts of the world.

“We are the first to have developed such a vaccine for tuberculosis,” said Dr. Fiona Smaill, professor and chair of the Department of Pathology and Molecular Medicine at McMaster University.

“Tuberculosis is a serious public health threat,” she said. “One-third of world’s population is infected with the organism that causes tuberculosis, and it remains the top infectious killer of people, only secondary to HIV, yet the current vaccine used to prevent it is ineffective.”

The control of TB has met with further challenge from the high incidence of multi-drug resistant tuberculosis, she added.

Smaill led the phase-one clinical study alongside Zhou Xing, professor of pathology and molecular medicine at the McMaster Immunology Research Centre. The findings were published Wednesday in the journal Science Translational Medicine.

The McMaster vaccine, which was developed in Xing’s laboratory, is based on a genetically modified cold virus, and was designed to act as a booster to Bacille Calmette Guerin (BCG), the only TB vaccine available today.

BCG was developed in the 1920s, and is currently part of the World Health Organization’s immunization program in Asia, Africa, Eastern Europe and South America, as well as Nunavut, the only Canadian jurisdiction where the BCG vaccine is routinely given because of the high rate of tuberculosis in the territory. It is typically given during the first year of life.

The new vaccine would serve as a “booster” that would reactivate immune elements that over time diminish following BCG vaccination.

The McMaster researchers have worked for more than a decade to develop their vaccine. The first human clinical trial began in 2009 with 24 healthy human volunteers, including 12 who were previously BCG-immunized.

“The primary goal was to look at the safety of a single dose vaccine injection…as well as its potency to engage the immune system,” said Xing.

By 2012, the researchers established that the vaccine was safe, and had observed a robust immune response in most trial participants.

Xing said additional clinical trials are needed to measure the vaccine’s true potential.

Smaill emphasized the significance of completing the phase-one clinical trial, and its potential impact.

“As a doctor who looks after patients who have tuberculosis, including those who are HIV infected, I realize how important it is going to be to control this infection with a good vaccine,” she said. “We are probably one of a few groups in the world who are actually doing bench-to-human tuberculosis vaccine work, and we are excited to be part of this and thrilled that it started at McMaster.”

The World Health Organization reports 8.7 million people were sickened with TB in 2011, and 1.4 million people died.

source: www.redorbit.com/news

 

2020, Indonesia Siap Bebas Rabies

Kementerian Kesehatan menargetkan Indonesia bebas rabies pada 2020 atau sesuai dengan sasaran global dari Badan Kesehatan Dunia, meski baru sembilan dari 33 provinsi yang tidak memiliki kasus rabies.

“Negara-negara ASEAN juga menargetkan bebas rabies 2020, Indonesia juga, kalau bisa lebih cepat lagi,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam diskusi Sehati Bicara memperingati Hari Rabies di Jakarta, Kamis (3/10).

Hari Rabies Sedunia diperingati setiap 28 September untuk meningkatkan kesadaran mengenai penyakit yang mematikan dan ditularkan oleh hewan liar seperti anjing, kucing, monyet maupun beberapa hewan lain.

Sementara itu, Tjandra mengaku Indonesia membutuhkan waktu cukup lama untuk menargetkan bebas rabies karena pengendalian penyakit tersebut harus dilakukan di hewan juga.

“Butuh waktu (untuk bebas rabies) karena ada faktor anjing (dan binatang liar lain) yang harus ditanggulangi juga,” kata Tjandra.

Untuk anjing saja, diperkirakan ada sekitar empat juta ekor di seluruh Indonesia dengan 75 persen diantaranya atau tiga juta anjing merupakan anjing liar tanpa pemilik.

Bahkan anjing yang dipelihara juga dapat tertular dari hewan lainnya karena dibiarkan di luar rumah oleh pemiliknya.

Kepada para pemilik anjing dan hewan lainnya, Tjandra menyarankan untuk melakukan vaksinasi rabies untuk langkah antisipasi penularan lebih lanjut termasuk kepada orang.

Saat ini, hanya sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies karena tidak pernah melaporkan adanya kasus yaitu Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.

Sedangkan kasus rabies terbanyak pada tahun 2012 lalu adalah Sumatera Utara dengan 14 kematian disusul oleh Sumatera Barat dengan enam kematian dan Nusa Tenggara Timur dengan empat kematian.

Di dunia, tiap tahun diperkirakan korban rabies mencapai 55 ribu orang dengan 31 ribu kematian diantaranya berada di Asia dan 24 ribu sisanya di Afrika.

Sepanjang tahun 2010, Kementerian Kesehatan mencatat ada 78.574 kasus rabies dengan 206 korban jiwa.

Wabah rabies di beberapa daerah seperti Bali pada 2009 juga telah memicu gerakan vaksinasi besar-besaran pada hewan serta dibentuknya Komisi Nasional Provinsi/ Kota/ Kabupaten Rabies yang saat ini telah ada di 18 provinsi.

Selain itu juga telah didirikan Rabies Center di Puskesmas dan rumah sakit yang jumlahnya telah mencapai 480 diseluruh Indonesia yang melakukan penanggulangan rabies secara terpadu kepada hewan dan manusia.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Andi Muhadir mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada dengan gigitan binatang liar.

“Jatuhnya korban dapat dicegah dengan cara menghindari gigitan anjing (atau binatang liar lain) namun jika terlanjur tergigit maka lakukan pencucian luka dengan sabun/detergen selama 10-15 menit dan konsultasikan dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan vaksin antirabies,” papar Andi.

sumber: www.beritasatu.com

 

Taraf Kesehatan Rendah, Peringkat Sumber Daya Manusia RI di Urutan Ke-53

World Economic Forum (WEF) baru saja merilis laporan mengenai kualitas sumber daya manusia di tiap-tiap negara di seluruh dunia.

Melalui laporan tersebut, kualitas sumber daya manusia bisa diketahui, yang kemudian bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terdapat empat pilar yang digunakan WEF untuk mengukur tingkat sumber daya manusia di setiap negara.

Keempat pilar itu adalah tingkat kesehatan fisik dan jiwa, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan. Dengan empat pilar itu, level kualitas sumber daya manusia di setiap negara akan bisa diketahui.

Indonesia adalah salah satu negara yang juga diukur. Namun sayangnya, posisi Indonesia masih di bawah negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan ke-53 dari berbagai negara di dunia.

Tidak usah dibandingkan dengan Singapura, dengan Malaysia saja Indonesia kalah jauh lantaran posisi negeri jiran itu berada di urutan ke-22. Adapun Thailand berada di urutan ke-44.

Namun, Indonesia setidaknya masih bisa berbangga lantaran posisinya masih lebih baik dari Filipina, yang berada di urutan ke-66.

Salah satu penyebab jebloknya kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah faktor kesehatan dan kebahagiaan. Untuk poin ini, Indonesia berada di urutan ke-85. Adapun penilaian yang paling baik yang diperoleh Indonesia adalah dari sisi keterampilan kerja.

Berikut urutan tingkat kualitas sumber daya manusia dari berbagai negara di dunia versi WEF:

1. Swiss
2. Finlandia
3. Singapura
4. Belanda
5. Swedia
6. Jerman
7. Norwegia
8. Inggris
9. Denmark
10. Kanada

22. Malaysia
23. Korea Selatan

43. China
44. Thailand

53. Indonesia

66. Filipina

70. Vietnam

78. India
 

sumber: bisniskeuangan.kompas.com