Semesta Kesehatan RI Baru Ditarget 2019

Memiliki daerah terpencil dan kepulauan, serta masih berjuang dalam pemenuhan sarana dan prasarana, akan tetapi Kabupaten Kayong Utara telah 20 tahun lebih maju pada program jaminan kesehatan semesta bagi warganya. Ini terbukti ketika Pemerintah Republik Indonesia baru menargetkan cakupan jaminan kesehatan Semesta Indonesia 2019, Kayong Utara sudah melakukannya pada 2009.

“Roadmap atau peta jalan jaminan kesehatan nasional itu (target Pemerintah Pusat pada tahun 2019, Red), sesungguhnya telah dimulai dari Kabupaten Kayong Utara sejak tahun 2009, dengan nama lain universal coverage insurance (asuransi mencakup semesta, Red),” ungkap Bupati Kayong Utara Hildi Hamid, belum lama ini.

Dikatakannya, kebijakan jaminan kesehatan semesta di kabupaten ini, tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2009 (Perbup 5/2009) tentang Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

“Dalam peraturan itu kami menjamin pelayanan kesehatan, mulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama, sampai pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Mulai dari puskesmas sampai ke rumah sakit Kalbar. Penerima manfaat Jamkesda di KKU (Kayong Utara, Red), selain warga miskin dan tidak mampu yang tidak ditanggung asuransi lain seperti Jamkesmas, Askes, dan asuransi lainnya, juga masyarakat mampu,” paparnya.

Bupati menerangkan bahwa yang menjadi dasar pihaknya menjalankan jaminan kesehatan semesta di kabupaten ini, sebab hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

“Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia (HAM). Pasal 25 ayat 1 Deklarasi, menyatakan (bahwa) setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan, serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda atau duda, mencapai usia lanjut, atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya,” kupasnya.

Diterangkannya di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila, terutama sila kelima, juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini, menurutnya, juga termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan.

“UU 36/2009 ditegaskan, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial (Jamkes),” ulasnya.

Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi tersebut, menurutnya, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.

“Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan, jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),” ujarnya.

Usaha ke arah itu sesungguhnya, ditambahkan Bupati, telah dirintis pemerintah, dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan. Satu di antaranya, disebutkan dia, melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero), yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta.

“Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali,” timpalnya.

Ia menerangkan UU 24/2011 juga menetapkan, jaminan sosial nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menurutnya, akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014.

“Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan antara lain di Peraturan Pemerintah (PP) 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden (Pepres) 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional). Nahkan roadmap jaminan kesehatan nasional inilah sebenarnya dimulai dari Kayong Utara,” tegasnya lagi. (mik)

sumber: www.pontianakpost.com

 

GMOs: tolerable or pressing health risk?

A ballot proposal to require labels on food products containing genetically modified ingredients would seem to be all about public health and science. But voters won’t hear proponents saying much about that in the political campaign that is just heating up over Initiative 522, the food-labeling measure on Washington’s statewide Nov. 5 ballot.

The reason: the science around genetically engineered foods is complex, with little clear scientific evidence that genetically engineered crops cause harm, yet too little research to guarantee safety.

The text of the initiative makes reference to the potential for “adverse health … consequences,” but the campaign supporting I-522 is steering away from talking about the science.

Yes on I-522 leaders argue the real issue is consumers want the kind of labeling their measure will deliver. They say it’s just like other labeling for farm-raised fish, the origin of meat products or the use of food coloring.

“Our campaign is not saying there is a specific health concern or not. We say this provides information so that you as a shopper can do more research … or you can make a grocery shopping decision for yourself,” Yes on I-522 spokeswoman Elizabeth Larter said.

Early polling shows I-522 is winning. But the No on 522 campaign is making headway. Its well-funded campaign already has collected $11.1 million — or more than twice what proponents’ various political committees have raised

No on 522 says the lack of scientific proof helps make its case that labeling is misleading and not worth the cost to farmers and consumers.

“They may not be arguing (health issues), but it’s all in the initiative,” No on 522 spokeswoman Dana Bieber says of her rivals. “They delivered their (voter) signatures in an ambulance. … They can’t have it both ways.”

No on 522 is endorsed by most of the state’s major agriculture groups, but the money is coming from six out-of-state donors, including Monsanto, the agricultural seed and fertilizer giant that has donated $4.8 million, DuPont Pioneer with $3.2 million and the Grocery Manufacturers Association with $2.2 million.

Larter’s group, which is backed by organic food and consumer groups, says this is the same food industry that warned in the past against other labeling, and those cost warnings proved false.

But a recent editorial in Scientific American Magazine backed up the No on 522 argument, casting doubt on any human health threats and criticizing labeling campaigns nationally.

“Instead of providing people with useful information, mandatory GMO (genetically modified organism) labels would only intensify the misconception that so-called Frankenfoods endanger people’s health,” the editorial declared. “The American Association for the Advancement of Science, the World Health Organization and the exceptionally vigilant European Union agree that GMOs are just as safe as other foods.”

Food labeling advocates point out 64 countries have labeling laws. In the United States, voters narrowly rejected a ballot measure in California, but advocates passed bills in Connecticut and Maine that eventually might require labels on foods made from GMOs.

Two scientists at the University of Washington say the scientific proof of harm is not yet there.

Professor Toby Bradshaw, who chairs the biology department at UW and taught a graduate class last spring that examined I-522, is a strong critic of the labeling proposal.

“The science that exists on this suggests that the foods in the human food supply that are genetically engineered are perfectly safe for humans,” Bradshaw said. “There is no evidence of harm.”

Bradshaw said that as a scientist he normally favors more information. But he thinks the kind of information to be included on the labels misses the mark – because they won’t tell what genetically modified ingredients might be present. The labeling proposal also has exemptions – such as for alcohol and food sold in restaurants, which I-522 backers say they adopted because they are similar to exemptions already in law for other food labeling.

Professor Michael Rosenfeld, a pathologist in the UW’s School of Public Health who has taught on the science behind GMOs, said that while there is no clear evidence of health risks, genetically engineered foods are not in the clear.

The credible reports of problems have been around the introductions of allergens, “but this is very rare and impacted very few people. So I think the jury’s out. The question is who is going to fund hard-core research on this,” he said.

Professor Chuck Benbrook, an agricultural economist at Washington State University, said that after doing 25 years’ work to develop, test and regulate genetically-engineered crops, he agrees there is no clear proof of health threats. But he said the vast majority of research has focused on the nutrient composition of crops and not the impacts on humans.

“There has, in fact, not been detailed food safety research on any of today’s major GE commodities,” Benbrook said, specifically noting there are few studies in long term laboratory tests that look at “changes in reproductive development, immune system health, the rate of cancer, various blood problems, etc.”

He thinks there is “a solid case to make for labeling emerging GE foods that will be consumed in fresh or close to fresh form.” But he also said more research by government scientists who are independent from commercial interests and financing is needed.

I-522 was filed as an initiative to the Legislature last year, but lawmakers declined to act on it, so it is going to the ballot.

Despite inaction, lawmakers did ask the Washington State Academy of Sciences to produce a report on the impacts of the measure – including potential costs if the measure is passed into law.

The report is about two weeks away from being finished, according to Robert C. Bates, executive director for the academy. The academy has six experts looking at the Legislature’s questions and has vetted the panelists to guard against conflicts of interest. The team is looking at definitions of GMOs, nutritional and food safety issues, policy and trade implications, costs to farmers and consumers, and questions about regulating the labeling in Washington.

source: www.theolympian.com

 

DKI Bayar Penuh Klaim Kesehatan Rumah Sakit

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati mengatakan klaim kesehatan rumah sakit peserta Kartu Jakarta Sehat akan dibayar seluruhnya. Besaran dana akan sesuai dengan klaim yang masuk dalam sistem Indonesia Case Based Groups (Ina CBGs).

“Sudah ada Peraturan Gubernur yang memungkinkan pemerintah memberi tambahan 25 persen dari jumlah tagihan,” kata Dien, Sabtu, 21 September 2013. Pembayaran Berbeda dengan daerah lain yang hanya membayarkan 75 persen dari tagihan masuk.

Dengan begitu, rumah sakit tak perlu lagi khawatir biaya perawatan di kelas 3 akan membuat mereka merugi. “Pembayaran 100 persen tagihan Ina CBGs itu berlaku untuk rumah sakit berkategori B, C, dan D,” kata dia.

Sebagian besar rumah sakit di Jakarta masuk kategori B, C, dan D. Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta Pusat yang mendapat predikat lembaga dengan pelayanan terbaik dari Kementerian Dalam Negeri masih masuk dalam kategori B. Sistem kategorisasi rumah sakit itu sempat membuat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama meradang.

“RSUD Tarakan yang bisa menangani bedah jantung masih masuk kategori B, padahal kategori rumah sakit berpengaruh pada besaran tagihan yang diajukan,” kata Ahok.

Menurut dia, ketidakadilan itu bersumber dari sistem kategorisasi rumah sakit berdasarkan jumlah tempat tidur. Hanya rumah sakit dengan jumlah tempat tidur minimal 400 yang bisa masuk dalam kategori A. “Kualitas pelayanan kami tidak kalah, tetapi kapasitas tempat tidurnya tidak mencukupi,” kata dia.

sumber: www.tempo.co

 

Kementerian Kesehatan Sediakan Help Desk Siskohatkes

Kemajuan teknologi dimanfaatkan betul oleh Kementerian Kesehatan untuk menyempurnakan pelayanan kesehatan bagi para calon haji yang tengah menjalankan ibadah di Tanah Suci. Seperti disampaikan melalui laman resmi http://puskeshaji.depkes.go.id, Jumat (20/9/2013), Kementerian Kesehatan menyiapkan Help Desk Kesehatan Haji di Lobi Gedung Prof. dr. Sujudi, Kementerian Kesehatan, Jl. H.R. Rasuna Said Blok X.5 Kav. 4-9, Blok A, 2nd Floor, Jakarta.

“Dengan perkembangan teknologi komunikasi, jemaah haji akan dengan mudah tetap terhubung dengan keluarga di Tanah Air melalui komunikasi telepon seluler sejak tiba di Jeddah atau Madinah. Perkembangan teknologi komunikasi yang berkembang saat ini, telah menyediakan sarana yang lebih praktis, murah dan fitur layanan yang lebih komplet. Salah satunya adalah layanan videocall yang dapat dimanfaatkan secara gratis menggunakan smart-phone,” papar pengelola laman itu sebagai pengantar.

Dalam rangka kemudahan akses komunikasi tersebut, lanjutnya, telah tersedia layanan Help Desk Kesehatan Haji di Lobby Gedung Prof. dr. Sujudi, Kementerian Kesehatan. Help Desk itu merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan Haji Indonesia yang disingkat secara aneh menjadi Siskohatkes.

“Bagi masyarakat yang berkeperluan untuk berkontak atau mencari informasi tentang anggota keluarga yang tengah mendapatkan layanan kesehatan dapat dibantu untuk peroleh informasi melalui counter tersebut,” tawar pengelola laman Pusat Kesehatan Haji (Puskeshaji) Kementerian Kesehatan itu.

Keterangan berikutnya menyebutkan adanya petugas yang berjaga di counter help desk setiap harinya pada jam kerja. “Semoga bermanfaat dalam meningkatkan layanan informasi bagi masyarakat dan jemaah haji Indonesia,” harapnya sebagai pemungkas kata.

Layanan Help Desk itu bukan kali pertama dilakukan Puskeshaji Kementerian Kesehatan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Layanan tersebut hanya merupakan kelanjutan operasional Siskohatkes Mobile, peranti jejaring komunikasi yang dirancang untuk memudahkan petugas Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) di setiap kelompok terbang (kloter) menyampaikan laporan kegiatan pelayanan selama masa perjalanan haji.

Thafsin Alfarizi selaku Kasubid Pengendalian Faktor Risiko Puskeshaji Kementerian Kesehatan sebagaimana dikutip Puskeshaji.depkes.go.id menyebutkan, “Setiap kloter akan dibekali satu peranti komunikasi Android untuk menyokong mekanisme pelaporan kegiatan pelayanan. Kami sedang menyiapkan untuk seluruh kloter. Semoga dengan kelengkapan alat ini, tingkat kelengkapan dan ketepatan laporan dapat lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.”

Pelaporan data layanan oleh petugas kesehatan kloter, baik kasus kesakitan, kematian, maupun kejadian luar biasa akan dapat disampaikan secara real-time. Analisa epidemiologi akan lebih mudah dan cepat dilakukan, sehingga akan memudahkan pengambilan keputusan-keputusan penting dalam pengendalian penyakit. Dalam situasi dengan peningkatan kewaspadaan terhadap kejadian kesakitan virus corona, kehadirannya dapat membantu petugas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan.

sumber: www.solopos.com

 

Health Ministry in Gaza faces a real disaster

Health Ministry in Gaza faces a real disaster amid tightened Siege

Palestinian Minister of Health Dr Mofeed Mokhalalati urges the international community to exert pressure on the Israeli Occupation so that it lifts the illegal siege imposed on Gaza Strip, and permits the access of medicines, medical supplies, and basic construction materials .

He said in a press conference held yesterday, “Health sector bases in Gaza face a real disaster, everyone in the world has to shoulder their responsibility in the face of medical needs for Palestinian patients amid the closure of the Rafah Border Crossing.”

Mokhalalati pointed out that 145 types of medicine have run out and the lack of medicines imported by Rafah Border Crossing decreased the balance to 30% of that required.

1000 patients cannot receive treatment in specialized Egyptian hospitals, in addition to 300 referred officially by the health ministry, the minister added.

He said the ongoing closure of Rafah Terminal also deprives hundreds of patients from surgical services offered by specialized delegations coming from various countries around the world, as they cannot enter Gaza to perform their surgeries.

Mokhalalati warns that the quantity of fuel necessary for generators and ambulances is not enough, explaining that health centers need 360 liters per a month, thus currently their electricity supply is disconnected for12 hours daily.

He appealed to Gaza’s brothers and sisters in Egypt to open the Rafah Border Crossing in both directions to alleviate the suffering of Palestinian people, in particular humanitarian cases .

Mokhalalati asked international organizations to support the steadfastness of Palestinian people and ensure continuous medical services.

He urged human rights organizations including the International Committee of Red Cross, the United Nations Organisation for the Co-ordination of Humanitarian Affairs, and the World Health Organization to support right to health of Palestsinian patients, and their freedom of movement across Gaza crossings, demanding they also support Gaza’s hospitals and health centers with medicines, medical consumables, and fuel necessary to run generators in 13 hospitals and 56 primary care centers, in addition to ambulances.

source: www.scoop.co.nz

 

Layanan Kesehatan Buruk Rugikan 40 Juta Pasien Per Tahun

Para peneliti mengatakan sebagian besar perawatan medis yang tidak aman terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Mereka menguraikan data yang terdapat dalam 4.000 studi yang mempelajari contoh standar perawatan rumah sakit di seluruh dunia.

Ashish Jha, profesor kebijakan kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard, membantu memimpin studi tersebut.

“Kami sejak lama curiga bahwa perawatan yang tidak aman, kesalahan medis, efek samping, dan hal-hal buruk yang terjadi pada pasien ketika mereka pergi ke rumah sakit, merupakan masalah yang besar,” papar Jha.

Jha dan rekan-rekannya dari Organisasi Kesehatan Dunia di Jenewa dan RTI Internasional di Durham, North Carolina, menemukan bahwa hampir 26 juta kasus perawatan medis yang tidak aman terjadi di rumah sakit di negara berkembang. 16,8 juta kasus sisanya terjadi di negara Barat.

Penyebab utama cedera di rumah sakit di negara berpenghasilan rendah adalah pembekuan darah, karena pasien tidak cukup bergerak selama diopname.

Kesalahan obat merupakan penyebab utama perawatan yang tidak aman di Barat.

Jha mengatakan bukan berarti pelatihan rumah sakit di negara miskin lebih buruk daripada pelatihan di tempat lain di dunia. Sebaliknya, dia merasa ini merupakan masalah pemberian perawatan yang aman.

“Perawatan kesehatan telah menjadi lebih kompleks dan lebih berbahaya. Obat-obatan memiliki lebih banyak efek samping. Ada pasien yang sangat sakit di rumah sakit yang mengalami infeksi, dan sebagian besar organisasi di seluruh dunia tidak memperhatikan isu-isu ini,” tambah Jha.

Jha mengatakan kemampuan keluarga pasien untuk menjamin keselamatan orang yang mereka cintai sangat terbatas, sehingga tanggung jawab utama terletak pada fasilitas rumah sakit. Tapi dia dan rekan-rekannya menyerukan para pembuat kebijakan untuk fokus pada peningkatan kualitas dan keamanan sistem kesehatan, serta meningkatkan akses ke perawatan.

Artikel mengenai perawatan medis yang tidak aman di rumah sakit di seluruh dunia ini diterbitkan dalam jurnal BMJ Quality & Safety.

sumber: www.voaindonesia.com

 

Menkes Ingatkan Kepala Daerah Sediakan Layanan Kesehatan Sekolah

Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan di sekolah tergantung kepada komitmen dari Kepala Daerah dan jajarannya. Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi mengatakan fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya sudah ada di seluruh sekolah Indonesia.

Namun, penyediaannya tergantung komitmen Pemerintah Daerah. “Kalau Kepala Daerah beserta dinas-dinasnya menyadari betapa pentingnya investasi untuk menanamkan perilaku hidup sehat dapat dilakukan dari TK, fasyankes sudah ada di semua sekolah,” katanya saat ditemui Media Indonesia di Jakarta, Kamis (19/9).

Menkes mengatakan dibutuhkan komitmen dan kerjasama lintas sektor untuk mewujudkan hal ini. Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan di sekolah merupakan investasi jangka panjang karena dengan hal ini perilaku hidup bersih dan sehat sudah bisa ditanamkan sejak sedini mungkin.

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) bisa mempengaruhi perilaku hidup bersih dan sehat anak karena petugasnya melakukan interaksi langsung dengan mereka.

Menkes mengatakan saat ini anak-anak dapat mengakses internet untuk mendapatkan informasi apapun. Namun dikhawatirkan hal mereka belum dapat membedakan mana informasi mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. “Hal ini mempengaruhi gaya hidup, perilaku hidup bahkan perilaku seksual mereka. UKS diharapkan juga berperan memberikan informasi yang tepat terutama mengenai kesehatan dan gizi,” ungkap Menkes.

Saat ini pada umumnya masyarakat tidak hanya dapat terkena penyakit infeksi tetapi juga penyakit tidak menular akibat gaya hidup tidak sehat seperti obesitas, stroke, kanker, bahkan kecelakaan lalu lintas. Hal ini, lanjut Menkes, adalah tantangan bagi generasi sekarang dan mendatang. Oleh karena itu budaya hidup bersih seharusnya ditanamkan sejak kecil.

Perwakilan WHO di Indonesia dr Kancit menambahkan keberadaan UKS merupakan usaha jangka panjang untuk mempengaruhi perilaku hidup sehat anak-anak sedari dini. Hal ini merupakan usaha panjang dari pembentukan generasi bangsa yang sehat. “Mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa dan orang tua yang kelak akan menurunkan perilaku hidup kepada anak-anaknya,” ujarnya.

Di hari yang sama Menkes menerima pemenang Lomba Sekolah Sehat tingkat nasional 2013 di Kantor Kemenkes. Para pemenang berasal dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jambi, Kepulauan Riau, Bali, Lampung, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan mulai dari jenjang TK hingga SMA. Selain itu Menkes juga memberikan penghargaan kepada puskesmas pembina UKS pemenang Lomba Sekolah Sehat tingkat nasional 2013.

Tim penilai lomba yang diikuti 75 sekolah dari 20 provinsi itu berasal dari Kemenkes, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). (Vera Ermaty Ismainy)

sumber: www.metrotvnews.com

 

Studies confirm colon cancer screening reduces deaths

There’s new evidence that regular screening for colon cancer has long-term benefits.

Testing for blood in the stool reduced the risk of death from colorectal cancer by as much as 32 percent and it seemed to keep the death rate low even after testing stopped, according to one study.

A second found that getting a regular colonoscopy, where a tube is put in the colon to look for and – in some cases – remove abnormal growths, was linked to a 68 percent reduction in risk. It also confirmed that, if no growths are found, people can safely wait 10 years for their next test.

But the findings do not compare the relative merits of the two methods, even though that may be tempting, wrote Drs. Theodore Levin and Douglas Corley in an editorial in the New England Journal of Medicine, where the studies appear.

“Both colonoscopy and fecal occult-blood testing are effective for colorectal cancer screening, and these new studies support current screening guidelines,” said the duo, who are based at Kaiser Permanente Medical Centers in California – Levin in Walnut Creek and Antioch and Corley in San Francisco.

“Both tests have been improved since they were used among the participants in either study. However, the two studies are different, which makes direct comparisons of effectiveness difficult.”

“These studies don’t break new ground, but they put us on more solid footing in recommending colorectal cancer screening by the current methods and, in general, at the current intervals,” said Dr. Greg Enders, a gastroenterologist at Fox Chase Cancer Center in Philadelphia, who was not connected with either study.

Colorectal cancer kills over 600,000 people worldwide each year, according to the World Health Organization. The American Cancer Society estimates that the U.S. has about 50,800 deaths per year, with 142,800 new cases annually, a rate that has been declining thanks to screening.

But doctors are still trying to discern how best to screen and how often.

The government-backed U.S. Preventive Services Task Force recommends people between ages 50 and 75 get screened by colonoscopy every 10 years, with a high-sensitivity fecal occult blood test every year or with a sigmoidoscopy every five years in addition to fecal occult blood testing every three years.

The test that looks for blood in the feces has been the safest, cheapest and least complicated. But unless a tumor is releasing blood, the test can miss it. If blood is found, a colonoscopy is done to look for cancer or remove suspicious growths.

For its evaluation of the blood test, a team led by Dr. Aasma Shaukat of the University of Minnesota in Minneapolis looked at records from 46,551 participants in the Minnesota Colon Cancer Control Study who were followed for 30 years.

People were either screened for fecal blood annually, every two years or not at all. However, the formal screening program only spanned two six-year windows. The researchers had no follow-up information on which patients received subsequent screening with the blood test or a colonoscopy.

Nonetheless, the people who received annual screening during those initial periods ultimately saw a 32 percent reduction in their risk of dying from colorectal cancer. With biennial screening, the risk was cut by 22 percent. Screening did not affect the overall risk of dying during that period.

In total, 732 of 33,020 deaths over the 30 years were from colorectal cancer.

“You would expect to see a decrease in the risk of dying of colon cancer in the first eight to 10 years. The fact that the effect was sustained through 30 years is actually fairly remarkable,” said Shaukat.

“It shows that the effect of colon cancer screening is profound,” she said.

“The study of fecal occult blood testing provides the longest follow-up of any colorectal cancer screening study to date – an impressive 30 years – and shows that the benefits of screening by this method endure for the lifetime of the patient,” Enders told Reuters Health in an email.

The researchers also found that with the fecal blood test, the greatest benefit was among men age 60 to 69. Their risk of death from colon cancer dropped by 54 percent compared to men of that age who were not screened.

The study on colonoscopies also looked at a less-thorough technique, known as a sigmoidoscopy, where a tube is only inserted into the end of the large intestine. A colonoscopy examines the full length. The information on 88,902 people, followed over 22 years, came from two databases: the Nurses’ Health Study and the Health Professionals Follow-up Study.

Screening with sigmoidoscopy was tied to a 41 percent reduced risk of death from colorectal cancer. A full exploration of the colon by a colonoscopy was linked to a 68 percent lower risk.

The study “lays to rest a lingering concern that colonoscopy might not be more effective than sigmoidoscopy in preventing colorectal cancer deaths,” said Enders. “National medical societies and Medicare have gone ‘all in’ on the common sense notion that more endoscopy – that is colonoscopy – is better, but convincing data were not in hand.”

Having a colonoscopy every three years or less – even though no suspicious growths were seen – was tied to a 65 percent reduced risk of colorectal cancer. The reduction was 60 percent if done every three to five years and 48 percent if done every five to 10 years.

Co-author Dr. Shuji Ogino of the Dana-Farber Cancer Institute in Boston said the findings suggest that when no growths are found, a colonoscopy doesn’t need to be repeated for a decade.

Up to now, “there has not been good solid evidence to support a 10-year interval,” he told Reuters Health. “But now we know that with low risk individuals, 10 years won’t make a difference.”

People with polyps or a family history of colorectal cancer will need more frequent examinations, he said.

source: www.reuters.com

Belum Ada Vaksin Spesifik untuk Cegah MERS-CoV

HINGGA saat ini belum ada vaksin spesifik untuk dapat mencegah infeksi virus jenis baru dari kelompok corona virus (nCoV) penyebab penyakit Middle East Respiratory Syndrom(MERS-CoV). Sampai saat ini, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masih menjadi cara yang dinilai efektif sebagai upaya pencegahan infeksi virus tersebut.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, dalam surat elektroniknya kepada Pusat Komunikasi Publik, baru-baru ini.

Prof Tjandra mengatakan bahwa sejak pertama kali dilaporkan pada September 2012 di Arab Saudi, jumlah kasus di sana per 13 Agustus 2013 merupakan yang terbesar yaitu 75 kasus (WHO). Karena itu, mendekati puncak ibadah haji, otoritas kesehatan dunia World Health Organization (WHO) dan pemerintah Arab Saudi merasa perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap MERS-CoV.

“Meskipun belum menjadi darurat kesehatan, Indonesia tetap harus waspada akan penyebaran virus tersebut terhadap calon jemaah haji Indonesia, mengingat belum tersedianya vaksin spesifik untuk mencegah penyakit tersebut”, ujar Prof Tjandra.

Prof Tjandra mengatakan bahwa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dapat melindungi diri dari virus tersebut, selain itu penting untuk menghindari kontak erat dengan penderita, beraktifitas menggunakan masker, selalu menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan dengan sabun dan menerapkan etika batuk ketika sakit.

MERS-CoV adalah penyakit sindrom pernapasan yang disebabkan oleh virus jenis baru dari kelompok novel Corona virus (nCov) yang menyerang saluran pernapasan mulai dari yang ringan sampai dengan berat. Gejalanya adalah demam, batuk dan sesak nafas, bersifat akut, biasanya pasien memiliki penyakit ko-morbid diabetes dengan presentase terbesar yaitu 68% dibandingkan dengan yang lain.

Cara penularan MERS-CoV bisa secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien batu atau bersin. Sedangkan melalui tidak langsung melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi virus. Negara yang terserang virus ini dalam semua kasus umumnya pernah berhubungan dengan Negara di TimurTengah.

Hal yang sudah dilakukan Kementerian Kesehatan dalam rangk peningkatan kewaspadaan terhadap MERS-CoV antara lain dengan peningkatan kegiatan pemantauan di point of entry atau pintu masuk negara. Selain itu perlu penguatan surveilans epidemiologi termasuk surveilans pneumonia. Hal lain seperti perlunya pemberitahuan keseluruh Dinkes Provinsi dan 100 RS Rujukan Flu Burung, RSUD dan RS Vertikal tentang kesiapsiagaan menghadapi MERS CoV.

Lebih lanjut, menyiapkan dan membagikan 5 (lima) dokumen terkait persiapan penanggulangan MERS–CoV seperti pedoman umum MERS-CoV; tatalaksana klinis; pencegahan infeksi; surveilans di masyarakat umum dan di pintu masuk negara serta diagnostik dan laboratorium.

Sebelumnya semua petugas Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) sudah dilatih dan diberi pembekalan dalam penanggulangan MERS-CoV, seperti menyiapkan pelayanan kesehatan haji di 15 Embarkasi/Debarkasi (KKP). Sementara itu meningkatkan kesiapan laboratorium termasuk penyediaan reagen dan alat diagnostik. Disisi lain pentingnya diseminasi informasi ke masyarakat terutama calon jemaah haji dan umrah serta petugas haji Indonesia.

Meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor seperti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kemenhub, Kemenag, Kemenlu dll tentang kesiapsiagaan menghadapi MERS CoV. Demi kelancaran dengan pihak di Arab Saudi perlu kordinasi dengan pihak kesehatan Arab Saudi dan meningkatkan hubungan Internasional melalui WHO. (ind)

sumber: health.okezone.com

 

Menko Kesra: Sarana Umum Indonesia Belum Peduli Disabilitas

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengakui, dibanding negara lain, seperti Singapura dan Amerika Serikat, pembangunan sarana umum di Indonesia belum mempedulikan kepentingan para penyandang cacat (disabilitas). Kesempatan disabilitas dalam pasar kerja juga masih sangat rendah.

“Bangunan umum di negara kita kurang memperhatikan para disabilitas, hanya untuk orang normal. Ini kurang tepat, padahal sebetulnya sudah ada regulasi yang mengatur ini,” kata Agung Laksono seusai mengukuhkan pengurus Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) masa bakti 2013-2017, di Jakarta, Selasa (17/9). Prof Haryono Suyono kembali terpilih sebagai Ketua Umum DNIKS dengan wakil ketua Siswandi.

Agung menambahkan, dalam pemberian izin bangunan mewah maupun fasilitas umum seharusnya mewajibkan pengusaha untuk memperhatikan kebutuhan disabilitas. Kebijakan ini dimulai dari Jakarta, lalu diikuti kota-kota besar lainnya. Misalnya, pembangunan gedung, tangga, jalan, trotoar, dan jembatan penyeberangan harus memudahkan disabilitas berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Dalam pasar kerja pun belum banyak perusahaan yang memberikan kesempatan kepada disabilitas untuk bekerja. Padahal UU 4/1997 mewajibkan perusahaan mempekerjakan minimal 1% dari seluruh karyawannya. Saat ini diperkirakan baru memenuhi di bawah 0,5%.

Belum terpenuhinya hak disabilitas oleh perusahaan, kata Agung, karena masih rendahnya sanksi yang diterapkan.

Ketua Umum DNIKS Prof Haryono Suyono mengungkapkan, perhatian pemerintah terhadap disabilitas masih minim, bukan saja soal ketersediaan sarana prasarana tetapi juga pemberdayaanya. Penanganan disabilitas lebih banyak kepada mendirikan panti dan diproyekan.

Karenanya, DNIKS mulai dengan promosi masal dan merekomendasikan kepada pemerintah pentingnya mencegah disabilitas. Menurutnya, jika kecacatan bisa dideteksi dan diintervensi sejak dini, beban yang ditimbulkan pun lebih kecil.

Upaya ini bisa dimulai dari sekolah, misalnya seorang murid jika dipanggil namanya berulang kali tetapi tidak menoleh kemungkinan mengalami gangguan pendengaran. Ketika diminta membaca di papan tulis tetapi tidak jelas kemungkinan mengalami gangguan penglihatan. Mereka ini lalu diberikan penanganan khusus, sehingga mencegah kecacatan total ketika tumbuh dewasa.

Kalau pun sudah terlanjur cacat, kata Haryono, perlu ada pemberdayaan sehingga penyandang disabilitas memiliki kebanggaan dan sama dengan orang normal.

“Untuk itu kita akan perluas kerja sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kemko Kesra untuk mengembangkan proses preventif kecacatan ini,” kata Haryono.

DNIKS juga memberikan saran kepada pemerintah dan membantu lembaga-lembaga sosial yang mengurus disabilitas dalam hal olah raga. Para disabilitas ditingkatkan kemampuannya untuk berprestasi dalam bidang olah raga.

sumber: www.beritasatu.com