Pembayaran Klaim Tertunggak, RS Tetap Layani Pasien BPJSK

Defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) kerap membuat pembayaran klaim rumah sakit (RS) tertunggak. Kenyataan tersebut mendorong sejumlah rumah sakit untuk meminjam uang ke bank agar pelayanan kepada pasien tetap berjalan. Pasalnya, BPJSK harus membayar denda sebesar 1% per bulan atas tunggakan pembayaran klaim.

Salah satu rumah sakit yang memanfaatkan peluang meminjam uang ke bank dengan bunga lebih rendah adalah RS Islam Sukapura, Jakarta Utara. Humas rumah sakit tersebut, Sulaiman kepada SP, Selasa (4/12), mengakui pembayaran klaim oleh BPJSK memang tidak lancar. Setiap bulan, rata-rata klaim yang diajukan Rp 4 miliar. Untuk mengatasi ketidaklancaran pembayaran klaim, pihaknya berinisiatif meminjam uang dari karena bunga pinjamannya bisa dibayar dari denda BPJSK.

Sulaiman juga mengaku sejak menjalin kerja dengan BPJSK pada 2014, jumlah pasien yang dilayani terus meningkat. Sebelum bekerja sama, jumlah pasien yang dilayani sekitar 200 orang per hari, tetapi sekarang bisa mencapai 300 orang per hari.

Sebelumnya, Dirut BPJSK Fachmi Idris menyatakan setiap keterlambatan pembayaran klaim, pihaknya wajib membayar denda sebesar 1% per bulan. Agar operasional tak terganggu, manajemen rumah sakit bisa meminjam uang ke bank dengan bunga di bawah 1%. “Kalau bunga bank sekitar 0,8 persen per bulan, masih ada selisih yang diperoleh rumah sakit,” kata Fachmi.

Direktur Utama Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok, Jawa Barat, dokter Syahrul Amri kepada SP menuturkan pembayaran klaim dari BPJSK memang kerap tidak lancar. Oleh karena itu, sejak November 2018, pihaknya telah mengajukan pinjaman ke bank milik pemerintah untuk menalangi biaya operasional rumah sakit sambil menunggu cairnya klaim. Untuk mendapat pinjaman tersebut, pihaknya harus membuat akta ke notaris. Kemudian BPJSK akan memberikan surat keterangan kepada rumah sakit untuk membuka rekening di salah satu dari tiga bank milik pemerintah, yakni BRI, Bank Mandiri, atau BNI. Pihaknya juga harus menyerahkan jaminan berupa dokumen klaim yang belum dibayarkan BPJSK.

“Ini kami agunkan ke bank, kemudian bank membayarkan sejumlah tersebut sesuai yang ada dalam dokumen klaim kepada rumah sakit. Uangnya bisa langsung cair untuk rumah sakit,” ujar Syahrul.

Namun, pinjaman itu hanya berlaku untuk satu bulan saja. Apabila hingga bulan berikutnya, BPJSK belum juga mencairkan uang kepada bank tersebut, maka rumah sakit tidak bisa meminjam lagi dana ke bank tersebut. Uang dari bank juga tidak bisa sepenuhnya diambil oleh rumah sakit, karena harus disisakan 10 persen sebagai saldo di bank tersebut.

“Ya, jadi harus tunggu sebulan itu selesai. Kalau belum selesai, ya kami tidak bisa meminjam lagi. Hanya untuk cadangan per satu bulan,” katanya.

Meski pembayaran klaim sering tertunggak, pihaknya tetap berupaya maksimal untuk melayani pasien. “Kami harus ‘berdarah-darah’ menanggung segala biaya operasional. Terlebih bagi rumah sakit swasta non-grup seperti kami, perjuangan menjalankan kebijakan pemerintah melalui BPJS Kesehatan benar benar merupakan perjuangan yang luar biasa. Selama ini, kami juga dibantu owner untuk meng-cover ini semua,” paparnya.

Rumah Sakit Bhakti Yudha melayani 75-80 persen pasien BPJSK setiap hari. Dengan persentase sebesar itu, pihaknya berharap masyarakat sadar membayar premi setiap bulan dan tidak menunggak.

Pada kesempatan itu, Syahrul juga menyatakan premi yang dibayar peserta, khususnya kelas II, III, dan penerima bantuan iuran (PBI), tidak sebanding dengan pelayanan paripurna yang didapat peserta. “Preminya terlalu murah dan harus dinaikkan. Anggaran belanja kesehatan di APBN juga harus dinaikkan, jangan hanya sebesar lima persen. Ini masih sangat kurang. Apalagi saat ini semakin banyak penyakit degeneratif yang muncul dan diderita pasien, seperti kanker, jantung, stroke, dan sebagainya. Belum lagi penyakit-penyakit katastropik,” katanya.

Direktur Rumah Sakit Mulia Bogor, dokter Eva Erawati mengakui sejak bekerja sama dengan BPJSK, jumlah pasien yang datang terus meningkat. Namun, dia berharap di masa mendatang, pembayaran klaim kepada rumah sakit tidak lagi tertunggak.

Tak Tolak Pasien
Rumah Sakit Umi Bengkulu juga tidak pernah menolak pasien, meski BPJSK sering menunggak pembayaran klaim. Penegasan tersebut disampaikan Dirut RS Umi Bengkulu, Heny Widiastuty kepada SP, Senin (3/12).

“Setiap pasien peserta BPJSK yang datang berobat tetap dilayani dengan baik,” katanya.

Pihaknya telah menjalin kerja sama dengan BPJSK sejak tiga tahun lalu. Dari kerja sama tersebut, jumlah pasien yang datang setiap bulan, terus meningkat. Hampir 90 persen dari ratusan pasien yang setiap hari berobat adalah peserta BPJSK. Mereka tidak hanya datang dari Kota Bengkulu, juga dari sejumlah kabupaten di Provinsi Bengkulu.

“Setiap bulan, klaim kami sekitar Rp 2,5 miliar sampai Rp 3 miliar,” katanya.

Untuk mengatasi keterlambatan pembayaran klaim selama tiga minggu hingga sebulan, pihaknya menggunakan dana cadangan untuk membeli obat-obatan, membayar gaji karyawan, dan keperluan lainya, sambil menunggu klaim ke BPJSK cair,” ujarnya.

Heny menambahkan hingga saat ini pihaknya belum pernah mengajukan pinjaman dana ke bank untuk mengatasi masalah biaya operasional rumah sakit. Hal ini terjadi karena RS Umi menggunakan dana cadangan untuk menutup biaya operasional sebelum klaim dicairkan BPJKS.

“Kebijakan ini diambil agar pelayanan pasien peserta BPJSK di RS Umi tetap berjalan lancar,” katanya.

sumber: http://www.beritasatu.com/kesehatan/526106-pembayaran-klaim-tertunggak-rs-tetap-layani-pasien-bpjsk.html

 

Dana Cadangan Pemerintah Diprioritaskan ke RS yang Belum Dibayar BPJS Kesehatan

Pemerintah memutuskan kembali menyuntikan dana segar ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebesar Rp 5,6 triliun dari dana cadangan. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, pemerintah akan memprioritaskan anggaran tersebut untuk rumah sakit yang sudah jatuh tempo pembayaran dan belum dibayarkan oleh BPJS.

“Kita prioritaskan rumah sakit yang sudah beri pelayanan, sudah klaim ke BPJS, yang sudah jatuh tempo, istahnya gagal bayar,” kata Mardiasmo di Jakarta, Selasa (27/11/2018).

Kementerian Keuangan telah meminta BPJS untuk menyusun daftar rumah sakit yang belum dibayarkan. Pemerintah harus kembali turun tangan menangani persoalan BPJS karena masih banyak pengekuaran yang belum bisa ditutupi. Sebelumnya, masih di tahun ini, pemerintah telah mengucurkan Rp 4,9 triliun.

“Kita ikuti bahwa antara pemasukan, premi, iuran, dengan pengeluaran agak sedikit missmatch,” kata Mardiasmo.

Oleh karena itu, pada 23 November lalu, Kemenkeu bersama BPJS dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menggelar rapat dan memberi bantuan secepatnya. Ke depan, kata Mardiasmo, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta agar BPKP tak hanya mengaudit defisit kas, tapi juga sistemnya. Baik sistem di rumah sakit maupun sisten di BPJS harus sesuai, terutama untuk rujukan dan klaim.

Dengan demikian, akan terlihat kesesuaian berapa nilai pelayanan yang diberikan dan dana yang dikeluarkan BPJS. Pembayaran ke rumah sakit setelah klaim perlu dilakukan sesegera mungkin karena akan berpengaruh ke aspek lain, seperti obat-obatan hingga pelayanan.

Selain itu, audit juga mencakup penyakit apa yang paling banyak muncul dalam klaim rumah sakit. Sehingga bisa terpantau penyebab klaim membengkak. “Kami akan memberi bantuan, sekarang masih proses DIPA (Daftar Isian Pagu Anggaran). Semoga bisa cair Desember, minggu depan,” kata Mardiasmo.

sumber: https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/28/080000926/dana-cadangan-pemerintah-diprioritaskan-ke-rs-yang-belum-dibayar-bpjs 

 

SAHdaR: Korupsi di Bidang Kesehatan Didominasi Aparatur Sipil Negara

Selama sewindu terakhir kasus korupsi di bidang kesehatan telah menduduki lima besar terbanyak di Indonesia. Hal ini dinilai karena besarnya anggaran yang digelontorkan Pemerintah untuk melancarkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Koordinator Eksekutif Sentra Advokasi Untuk Hak dan Pendidikan Rakyat (SAHdaR) Indonesia, Ibrahim menyebutkan, periode 2011 – 2018 terjadi peningkatan kasus korupsi ketika dilaksanakannya program JKN di Sumatera Utara.

“Terutama, dalam aspek kuratif dan rehabilitatif. Bahkan, saat ini muncul pola perluasan korupsi ke anggaran promotif dan preventif,” kata Ibrahim dalam diskusi publik ‘Mencegah Korupsi Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional’, Jumat (23/11) lalu.

Pemantauan kasus korupsi yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, sambung Ibrahim, ada 35 kasus korupsi kesehatan yang menjerat 82 orang selama delapan tahun terakhir. Total kerugian negara122 miliar rupiah.

Apabila ditelisik lebih jauh, permasalahan korupsi kesehatan didominasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan komposisi, 61 orang ASN dan 21 orang pihak swasta yang bekerja sama dengan abdi negara.

Pelaku korupsi ASN ini diidentifikasi dilakukan 41 persen panitia pengadaan, 30 persen Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan 21 persen merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Seluruhnya adalah ASN biasa atau Eselon IV, sehingga dapat dikatakan penegakan hukum dalam korupsi kesehatan menyasar pada middle to low pelaksana tugas ataupun penerima mandat kegiatan dari Pengguna Anggaran atau Kepala Daerah.

Modus Lama

Masih kata Ibrahim, pelaku korupsi kesehatan di Sumatera Utara banyak terjerat saat menjalankan tugas pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerinah. Spektrum PBJ, khususnya alat kesehatan, obat dan infrastruktur mencapai angka 29 kasus dari 35 kasus sepanjang 2011 – 2018.

“Modus yang digunakan konvensional, seperti penyalahgunaan wewenang sebanyak 13 kasus dan mark up sebanyak 11 kasus. Tidak ada modus baru. Modus ini jamak ditemukan di institusi Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah dan Puskesmas,” tambahnya.

Lebih spesifik lagi, kasus terbanyak terjadi di Simalungun dengan total empat kasus, Asahan tiga kasus, Medan tiga kasus dan Tapanuli Utara tiga kasus. Selebihnya, satu atau dua kasus korupsi di Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara.

Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menyebutkan, terjadi perluasan korupsi kesehatan dalam aspek promotif dan preventif.

Lanjutnya, Puskesmas sebagai bagian dalam mendorong upaya promotif dan preventif di masyarakat telah terkontaminasi untuk kepentingan kampanye politik. Salah satu kasusnya yakni suap yang menjerat Bupati Jombang, Nyono Suharli.

Masifnya korupsi kesehatan, tidak heran Indeks Kesehatan di Indonesia berada dalam posisi yang buruk dengan menempati urutan 101 dari 147 negara berdasarkan laporan Legatum Prosperty Index tahun 2017.

“Ada tiga variabel yang disorot yakni kesehatan fisik dan mental, infrastruktur kesehatan, dan upaya pencegahan,” tutur Wana.

Inspektorat Provinsi Sumatera Utara, OK Henry, menanggapi pemaparan yang disampaikan Ibrahim. Ia mendorong agar seluruh stakeholder memperkuat fungsi pencegahan pada aspek korupsi sektor kesehatan sehingga Provinsi Sumatera Utara tidak selalu menjadi wilayah tertinggi yang terpapar kasus.

“Mengingat pola korupsi yang terjadi selalu berkelindan akibat besarnya anggaran, maka perlu ada upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitas pada seluruh stakeholder kesehatan. Ini penting untuk meningkatkan kesehatan masyarakat agar tercapai tujuan program JKN,” ujarnya.

sumber: http://news.analisadaily.com/read/sahdar-korupsi-di-bidang-kesehatan-didominasi-aparatur-sipil-negara/653952/2018/11/25

{jcomments on}

Industri 4.0 Rambah Dunia Kesehatan Indonesia: Inovasi Kedokteran Gigi

Fakultas kedokteran gigi (FKG) Universitas Trisakti menyelenggarakan Forum Ilmiah dan Pameran alat alat Kedokteran Gigi. Acara setiap tiga tahunan tersebut diikuti oleh 2.200 peserta dan terdapat 100 pembicara baik dari dalam dan luar negeri (Austria, Belgia, Brazil, Hongkong, India dll).

Dr drg S Ratna Laksmiastuti Octavian, Sp.KGA sebagai salah satu Main Lecture dalam Foril XII 2018 FKG Usakti yang berlangsung di Balai Kartini 1-3 November 2018 memperkenalkan suatu aplikasi komputer (software) baru untuk memprediksi risiko terjadinya karies gigi pada seorang anak. Karies atau gigi berlubang merupakan masalah kesehatan utama yang bersifat global.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang mempunyai masalah gigi dan mulut secara rata-rata provinsi adalah sebesar 57,6% dan sekitar 10,2% nya mendapat pelayanan tenaga medis. Sedangkan prevalensi karies anak usia pra sekolah di Indonesia adalah sekitar 85,17%.

Berbagai upaya telah dilakukan, baik promotif preventif dan kuratif, tetapi prevalensi karies di Indonesia tetap tinggi. Karies pada anak yang tidak dirawat dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak menguntungkan, seperti rasa sakit, infeksi, gangguan aktifitas sehari-hari, gangguan pertumbuhan dan penurunan kualitas hidup.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, diperlukan suatu terobosan baru untuk para dokter gigi dalam manajemen karies gigi, guna menyukseskan Program Nasional Indonesia bebas karies 2030 sesuai rekomendasi WHO. Software ini dibuat dengan supervisi dari Prof drg Heriandi Sutadi, Sp.KGA (K), Ph.D; Prof Dr drg Sarworini B Budiardjo, Sp.KGA (K) dan Prof Dr drg Tri Erri Astoeti, M.Kes.

Software ini mengedepankan hakikat kedekatan ibu dan anak, sehingga prediksi risiko terjadinya karies pada anak dapat dilakukan juga melalui pemeriksaan ibunya. Banyak hasil riset para ahli menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status kesehatan gigi dan mulut ibu dengan anaknya.

Software ini sangat efektif dan bermanfaat sebagai:

  1. Alat diagnostik klinik
  2. Identifikasi pasien dengan risiko tinggi
  3. Membantu pekerjaan dokter gigi,
  4. Manajemen karies yang lebih efektif
  5. Sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.

Software ini dapat dipakai secara luas, bebas dan mudah oleh para dokter gigi. Software ini berisi interaksi faktor risiko karies dari ibu dan anak, status penilaian risiko karies pasien anak beserta pedoman manajemen selanjutnya.

Dengan pemakaian software ini secara luas, diharapkan dapat membantu merealisasikan program nasional yaitu kesejahteraan ibu dan anak khususnya dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut melalui pencegahan karies gigi pada anak Indonesia.

sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1351491/15/industri-40-rambah-dunia-kesehatan-indonesia-inovasi-kedokteran-gigi-1541167914

 

{jcomments on}

Kemenkes Luncurkan Riskesdas 2018, Angka Stunting Turun!

Jakarta – Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) menunjukkan angka yang cukup menggembirakan terkait masalah stunting.

Angka stunting atau anak tumbuh pendek turun dari 37,2 persen pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8 persen pada Riskesdas 2018.

“Kesehatan telah mengalami kemajuan terutama untuk stunting, saya harap data ini akan dijadikan untuk perbaikan ke depannya,” kata Menteri Kesehatan RI, Nila F Moeloek, di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (2/11/2018).

Adapun proporsi status gizi sangat pendek dan pendek menurut provinsi paling tinggi yaitu di Nusa Tenggara Timur yang mencapai 42,6 persen dan terendah di DKI Jakarta sebesar 17,7 persen.

Kepala Badan Litbangkes, Dr Siswanto, mengatakan meski tren stunting mengalami penurunan, hal ini masih berada di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Persentase stunting di Indonesia secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus mendapat perhatian khusus.

“Meskipun persentasenya 30,8 tapi itu termasuk tinggi, kita mengacu dari dari data WHO yang prevalensinya itu harus kurang dari 20 persen,” pungkasnya.

 sumber: https://health.detik.com/

 

Jokowi Ingin Bidang Kedokteran Terdepan dalam Penerapan Teknologi

ERA revolusi industri keempat dan perkembangan teknologi serta informasi yang semakin pesat, menuntut perubahan dan menimbulkan disrupsi dalam banyak hal.

Hal itu memunculkan tantangan bagi bagi banyak industri, tak terkecuali industri kesehatan dan manajemen rumah sakit.

Saat membuka acara Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) XXX di Samarinda Convention Center, Kalimantan Timur, Presiden Joko Widodo memberikan gambaran betapa dunia kini telah berubah dengan adanya startup-startup yang tumbuh memanfaatkan perkembangan teknologi dan segala kemudahan yang dihadirkan.

Jokowi ingin agar kemajuan dan kemudahan tersebut juga hadir di ranah kedokteran.

“Mereka mengikuti perubahan global yang ada, melihat arah angin yang ada, kemudian menyiapkan aplikasi sistem yang sesuai dengan zamannya. Saya juga ingin IDI mendahului dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya,” ucap Jokowi, Jumat (26/10/2018).

Kepala Negara memberikan gagasannya seputar kemudahan yang mungkin dapat memberikan manfaat besar bagi para pasien yang memerlukan layanan kesehatan di wilayah yang belum terjangkau layanan kesehatan, seperti yang dirasakan masyarakat di kota-kota besar.

Menurutnya, hal tersebut sudah semestinya menjadi pemikiran besar bila melihat persebaran penduduk Indonesia yang tersebar di banyak pulau, dengan tingkat pelayanan kesehatan yang belum merata.

“Saya enggak tahu aplikasi sistem apa yang bisa memudahkan orang, misalnya di Kabupaten Asmat tapi perintahnya dari Jakarta. Orang bisa mendiagnosa di Halmahera, di Maluku Utara, tapi bisa diberi perintah dari Jakarta, bagaimana cara menanganinya,” tuturnya.

Di tingkat rumah sakit, Jokowi juga berpikir mengenai arah pelayanan menuju apa yang disebutnya sebagai smart hospital.

Dalam gambarannya, smart hospital ini mampu memberikan pelayanan terintegrasi dengan data-data medis pasien yang saling terhubung dengan rumah sakit lain, bahkan hingga ke apotek dan BPJS Kesehatan.

“Kalau kita masih berpikir jadul, cara-cara lama, tradisi lama kita pakai, ya tahu-tahu ditinggal kita,” kata Jokowi. (Seno Tri Sulistiyono)

sumber: http://wartakota.tribunnews.com/2018/10/26/jokowi-ingin-bidang-kedokteran-terdepan-dalam-penerapan-teknologi

 

 

Kementerian Kesehatan Bersama Badan Siber dan Sandi Negara Bersepakat Terkait Perlindungan Informasi dan Transaksi Elektronik

Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, bersama Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko Setiadi, menandatangani nota kesepahaman tentang Perlindungan Informasi dan Transaksi Elektronik di Jakarta Selatan, Senin siang (29/10).

Menkes Nila Moeloek dalam sambutannya menyatakan bahwa berbagai transformasi digital di sektor kesehatan saat ini berkembang pesat. Transformasi tersebut berupa pemberian informasi melalui media online, elektronisasi proses pelayanan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, elektronisasi pelayanan kefarmasian, elektronisasi pelayanan perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan sampai dengan telemedicine sebagai salah satu solusi peningkatan pelayanan kesehatan jarak jauh. Di internal Kemenkes sendiri, berbagai proses kerja telah dilakukan digitalisasi seperti tata persuratan, kehadiran, perjalanan dinas, notulen, dan lain sebagainya.

Dalam sambutannya, Menkes Nila menyatakan bahwa jajaran Kementerian Kesehatan menyadari bahwa proses digitalisasi ini memerlukan standar keamanan yang mumpuni untuk melindungi data dan informasi. Terutama untuk data dan informasi yang sifatnya rahasia dan hanya dapat diakses oleh orang/kalangan tertentu.

”Karena itu, kami perlu bekerjasama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam melakukan pengamanan terhadap data dan informasi yang kami miliki. Salah satunya adalah kerjasama dalam pemanfaatan sertifikat elektronik untuk meningkatkan keamanan transaksi elektronik.” tutur Menkes Nila Moeloek.

Kepala BSSN, Djoko Setiadi, menyatakan bahwa di era saat ini teknologi informasi sudah menjadi suatu hal yang vital. Semakin besar pengaruh teknologi informasi dalam kehidupan manusia, maka semakin besar pula risikonya untuk disalahgunakan. Karena itu, pemanfaatan teknologi informasi tidak hanya perlu diperhatikan, tetapi juga perlu diatur dalam hukum.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, menyatakan bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib mengoperasikan sistem elektroniknya sesuai persyaratan minimum yang ditetapkan undang-undang, antara lain mampu melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

”BSSN sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas dan kewenangan dalam bidang siber dan persandian siap mendukung, dan sangat mengapresiasi upaya kemenkes dalam memanfaatkan sertifikat elektronik guna mendukung pengelolaan dan perlindungan sistem elektronik,” imbuh Djoko.

Lebih lanjut, Djoko menyatakan bahwa sertifikat elektronik terbukti telah mampu mewujudkan efisiensi di berbagai sektor pemerintah.

Untuk itu, pada kesempatan yang sama, dilakukan pula penandatanganan perjanjian kerja sama antara Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan dengan Balai Sertifikasi Elektronik BSSN tentang Pemanfaatan Sertifikat Elektronik pada Sistem Elektronik di Kemenkes RI, yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kemenkes RI, Oscar Primadi, dan Sekretaris Utama BSSN, Syahrul Mubarak.

sumber: http://www.depkes.go.id/

 

Indonesia Sehat Terkendala Pelayanan di Bawah Standar

Kendati sudah berjalan lima tahun, sistem jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan terus menyisakan pekerjaan rumah, antara lain soal pelayanan kepada pasien.

Menurut Dokter Enozthezia Xynta, hal itu terjadi karena tenaga kesehatan seolah dipaksa untuk memberikan layanan sesuai budget yang diberikan BPJS Kesehatan.

“Sebetulnya bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang diterapkan BPJS,” jelas dokter anestesi ini dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Rabu (31/19).

Dokter yang pernah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi tentang rasa kecewanya terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan ini mencontohkan, operasi caesar sebelum ada BPJS berkisar di angka Rp 6 juta. Saat ini, dengan diterapkan BPJS, pasien membayar Rp 4,3 juta.

“Kita (dokter) terkurung dengan harga yang sudah ditetapkan,” ujarnya.

Masih menurut Eno, jika biaya yang dikeluarkan lebih dari apa yang sudah diatur BPJS, biasanya rumah sakit atau dokter yang bersangkutan harus menanggungnya.

“Jasa dokternya lah yang dipotong dan kadang jasa visit kita nggak dihitung,” katanya.

Ini salah satu penyebab pelayanan menjadi sub standart. Padahal, lanjut Eno, untuk dokter umum di poliklinik misalnya, jasa dokter dan sebagainya hanya dibayar Rp10.000.

Memang ada Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pasien bisa membayar tambahan dari pelayanan yang diberikan oleh BPJS. Namun menurut Eno, ini menjadi masalah baru.

Pertama, ada resiko dokter akan dilaporkan. Kedua, dokter akan ditegur oleh BPJS dan ketiga, tentu masyarakat akan memandang profesi dokter menjadi hina. “Kita tidak akan mengambil resiko itu,” ujar Eno.

Perlakuan sub standart ini bukan hanya dalam sisi pelayanan tapi juga pemberian obat yang cenderung under treatment. Ada yang disebut Formulariom Nasional (Fornas), daftar obat yang secara empirik diperlukan oleh masyarakat di Indonesia.

Hasbullah Thabrany, mantan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (Universitas Indonesia), menjelaskan bahwa Fornas ini mendaftar lebih dari 1.000 kemasan obat dalam segala bentuk. “Ini isinya adalah obat essential. Obat semua penyakit sudah ada di situ,” jelasnya.

Namun, tidak ada merk dagang obat yang tercantum di dalam fornas. Jadi, rumah sakit dan dokter dipersilakan untuk memberikan merknya. Dengan e-catalogue saat ini, membuat industri farmasi bersaing ketat.

“Bahkan ada yang banting harga untuk mendapatkan kontrak,” katanya. Perilaku banting harga gila-gilaan ini diikuti dengan ketidakmampuan industri itu untuk menyuplai obat. “Akibatnya obat tidak tersedia meski dengan harga yang wajar,” ujarnya.

Sementara itu, Kuntjoro Adi Purjanto, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menjelaskan bahwa rumah sakit (RS) di Indonesia sudah berbenah diri sejak lama. Penolakan pasien pun hingga saat ini sudah hampir tidak ada.

“Sekarang sudah termitigasi dengan baik tanpa pandang bulu selama sumber dayanya tersedia,” jelasnya.

Kuntjoro juga membantah perilaku under treatment RS terhadap pasien. Memang, kata Kuntjoro, potensi untuk under treatment cukup besar. “Bagaimana kalau obatnya tidak ada? Bayar obat nggak bisa,” katanya.

Ada beberapa RS yang berpotensi melakukan keterlambatan pembayaran obat. Jika demikian, distributor dan industri obat akan terkunci secara computerized. “Dia nggak bisa mengeluarkan barang dari gudangnya meski pemiliknya punya niat membantu rumah sakit,” ujarnya.

Kesehatan keuangan tiap RS tentu berbeda. Kekuatan cadangan keuangan untuk membayar obat pun makin hari makin tipis. Dan pada titik equilibrium tertentu, RS tidak bisa membayar obat, karyawan dan dokter.

“Jadi, under treatment itu sebagai akibat, jika itu memang benar terjadi,” pungkasnya

BPJS melalui Kepala Hubungan Masyarakat, Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan bahwa Fornas yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai acuan untuk penyediaan obat yang masuk dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

“Memang harus dikendalikan. Karena jika dibiarkan liar, nego harga obat dengan pabrikan akan sulit,” katanya.

Tim Fornas, kata Iqbal, memang sudah terpilih dari kalangan farmakologi. Tentu penyusunan fornas melalui proses yang panjang. Jika memang keluhannya bahwa dokter tidak memiliki keleluasaan dalam memberikan obat, maka justru, bagi Iqbal, logika ini menjadi terbalik.

“Dokter kan tidak bisa menulis merk obat, dia hanya memberikan bahan aktifnya,” katanya.

sumber: https://www.gatra.com/rubrik/kesehatan/bpjs-kesehatan/361116-Indonesia-Sehat-Terkendala-Pelayanan-di-Bawah-Standar–

 

Penyakit Jantung Bisa Telan Biaya Hingga Rp9,2 Triliun

JAKARTA – Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyampaikan bahwa Presiden Jokowi mengatakan biaya untuk mengobati penyakit jantung memakan biaya sampai Rp9,2 Triliun.

“Kemarin [17/8/2018] Pak Jokowi di depan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia mengingatkan begitu banyaknya penyakit katastropik [yang dapat menyerang] salah satunya Beliau menyebut penyakit jantung biayanya sampai Rp9.2 triliun,” tutur Nila saat menyampaikan arahannya pada acara Penghargaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Berkelanjutan Eka Pratama kepada 23 Kota dan 1 Provinsi di Auditorium Siwabessy, Gedung Sujudi, Kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2018).

Nila mengatakan menilik dari pernyataan Presiden RI tersebut maka pola hidup sehat harus diperhatikan sejak dini agar di masa tua, masyarakat Indonesia bisa tetap hidup produktif.

“[Yang terkena penyakit katastropik] ini kebanyakan lansia, oleh karena itu, kita inginnya orang tua tetap produktif, tetap sehat,” lanjutnya.

Nila juga mengatakan pada acara Internasional Monetary Fund (IMF) di Bali para stakeholder membicarakan bahwa Human Development Index akan diganti menjadi Human Capital Index.

“Dimana yang dihitung adalah jumlah manusia produktif. Jadi, untuk mencapai usia prodiktif ini yang dihitiung dan disiapkan adalah bagaimana manusia yang lahir, manusia yang berkualitas artinya memang pada 1000 hari kehidupan tadi dan mampu melakukan pendidikan,” paparnya.

Nila menjelaskan satu tahun pendidikan akan meningkatkan ekonomi individu sebesar 10%. Sehingga, makin lama masyarakat berpendidikan, makin meningkat ekonomi individu tersebut.

“Namun, tidak hanya kuantitas, tapi tapi kualitas karena itu kita harus memperbaiki kualitas kurikulum guru-guru kita sehingga asupan yang kita berikan kepada anak didik betul-betul memang berkualitas,” lanjutnya.

Nila melanjutkan asupan pendidikan dapat diserap dengan baik apabila tubuh dan pikiran tiap individu sehat. Oleh karena itu, asupan gizi sejak dini juga harus diperhatikan.

“Karena siklus kehidupan ini sangat penting dari permulaan sampai usia tua. Jadi, saya juga mengharapkan jangan kita pada usia tua akhirnya membebani bagi anak anak kita sendiri, salah satunya memang betul adanya akses air bersih dan sanitasi,” tandasnya.

 http://lifestyle.bisnis.com/read/20181018/106/850614/penyakit-jantung-bisa-telan-biaya-hingga-rp92-triliun

 

Sri Mulyani Pamer Anggaran Pendidikan dan Kesehatan di IMF-WB

Untuk meningkatkan kualitas suatu negara dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) dengan kualitas yang baik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan ada lima hal yang menjadi perhatian khusus untuk meningkatkan kualitas SDM.

Misalnya pemerintah saat ini mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan, meningkatkan kualitas guru, manajemen sekolah dan proses belajar mengajar peserta didik.

“Pendidikan vokasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0, teknologi informasi, dan partisipasi sektor swasta,” kata Sri Mulyani dalam diskusi Human Capital Early Adopters Ministerial Workshop di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018).

Dia menjelaskan hal itu semua penuh tantangan seperti meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru di kota yang tidak setara dengan di desa, mempersiapkan jenis pendidikan vokasi yang dibutuhkan oleh industri di masa depan, dan keadaan di Indonesia. Selain itu, hampir semua sekolah negeri gratis, tetapi kualitasnya tidak sama dengan sekolah swasta.

“Indonesia siap berkontribusi dan bekerja sama, karena Indonesia memiliki pengalaman berharga dalam investasi human capital. Indonesia akan berkontribusi dalam kemitraan global melalui kerjasama Selatan-Selatan dan program kerjasama Triangular,” ujar dia.

Kemudian bahwa dalam menghadapi isu pembangunan digital, pemerintah Indonesia memperkenalkan beberapa kebijakan strategis yaitu meningkatkan kurikulum pendidikan dan meningkatkan kompetensi pekerja. Kedua, dengan meningkatkan kompetensi melalui pelatihan vokasi dan program magang, dan ketiga, meningkatkan kualifikasi, kebutuhan dan pelaksanaan sertifikasi profesi di seluruh institusi di seluruh negeri.

Sri Mulyani menambahkan bahwa SDM adalah landasan untuk kesejahteraan dan kunci penggerak high-income growth. Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kualitas SDM yang meliputi kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan kesetaraan gender, dalam beberapa kebijakan strategis, antara lain; bidang pendidikan, pemerintah percaya bahwa masyarakat teredukasi akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi.

“Edukasi akan membuat mereka dapat meningkatkan potensi pendapatan dan berkontribusi meningkatkan pertumbuhan kalangan menengah,” ujar dia. Karena itu, pemerintah juga telah mengalokasikan 20% dari APBN 2018 di bidang pendidikan yaitu sebesar Rp 444 triliun.

Sedangkan di bidang kesehatan, pemerintah telah mengalokasikan 5% dari keseluruhan APBN untuk sektor kesehatan.

Untuk tahun 2019 akan dianggarkan Rp 122 triliun untuk layanan kesehatan, menurunkan stunting dan menjalankan keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada akhir September 2018, JKN telah mencakup 203,28 juta penduduk atau 85% dari jumlah penduduk Indonesia. (kil/ara)

https://finance.detik.com/moneter/d-4250894/sri-mulyani-pamer-anggaran-pendidikan-dan-kesehatan-di-imf-wb