Tackling health inequalities is a lifelong struggle

Money doesn’t buy happiness, they say, but the clear evidence is that it does buy you extra years of life. The flip side of this, of course, is that the poor experience the worst health outcomes and the shortest life expectancies.

Tackling this massive health inequality should be a main priority of governments because of the ethical issues involved, says world-renowned epidemiologist Sir Michael Marmot, who has devoted his working life to the issue.

“There’s an intimate relationship between where you are on the social hierarchy and your health.

“The people at the top have the longest life, those in the middle are shorter, and as you get lower and lower, the life expectancy gets shorter and shorter,” he told The Irish Times on a visit to Dublin earlier this month.

‘Social gradient’

Marmot’s research has detailed the “social gradient” affecting the length of all our lives according to where we are on the economic pecking order.

In a 2010 report for the last Labour government in the UK, he found that people living in the poorest neighbourhoods died seven years earlier on average than those in the wealthiest neighbourhoods.

A number of Irish reports, including the 2008 all-island study by the Institute of Public Health and the more recent work by the Tasc think-tank, have pointed to similar trends here, yet it isn’t clear that the Government has got the message.

Marmot believes all government policies should be proofed for their impact on health inequality. “We should have a health equity lens trained on all social and economic policy, asking what’s the likely impact on health equity of trends in health equality.

“Let’s not look just at debt and deficits but at the impact on people’s lives of government decisions and on health equity. And if the Minister for Finance says, ‘You’re being unrealistic,’ I say, ‘Sorry, mate, we don’t have the luxury of not doing that,'” says Marmot (68), lapsing just briefly into the Australian-accented patois of his youth.

Born in England, he moved to Australia in childhood and qualified as a medical doctor in Sydney. In the 1980s, he led ground- breaking research which identified a correlation between life expectancy and social status among British civil servants.

Social determinants

A former president of the British Medical Association, he chaired a World Health Organisation commission on social determinants of health from 2005-2008 and has won numerous awards for his work in public health.

In the UK review, he set out the six areas he believes governments need to develop policies to improve health equity – early child development; education; employment; minimum incomes for healthy living; health neighbourhoods; and a social determinants approach to prevention on issues such as smoking and obesity.

source: www.irishtimes.com

 

Kenapa Orang Indonesia Suka Berobat ke Singapura?

Orang Indonesia cenderung berobat ke luar negeri sampai tahun 2013 ini. Singapura merupakan Negara yang paling banyak didatangi pasien asal Indonesia. Mereka biasanya menganggap pelayanan kesehatan di sana lebih baik.

Padahal Bambang Nursasongko, Spesialist in Conservative Dentistry Universitas Indonesia mengatakan kualitas antara Rumah Sakit (RS) Singapura dan Indonesia sama. Namun menjadi berbeda karena kurangnya sosialisasi tentang dokter dan pelayanan kesehatan di Indonesia.

“RS Singapura melakukan promosi secara gencar soal kelebihan RS tersebut,” kata Bambang pada Tempo, Ahad, 16 September 2013. Selama ini di Indonesia promosi rumah sakit tabu dan melanggar kode etik kedokteran.

Padahal Bambang mengatakan promosi yang gencar oleh RS Singapura mampu menciptakan paradigma kalau kualitas dan pelayanan kesehatan di negeri singa lebih baik. Padahal jika ditelusuri, dokter asal Singapura dan Malaysia sekolahnya di Indonesia. Sehingga secara tidak langsung kualitas dan SDM mereka pun bisa diukur.

“Sebagian orang memilih berobat ke luar negeri karena gengsi,” Bambang menjelaskan. “Orang kebanyakan merasa rugi membayar mahal jika berobat di Indonesia, lain halnya jika di luar negeri meskipun mahal akan tetap dijabani.”

Data Departemen Kesehatan memperkirakan setiap tahunnya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri menghabiskan biaya Rp100 triliun. Jumlahnya akan terus bertambah dari tahun ke tahun.

Kecenderungan orang Indonesia berobat ke luar negeri sangatlah besar, terutama di kalangan para selebritas. Mereka tak segan mengeluarkan biaya yang cukup fantastis. Seperti halnya rencana musisi Ahmad Dhani yang akan membawa putra bungsunya AQJ untuk berobat lanjutan ke Singapura.

sumber: www.tempo.co

 

RUU Keperawatan Tak Berbenturan dengan UU Sejenis

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nova Riyanti Yusuf mengatakan dengan adanya UU Keperawatan nantinya tenaga perawat akan mendapat pendidikan khusus keperawatan yang diharapkan bisa membantu dokter secara profesional.

“Nantinya perawat mendapat pelimpahan wewenang dari dokter untuk menjalankan tugas-tugas kedokteran ketika dokter tidak ada atau dalam waktu darurat. Karena itu RUU ini harus disahkan selambat-lambatnya pada akhir 2013 ini,” kata Nova Riyanti Yusuf dalam diskusi ‘RUU Keperawatan’ bersama Staf Ahli Menteri Kesehatan Prof. dr. Budi Sampurna, dan Sekjen PP PPNI Harif Fadilah di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/9/2013).

Nova menegaskan RUU Keperawatan yang sedang dibahas di Panja DPR RI sekarang ini berangkat dengan spirit nasionalisme, di mana banyak daerah terpencil yang tidak memiliki tenaga perawat, sehingga kurang mendapat perhatian kesehatan yang memenuhi standar kesehatan. UU Keperawatan ini diharapkan terjadi pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah terpencil.

“Jumlah dokter yang terbatas, banyak akademi perawat yang tidak terstandarisasi, dan banyaknya perawat yang dikriminalisasi akibat salah penanganan medis, maka itulah yang menjadi spirit perlunya pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah-daerah terpencil,” ujarnya.

Politisi Demokrat ini mengatakan Indonesia memerlukan tenaga perawat yang luar biasa, mengingat selama ini terpusat di kota kota besar termasuk tenaga dokter sendiri. Untuk itu RUU Keperawatan menjadi prioritas sejak tahun 2012 dan harus segera disahkan.

Budi Sampurna menjelaskan jika RUU Keperawatan tak akan berbenturan dengan UU Kesehatan, UU Kedokteran, dan UU sejenis, karena hanya akan mengatur dari sisi profesi pekerjaan, dan pendidikannya meliputi praktek, sanksi administratif, pembinaan dan sebagainya.

Sedangkan khusus pendidikannya kata Budi, pengajarnya dosen perawat, dan atau perawat yang sudah diangkat menjadi dosen keperawatan.

“Jadi, dalam pendidikan keperawatan ini tak ada yang namanya konsultan, melainkan tetap dosen. Tapi, yang terpenting pemerataan pelayanan perawat di daerah-daerah di tengah sulitnya anggaran untuk mencetak tenaga dokter profesional,” katanya.(js)

sumber: www.tribunnews.com

 

Alzheimer’s on the Rise in Indonesia: Health Ministry

The number of annual Alzheimer’s cases in Indonesia will go up by 19.7 million, according to the Ministry of Health, which has launched new efforts to educate the public about the illness.

“We often see ‘pikun’ [forgetfulness] as a problem for the elderly,” Ali Ghufron Mukti, the Deputy Minister of Health, said at the “Memory Walk” Alzheimer awareness event in Jakarta on Sunday.

“This is wrong, because these are the symptoms of a serious illness,” he said, referring to the widespread belief in Indonesia that Alzheimer’s symptoms are part of the ordinary forgetfulness that comes with aging.

“We are working to prepare Indonesia’s Alzheimer’s-Dementia National Plan in the near future to demonstrate the country’s commitment to this important issue,” Ali said.

In addition to direct costs, Ali said that Alzheimer’s tended to take a heavy toll on patients’ families, who often devote tremendous time and effort in caring for their loved one’s suffering from the disease.

Some 80 countries participate annually in the Memory Walk, which marks World Alzheimer’s Month every September.

DY Suharya, the executive director for Alzheimer Indonesia, a nonprofit that works to raise the quality of life for dementia and Alzheimer patients, organized this year’s walk along the Sudirman-Thamrin main artery in Jakarta, which marked Indonesia’s first participation in the event.

“Alzheimer’s can set in 20 years before most symptoms become apparent,” Suharya said. His organization has undertaken efforts to educate the public about symptoms and detection and to promote healthy living, which can reduce the risk of getting Alzheimer’s in old age.

Data from Alzheimer’s Disease International showed that Southeast Asians spent $4 billion in 2010 on Alzheimer’s and dementia treatment, including medicine and facilities.

source: www.thejakartaglobe.com

 

Realisasi Target PBB Belum Maksimal

Realisasi target PBB melalui Badan Kesehatan Dunia soal dua persen dari jumlah penduduk di sebuah negara untuk kecukupan darah belum maksimal. Hal inilah, sebagaimana menurut hemat Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla membuat pihaknya menggiatkan terus-menerus kegiatan donor darah di Indonesia untuk seluruh kalangan masyarakat. JUsuf Kalla mengemukakan hal itu kemarin saat perhelatan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jakarta.

Dalam kesempatan itu, pihak operator telekomunikasi Indosat, dalam siaran persnya, menyumbangkan mobil klinik Ceria sebagai bantuan memperluas kegiatan donor darah tersebut. Indosat saat ini memiliki 16 unit mobil klinik yang siap dioperasikan di seluruh Indonesia untuk mendukung pelayanan kesehatan ibu dan anak . Mobil klinik Ceria yang diluncurkan bersamaan dengan aksi donor darah merupakan pengembangan dari operasional mobil klinik sebelumnya. Hingga kini, mobil-mobil tersebut telah melayani sekitar 800 ribu orang sejak 2006 hingga 2012.

Di samping itu, menjelang hari ulang tahun ke-68 PMI, imbuh Jusuf Kalla, pihaknya juga menunjuk beberapa agen perubahan dari berbagai kalangan dan profesi di Tanah Air. Salah satunya, PMI menunjuk seorang pemain biola Cecillia Young. “PMI akan melakukan sosialisasi misi dan visi serta perannya di kalangan generasi muda,”kata Jusuf Kalla.

Dara kelahiran Jakarta pada 11 Agustus 1995 sejak lama telah akrab dengan alat musik gesek ini. Dalam kesempatan tersebut, pemilik rambut panjang ini memperlihatkan kebolehannya memainkan lagu Kebyar-Kebyar di hadapan Jusuf Kalla bersama para pemangku kepentingan lainnya di area Bundaran Hotel Indonesia (HI). “Ini waktunya kaum muda untuk aktif di bidang sosial, untuk mendorong kegiatan sosial melalui agen perubahaan,”kata Jusuf Kalla berkomentar.

Cecillia memang terbilang cukup panjang menorehkan prestasi. Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara ini, dua tahun silam, berhasil memadukan musik tradisional Bali ke dalam musik klasik modern melalui kepiawaiannya menggesek biola pada album instrumental Bali Sutrepti.

Hingga kini, Cecillia pun masih mengajar privat biola bagi anak-anak sekolah internasional dan umum. Ia juga mengajar di tiga lembaga kursus musik.

Sejak setengah tahun silam, Cecillia melatih 27 anak jalanan bermain biola. Kebanyakan dari anak jalanan itu berasal dari kawasan Pesing di RT 002/RW 08, Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Saat awal Ramadhan, Minggu (28/7/2013), berbagi bersama dengan sekitar 200 anak jalanan dalam acara buka puasa bersama di kawasan Meruya, Jakarta Barat.

Ke depan, menurut Cecillia, dirinya bakal mempersiapkan pertunjukan solo bersama anak jalanan. Cecillia juga bakal mengeluarkan album musik daerah Indonesia.

sumber: internasional.kompas.com

 

Pemberian Vaksin Pentavalen Bukti Indonesia Bisa Mandiri

Pencanangan vaksin Pentavalen telah diresmikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dr. Nasfsiah Mboi. SpA,M.P.H pada Agustus lalu. Gabungan lima vaksin tersebut sebagai bukti Indonesia mandiri.

Menurut Direktur Utama Bio Farma Indonesia, Iskandar, bila dilihat dari respons masyarakat, sebenarnya Indonesia berada di posisi tertinggal ketimbang negara lain. Jadi ketika vaksin ini ada, ini lebih kepada bentuk dari kemandirian masyarakat Indonesia.

“Ini bukti bahwa Indonesia pun bisa membuat vaksin Pentavalen ini. Sedangkan orang lain membeli, kita membuat vaksin ini sendiri. Ini lebih kepada kemandirian. Untuk programnya sendiri, kita berada di urutan 70 sekianlah,” kata Iskandar, saat berbincang dengan tim Health Liputan6.com, Ujung Genteng, Sukabumi Selatan, Jawa Barat, Senin (16/9/2013)

Iskandar menambahkan, respons yang diperlihatkan pemerintah ketika dibilang bahwa Indonesia bisa menciptakan vaksin itu, pemerintah langsung memasukkan Pentavalen ke dalam programnya. “Ya, walaupun sekarang baru 50 persen. Tapi, tahun depan 100 persen untuk mengcover kebutuhan nasional,” tambah dia.

Sementara Pemerintah melakukan tugasnya, pihak produsen vaksin Pentavalen ini akan proses ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sehingga pada awal 2016, Indonesia sudah bergerak ke pasar global.

“Ini yang kita targetkan. Karena ini kan ditunggu ya. Karena hanya 5 perusahaan di dunia yang bisa membuat vaksin Pentavalen ini, lho. Kita termasuk beruntung, ini sudah menunjukkan bahwa Indonesia hebat,” terang Iskandar.

Vaksin Pentavalen merupakan vaksin dasar yang mampu mencegah lima penyakit, seperti difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, serta Hib (Haemophylus Influenza Type B).

sumber: health.liputan6.com

 

A Word on the Health Crisis in Palestine from Dr. Mahmoud Daher

Dr. Mahmoud Daher, interim head of the World Health Organization’s Palestinian office, spoke on campus this Thursday at the University of Tennessee’s Howard H. Baker Center. His presentation informed listeners of the World Health Organization’s mission both globally and in Palestine specifically.

As Dr. Daher pointed out, millions are affected annually by conflict around the world. An estimated thirty million people have been driven out of their homes and into other regions of their countries in the past year. The World Health Organization also estimates that twenty-three million people are refugees, forced to leave their own countries. Dr. Daher listed Turkey, Pakistan, Palestine, Jordan, and Latin America as several major areas of conflict.

Along with this displacement of people come health issues, including higher infant and maternal mortality rates, lack of food and clean water, and power shortages in hospitals.

Dr. Daher is a native of the Gaza Strip in Palestine, an area of heated militarized conflict that is under siege by Egypt and Israel. Because of the siege there are less jobs, resources, and healthcare services in Palestine. As an example, Dr. Daher pointed out that Gazan fishermen are permitted to sail only three miles offshore. This restricts the amount of fish that Gazans can add to an already low food supply. He works on the front lines there to provide humanitarian support to those affected by the war.

As Dr. Daher stated, the World Health Organization’s concerns in areas like Palestine include loss of life, physical injury, access to safe water and food, reproductive health, mental health, and communicable disease. Internationally, the organization is viewed as a leader for the health community and sets the research agenda for health services.

When asked about where the World Health Organization acquires funding, Dr. Daher verified that they are a donation-based operation. He estimated that eighty percent of their funding comes from nations that donate to specific causes. Dr. Daher named the United States as the major donator in the World Health Organization’s project to treat and stop the spread of HIV/AIDS in Egypt.

source: www.tnjn.com

 

Per 1 Januari 2014, masyarakat bebas biaya kesehatan?

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional (BPJS) pada 1 Januari 2014 mendatang, minta setiap anggota masyarakat tidak perlu keluar uang satu sen pun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dari pemerintah.

Praktis, Pemerintah wajib menjamin kesehatan bagi warga. Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Ali Mahsun kepada wartawan di Jakarta, Minggu (15/09/2013).

Jaminan sosial kesehatan adalah hak bagi seluruh warga negara yang merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya. “Hal itu harus diwujudkan tanpa membebani dengan kewajiban rakyat membayar premi,” ujar Ali.

Karenanya, membutuhkan ‘political will’ dari pemerintah dalam menjaga komitmen dan tanggungjawab dalam meningkatkan pendapatan negara. Sehingga, jaminan tersebut, dapat direalisasikan sebagaimana sudah diamanatkan dalam konstitusi.

Menurutnya, salah satu mekanisme yang dapat diambil adalah dengan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan anggarannya digunakan untuk menjalankan jaminan kesehatan, pendidikan, dan sosial bagi seluruh warga negara.

Selain itu, Ali mengungkapkan, bahwa pemerintah sebenarnya mampu mewujudkan jaminan kesehatan secara nasional bagi masyarakat Indonesia tanpa harus memungut premi pada rakyat. Hal itu jika pemerintah dapat menghapus secara total subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sebesar Rp 320 triliun per tahun.

“Melalui anggaran yang selama ini dialokasikan untuk subsidi BBM, pemerintah bukan hanya bisa membiayai jaminan kesehatan bagi rakyat, melainkan juga jaminan pendidikan untuk seluruh rakyat dari tingkat SD sampai S3, serta jaminan sosial lainnya. Kita mau pemerintah memberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia, dari seorang lahir sampai meninggal dunia,” terangnya.

Namun sejauh ini, menurut Ali, APKLI pesimistis JKN yang akan dimulai pada awal tahun depan tersebut bisa berjalan lancar. Karena, banyak masyarakat, khususnya yang berada di level ekonomi menengah ke bawah, termasuk para PKL yang akan menuntut haknya untuk mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari pemerintah.

Faktanya, pemerintah hanya akan menanggung premi kesehatan bagi 86,4 juta orang dan dari 25 juta jumlah PKL di seluruh Indonesia yang tergabung dalam APKLI, dan hanya 30 persen PKL yang akan mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari pemerintah.

Dampaknya, hal itu akan menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk itu, APKLI berharap, bukan hanya seluruh PKL yang seharusnya nanti ditanggung jaminan kesehatannya oleh pemerintah, namun seluruh rakyat Indonesia yang tersebar di seluruh belahan nusantara juga harus ditanggung preminya.

“Bila seluruh penduduk preminya tidak dijamin pemerintah, APKLI pesimistis BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014 dapat berjalan dengan efektif. Karena nanti akan sangat mungkin bermunculan para mafia hingga calo kesehatan, yang akhirnya malah akan membuat overloud bugdet, sehingga akan timbul banyak masalah dalam pelaksanaan JKN,” ujarnya.

Untuk itu, APKLI mendesak pemerintah agar lebih total dalam menjalankan program jaminan kesehatan dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu, lanjut Ali, untuk mewujudkan jaminan kesehatan secara menyeluruh bagi anak bangsa tidak membutuhkan banyak anggaran, karena yang terpenting adalah niat pemimpin bangsa ini untuk mewujudkan hal tersebut.

“APKLI memperkirakan, hanya membutuhkan anggaran sebesar Rp 150-175 triliun untuk mewujudkan jaminan kesehatan gratis bagi seluruh penduduk Indonesia. Jika diambil dari subsidi BBM yang sebesar Rp 320 trilliun per tahun, sisanya dapat digunakan untuk memberikan jaminan pendidikan dan sosial,” pungkasnya. @yuanto

sumber: www.lensaindonesia.com

 

Wakil menteri kesehatan :Pertama kalinya Indonesia terlibat dalam gerakan global peduli Al-Zheimer

“Peningkatan jumlah kasus Alzheimer di Indonesia sangat memprihatinkan. Kita sering memaklumi pikun sebagai penyakit orang tua. Ini cara pandang yang salah, karena hal tersebut merupakan gejala penyakit yang serius,” ujar Dr. Ali Ghufron Mukti. “Ini adalah momentum yang tepat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk turut serta mensosialisasikan pentingnya penanggulangan dan pencegahan Alzheimer. Kami mendukung penyusunan Indonesia Alzheimer-Dementia National Plan dalam waktu dekat sebagai bentuk komitmen Indonesia akan isu penting ini.

Memory Walk merupakan kegiatan jalan sehat yang dilakukan di berbagai negara kini termasuk Indonesia, untuk memperingati bulan Alzheimer sedunia. Mulai pukul 6 pagi, 300 partisipan berpakaian ungu berjalan kaki sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta, sebagai bentuk dukungan terhadap upaya penanggulangan Alzheimer dan demensia. Dalam kesempatan ini, publik juga dapat melakukan deteksi dini Alzheimer dan mempelajari senam gerak latih otak secara gratis, berkat kerja sama sebuah perusahaan farmasi, PT EISAI dengan Pusat Intelegensia dan Promosi Kesehatan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

“Deteksi dini Alzheimer bukan hanya untuk lansia. Gejala Alzheimer bisa muncul 20 tahun sebelum gejala lainnya menjadi lebih jelas,” jelas DY Suharya, Direktur Eksekutif Alzheimer Indonesia yang menggagas Memory Walk. Dengan meningkatnya kepedulian akan Alzheimer, kami ingin mendorong masyarakat untuk menerapkan gaya hidup sehat. Gaya hidup sehat dapat menurunkan risiko seseorang menderita Alzheimer di usia lanjut.

Dalam pembukaa Memory Walk,Dr. Ali Ghufron Muktipun melepaskan 20 ekor burung merpati untuk menunjukkan simpatinya terhadap anggota masyarakat dan keluarga yang tengah merawat para penderita Alzheimer. Menurut laporan Alzheimer Disease International pada tahun 2010, biaya perawatan penderita Alzheimer dan demensia di Asia Tenggara mencapai sekitar US$4 milliar mencakup biaya obat-obatan dan fasilitas sosial yang dibutuhkan untuk mendukung penderita Alzheimer dan demensia.

Diperlukan pengetahuan, kesabaran, dan waktu yang cukup banyak untuk merawat penderita Alzheimeru,terutama karena dampaknya yang besar dan berlangsung dalam jangka panjang. Keluarga penderita Alzheimer pun kerap disebut sebagai pasien kedua, karena penyakit ini bukan hanya mempengaruhi dan mengubah kehidupan penderita, namun juga anggota keluarganya.

Beberapa komunitas dari berbagai lapisan masyarakat turut mengikuti Memory Walk ini untuk menunjukkan kepedulian mereka, di antaranya Yayasan Emong Lansia, Forum Komunikasi Lanjut Usia, Pusaka DKI Jakarta,Alzheimeru2019s Indonesia Jakarta, Bandung, Yogyakarta,mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Resident dari RSCM dan Alumni SMA 3 Jakarta. Kegiatan ini juga didukung oleh berbagai elemen pemerintahan, perusahaan, masyarakat, media dan sebagainya, seperti PT EISAI, Prodia Lab, 97.9 FeMale Radio & FeMale Circle, Majalah Femina, Pesona, World Health Organization (WHO), Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Sosial RI, Bank BCA, Maverick, dan Juara Agency.

Memory Walk dilaksanakan setiap bulan September, bertepatan dengan Bulan Alzheimer Sedunia. Kegiatan ini dilangsungkan di berbagai belahan dunia untuk menunjukkan bersatunya komunitas dan orang-orang terkasih untuk menanggulangi Alzheimer dan demensia. Tahun ini, lebih dari 50 kegiatan jalan sehat telah dilakukan di 80 negara, termasuk Indonesia.

sumber: www.merdeka.com

 

Indonesia seeks ways to reduce health risks posed by air pollution

Indonesia is seeking ways to reduce health risk caused by transportation-generated air pollution, and one of the most cost-effective options is by taking gas fuel rather than fossil-based fuel, a senior official at the environment ministry said here on Thursday.

The option to use gas fuel was considered as the most likely and cost-efficient among nine options discussed at a forum that involves government officials, experts and representatives from the Indonesian Automotive Industry Association, or Gaikindo.

“Results from cost-effectiveness from nine options discussed at the forum showed fuel conversion from fossil-based fuel to gas fuel is the most inexpensive one if compared to aspects offered by the other 8 options, “Deputy Environment Pollution Control Minister Sulistyowati said on the sidelines of the discussion entitled “Multi-Stakeholders Forum” held here.

“Meanwhile, adopting hybrid technology and providing comprehensive mass transport system were the second and third of most inexpensive solutions,” he said.

Experts attending the discussion were the senior adviser of United States Environmental Protection Agency (US-EPA) for Asia Pacific region Mark Kasman, and Anup Brandivandekar from International Council for Clean Transportation (ICCT).

The other six options were fuel efficiency drive by 10 percent since 2009, gas fuel conversion up to 5 percent by 2021, dumping half of the cars with more than 10 years’ service period, conversion of fossil fuel to bio fuels to 5 percent by 2021, acceleration of Euro 2 emission standard on motored vehicles by 2005 and Euro 4 by 2016 and adoption of catalytic converter technology to 25 percent of cars, bus and trucks, Sulistyowati said here.

According to an analysis jointly conducted by the Indonesian environment ministry, the United Nations Environment Program (UNEP) and US-EPA in 2012 entitled Cost Benefit Analysis on Fuel Economy Initiative, air pollution generated by transportation vehicles had cost greatly people who suffered from pollution-related diseases.

Air pollution also exacerbates productivity and affects life quality, which eventually undermined the country’s efforts to attain higher growth, according to the analysis.

The ministry learned that in 2010, 57.8 percent of Jakarta’s residents suffered from various diseases, among others asthma, bronkopneumonia and lung obstructive generated from air pollution.

They had to spend a total of 38 trillion rupiah (about 3.4 billion U.S. dollars) on medical treatment, according to the ministry.

Should there be no concrete efforts to address this problem, pollution of particulate matters (PM) 10, sulfur dioxide and carbon oxide in the capital city may rise up to 4 times and Ozone and nitric oxide up to 7 times by 2030.

The green house effect emission formed in carbon dioxide may also rise up 3 times from 2010 level.

source: news.xinhuanet.com