Perokok Meningkat, Layanan Kesehatan Tinggi

Pakar Ekonomi Publik Universitas Andalas Padang, Dr Hefrizal Hendra mengatakan manfaat sosial ekonomi dari lapangan pekerjaan yang disediakan Industri rokok jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak negatifnya kepada rakyat secara umum. Dampak negatif secara sosial dan ekonomi dari industri rokok itu justru harus ditanggung perokok aktif dan pasif.

Hal itu dikatakan Hefrizal saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah pada persidangan Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (13/9/2013), yang dimohonkan sejumlah tokoh antara lain Hendardi, Mulyana W Kusumah, Neta S Pane dan Aizuddin.

Di hadapan persidangan yang dipimpin Ketua MK Akil Muchtar itu Hefrizal mengatakan, semakin banyak orang yang merokok, maka beban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan semakin tinggi.

“Karena itu, kebijakan pengenaan pajak untuk meningkatkan harga rokok agar peredarannya bisa dibatasi adalah sangat tepat. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku 1 Januari 2014 itu malah terlalu kecil, hanya 10 persen. Mestinya lebih, agar harga rokok semakin mahal,” kata Hefrizal.

Menurut Hefrizal, rokok yang dijadikan objek pajak dalam pasal tersebut merupakan barang konsumsi pribadi (privat good) yang bukan termasuk kebutuhan dasar. Menurutnya, rokok lebih banyak memberikan akibat buruk kepada orang yang mengkonsumsinya. Karena itu, perlu ada pembatasan agar tidak merusak masyarakat secara umum.

Sementara Guru Besar Pajak Universitas Indonesia (UI) Prof Gunadi juga menyampaikan hal senada. Ia menilai dampak negatif rokok tidak hanya terjadi pada daerah penghasil rokok atau tembakau, tetapi juga dialami daerah lainnya.

Karena itu, pajak rokok digunakan sebagai retribusi tambahan. “Yang nantinya digunakan untuk pemenuhan pelayanan publik sebagai dampak negatif dari rokok, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan serta penanganan hukum,” ucap Gunadi.

Sementara Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Selatan (Kalsel), Gustafa Yandi, mengatakan bahwa kebijakan pajak rokok dalam UU No 28/2009 memberi angin segar kepada pemerintah daerah. Sebab jika UU itu diberlakukan, pemerintah mendapatkan sekitar 100 triliun dari pungutan pajak tersebut.

“Dengan rasio jumlah penduduk 1,5 persen dari total nasional, maka pajak rokok itu memberikan tambahan penghasilan sekitar Rp140-150 miliar. Jika UU ini dibatalkan, maka kami kehilangan harapan tambahan pendapatan sebesar itu,” kata Gustafa.

Disebutkannya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, Kalsel menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dalam hal jumlah rata-rata penduduk yang merokok lebih dari 30 batang per hari. Di Kalsel, rata-rata penduduk yang merokok lebih 30 batang per hari mencapai 7,9 persen, sedangkan di Bangka Belitung mencapai 16,2 persen.

“Hasil riset tersebut juga menyebut 18 perokok anak di Kalsel dengan usia 5-9 tahun. Prevalensi perokok di Kalsel mencapai 30,5 persen, hampir sama dengan angka nasional sebesar 34,7 persen,” tambahnya. [mes]

sumber: nasional.inilah.com

 

DPR sidak kesehatan calon haji Jatim

Anggota Komisi IX DPR RI (bidang kesehatan, ketenagakerjaan, pengawasan obat dan makanan) melakukan inspeksi mendadak terkait kesiapan petugas kesehatan PPIH Embarkasi Surabaya dalam mengantisipasi terpaparnya calon haji Jatim oleh Virus Corona.

Dalam sidak itu, dua anggota Komisi IX DPR RI yakni dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ dan Anita Jacoba terlihat berkeliling meninjau Poliklinik PPIH Embarkasi Surabaya, Unit Pengendali Risiko Lingkungan (PRL), dan laboratorium sampel makanan di kompleks Asrama Haji Embarkasi Surabaya, Kamis.

Didampingi Kabid Kesehatan Haji PPIH Embarkasi Surabaya dr Oenedo Gumarang MPHM dan Sekretaris PPIH Embarkasi Surabaya HM Asyhuri, keduanya juga sempat berdialog dengan petugas kesehatan haji tentang antisipasi Virus Corona itu.

“Kami (DPR RI) mempunya Panja Kesehatan Haji, karena itu kami memeriksa kesiapan 17 embarkasi dalam pelayanan kesehatan haji, di antaranya melihat angka kematian calon haji, penanganan calon haji risiko tinggi (risti), dan juga antisipasi Virus Corona,” kata dr Nova Yusuf.

Menurut legislator yang pernah meninjau langsung kondisi kesehatan calon haji Indonesia di Tanah Suci pada tahun 2009 itu, calon haji lanjut usia (lansia) yang tergolong calon haji “risti” perlu mendapat perhatian khusus, apalagi kondisi di Tanah Suci saat ini banyak tantangan fisik.

“Untuk Virus Corona, saya kira sosialisasi PHBS (Pola Hidup Bersih Sehat) sejak di kabupaten/kota lebih penting, karena virus itu belum ada vaksin-nya, tapi saya kira sosialisasi dalam bentuk penyuluhan tidak cukup, namun perlu tertulis dalam bentuk brosur atau buku saku,” ujarnya.

Oleh karena itu, hasil dialog dengan sejumlah petugas kesehatan di PPIH Embarkasi Surabaya tentang sosialisasi Virus Corona secara tertulis dalam bentuk buku saku atau poster akan dijadikan rekomendasi untuk dibahas dalam Panja Kesehatan Haji DPR RI.

“Buku saku atau brosur itu penting agar bisa dibaca calon haji di perjalanan, sebab kalau hanya penyuluhan bisa lupa. Petugas di sini sudah membuat sosialisasi berbentuk standing banner, karena mereka terkendala biaya kalau harus berbentuk buku atau brosur untuk calon haji,” tuturnya.

Siap Antisipasi Corona

Sementara itu, Kabid Kesehatan Haji PPIH Embarkasi Surabaya dr Oenedo Gumarang MPHM menyatakan, pihaknya sudah melakukan penyuluhan setiap menyambut kedatangan calon haji dalam satu kloter yang tiba di Bagian Penerimaan Asrama Haji Embarkasi Surabaya.

“Intinya, penyuluhan itu untuk mengingatkan para calon haji agar mengenali diri dan senantiasa melakukan pola hidup sehat, sebab Virus Corona itu mudah menular secara droplet saat berbicara/ngobrol atau batuk, karena itu setiap calon haji diberi empat masker,” ucapnya.

Sepulang jamaah haji dari Tanah Suci, kata Oenedo yang juga Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Klas I Surabaya itu, pihaknya menyiapkan thermal scanner untuk mengukur suhu mereka, lalu kondisi terakhir itu akan diamati selama 14 hari (dua kali masa inkubasi penyakit).

“Jadi, secara teknis, kami siap, termasuk bila Virus Corona itu benar-benar menjangkiti calon haji dari Jatim, tapi kami berharap hal itu tidak terjadi dan kami juga tidak mau sombong tentang kesiapan itu, yang penting ada tim yang akan melakukan pemeriksaan dan pengawasan,” tukasnya.

Pada akhir Mei lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa di Arab Saudi telah terjadi 38 kasus virus Corona dengan 22 orang di antaranya telah meninggal dunia. Selain di Arab Saudi, virus itu dilaporkan memapar warga Afrika dan Prancis.

Ia menambahkan PPIH Embarkasi Surabaya mencatat 2.835 calon haji atau 10 persen dari 28.356 calon haji di Embarkasi Surabaya (Jatim, Bali, NTT) merupakan calon haji “risti” dengan usia 60 tahun ke atas. “Mereka akan diawasi sejak berangkat, saat di Tanah Suci, hingga pulang,” katanya.

sumber: www.antaranews.com

 

CDC warns of complacency on global health issues

America is facing a “perfect storm of vulnerability” for exposure to infectious diseases, making public health efforts more important than ever, the head of the Centers for Disease Control and Prevention warned Tuesday.

“There is in some quarters a sense that public health is less and less relevant,” CDC Director Dr. Tom Frieden said during a luncheon at the National Press Club. “Public health is more needed than ever and has more potential than ever.”

The successful fight against many infectious diseases can lead to a sense of complacency, Dr. Frieden warned. But the increasing interconnectedness of the world means America is always at risk of being affected by outbreaks in other nations. A lot of food and medication in the U.S. comes from outside its borders, he said, and it only takes one missed diagnosis to unleash an epidemic.

“A blind spot anywhere in the world is a risk to us,” Dr. Frieden said. “A virus anywhere is just a plane ride away.”

He pointed to the H7N9 strain of the bird flu virus that was diagnosed this year in China. It can be lethal, but the only thing preventing a widespread outbreak is that it doesn’t yet spread from person to person.

The virus could develop that capability tomorrow — or never, Dr. Frieden said.

“There’s nothing that can kill as many people as influenza,” he said, noting that, on average, about 10,000 Americans die each year from the disease.

Dr. Frieden said that his agency is working to develop a vaccine for the latest bird flu strain, and that it launches on average one new investigation into infectious diseases every day. But faced with growing debt and shrinking funds, many cuts are being made to the nation’s health infrastructure, he added.

“Over the past four years, about 46,000 jobs have been eliminated by local and state governments in public health care professions,” he said.

The CDC has also seen its budget dwindle, and Congress authorized the lowest amount in decades — about $5.4 billion — to fund the agency, Dr. Frieden said.

The cuts have stopped investments in the latest technologies, such as advanced molecular detection that can help identify pathogens more quickly than traditional means. The CDC is asking Congress for $40 million in the 2014 fiscal year beginning Oct. 1 to try to get the newest diagnostic technology brought online.

“Every time someone is not there to identify an outbreak we’re putting people at risk,” Dr. Frieden said. “Infectious diseases continue to be and will always be part of our lives.”

And it’s not just natural threats the CDC is concerned about either. The agency remains on the lookout for bioterrorism threats, such as the letters laced with the poison ricin that were sent to Washington earlier this year.

Dr. Frieden was named director of the CDC in 2009. He has worked for the agency since 1990, apart from a seven-year break when he led New York City’s Health Department.

source: www.washingtontimes.com

 

 

1.500 Formula Ramuan Tanaman Obat Ada di Indonesia

Lebih dari 1.500 formula yang diramu dari 24.927 jenis nama lokal tanaman obat ada di Indonesia. Hasil survei Kementrian Kesehatan baru-baru ini menyebutkan, ribuan formula ini didapat dari 20 persen dari 1.168 suku etnis di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Pokjanas TOI (Kelompok Kerja Nasional Tanaman Obat Indonesia), Indah Yuning Prapti mengatakan, kawasan hutan merupakan sumber keragaman hayati tanaman obat. Ini tanggungjawab bersama untuk melindungi semua bahan itu dari kepunahan serta pencurian hayati (biopiracy).

“Seperti hasil survei yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan yang baru meliputi 20 persen dari 1.168 suku etnis di Indonesia telah didapatkan lebih dari 1.500 formula yang diramu dari 24.927 jenis nama lokal tanaman obat di Indonesia,” kata Indah saat seminar “Hutan dan Tumbuhan Obat untuk Kesejahteraan Masyarakat” di IPB Bogor sseperti dikutip dari Antara, Rabu (11/9/2013).

Kegiatan seminar yang diselenggarakan pada 10-12 September di IPB International Convention Center (IICC), Bogor ini juga bekerjasama dengan Kelompok Kerja Nasional Tanaman Obat Indonesia (Pokjanas TOI).

Seminar ini juga dihadiri lebih dari 200 orang yang berasal dari akademisi, peneliti, praktisi, LSM serta institusi pemerintah dan menjadi ajang berbagi informasi hasil-hasil penelitian terbaru mengenai tumbuhan obat, serta membangun hubungan kemitraan yang saling menguntungkan antara sektor hulu dan hilir dalam pemanfaatan tumbuhan obat yang lestari dan berkelanjutan.

sumber: health.liputan6.com

 

Indonesia Negara Endemis Tinggi Hepatitis

Hepatitis masih menjadi masalah utama di Indonesia. Penelitian terakhir menyebutkan 9 dari 100 orang Indonesia terinfeksi hepatitis. Itu berarti Indonesia tergolong negara endemis tinggi terhadap hepatitis.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan Indonesia merupakan negara kedua dengan hepatitis terbesar di kawasan South-East Asia Regional Office (SEARO). Selain Indonesia, negara yang masuk dalam SEARO yaitu Bangladesh, Bhutan, The Democratic People Republic of Korea, India, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Timor-Leste.

Nafsiah mengakui angka itu cukup tinggi karena masyarakat kurang menyadari hidup bersih. “Kebiasaan masyarakat buang air besar di sembarang tempat menjadi salah satu penyebab berjangkitnya hepatitis,” ujarnya.

Selain itu, banyak masyarakat yang kurang peduli dengan kebersihan alat memasak. Mereka juga tak memahami penggunaan jarum suntik. Pemberian imunisasi pada anak-anak pun belum merata.

Di Nusa Tenggara Timur, Menkes mencontohkan sebanyak 27 persen bayi tak mendapat imunisasi hepatitis. “Meski pemerintah sudah menyiapkan imunisasi, tapi masih banyak ibu melahirkan yang tak peduli dan memenuhi kebutuhan imunisasi bayi,” kata Nafsiah.

Untuk mencegah penyebaran Hepatitis, Kemenkes pun mengintensifkan pemberian imunisasi hepatitis pada bayi. Setiap petugas di dinas kesehatan dan puskesmas diminta aktif melakukan penyuluhan tentang pentingnya mencegah hepatitis.

Kemenkes juga terus melakukan skrining donor darah. Menkes mengingatkan petugas kesehatan agar terus melakukan kampanye guna meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terutama meningkatkan perilaku hidup bersih.

Berdasarkan penelitian Kemenkes, diperkirakan 50 persen penderita hepatitis B dan C di Indonesia berkembang menjadi gangguan hati kronis. Sedangkan 10 persennya berpotensi berkembang menjadi kanker hati.

Berdasarkan data lapangan Kemenkes pada 2007 sampai 2012 penderita hepatitis B melebihi 31 persen. Sedangkan peningkatan penderita hepatitis dari 2.000 hingga 2012 mencapai 80 persen.

Hepatitis merupakan masalah kesehatan yang paling umum di negara berkembang yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D, dan E. Hepatitis A dan E sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun penderita hepatitis jenis ini biasanya bisa sembuh.

Sedangkan hepatitis B dan C bisa ditularkan melalui kontak langsung yang dapat menjadi kronis dan menyebabkan kanker hati. Hepatitis D mengenai mereka yang menderita hepatitis B.(Go4)

sumber: www.metrotvnews.com

 

Primary Health Care Now More Than Ever

The WHO (World Health Organization) published on 2008 a very important report on “Primary Heath Care” which in our view should be an essential reading and reference for every primary heath care decision-makers. This is why we will review some of its essential parts. It was also published on the year which marked both the 60th birthday of the WHO and the 30th anniversary of the Declaration of Alma-Ata on Primary Health Care in 1978.

Responding to Challenges

On the whole, people are healthier, wealthier and live longer today than 30 years ago. If children were still dying at 1978 rates, there would have been 16.2 million deaths globally in 2006. In fact, there were only 9.5 million such deaths9. This difference of 6.7 million is equivalent to 18 329 children’s lives being saved every day. The once

revolutionary notion of essential drugs has become commonplace. There have been significant improvements in access to water, sanitation and antenatal care.

This shows that progress is possible. It can also be accelerated. There have never been more resources available for health than now. The global health economy is growing faster than gross domestic product (GDP), having increased its share from 8% to 8.6% of the world’s GDP between 2000 and 2005. In absolute terms, adjusted for inflation, this represents a 35% growth in the world’s expenditure on health over a five-year period. Knowledge and understanding of health are growing rapidly. The accelerated technological revolution is multiplying the potential for improving health and transforming health literacy in a better-educated and modernizing global society. A global stewardship is emerging: from intensified exchanges between countries, often in recognition of shared threats, challenges or opportunities; from growing solidarity; and from the global commitment to eliminate poverty exemplified in the Millennium Development Goals (MDGs).

However, there are other trends that must not be ignored. First, the substantial progress in health over recent decades has been deeply unequal, with convergence towards improved health in a large part of the world, but at the same time, with a considerable number of countries increasingly lagging behind or losing ground.

Furthermore, there is now ample documentation– not available 30 years ago – of considerable and often growing health inequalities within countries.

Second, the nature of health problems is changing in ways that were only partially anticipated, and at a rate that was wholly unexpected. Ageing and the effects of ill-managed urbanization and globalization accelerate worldwide transmission of communicable diseases, and increase the burden of chronic and non-communicable disorders. The growing reality that many individuals present with complex symptoms and multiple illnesses challenges service delivery to develop more integrated and comprehensive case management. A complex web of interrelated factors is at work, involving gradual but long-term increases in income and population, climate change, challenges to food security, and social tensions, all with definite, but largely unpredictable, implications for health in the years ahead.

Third, health systems are not insulated from the rapid pace of change and transformation that is an essential part of today’s globalization. Economic and political crises challenge state and institutional roles to ensure access, delivery and financing. Unregulated commercialization is accompanied by a blurring of the boundaries between public and private actors, while the negotiation of entitlement and rights is increasingly politicized. The information age has transformed the relations between citizens, professionals and politicians.

In many regards, the responses of the health sector to the changing world have been inadequate and naïve. Inadequate, insofar as they not only fail to anticipate, but also to respond appropriately: too often with too little, too late or too much in the wrong place. Naïve insofar as a system’s failure requires a system’s solution – not a temporary remedy. Problems with human resources for public health and health care, finance, infrastructure or information systems invariably extend beyond the narrowly defined health sector, beyond a single level of policy purview and, increasingly, across borders: this raises the benchmark in terms of working effectively across government and stakeholders.

While the health sector remains massively under-resourced in far too many countries, the resource base for health has been growing consistently over the last decade. The opportunities this growth offers for inducing structural changes and making health systems more effective and equitable are often missed. Global and, increasingly, national policy formulation processes have focused on single issues, with various constituencies competing for scarce resources, while scant attention is given to the underlying constraints that hold up health systems development in national contexts. Rather than improving their response capacity and anticipating new challenges, health systems seem to be drifting from one short-term priority to another, increasingly fragmented and without a clear sense of direction.

Today, it is clear that left to their own devices, health systems do not gravitate naturally towards the goals of health for all through primary health care as articulated in the Declaration of Alma- Ata. Health systems are developing in directions that contribute little to equity and social justice and fail to get the best health outcomes for their money. Three particularly worrisome trends can be characterized as follows:

health systems that focus disproportionately on a narrow offer of specialized curative care; health systems where a command-and-control approach to disease control, focused on short term results, is fragmenting service delivery; health systems where a hands-off or laissez-faire approach to governance has allowed unregulated commercialization of health to flourish.

These trends fly in the face of a comprehensive and balanced response to health needs. In a number of countries, the resulting inequitable access, impoverishing costs, and erosion of trust in health care constitute a threat to social stability.

source: news.sudanvisiondaily.com

 

Indonesia Didesak Segera Mengaksesi Konvensi Pengendalian Tembakau


Konferensi Asia Pasifik tentang Pengendalian Tembakau dan Kesehatan (Asia Pacific Conference on Tobacco or Health – APACT) 2013 di Chiba, Jepang yang berlangsung pada 18-21 Agustus lalu secara resmi mendesak pemerintah Indonesia segera mengaksesi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control-FCTC).

“Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi konvensi ini, dimana komitmen pemerintah dalam dunia Internasional untuk turut serta memperhatikan kesehatan rakyat dipertanyakan,” kata Dr. Kartono Mohamad selaku ketua TCSC (Tobacco Control Support Center) di Jakarta, Senin (9/9).

Menurut Kartono, seluruh peserta konferensi yang terdiri dari 785 peserta dari 42 negara sepakat menekan pemerintah Indonesia untuk segera menandatangani peraturan internasional mengenai kesehatan masyarakat ini.

“Jika tidak, Indonesia membahayakan efektifitas upaya pengendalian tembakau yang sudah dilakukan dengan amat baik di kawasan Asia,” imbuhnya.

Disahkan pada 2003 lalu, Konvensi Pengendalian Tembakau sudah diratifikasi oleh 177 negara di dunia. Saat ini di antara negara-negara dengan penduduk terbesar di dunia, Indonesia termasuk negara dari sebagian kecil yang belum mengaksesi FCTC ini.

Indonesia merupakan pasar terbesar ketiga tembakau di dunia. Populasinya terbesar keempat dan prevalensi merokok terus meningkat per tahunnya. Lewat deklarasi itu, Indonesia juga diimbau untuk melarang iklan, promosi, dan sponsor oleh industri tembakau. Artis dan atlet yang tampil di Indonesia juga diimbau agar tidak disponsori industri tembakau.

“Peserta konferensi melihat lambannya pemerintah Indonesia merespon tuntutan masyarakat sipil soal pengendalian tembakau, ini jelas membuat komitmen Indonesia di dunia Internasional dipertanyakan terlebih komitmen untuk mencegah remaja kecanduan nikotin,” tutup Kartono.

sumber: www.beritasatu.com

 

RUU Keperawatan Jangan Macet Karena Judul

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang Keperawatan (RUU Keperawatan) sebaiknya tidak terhenti karena perdebatan judul. Sebab, keberadaan undang-undang keperawatan penting bagi perlindungan hukum profesi perawat. Dengan undang-undang itu, kesejahteraan perawat lebih terjamin, begitu pula distribusi mereka ke seluruh Indonesia. Demikian dikatakan oleh Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR RI, di Jakarta (9/9/2013).

Sebenarnya, saat membicarakan terkait perawat, otomatis tentang kebidanan pula. Maka, debat tentang perlu atau tidaknya kata “dan kebidanan” ditambahkan ke judul RUU Keperawatan, tidak terlalu penting. Perdebatan harus lebih mengarah ke hal-hal yang lebih substansif, kata legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu. Lebih baik RUU Keperawatan bernasib sama dengan Revisi Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada revisi tersebut, perdebatan judul memerlukan waktu dua kali masa sidang. “Kalau RUU Keperawatan tidak selesai di masa sidang ini, berarti harus diperpanjang di periode berikutnya. Karena tenggatnya terlewati, sehingga harus mulai dari awal lagi,” ia berkata. Penyelesaian RUU Keperawatan merupakan salah satu rekomendasi hasil Rapat Kerja Nasional PDIP yang berlangsung akhir pekan kemarin. “Fraksi PDIP ditugaskan untuk mempercepat pembahasan RUU Keperawatan,” kata Rieke.

 

Scientists Hope New Rice Will Help Poor Children

Could rice help prevent blindness and even death in children?

The International Rice Research Institute believes so. IRRI is pushing field trials so that farmers could their sow fields by 2015 with a new rice variety — called golden rice – that could help address Vitamin A deficiency. A lack of the vitamin is a leading cause of preventable blindness and is linked to death due to infections in many poor countries.

The World Health Organization estimates that 250 million young children don’t get enough Vitamin A. Up to 500,000 of these young children go blind every year. Half die within a year of losing their sight.

The golden rice program has received the backing of such groups as the Bill and Melinda Gates Foundation, Helen Keller International, the Rockefeller Foundation and the U.S. Agency for International Development. USAID provided $10.3 million in 2010 that is paying for research on golden rice’s safety and field trials in the Philippines and Bangladesh.

But opponents, such as Greenpeace International, say oppose the rice, warning that genetically modified organisms could unleash serious, long-lasting problems in the environment. Greenpeace successfully petitioned the Philippine Supreme Court to stop the government’s field trials of genetically modified egglant. It has yet to decided whether it will go to court to block golden rice.

“There are already working solutions to address fortification of everyday food, not just with Vitamin A but other micronutrients,” said Danny Ocampo of Greenpeace.

A small clinical test on people of the bio-fortified rice was conducted in the U.S. in 2009. IRRI plans to do testing on animals through their feed as early as next year, followed by tests on humans. It is unclear whether golden rice will taste as good as other rice and whether consumers will want to buy it. An iron-fortified rice now being sold by the Philippine government is cheap, but some consumers who can afford more expensive rice avoid it because they say it doesn’t taste as good.

Golden rice gets its name from its yellow color. The variety was engineered by introducing a few genes–initially from daffodils, then from yellow corn–so that the grains’ edible part produces beta carotene, a pigment that gives fruits and leafy vegetables their color and that the human body converts into Vitamin A. Rice can produce beta carotene in its leaves.

The first scientific details of golden rice were made public in 2000. At that time, it was an eight-year-old project of Professor Ingo Potrykus of the Swiss Federal Institute of Technology and Dr. Peter Beyer of the University of Freiburg in Germany addressing malnutrition.

Swiss agribusiness company Syngenta AGSYNN.VX 0.00% in 2005 produced new golden rice materials that produced 23 times more beta carotene than the original breed. But instead of producing it commercially, Syngenta decided a year later to donate it to IRRRI to make the bio-fortification of rice a humanitarian project.

“Our hope is that farmers everywhere will be planting their fields with golden rice in two years,” Dr. Bruce Tolentino, a deputy director general at IRRI, told The Wall Street Journal. He said after field trials this year, IRRI hopes to feed golden rice to animals and then to humans by next year.

He said scientists decided to bio-fortify rice because other food products are more expensive and aren’t part of most people’s diet.

“Half of the world eats rice and 70% of the poor eats rice. So why not make it more healthy,” Dr. Tolentino added.

IRRI estimates that per-capita consumption of rice is around 65 kilograms a year worldwide. And in developing Asia, the consumption doubles to 135 kilos in Indonesia and triples to 200 kilos in Myanmar. Per-capita consumption of rice in the Philippines is around 120 kilos a year.

But golden rice is sparking opposition in the Philippines. In early August, an experimental farm in the Philippine town of Pili, which is testing whether golden rice could grow and be produced in various climatic conditions in this archipelago of more than 7,000 islands, was vandalized.

But Dr. Evangeline dela Trinidad, a plant pathologist designated by Philippines’ Department of Agriculture to lead the golden rice trials in Pili town, said of opponents, “It’s fear of the unknown.”

IRRI is collaborating with the Philippine Rice Research Institute and the agriculture department for Philippine trials. Golden rice trials are also being conducted in Indonesia and Bangladesh.

Dr. dela Trinidad pointed to special corn and cotton called bt corn and bt cotton, with the bt referring to bacillus thuringiensis, a naturally occurring soil bacteria that produces proteins to stop target insects, such as the corn borer that reduces corn production.

Bt corn and Bt cotton are already being cultivated and produced in the Philippines, without the negative problems critics warned about.

“Bt corn is already being commercially produced in Isbela,” said Dr. dela Trinidad, referring to the northern Philippine province that is a major producer of the grain. “We also have Bt cotton,” she added.

IRRI points to a small trial on golden rice by The American Journal of Clinical Nutrition in 2009 that had five volunteers from Boston that showed 100 grams of the new variety could provide up to 70% of the recommended dietary allowance of Vitamin A for both men and women. Because that study only involved adult Americans, IRRI had to “speculate” that 50 grams of golden rice would provide children aged four to eight greater than 60% of the recommended dietary allowance.

source: blogs.wsj.com

 

Program CEPAT USAID bantu penderita TB di Indonesia

Wakil Direktur Badan Pengembangan Amerika Serikat (USAID) Derrick Brown dan Direktur Jenderal Badan Pengendalian Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan Dr Tjandra Yoga Aditama meluncurkan dana $12.000.000 untuk Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Melawan Tuberkulosis (CEPAT) pada 3 September.

Program CEPAT USAID mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk memerangi tuberkulosis (TB) dan meningkatkan akses terhadap diagnosis dini TB dini secara efektif dan cara penanggulangannya.

“Atas nama rakyat Amerika, USAID bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia memerangi tuberkulosis dan menyelamatkan nyawa manusia,” kata Brown. “Bersama dengan mitra kami, kami akan meningkatkan kesadaran tentang TB dan mendeteksi gejala tersebut secara dini. Kami juga membantu pengobatan mereka. USAID bangga bisa bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan mendukung program TB mereka.”

“CEPAT mendukung Program Indonesia Tuberkulosis Nasional untuk mencapai akses universal terhadap kualitas dan diagnosis dini serta pengobatan TB di antara semua penyedia layanan,” kata Dr Tjandra. “CEPAT dirancang dalam koordinasi yang erat dengan Program TB Nasional (NTP) dan dimaksudkan untuk mendukung Sistem Masyarakat Penguatan, Yang merupakan salah satu dari enam pilar NTP Model komprehensif untuk pengendalian TB di Indonesia.”

Program ini akan meningkatkan jumlah penderita TB yang akan dites dan disembuhkan untuk wilayah Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Papua, dan Papua Barat.

CEPAT bekerja dengan masyarakat dan organisasi lokal untuk menargetkan orang-orang yang tinggal di daerah kumuh perkotaan, pengungsi dan mobile, yang tidak diasuransikan dan orang-orang dengan kekebalan tubuhnya berkurang akibat kekurangan gizi atau infeksi HIV.

Program CEPAT USAID akan dilaksanakan oleh tiga organisasi Indonesia: Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), Jaringan Kesehatan Masyarakat (JKM) dan Katolik Roma Keuskupan Timika (RCD).

Awal tahun ini, USAID diakui kepemimpinan global Indonesia dalam memerangi TB dalam upacara di Washington DC dan Jakarta, menyoroti kemajuan Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium untuk TB. Namun kemajuan ini perlu dipercepat, karena Indonesia masih di antara lima negara teratas global dengan infeksi TB tertinggi.

Ada sekitar 450.000 kasus TB baru dan 65.000 kematian terkait TB di Indonesia setiap tahun. Berbagai jenis obat untuk TB sedang meningkat. Sekitar 30 persen kasus TB di Indonesia diperkirakan tidak terdeteksi, dan banyak pasien yang terlambat didiagnosa.

USAID bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah untuk mengurangi ancaman penyakit menular dan memberikan pelayanan untuk mengurangi angka kematian.

Dukungan kami untuk memerangi TB merupakan komponen penting dari kemitraan kami secara keseluruhan dengan Indonesia di bidang kesehatan dan termasuk dalam Kerjasama Komprehensif AS-Indonesia, sebuah komitmen yang dibuat oleh Presiden Obama dan Presiden Yudhoyono untuk memperdalam hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Indonesia.

sumber: www.waspada.co.id