Total 2 Miliar Orang di Dunia Terinfeksi Virus Hepatitis B

Penyakit hepatitis kini menjadi ancaman serius bagi seluruh masyarakat dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam A Strategy for Global Action tahun 2012 mencatat khusus hepatitis B saja telah menginfeksi 2 miliar orang di dunia.

Lebih dari 350 juta orang di antaranya merupakan pengidap virus hepatitis B kronis, dan 150 juta penderita hepatitis C kronis. Sebanyak 350.000 di antara penderita hepatitis C meninggal dunia setiap tahunnya, dan antara 850.000 sampai 1,05 juta penduduk dunia meninggal setiap tahun disebabkan infeksi hepatitis B dan C.

“Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia. Saat ini hepatitis yang kita kenal adalah hepatitis A, B, C, D, dan E. Yang paling banyak dan berpengaruh terhadap morbiditas serta ekonomi yaitu virus hepatitis A, B, dan C,” kata Menteri Kesehatan Nasfsiah Mboi di sela-sela acara peringatah Hari Hepatitis Sedunia ke-4 tahun 2013, yang ditandai dengan pelepasan jalan sehat untuk kampanye hepatitis yang diikuti ribuan orang, di Lapangan Monas, Jakarta, Minggu (8/7).

Menkes mengungkapkan, Indonesia sendiri tergolong negara dengan endemisitas tinggi, sehingga merupakan negara dengan pengidap hepatitis terbesar kedua di antara negara anggota WHO South East Asia Regional Office(SEARO), seperti Bangladesh, Bhutan, Korea, Maldives, Myanmar, dan Nepal.

Diperkirakan 9 di antara 100 orang di Indonesia terinfeksi hepatitis B.

Estimasi penderita hepatitis B dan C sebanyak 25 juta, di mana 50 persen atau sekitar 12,5 di antaranya diperkirakan akan menjadi chronic liver disease (penyakit liver kronis), dan 10 persen atau 1,25 juta akan menjadi liver fibrosis. Jika tanpa penanganan yang intensif penderita yang sudah liver fibrosis akan menjadi kanker hati.

“Karena itulah tujuan dari peringatan Hari Hepatitis Sedunia ini bertujuan meningkatkan kepedulian dan perhatian kita mengenai pentingnya pengendalian virus hepatitis,” kata Menkes.

Adapun, lanjut Menkes, tema yang diusung pada Hari hepatitis Sedunia tahun ini mengandung makna bahwa hepatitis virus perlu mendapat perhatian lebih. Sudah saatnya semua pihak peduli dan memberi dukungan yang nyata dalam penanggulangan penyakit mematikan ini.

Keberhasilan pengendalian hepatitis sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak, termasuk lintas sektor pemerintah pusat dan daerah, organisasi profesi, dan seluruh lapisan masyarakat.

“Hepatitis merupakan masalah kesehatan dunia, termasuk Indonesia. Untuk itu saya mengimbau pada kesempatan ini, agar kita secara bersama-sama bahu-membahu berupaya dalam pengendalian hepatitis secara serius melalui gerakan pemerintah bersama masyarakat,” kata Menkes.

sumber: www.beritasatu.com

 

MK Tolak Ubah Penafsiran Iuran Kesehatan SJSN

Jakarta, PKMK. Mahkamah Konstitusi RI (MK) menyatakan menolak permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal/ayat dan undang-undang tersebut dinilai telah memakai prinsip gotong royong. “Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak keseluruhan permohonan,” kata Akil Mochtar, Ketua MK, dalam pembacaan keputusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta (5/9/2013).

Undang-undang tersebut, Akil mengatakan, mewajibkan warga yang mampu untuk membayar premi ataupun iuran asuransi. Selain untuk diri sendiri, iuran itu juga sekaligus untuk membantu warga yang tidak mampu. “Jadi, prinsip gotong royong ada di undang-undang itu,” kata Akil. Keputusan penolakan tersebut muncul dari rapat permusyawaratan hakim konstitusi yang telah berlangsung Selasa, 26 Maret 2013. “Sedangkan keputusan tersebut selesai diucapkan pada Kamis (5/9),” tambah Akil. Pemohon uji materi itu adalah M. Komarudin dan rekan dari Dewan Pimpinan Pusat Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia. Sedangkan bertindak sebagai kuasa hukum adalah Andi Muhammad Asrun dan kawan-kawan. Pasal 27 Ayat 1 tersebut berbunyi sebagai berikut: “Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja”. Pasal tersebut mengatur iuran jaminan kesehatan di SJSN. Pemohon meminta agar frasa “sampai batas tertentu” dimaknai: “Besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas besaran dua kali pendapatan tidak kena pajak”.

 

Buruh tuntut jaminan kesehatan tak diselewengkan

Ribuan buruh menuntut asistem jaminan kesehatan yang mulai 1 Januari 2014 dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tidak diselewengkan.

“Kami menuntut agar jaminan kesehatan di Indonesia tidak lagi diselewengkan,” kata seorang orator demonstrasi di depan Istana Negara, Kamis.

Demonstran menilai seharusnya tidak ada lagi warga Indonesia yang ditolak rumah sakit karena tidak memiliki biaya pengobatan.

“Kalau ada rumah sakit yang menolak pasien karena biaya, akan kami kepung,” teriak sang orator.

Selain jaminan kesehatan, para buruh juga menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP) naik hingga 50 persen untuk nasional dan Rp3,7 juta untuk wilayah Jakarta.

Mereka juga menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mencabut instruksi presiden tentang penetapan UMP.

Dari pantauan ANTARA News, demonstran melanjutkan beraksi di Kementerian Kesehatan. Mereka juga berkumpul di depan patung MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

sumber: www.antaranews.com

 

Kuota Tenaga Kesehatan Belum Jelas

Kuota penyebaran tenaga kesehatan baik dokter, bidan, maupun perawat di daerah belum jelas. Penyusunan kuota bagi tiap daerah belum diimplementasikan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) secara jelas di hadapan Komisi IX DPR. “Bagaimana dengan penyusunan kuota bagi setiap daerah untuk tenaga kesehatan. Belum ada anggaran untuk tenaga kesehatan di daerah-daerah yang memang sudah ada kuotanya,” kata Okky dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan di Jakarta, Selasa (3/9/13).

Diungkapkan, banyak dokter yang mendatanginya untuk berkeluh kesah soal kebijakan Menkes. Banyak tenaga medis termasuk dokter yang masih berstatus PTT dan hingga kini belum jelas kapan bisa diangkat menjadi PNS. Okky lalu membuka keluhan para calon dokter yang mengadukan pernyataan Menkes dalam rapat dengan Komisi IX tersebut.

Kata Okky, Menkes pernah mengatakan kepada para calon dokter PTT itu, “Bila tidak lulus sebaiknya jadi pengusaha saja atau mencalonkan diri jadi bupati.” Kata-kata ini sangat disayangkan bisa keluar dari seorang Menkes.

Okky berharap, agar para tenaga kesehatan PTT yang sudah terlalu lama mengabdi segera diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS. Dan mereka tersebar di beberapa daerah terpencil. Saat ini, pegawai di Kemenkes mencapai 52.427 orang. Jumlah itu terdiri dari dosen sebanyak 3.518 orang dan non dosen 48.909 orang. (A-109/A-108)***

sumber: www.pikiran-rakyat.com

 

Tertinggi di Indonesia, 11.151 warga Sulbar pecandu narkoba

Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 11.151 penduduk Sulawesi Barat (Sulbar) merupakan pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang. Prevalensi penyalahgunaan narkoba di Sulbar sebesar 1,8 persen atau sekitar 11.151 orang dari jumlah penduduk Sulbar sebanyak 619.498 Jiwa.

“Data itu didapatkan dari hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes-UI),” kata Perwakilan BNN, Dokter Jolan Tedjokoesoema pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema rehabilitasi adiksi pengguna narkoba berbasis masyarakat yang digelar di Mamuju, Rabu (4/9).

Seperti diberitakan Antara, menurut dia pecandu narkoba di Sulbar yang tinggi karena belum mendapatkan rehabilitasi secara maksimal sebagai bentuk penanggulangannya. Namun bukan hanya di Sulbar yang tidak maksimal mendapatkan rehabilitasi, tetapi juga secara nasional, rehabilitasi pecandu narkoba tidak maksimal.

“Dari total penyalahgunaan narkoba di Indonesia, sebesar 4,7 juta orang hanya sekitar 18.000 atau 0.47 persen yang mendapat layanan terapi dan rehabilitasi, karena terbatasnya sarana rehabilitasi di Indonesia,” katanya.

Ia menjelaskan terdapat empat panti rehabilitasi di Indonesia di antaranya di Sukabumi Jawa Barat, Sulawesi Selatan, serta di pulau Batam, Provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang baru akan dibangun tahun ini.

“Jumlah panti rehabilitasi hanya mampu menampung 2000 orang pecandu narkoba, tidak sebanding dengan jumlah pecandu narkoba yang ada di negara ini,” katanya

sumber: www.merdeka.com

 

Life expectancy gap growing between women in rich and poor countries

Life expectancy for women at 50 has improved, but the gap between poor and rich countries is growing and could worsen without better detection and treatment of cardiovascular disease and cancers, the World Health Organization (WHO) said on Monday.

A WHO study, one of the first to analyze the causes of death of older women, found that in wealthier countries deaths from noncommunicable diseases has fallen dramatically in recent decades, especially from cancers of the stomach, colon, breast and cervix.

Women over 50 in low and middle-income countries are also living longer, but chronic ailments, including diabetes, kill them at an earlier age than their counterparts, it said.

“The gap in life expectancy between such women in rich and poor countries is growing,” said the WHO study, part of an issue of the WHO’s monthly bulletin devoted to women’s health.

There is a similar growing gap between the life expectancy of men over 50 in rich and lower income countries and in some parts of the world, this gap is wider, WHO officials said.

“More women can expect to live longer and not just survive child birth and childhood. But what we found is that improvement is much stronger in the rich world than in the poor world. The disparity between the two is increasing,” Dr. John Beard, director of WHO’s department of aging and life course, said in an interview at WHO headquarters.

Beard, one of the study’s three authors, said: “What it also points to is that we need particularly in low and middle-income countries to start to think about how these emerging needs of women get addressed. The success in the rich world would suggest that is through better prevention and treatment of NCDs.”

In women over 50 years old, noncommunicable diseases (NCDs), particularly cancers, heart disease and strokes, are the most common causes of death, regardless of the level of economic development of the country in which they live, the study said.

Health ministers from WHO’s 194 member states agreed on a global action plan to prevent and control noncommunicable diseases at their annual ministerial meeting last May.

Developed countries have tackled cardiovascular diseases and cancers in women with tangible results, the WHO study said.

Fewer women aged 50 years and older in rich countries are dying from heart disease, stroke and diabetes than 30 years ago and these improvements contributed most to increasing women’s life expectancy at the age of 50, it said. An older woman in Germany can now expect to live to 84 and in Japan to 88 years, against 73 in South Africa and 80 in Mexico.

“That reflects two things, better prevention, particularly clinical prevention around control of hypertension and screening of cervical cancer, but it also reflects better treatment,” Beard said.

“I think that is particularly true for breast cancer where women with breast cancer are much better managed these days in the rich world. That also explains the disparity,” he said.

Low-income countries, especially in Africa, offer community services to treat diseases like AIDS or offer maternal care but many lack services to detect or treat breast cancer, he said.

In many developing countries, there is also limited access to high blood pressure medication to treat hypertension, one of the biggest risk factors for death, he added.

Women with cardiovascular disease and cancers need the kind of chronic treatment provided to those with HIV/AIDS, he said.

source: www.thestar.com

 

Kebijakan Kesehatan Sering Irasional

Para pengambil keputusan di sektor kesehatan di Indonesia sering memutuskan kebijakan hanya berdasarkan intuisi.

Tidak berdasarkan data-data yang akurat, sehingga sering muncul kebijakan irasional di bidang tersebut. Akibatnya cukup fatal. Banyak kemudian muncul kasus-kasus kematian yang mestinya tidak perlu.

“Dengan kebijakan berdasar intusisi tersebut, maka hampir bisa dipastikan akan muncul dampak kematian yang tak perlu. Harga yang harus dibayar pun sangat mahal, Indonesia akan semakin terpuruk di bidang kesehatan,” kata Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, Prof.Dr.Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, di Yogyakarta, Senin (2/9/2013).

“Korupsi merupakan salah satu faktor yang banyak mempengaruhi kebijakan irasional di sektor kesehatan. Terutama, menyangkut pembelian berbagai alat kesehatan maupun obat-obatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan,” jelas Laksono yang juga guru besar FK UGM itu.

Kebijakan sektor kesehatan di Indonesia juga banyak yang longgar. Salah satunya mengenai larangan merokok yang terkenal paling longgar di dunia.

Sebagai ajang dialog antara akademisi dan para pengambil kebijakan, PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM memprakarsai digelarnya Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, sekaligus Konas IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) ke 12, di Kupang, NTT, 4-7 September 2013. (Fetika Andriyani/BCS)

sumber: rri.co.id

 

Survei: Belanja Kesehatan dan Kemiskinan Pemda Mengecewakan

Kampanye sejumlah partai politik terkait pemilihan gubernur ditandai dengan serangkaian janji-janji kandidat untuk merealisasikan peningkatan dalam penyediaan progran kesehatan dan pengentasan kemiskinan. Namun, tampaknya janji-janji itu menguap seiring dengan terpilihnya sang kandidat menuju kursi nomor 1 di tingkat provinsi.

Indonesia Governance Index yang berhasil dikumpulkan oleh para peneliti menunjukkan bahwa pejabat terpilih di 33 provinsi di seluruh Indonesia ternyata hanya memberikan sedikit perhatiannya di bidang kesehatan dan peningkatan kemiskinan.

Dalam acara peluncuran nasional hasil indeks tata kelola pemerintahan Indonesia Governance Index IGI di

Jakarta (2/9) dipaparkan, belanja terbanyak dalam bidang kesehatan dilakukan provinsi Bangka Belitung dan itupun hanya sekitar Rp 170.000,- per orang setiap tahun.

Yang paling rendah investasi kesehatannya ironisnya ditemukan di provinsi yang kinerja keseluruhannya paling baik, DI Yogyakarta yang hanya mengalokasikan Rp.5.807,- per kapita tiap tahunnya.

“Angka-angka untuk pengentasan kemiskinan yang paling tinggi ditemukan di Bali dan jumlahnya kurang dari Rp 366 ribu per orang miskin setahun. Yang paling rendah ada di Nusa Tenggara Timur dengan Rp 20.900,- per orang miskin setahun,” papar Abdul Malik Gismar, Ph.D., selaku penasihat senior IGI.

IGI menelaah kinerja 33 pemerintahan provinsi dan bagaimana mereka memutuskan prioritas pembangunan dan penyediaan pelayanan masyarakat.

Indeks yang dibuat oleh Kemitraan ini membuat penilaian dengan mengukur empat arena tata kelola pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif,birokrasi, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomis. Tiap provinsi diberi angka 1 hingga 10. 1 untuk paling rendah, dan 10 untuk yang terbaik.

Lebih lanjut Abdul Malik menyatakan bahwa, peneliti IGI menemukan rata-rata di 33 provinsi hanya ada 74,6 persen ibu melahirkan dibantu dengan petugas medis. Angka terendah ada di Sumatera Barat dengan 42.81 persen sedangkan perolehan tertinggi diraih oleh DI Yogyakarta.

Dari temuan penting lain yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, terdapat fakta bahwa 16 provinsi tidak memiliki unit untuk menampung keluhan warga tentang pelayanan untuk mengurangi kemiskinan.

Ini memicu pertanyaan apakah pemerintah provinsi sebenarnya memiliki mekanisme untuk mencari tahu dan memastikan apakah program-program awal yang dicanangkan benar-benar menjangkau masyarakat miskin sesuai target.

sumber: www.beritasatu.com

 

Doctors in many countries don’t wash hands properly 40pc of the time

The World Health Organization has revealed that that medical professionals in hospitals in five countries didn’t always wash their hands effectively, thus failing to prevent the spread of infections to patients and other staff members.

WHO’s Clean Care is Safer Care program was established to educate doctors and nurses on correct hand-hygiene practices, which can reduce the risk and spread of infections.

A study from the World Health Organization (WHO) found that doctors in several countries don’t wash their hands the right way 40 percent of the time, the New York Daily News reported.

Nurses at the 43 hospitals across Costa Rica, Mali, Pakistan, Saudi Arabia and Italy that were reviewed had the highest compliance rates at 71percent, WHO said.

The study, which took place from 2006 to 2008, was related to WHO’s Clean Care is Safer Care program. The organization has set out to teach medical professionals about proper hand hygiene in order to reduce the risk of infection and help prevent the spread of drug-resistant bacteria and viruses.

WHO says doctors and nurses should use alcohol-based rub or soap and water on their hands at five key moments: before touching a patient, before aseptic or sterile procedures, after they come into contact with bodily fluids, after touching a patient and after touching a patient’s surroundings.

The findings were recently published in “Lancet Infectious Diseases.” (ANI)

source: truthdive.com

 

Ilmuwan Indonesia Temukan Cara Baru Cegah Katarak pada Anak

Para peneliti mengidentifikasi neuron jenis penghambat, yang menjadi kunci penting dalam perkembangan kemampuan melihat pada anak.

Dengan menemukan peran utama jenis inhibitory neuron yang menjadi kunci dalam memediasi bagian penting dari pengembangan penglihatan, Dr. Taruna Ikrar, PhD ilmuwan asal Indonesia, yang bekerja sebagai Staff Academik dan Saintis di UC Irvine dan juga sebagai, dengan bekerjasama dengan group neurobiologists di UCLA telah menemukan pendekatan baru untuk memperbaiki gangguan penglihatan pada anak-anak yang menderita katarak atau amblyopia.

Pendekatan baru ini bahkan dapat dilakukkan sebagai pencegahan sejak awal, sehingga kelak dapat mengurangi kecacatan pada penglihatan anak tersebut.

Sebagai mana diketahui, bahwa anak-anak yang menderita amblyopia dan katarak dalam perkembangannya dapat mengakibatkan cacat permanen pada penglihatan, bahkan sekalipun telah dilakukan operasi pengangkatan katarak atau dan memperbaiki aksis amblyopia (Kelemahan penglihatan).

Kekurangan ini sering merupakan akibat dari perkembangan system saraf otak yang tidak benar atau dengan kata lain terjadi suatu kesalahan dapat perkembangan system saraf dalam fase pertumbuhan anak tersebut.

Demikian pula karena kelemahan visual selama masa kanak-kanak. Sebaliknya, ketika terjadi katarak pada orang dewasa akan dilakukan pembedahan koreksi atau pemulihan penglihatan.

Pada penemuan tersebut, ditemukan fenomena menarik yang ditunjukkan oleh jenis atau tipe tertentu pada inhibitory neuron (neuron penghambat), yang mengontrol fase atau waktu, “periode kritis,” dari pertumbuhan dan perkembangan dalam fase awal penglihatan, sebelum anak berusia 7 tahun.

Hasil penelitian ini diterbitkan di Nature secara online pada tanggal 25 Agustus 2013. Nature Minggu ke-4 Agustus 2013.

Para peneliti menemukan bahwa fungsi yang tidak tepat dari neuron atau saraf kunci selama periode kritis dalam perkembangan yang bertanggungjawab terhadap kecacatan penglihatan ini.

Selain itu, dalam tes pada tikus, Dr. Taruna Ikrar bersama teamnya menggunakan senyawa obat tertentu dalam percobaan tersebut, untuk membuka kembali fase atau periode kritis ini yang menunjukkan modifikasi dan pengaruh obat tersebut dapat merangsang dan mengobati kecacatan saraf, yang diakibatkan oleh gangguan penglihatan mata selama fase awal pengembangannya.

Demikian pula, mereka menunjukkan bahwa obat yang ditargetkan pada neuron yang spesifik dan menjadi kunci pengaturan periode kritis tersebut, menunjukkan mengalami perbaikan gangguan penglihatan sentral pada anak-anak yang pernah menderita amblyopia atau katarak awal.

“Jenis neuron yang spesifik tersebut, meregulasi fase atau periode kritis selama perkembangan anak, yang selam ini masih menjadi misteri,” kata Dr. Taruna Ikrar. “Terobosan kami menguraikan jalan baru untuk perawatan yang dapat mengembalikan penglihatan normal pada anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan awal.”

Penulis: Faisal Maliki Baskoro/FMB

sumber: www.beritasatu.com