Rokok Perlambat Pencapaian MDGs Bidang Kesehatan

Rokok dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh asap rokok menjadi salah satu faktor penyebab lambannya pencapaian MDGs di Indonesia.

Menurut dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Made Kerta Duana, bahwa rokok menjadi salah satu penyebab lambannya pencapaian Millenium Develompment Goals (MDGs) di bidang kesehatan itu disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboy di Denpasar, Sabtu (30/8), saat bertemu dengan sejumlah aktivis yang menolak Konferensi Tembakau Asia.

“Dari pertemuan dengan Ibu Menteri Kesehatan diketahui salah satu faktor utama munculnya berbagai penyakit menular dan penyakit mematikan lainnya adalah merokok. Merokok saat ini menjadi salah satu tantangan besar dalam pembangunan kesehatan di Indonesia pasca-MDGs,” ujar Duana menirukan kata-kata Menkes saat ditemui di Denpasar, Minggu (1/9).

Menurutnya, pernyataan Menkes didukung oleh data yang dikeluarkan oleh Intern Union Againts Tobbaco. Koordinator Intern Union Againts Tobbaco Tara Singh Bams mengatakan, setiap tahun ada 200.000 orang di Indonesia tewas karena rokok.

Sementara itu, di seluruh dunia ada 100 juta lebih penduduk terpapar asap rokok setiap tahun. Belum lagi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh asap rokok. “Rokok itu penyebab utama penyakit,” katanya.

Di Indonesia saat ini terdapat 67% perokok laki-laki, sedangkan perokok perempuan sebanyak 4,5 persen. Jumlah itu masih lebih kecil jika dibandingkan dengan China. “Namun, bila dibandingkian antara jumlah penduduk China dan Indonesia, prevelensi itu sangat besar jumlahnya,” katanya.

Dari hasil penelitian, sambung Tara, sejak 1995 sampai hari ini jumlah perokok baru dari kalangan anak-anak muda Indonesia jumlahnya terus bertambah. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk meredam tumbuhnya perokok pemula, Tara berharap sponsor-sponsor rokok pada dunia pendidikan yang begitu besar di Indonesia bisa dibatasi.

“Membatasi sponsor oleh (perusahaan) rokok, bahwa pendidikan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.

Solusi lainnya yang harus dilakukan adalah menaikkan harga produk rokok. Di Indonesia, dengan uang US$1 seseorang bisa mendapatkan sebungkus rokok. “Di Singapura, harga satu bungkus rokok mencapai US$15. Itupun tidak jual eceran seperti di Indonesia,” jelasnya. (Arnoldhus Dhae)

sumber: www.metrotvnews.com

 

Tobacco Control: Group Launches Health Campaign Via Social Media, Game App

A non-governmental organisation, Tobacco Control Nigeria, recently launched its public health and policy change campaign project using social media to advance tobacco control and support the passage of a comprehensive Tobacco Control (TC) law compliant with the World Health Organization’s Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Using dance and drama, performed by university students and a music artist named Vocal Slender, the group began the launch activities of its social media campaign holding crowds bound with its message on the streets of Ajegunle in Lagos.

Speaking about the project, the representative of Campaign for Tobacco Free Kids, Mrs Hilda Ochefu stated that “Smokers are victims and are not bad people, we have a responsibility to educate them and urge them to quit”. Mr. Phillip Jakpor, representing Mr. Bode Oluwafemi, Director, Environmental Rights Action (ERA), also lauded the launch of the Tobacco Control Nigeria Social Media Campaign, saying that health must be prioritized over revenue.

“600,000 people are dying annually from second hand smoking” therefore efforts are being made to ensure that the Federal Government signs the bill into law by December 2013.”

source: www.channelstv.com

 

Jika Rupiah Terus Melemah, Harga Obat Bakal Melambung

Pelemahan rupiah terhadap dolar bisa menjadikan biaya kesehatan semakin mahal. Pasalnya, industri farmasi harus bergerak sendiri tanpa adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk insentif ataupun keringanan pajak. Maka dari itu, jangan heran apabila biaya untuk bisa sehat menjadi lebih mahal. Hal tersebut seperti diungkapkan Direktur Eksekutif GP Farmasi Darojatun Sanusi saat ditemui di Jakarta, Rabu (28/8).

“Industri farmasi dibebankan dari berbagai macam sisi. Seperti dari pajak PPN maupun pajak alat kesehatan yang masuk dalam pajak penjualan barang mewah (PpnBM), perizinan yang rumit serta yang terakhir adalah nilai kurs rupiah yang melemah sehingga bisa membuat harga obat yang lebih banyak impor bisa mengalami kenaikan,” ujar Darojatun.

Ia menyebutkan bahwa hampir sebagian besar bahan baku obat adalah produk impor. Seperti untuk obat tanpa nama dagang maka kandungan impornya mencapai 70-75% sementara obat dengan nama dagang maka kandungan impornya bisa mencapai 30%. “Saat inikan rupiah melemah hampir melesat 20%, maka dari itu kenaikan harga obat bisa mencapai 6-12%. Akan tetapi, saat ini industri farmasi masih menunggu nilai rupiah. Kalau memang terjadi berkepanjangan maka harga obat bisa akan naik,” ucapnya.

Namun demikian, Darojatun memastikan dalam 2-3 bulan terakhir tidak akan ada kenaikan harga obat lantaran stok impor obat yang dilakukan oleh pengusaha farmasi masih ada sehingga tidak akan mempengaruhi harga obat. “Komponen kenaikan harga obat kan bukan hanya dari nilai tukar rupiah saja, akan tetapi bisa dari biaya transportasi, kenaikan UMP yang diisukan hampir 50%, serta listrik,” jawabnya.

Sebenarnya, lanjut dia, pengusaha masih bisa menahan tidak akan menaikkan harga tatkala nilai tukar rupiah terhadap dolar plus minus 5-7% dari yang ditetapkan dalam APBN. Namun situasi sekarang berbeda, karena rupiah melemah mencapai 20%. Tidak hanya rupiah saja yang membuat sektor farmasi beserta turunannya jadi mahal. Jika terus seperti ini, maka bisa jadi penyelenggaraan ASEAN Economic Community (AEC) di 2015 membuat industri farmasi Indonesia akan kalah bersaing dengan negara ASEAN lainnya. “Jika daya saing industri farmasi Indonesia kalah bersaing, maka bisa jadi nanti penyelenggaraan BPJS justru dinikmati oleh industri farmasi dari negara ASEAN lainnya,” katanya.

Agar bisa meningkatkan daya saing, kata dia, maka dibutuhkan insentif kepada industri farmasi. “Semua bahan baku obat di negara-negara ASEAN rata-rata impor akan tetapi yang membedakannya adalah insentif. Insentif di negara-negara ASEAN jauh lebih besar dari pada di Indonesia. Sementara kita dibebankan dengan berbagai macam masalah seperti permintaan kenaikan UMP hampir 50%,” imbuhnya.

Padahal, jika Pemerintah bisa memberi perhatian dan mempermudah perizinan terhadap industri farmasi maka akan banyak manfaatnya. Misalnya akan banyak menyerap sektor tenaga kerja, penyerapan pajak. “Tetapi, Pemerintah susah banget. Seperti contoh ada perusahaan farmasi yang ingin pindah dari kawasan Puncak, Bogor ke kawasan industrial estate. Tetapi baru dapat izin 4-5 tahun kedepan, padahal perusahaan tersebut mempunyai alat-alat yang canggih,” tegasnya.

Saat ini, kata Darojatun, yang dibutuhkan adalah insentif baik dari sisi penelitian riset and development, pengurangan pajak. “Kan mungkin saja segala sesuatunya dipermudah dan dipercepat karena hal itu diberikan Pemerintah tanpa mengurangi kewenangannya. Kalau ingin mengurangi beban pasien, ya mesti memberikan insentif baik dari sisi pajak. Karena kalau dikenakan pajak, maka akan menjadi beban dari pasien juga,” jelasnya.

Picu Angka Kemiskinan

Direktur Program Pascasarjana Universitas Paramadina, Dinna Wisnu PhD mengatakan, saat ini hanya sekitar 3% rakyat Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan. Mereka pada umumnya adalah karyawan atau pegawai di instansi pemerintahan dan swasta lainnya. Selebihnya, terutama rakyat miskin tidak memiliki jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial lainnya seperti jaminan di hari tua.

Oleh karena itu, Dinna mengkritik keras program-program bantuan sosial yang diberikan pemerintah berupa uang tunai sesaat kepada rakyat miskin. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah jaminan sosial yang merata. “Pendekatan saat ini (bantuan sosial) hanya pura-pura peduli saja pada orang miskin,” ujarnya.

Dinna membeberkan standar kemiskinan di Indonesia yang sangat rendah dan tidak memperhitungkan variabel biaya kesehatan. Pemerintah menggunakan patokan garis kemiskinan menggunakan standar hidup Rp212.000 per bulan. Dengan standar tersebut, pemerintah mencatat ada sekitar 31 juta orang miskin. Padahal, ada sekitar 147 jutaan orang lain yang hidup mendekati garis kemiskinan, pendapatan mereka tak lebih dari Rp313.000 per bulan. “Sementara, harga pelayanan kesehatan di Indonesia sama mahalnya dengan di negara semaju Malaysia. Di negara lain, upah minimum adalah standar kemiskinan. Di sini justru tidak,” tuturnya.

sumber: www.neraca.co.id

 

Wamenkes RI tinjau Satgas SBJ di KRI dr. Soeharso-990

Guna memastikan kesiapan sarana dan prasarana kesehatan yang akan digunakan oleh Satuan Tugas Surya Bhaskara Jaya (Satgas SBJ), Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI Edwin Yulian Firdaus meninjau KRI dr. Soeharso-990, di Dermaga JICT Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (28/8/2013), kemarin.

KRI dr. Soeharso-990 merupakan Unsur Tugas (UT) Angkut Gugus Laut SBJ sekaligus menjadi Posko Pelayanan Kesehatan (Yankes) dalam rangka mendukung kegiatan nasional “Sail Komodo Tahun 2013”. Bertindak selaku Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) SBJ LXII/2013 Kolonel Laut (P) Taat Siswo Sunarto yang sehari-hari menjabat sebagai Komandan Satuan Kapal Bantu (Dansatban) Koarmatim.

Sesuai dengan visi dan misi Operasi Surya Bhaskara Jaya, kegiatan gugus tugas ini dititikberatkan pada promosi kesehatan, pelayanan kesehatan, serta perbaikan sarana dan prasarana lingkungan, dengan target melayani kesehatan bagi 7.000 pasien yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau terpencil. Kegiatan Operasi SBJ LXII/2013 dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas rumah sakit yang berada di kapal perang (rumah sakit KRI dr. Soeharso-990) yang memiliki fasilitas bedah ICU serta unit kesehatan pendukung lainnya, untuk melayani pengobatan umum, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare, penyakit kulit, hernia, malaria klinis, pengobatan gigi dan mulut, operasi katarak, operasi bibir sumbing, dan pelayanan KB.

Pada tahun ini, gugus laut SBJ akan memberikan pelayanan kesehatan di Lembata, Maumere, Labuan Bajo dan Waingapu. Operasi Surya Bhaskara Jaya sangat bermanfaat bagi masyarakat di wilayah terpencil, sehingga sampai sekarang masih banyak permintaan masyarakat dan daerah, agar daerahnya dapat disinggahi dan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya dari SBJ.

Kegiatan kemanusiaan yang melibatkan sedikitnya 616 orang, termasuk di dalamnya ada 126 orang tenaga kesehatan ini dikolaborasikan dengan beberapa pihak, antara lain: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, pemerintah daerah, dan swasta.

Hajad tahunan yang dimulai sejak tahun 1980 ini dilakukan sebagai salah satu bentuk perwujudan tugas dan tanggung jawab TNI dalam hal ini TNI AL sebagai komponen bangsa dalam pembangunan nasional dan wujud nyata kepedulian TNI/TNI AL terhadap upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Gugus Tugas SBJ dilepas oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat H.R. Agung Laksono bersama tiga gugus laut yang tergabung dalam Sail Komodo 2013 lainnya, yakni Gugus Laut Expedisi Bhakti Kesra Nusantara dengan KRI Banda Aceh-593, Gugus Laut Lintas Nusantara Remaja dan Pemuda Bahari/KPN dengan menggunakan KRI Makassar-990, serta Gugus Laut Pelayaran Lingkar Nusantara dengan KRI Surabaya-591. Jumlah seluruh peserta empat gugus laut tersebut sebanyak kurang lebih 1.416 orang, di luar prajurit pengawak empat kapal perang tersebut.

Sementara itu di hari yang sama, Kepala Dinas Pembinaan Potensi Maritim TNI Angkatan Laut selaku Ketua Pimpinan Saka Bahari Tingkat Nasional Laksamana Pertama TNI Kingkin Suroso, S.E, telah memberikan pembekalan terhadap 359 peserta Pramuka Saka Bahari Pelayaran Lingkar Nusantara III Tahun 2013 di hanggar heli KRI Surabaya bernomor lambung 591, yang sandar di dermaga Tanjung Priok Jakarta Utara. Pembekalan bertujuan untuk membina generasi muda dan pramuka dalam kerangka “National Character Building” yang pada akhirnya dapat mewujudkan rasa kesadaran bela negara, cinta tanah air, dan kesadaran akan pentingnya pengamanan perairan dan pulau terdepan, serta memiliki pengetahuan tentang potensi kelautan dan perikanan di wilayah Indonesia.

Pelayaran Lingkar Nusantara III Tahun 2013 akan dilaksanakan tanggal 28 Agustus sampai dengan 18 September 2013 dengan rute Surabaya-Jakarta-Makassar Tanjung Batu, Kwandang, Makassar, Jakarta dan Surabaya. Hadir pada acara pembekalan tersebut para Perwira Dispotmar TNI Angkatan Laut para Pembina dan Penegak Saka Bahari 2013.

sumber: www.lensaindonesia.com

 

Dianggap Barang Mewah, Pajak Alat Kesehatan akan Naik

Pemerintah menetapkan alat-alat kesehatan impor dikategorikan sebagai barang mewah. Pengategorian tersebut tentunya akan membuat beban pajak lebih tinggi.

“Ini yang membuat kualitas jasa layanan kesehatan di Indonesia dinilai masih lemah. Ini kan untuk kepentingan pasien,” ungkap Ketua Komite Tetap Kebijakan Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Adib Yahya di Jakarta, Rabu (28/8/2013).

Adib mengatakan, alat-alat kesehatan semestinya tidak dimasukkan ke dalam kategori barang mewah karena dan meminta agar ini segara dihapuskan dari kategori barang mewah.

“Ini kan untuk pasien. Kita minta dihapuskan tax ini. Tax itu sekarang masih masuk dalam barang mewah untuk alat-alat kesehatan, ini menghambat,” jelas Adib.

Tidak hanya persoalan itu, menurut Abid pembiayaan untuk biaya listrik dan air rumah sakit dimasukkan dalam kategori industri jasa air. Hal ini juga menambah beban pembiayaan rumah sakit.

“Ini yang menjadi masalah selalu. Kita pernah mengajukan minta dimajukan ke kategori industri sosial tapi itu baru bisa di Jakarta Barat saja, kenapa enggak secara nasional, harusnya secara nasional,” tandasnya.

sumber: economy.okezone.com

 

Indonesia Bisa Jadi Sapi Perah Negara Lain

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai Indonesia bisa jadi target pasar atau sapi perah dalam industri farmasi atau kesehatan, apalagi menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (AEC). Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Kesehatan Adib A Yahya mengatakan, dari 575 juta jiwa penduduk yang tinggal di kawasan Asia Tenggara (Asean), 42 persen diantaranya adalah penduduk Indonesia. Padahal, kontribusi jumlah penduduk negara-negara lainnya lebih sedikit seperti Filipina hanya 16,5 persen, Vietnam 15 persen, dan Thailand 12 persen.

Lebih lanjut dia mengatakan, jumlah Rumas Sakit yang ada di Indonesia juga ada lebih dari 2 ribu unit. “Untuk itu, negara tetangga mengatakan Indonesia adalah pasar yang menarik untuk industri kesehatan atau farmasi,” katanya saat diskusi yang membahas tentang ‘strategi peningkatan daya saing industri kesehatan Indonesia’ di Jakarta, Rabu (28/8).

Seharusnya, kata Adhib, Indonesia harus malu pada Vietnam. Menurutnya, Vietnam mampu membidik pasar jasa kesehatan dibawah level negaranya seperti Kamboja, Tetapi Indonesia tidak bisa meniru kebijakan negara tersebut. “Indonesia kan punya Timor Leste, kenapa kita tidak menjadikannya pasar?” ujarnya.

Padahal, dia melanjutkan, Indonesia dikenal sebagai pengekspor perawat. Namun di satu sisi dia prihatin dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perawat ekspor dari Indonesia kalah bersaing dengan Filipina karena perawat Indonesia tidak menguasai Bahasa Inggris.

Untuk itu dia memperingatkan agar Indonesia lebih berhati-hati karena dapat dijadikan sapi perah oleh negara-negara asing. Apalagi Indonesia sedang menyongsong MEA pada 2015 dan adanya era perdagangan jasa keseharan intra-ASEAN.

Pihaknya memberi beberapa masukan agar masalah tersebut dapat diselesaikan. Pertama, pemerintah menyusun desain utama jasa pelayanan kesehatan nasional guna optimalisasi peran jasa kesehatan domestik dalam industri jasa kesehatan di Asia Tenggara.

Kedua, pengembangan kapasitas jasa kesehatan melibatkan unsur swasta (public private partnership). Masukan ketiga yaitu pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

sumber: www.republika.co.id

 

UN, partners assisting hundreds of thousands affected by floods in Sudan

The United Nations and its partners in Sudan are providing emergency support hundreds of thousands of people that have been affected by flooding since the start of the month, the world body said today.

According to Government estimates, as many as 530,000 people have been affected by the floods triggered by heavy rains across the country, and at least 74,000 houses have been damaged or destroyed by the rapidly rising waters. The area surrounding the capital, Khartoum, has been hardest hit, with some 180,000 people affected.

Emergency water and sanitation, health items, food and other support is being provided by the UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), as well as civil society and volunteer organizations, in coordination with Sudanese authorities.

Over 52,000 people have received household items, and water trucks being run by the Khartoum State Water Corporation and the Médecins Sans Frontières are reaching about 110,000 people each day, OCHA said in a news release.

While rains at this time of the year are common, they have been heavier than average this year, having a particularly serious impact in 16 out of the 18 states in the country.

The Sudanese health ministry and the World Health Organization (WHO) are also monitoring the situation closely as Government and aid officials have raised concerns that stagnating water in and around the city could lead to outbreaks of water-borne diseases.

In a news briefing, a UN spokesperson said six peacekeepers with the joint African Union-UN peacekeeping mission in Darfur (UNAMID) were swept away on Sunday by powerful currents while escorting World Food Programme (WFP) trucks to Masteri, west Darfur.

The incident occurred when the peacekeepers attempted to pull out their truck which was stuck in the mud of a river valley, near Nioro village approximately 30 kilometres southwest of El Geneina. A rescue team found two peacekeepers alive, while the search is ongoing to locate the other four, the spokesperson said, adding that WFP staff members are safe.

source: www.un.org

 

21 Jenis Narkoba baru akan dimasukkan dalam UU Narkotika

Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan 21 jenis baru narkoba yang masuk ke Indonesia, selama tahun 2013. Namun narkoba jenis baru tersebut belum masuk dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Direktur Narkotika Alami Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Sugiyo mengatakan, pihaknya masih memproses temuan narkoba tersebut masuk dalam UU Narkotika di lampirannya.

“Target kami secepatnya. Lebih cepat lebih bagus, tahun ini diusahakan sudah selesai. Semuanya tergantung kepada DPR,” ujar Sugiyo kepada wartawan di Solo, Jawa Tengah, Selasa (27/8).

Lebih lanjut Sugiyo mengatakan dengan belum masuknya jenis baru narkoba tersebut ke dalam UU Narkotika, maka pelaku pengedar hanya bisa dijerat menggunakan UU Kesehatan.

“Jumlah jenis baru narkoba tersebut setiap tahun selalu bertambah, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di seluruh dunia,” tandasnya.

Menurut Sugiyo pengguna narkoba di Indonesia juga terus bertambah yakni mencapai 2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Sehingga BNN terus berupaya agar jumlah pengguna narkoba semakin berkurang. Salah satunya adalah melalui sosialisasi yang dilakukan kepada mahasiswa dan pelajar.

sumber: www.merdeka.com

 

Kualitas Dokter Tentukan Mutu Layanan

Dokter memiliki andil besar dalam mewujudkan layanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau. Walau distribusi dokter belum merata, pendapatan antardokter sangat senjang, serta munculnya ancaman keberadaan dokter dan fasilitas kesehatan asing, dokter Indonesia seharusnya tetap berpihak kepada rakyat.

Hal itu dikemukakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dalam pembukaan Indomedica Expo dan Seminar Urun Rembug Nasional 2013 di Jakarta, Senin (26/8). “Dokter punya potensi membangun sistem kesehatan yang manfaatnya bisa dinikmati masyarakat dalam layanan yang bermutu dan terjangkau,” katanya.

Agung berharap dokter Indonesia menjadi mitra pemerintah untuk mencapai sejumlah indikator Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang belum tercapai, seperti penurunan angka kematian ibu melahirkan, menekan laju peningkatan pengidap HIV, penyediaan air bersih, hingga layanan keluarga berencana.

Besarnya peran dan harapan terhadap dokter belum disertai kualitas dokter-dokter muda yang akan menjadi tumpuan pembangunan kesehatan ke depan. Dalam seminar tersebut, sejumlah dokter senior mengkhawatirkan keterampilan dan kecakapan dokter-dokter muda dalam menangani pasien.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin mengatakan, ada sekitar 2.500 lulusan fakultas kedokteran sebelum tahun 2013 yang gagal mengikuti ujian kompetensi dokter Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya sudah mengikuti ujian hingga 19 kali.

“IDI akan membimbing mereka,” ujarnya. Hal itu dilakukan karena kegagalan itu bukan semata kesalahan mereka, melainkan juga akibat proses pendidikan yang kurang memperhatikan kualitas calon mahasiswa dan mutu pendidikan. Akibatnya, IDI sebagai organisasi profesi yang menaungi calon dokter harus menanggung beban.

Sejak tahun 2008, jumlah fakultas kedokteran melonjak dari 52 menjadi 73 fakultas. Saat ini, antrean izin pendirian fakultas kedokteran masih panjang walau pemerintah menghentikan sementara pemberian izin fakultas kedokteran baru.

Pendidikan kedokteran sering dijadikan sumber keuangan universitas. Akibatnya, sejumlah universitas menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan ketersediaan dosen tetap dan sarana prasarana pendukung.

“Pemerintah harus berani menutup fakultas kedokteran yang proses pendidikannya tidak berkualitas,” kata Zaenal.

Untuk meningkatkan kepercayaan diri lulusan fakultas kedokteran, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, para sarjana kedokteran wajib mengikuti program internship (pemagangan). Selama magang, mereka akan didampingi dokter senior dan mendapat insentif khusus.

Pemerintah daerah

Nafsiah mengingatkan, peningkatan mutu layanan kesehatan juga bergantung pada kepedulian pemerintah daerah. Selama ini, pemerintah daerah terlalu fokus pada upaya kuratif (penyembuhan) sehingga abai dengan upaya promosi, prevensi (pencegahan), dan rehabilitasi.

“Pemerintah daerah adalah penanggung jawab kesehatan di daerah. Apa guna otonomi kalau mereka tetap bergantung kepada pemerintah pusat,” ujarnya.

Pemerintah daerah juga membangun paradigma keliru tentang pembiayaan kesehatan dengan membangun jargon politik berobat gratis. Janji kampanye itu sebagian diwujudkan melalui program jaminan kesehatan daerah yang diberikan kepada semua warga tanpa pandang bulu.

“Tiap orang berhak mendapat layanan kesehatan memadai, tapi dia juga wajib berkontribusi untuk mencapai derajat kesehatan yang tinggi itu,” kata Nafsiah.

Prinsip sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2014 adalah gotong royong. Semua peserta wajib membayar iuran, sedangkan iuran orang miskin dibayar pemerintah.

sumber: health.kompas.com

 

Shaping mental health following emergencies

A few months ago, Bangladesh witnessed a major emergency situation when Rana plaza building at savar collapsed that left thousands dead and many more disable. It had a devastating impact on their mental health also. Situations like these are likely to trigger or worsen existing mental health problems, especially whereas at the same time existing mental health infrastructure is weakened. However, Emergencies, in spite of their tragic nature and adverse effects on mental health are opportunities to build better mental health systems for those who need it.

Mental health is crucial to the overall well-being, functioning, and resilience of individuals, societies and countries recovering from emergencies. During and after emergencies, people are more likely to suffer from a range of mental health problems. A minority develops new and debilitating mental disorders; many others are in psychological distress. And those with pre-existing mental disorders often need even more help than before. When the plight of those suffering becomes known to the nation and the world, others often become motivated to provide assistance.

In spite of their tragic nature, many countries have capitalised emergency situations to build better mental health systems. In order to ensure that those faced with emergencies do not miss the opportunity for mental health reform, World Health Organisation published a new report “Building back better: sustainable mental health care after emergencies. The report documented cases from around the world show that it is possible to build mental health systems in the context of emergencies.

In a matter of years following the tsunami in 2004, mental health services in Indonesia’s Aceh province were transformed from a sole institutional hospital to a functioning system of care, revolving around primary health care services and supported by secondary care through general hospitals.

The influx of displaced Iraqis into Jordan enabled pilot community-based mental health clinics to be established. The success of these clinics built momentum for broader reform across the country.

Sri Lanka is another fine example that was able to capitalise on the resources flowing into the country following the 2004 tsunami to leap forward in the development of its mental health services. Today, this community-based mental health system reaches most parts of the country.

Emergencies are not only mental health tragedies, but also powerful catalysts for achieving sustainable mental health care in affected communities. The surge of aid, combined with sudden, focused attention on the mental health of the population, creates unparalleled opportunities to transform mental healthcare for the long term.

We do not know when the next major emergency will be, but we do know that those affected will have the opportunity to build back better. We should take the Rana Plaza tragedy as an opportunity to transform our mental healthcare.

source: www.thedailystar.net