Mental Health Care as a Humanitarian Response

The World Health Organization (WHO) recently released new clinical guidelines for health care workers treating the mental health needs of people who have experienced trauma and loss. These guidelines are particularly significant because they reinforce the importance of including mental health care in humanitarian responses post-crisis.

As one of the largest torture survivor rehabilitation centers in the world, the Center for Victims of Torture provides mental health care to survivors of torture and war atrocities in areas of the world where few mental health resources are available.

Despite the widespread need for mental health services among populations coping with the aftermath of brutal conflicts, there are often few, if any, resources to address their complex needs. The psychological effects of torture and traumatic experiences during war can include anxiety, depression, and post-traumatic stress disorder. However, many primary care professionals are under-equipped to deal with these needs, leaving symptoms go untreated, and the increased potential that individuals, families, and communities are unable to rejoin society in a meaningful and productive way.

Fortunately, the WHO guidelines emphasize the need for integrating and understanding reactions to extreme stress and trauma in primary care. For survivors of psychological trauma and their mental health care providers, this increasingly comprehensive set of guidelines is essential.

The WHO guidelines are also an important next step in advancing access to mental health care in places of great need across the globe. Though this is an important step, it is not the final step. CVT joins WHO in the call for governments and donors to include funding for quality mental health interventions. Funding for training and supervision is essential in order to implement the guidelines, and further research is needed in order to expand the understanding of recommended effective interventions.

At a time when thousands of survivors of torture and war atrocities are waiting to receive the mental health care they so urgently need, increased financial support from the international community must be forthcoming.

source: www.huffingtonpost.com

 

Pasar Obat Herbal Diharapkan Terus Meningkat

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengharapkan pasar obat herbal di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring berkembangnya tren penggunaan obat alami di dunia. Sejalan dengan tren back to nature, penggunaan obat herbal secara global diprediksi mencapai 100 miliar dollar AS pada tahun 2015.

“Dengan perkembangan ini, diharapkan pasar obat herbal di Indonesia juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, walaupun masih kecil dibandingkan keseluruhan pasar global,” ujarnya dalam acara Peresmian Fasilitas Industri Ekstrak Bahan Alam, Dexa Laboratories of Biomolecular Sciencis (DLBS), PT Dexa Medica, Selasa (20/8/2013) di Cikarang, Jawa Barat.

Mengutip data dari Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, pada 2006 pasar obat herbal di Indonesia mencapai Rp 5 triliun. Di 2007 mengalami peningkatkan menjadi Rp 6 triliun, dan pada 2008 naik lagi menjadi Rp 7,2 triliun. Sedangkan pada 2012 mencapai Rp 13 triliun atau sekitar 2% dari total pasar obat herbal di dunia

Menurut Nafsiah, Indonesia sangat berpotensi menjadi salah satu sumber industri bahan baku obat herbal. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Terlebih, imbuhnya, obat herbal tradisional di Indonesia sendiri sudah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia.

Hasil riset di berbagai universitas di Indonesia menunjukkan, bahan-bahan yang biasa digunakan sebagai obat atas kearifan lokal, terbukti ilmiah memiliki manfaat menyembuhkan penyakit.

Meskipun demikian, Nafsiah mengatakan, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 60 persen bahan baku obatnya. Dan kebanyakan dari bahan baku obat tersebut berupa sintetik.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang menambahkan, Kemenkes selalu memberikan bimbingan dan dukungan perkembangan industri farmasi di Indonesia. “Diharapkan perkembangannnya bisa mencapai lima persen pertahun,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Linda, industri farmasi di Indonesia seharusnya sudah harus mengembangkan industri bahan baku obat. Bukan lagi memproduksi obat jadi dengan bahan baku impor.

sumber: health.kompas.com

 

Dr. Nicolas Chally Tirayoh, Peduli Kesehatan Nelayan

“Nelayan mungkin profesi yang kerap diabaikan, padahal berkat mereka kita mendapatkan sumber protein yang dibutuhkan tubuh”.

Begitulah kalimat pembuka yang membawa dokter berusia 30 tahun ini berinisiatif membuat program Usaha Kesehatan Kerja (UKK).

Memiliki tempat praktik dekat dengan lingkungan nelayan dan akrab berinteraksi dengan mereka dijadikan alasan dr. Nicolas Chally Tirayoh untuk terus menjalankan programnya.

“Kesehatan dan keselamatan kerja banyak yang tidak dihiraukan oleh nelayan, mereka tetap melaut dengan peralatan kesehatan seadanya,” ujar dokter yang kerap disapa Chally.

Program UKK di Puskesmas Kauditan I Jaga V Kecamatan Kauditan Minut, Sulawesi Utara dijalankannya dua tahun belakangan ini. Berkat program ini suami dari dr. Anastasia Runtunuwu ini terpilih menjadi tenaga kesehatan teladan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Prestasinya ini membuatnya merasa senang dan bangga dapat bertatap langsung dengan Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH di kantor Kemenkes, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan beberapa hari lalu.

“Saya sangat senang dan bangga atas kinerja kami selama ini membawa saya bisa bertatap langsung dan akan terus mengembangkan program UKK ini,” ungkapnya.

Rasa bahagia tergambar dari ekspresi wajah pria yang pernah mengikuti pelatihan kesehatan kerja di Bogor, saat mendapat kesempatan berbagi pengalaman menjadi nakes teladan dengan menkes dan 128 nakes teladan lainnya dari seluruh Indonesia ini.

Dr. Chally dibantu dengan beberapa lembaga kesehatan dan kementerian telah melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

Menurutnya walaupun baru terkumpul 30 pelampung untuk membantu selama nelayan berada di laut, hal ini menjadi motivasi Kepala Puskesmas Kema ini untuk terus mengajak para kader membantu kebutuhan kesehatan nelayan.

Menjalankan program ini tidak luput dari kesulitan-kesulitan seperti nelayan yang masih saja tidak patuh dan tidak mengindahkan kesehatan kerja.

“Seperti daun yang terus tumbuh, kami akan terus mengingatkan para nelayan pentingnya kesehatan kerja sehingga melaut akan tetap aman,” harapnya.

sumber: health.liputan6.com

 

Cambodian boy dies of bird flu

A 9-year-old boy from northwestern Battambang province died of Avian Influenza H5N1 at Sunday night, bringing the death toll to ten and the number of the cases to 16 so far this year, a World Health Organization official confirmed Monday.

“The boy, contracted with H5N1 human avian influenza, passed away late last night in the Jayavarman VII Hospital in Siem Reap province,” Sonny Inbaraj Krishnan, media relations officer at the World Health Organization-Cambodia, said Monday.

The boy was admitted to the hospital with fever, cough, vomit, abdominal pain and dyspnea and was confirmed positive for human H5N1 avian influenza on Aug. 9.

“On hospital admission, he was initially in a stable condition. However, his condition deteriorated on Sunday and he passed away last night,” he said.

“There were recent deaths among chickens and ducks in the village. The boy carried dead and sick ducks and chickens from a cage for food preparation by his sister before he became sick,” he added.

Cambodia sees the worst outbreak of the virus this year since the disease was first identified in 2004. To date, the country has recorded 37 human cases of the virus, killing 29 people.

H5N1 influenza is a flu that normally spreads between sick poultry, but it can sometimes spread from poultry to humans, the World Health Organization said, adding that it is a very serious disease that requires hospitalization.

source: www.globaltimes.cn

 

Berikan Sanksi, Majelis Kehormatan Dokter Bakal Dituntut

Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengaku tidak menyetujui jika ada pihak yang menggugat KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan MKDKI (Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia) dalam hal sanksi kedokteran melaui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Hal ini disampaikan langsung oleh ketua YPKKI dr. Marius Widjajarta, S.E dalam konferensi pers di kantor Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta pada Senin (19/8/2013).

“MKDKI akan dituntut esok hari di PTUN setelah memberikan sanksi disiplin pada seorang dokter. Padahal Undang-undangnya sudah jelas bahwa MKDKI sesuai pasal 67 No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran bertugas memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang hanya berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Bukan sengketa dengan PTUN,” tegas Marius.

Marius menyampaikan, jika ada dokter yang tidak suka dengan kinerja MKDKI atau KKI, kenapa ketika diberikan jangka waktu untuk membuktikan kebenarannya dokter tersebut tidak melakukan apa-apa.

“YPKKI sendiri sangat menyayangkan kasus ini dan tidak setuju bila ada pihak yang bermaksud menggugat MDKI dan KKI melalui PTUN,” ujar Marius.

Marius menambahkan, pemberian sanksi tegas kedisiplinan dari MKDKI adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi.

MKDKI sebelumnya memberikan sanksi disiplin pada seorang dokter bernama Tamtam Otamar Syamsudin. SpOG yang berpraktik di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Ia dirasa lalai karena memaksakan kondisi pasien yang semestinya tidak bisa dioperasi.

Kasus tersebut menimpa pasien bernama Santi Mulyasari. Santi dinyatakan meninggal dunia tahun lalu setelah dokter Tamtam melakukan operasi seksio sesaria (prosedur melahirkan bayi dengan melakukan sayatan pada kulit perut dan membuka rahim ibunya untuk mengeluarkan bayi).

Masalahnya, ini adalah kali keempat dokter tersebut melakukan penangan seksio tersebut dengan status HB (hemoglobin) pasien berstatus sembilan. Setelah itu, pasien mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. Padahal seharusnya dengan operasi yang berisiko, seorang dokter harusnya bisa menyiapkan persediaan darah terlebih dahulu.

Maka itu, dari hasil penelusuran MKDKI, dokter Tamtam dinyatakan bersalah dengan sanksi disiplin dicabut SRT(Surat Tanda Registrasi). Atau dengan kata lain, dokter tersebut tidak diizinkan praktek selama 9 bulan.

Tidak puas dengan gugatan tersebut, dokter Tamtam kini menggugat balik MKDKI dan KKI dengan gugatan, semua yang dilakukannya sudah sesuai prosedur.

Namun MKDKI berkilah bahwa kasus dokter Tamtam bukan hanya itu saja terjadi. Sebab belum lama ini seorang pasien juga menilai dokter Tamtam tidak melakukan prosedur melahirkan yang diminta pasien. Ketika itu, pasien minta di seksio, tapi dokter Tamtam tetap melakukan persalinan water birth.

Water birth dianggap MKDKI merupakan prosedur yang belum di standarisasi di Indonesia. Jadi prosedur ini sangat berisko. MKDKI pun kembali memutuskan sanksi disiplin dicabut STR 1 tahun pada dokter Tamtam.

YPKKI berharap, kasus seperti dokter Tamtam ini semestinya tidak terjadi pada pasien jika dokternya menjalankan segala sesuatunya dengan benar.

sumber: m.liputan6.com

 

Ribuan Bidan PTT Se-Indonesia Tuntut Kejelasan Nasib

Merasa belum adanya kejelasan nasib untuk menjadi pegawai tetap (PNS), ribuan bidan pegawai tidak tetap (PTT) se-Indonesia kembali melakukan aksi damai di depan Istana Negara. Mereka menagih janji Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi merealisasikan janjinya untuk mengangkat bidan PTT menjadi pegawai tetap.

“Bu Menkes menjanjikan adanya kejelasan nasib kami untuk diperjuangkan menjadi pegawai tetap (PNS), namun sampai saat ini tidak ada kejelasan dari beliau,” kata koordinator aksi damai Ruby Maharani di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (19/08).

Selain itu, lanjut Ruby, belum adanya titik terang koordinasi yang dilakukan Menkes dengan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan), Mendagri, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Pasalnya, pihak kementerian terkait justru saling lempar tanggung jawab.

“Antarkementerian terkait (Kemenkes, Kemenpan, Kemendagri, dan BKN) malah saling lempar tanggung jawab, ini juga terjadi di pemerintah daerah,” kritik Ruby.

Menurutnya, aksi damai yang dilakukan bidan PTT se-Indonesia kali ini merupakan aksi yang kedua kalinya. Sebelumnya mereka melakukan aksi pada 7 Mei 2013. Dalam pekembangannya, kata Ruby, “Kami melakukan dengar pendapat dengan Komisi IX DPR pada 14 Mei 2013, dan pada 15 Mei 2013. Kami difasilitasi Komisi IX DPR untuk mengikuti rapat kerja dengan Menkes di DPR.”

Kesimpulan raker tersebut, ungkap Ruby antara lain, “Pertama, Menkes menjanjikan adanya kejelasan nasib kami untuk diperjuangkan menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan mengkoordinasikan melalui Menpan, Mendagri, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kedua, Bidan PTT yang sudah dua (2) kali masa penugasan dapat kembali memperpanjang secara otomatis.”

Bidan PTT juga menyesalkan langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang membuka penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) melalui jalur umum termasuk profesi bidan. “Seharusnya, Menkes mengangkat bidan PTT secara otomatis dan bertahap sesuai masa bakti ketimbang menerima bidan baru yang belum memiliki pengalaman,” jelas Ruby.

DPR Desak Janji Menkes

Anggota Komisis IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mendesak Menteri Kesehatan (Menkes) untuk segera mengangkat ribuan bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) se-Indonesia menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hal ini, menurut Poempida sebagaimana janji Menkes saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR beberapa bulan lalu.

“Kami di DPR masih menunggu apa yang pernah dijanjikan Menkes, jika tidak kami bisa ancam Menkes!,” tegas Poempida di Gedung Parlemen (19/08/2013).

Menanggapi aksi damai yang dilakukan 3000-an bidan PTT se-Indonesia hari ini di Istana Negara, Poempida menegaskan bahwa aksi unjuk rasa adalah hak konstitusional yang diatur Undang-Undang. “Jadi, aksi damai yang saat ini dilakukan ribuan bidan PTT sangat baik dan ini merupakan hak yang dilindungi konstitusi,” tegas politisi Partai Golkar ini.

Poempida mengatakan, bidan adalah pekerjaan profesi sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Karena itu, dirinya tetap berharap Menkes bisa merealisasikan janjinya, paling tidak dalam penerimaan PNS tahun ini. “Kami akan terus tagih janji Menkes ini,” katanya.

Karena itu, Poempida meminta Menkes untuk bersikap arif bijaksana dengan mempertimbangkan azas keadilan didalam memperlakukan nasib bidan PTT. “Kami merekomendasikan agar bidan PTT diangkat menjadi pegawai tetap,” tandas Poempida.

sumber: www.beritasatu.com

 

7 Kementerian dan Lembaga Dapat Alokasi Anggaran di Atas Rp 30 Triliun dalam RAPBN 2014

Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2014 terdapat tujuh Kementerian dan Lembaga (K/L) yang akan mendapat alokasi anggaran di atas Rp 30 triliun.

SBY mengatakan ketujuh K/L tersebut adalah Kementerian Pertahanan dengan alokasi anggaran sebesar Rp 83 triliun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 82 triliun, Kementerian Pekerjaan Umum Rp 74 triliun, Kementerian Agama Rp 49 triliun, Kementerian Kesehatan Rp 44 triliun, Kepolisian Negara Republik Indonesia Rp 41 triliun, dan Kementerian Perhubungan Rp 39 triliun.

“Tujuh K/L tersebut harus bisa mengalokasikan anggaran tersebut dengan sebaik baiknya untuk mencapai target atau sasaran yang sudah ditetapkan,” ujar dia dalam acara “Penyampaian Nota Keuangan 2014” di Gedung DPR, Jakarta, pada Jumat (16/8).

SBY mengatakan alokasi anggaran pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama diarahkan untuk meningkatkan mutu, akses, dan pemerataan pelayanan pendidikan dengan tujuan untuk mengakselerasi pembangunan sumber daya manusia.

SBY menjelaskan, upaya meningkatkan kualitas pendidikan akan terus dilakukan antara lain melalui peningkatan kualitas guru termasuk di dalamnya sertifikasi guru, beberapa program afirmasi akan tetap dilanjutkan seperti pengiriman guru pada daerah terpencil, terluar dan tertinggal, pengiriman pelajar asal Papua untuk studi di beberapa SMA/SMK, dan Perguruan Tinggi Negeri terbaik di luar Papua serta infrastruktur sekolah juga akan terus ditingkatkan.

SBY menambahkan, alokasi anggaran pada Kementerian Kesehatan diprioritaskan untuk peningkatan akses dan kualitas kesehatan, menurutnya pemerintah merencanakan untuk membangun Puskesmas perawatan di daerah perbatasan dan pulau pulau kecil terdepan yang berpenduduk ditambah bantuan operasional kesehatan kepada 9.536 puskesmas.

SBY mengatakan di bidang pertahanan, alokasi dana diarahkan untuk mendukung terlaksananya modernisasi dan peningkatan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) dengan tujuan mempercepat pembangunan kekuatan dasar minimum sedangkan Kepolisian Negara alokasi dana diprioritaskan untuk peningkatan rasa aman dan ketertiban masyarakat melalui pelaksanaan reformasi Polri serta untuk memenuhi fasilitas sarana dan prasarana Polri.

Dia mengatakan alokasi dana untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan diprioritaskan untuk pembangunan konektivitas nasional melalui pembangunan jalan.

sumber: www.beritasatu.com

 

75 Persen Jemaah Haji Rentan Terpapar Virus Corona

Sebanyak 75 persen calon jemaah haji yang akan berangkat ke Arab Saudi pada Oktober mendatang rentan terpapar virus Corona Mers. “Mereka yang rentan adalah jemaah haji usia lanjut dan menderita penyakit kronis,” ujar Fidiansjah, Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, di kantornya, Jumat, 16 Agustus 2013.

Menurut Fidiansjah, saat ini hampir 50 persen jemaah haji Indonesia berada pada usia lanjut, yakni di atas 60 tahun. Sedangkan 25 persen lainnya ditengarai menderita penyakit kronis, seperti lemah jantung, diabetes, dan hipertensi.

Fidiansjah mengakui, sebelumnya sudah ada imbauan dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi agar calon jemaah haji usia tua, wanita hamil, dan anak-anak tak ikut pada musim haji kali ini. Namun, menurut Fidiansjah, imbauan ini sulit dilakukan karena mayoritas jemaah haji Indonesia memang berusia lanjut.

Hal ini sebagai imbas adanya masa tunggu keberangkatan haji yang berkisar 15 tahun. “Dalam kenyataannya, di Indonesia tak bisa karena yang mengantre rata-rata di atas 50 tahun.” Pemerintah, kata Fidiansjah, pun akhirnya sulit mengikuti anjuran dari Kemenkes Arab Saudi. “Kami akan siapkan dan maksimalkan upaya preventif.”

Upaya preventif yang dimaksud Fidiansjah adalah membekali para calon jemaah haji dengan pengetahuan tentang bahaya dan penyebaran virus Corona. Karena saat ini belum ditemukan vaksin yang bisa menangkal Corona, Kementerian meminta calon jemaah haji lebih meningkatkan kesehatan dan menjaga perilaku hidup bersih sejak sebelum berangkat hingga selama musim haji berlangsung.

Sebelum berangkat, para calon jemaah akan diminta makan makanan dengan gizi seimbang. Sedangkan selama di Arab Saudi mereka diminta untuk memenuhi asupan cairan tubuh. Pemerintah telah menyiapkan oralit untuk menambah cairan tubuh yang akan dibagikan kepada seluruh jemaah haji.

Para calon jemaah haji lansia dan yang berpenyakit kronis juga dianjurkan untuk mendapatkan vaksin influenza dan pneumonia sebelum berangkat. Vaksin ini, kata Fidiansjah, memang tak secara langsung berdampak pada Corona. “Vaksin ini paling tidak bisa mencegah calon jemaah haji dari influenza yang membuat mereka tercegah dari bahaya Corona.”

Untuk memudahkan pemantauan kesehatan para jemaah haji, Kementerian Kesehatan telah memberikan pembekalan khusus kepada 1.556 tenaga kesehatan yang akan mendampingi jemaah selama musim haji. Mereka dibekali pengetahuan dan tindakan preventif bila mendapati adanya jemaah yang terindikasi terpapar virus Corona. Selain itu, petugas pendamping ibadah juga diberi arahan agar menganjurkan jemaah haji yang lansia dan menderita penyakit kronis untuk tak banyak melakukan ibadah sunah.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bachrul Hayat mengatakan, ancaman penyebaran virus Corona pada musim haji mendatang sejauh ini belum mempengaruhi keberangkatan jemaah haji. “Tapi kami akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk memastikan jemaah kita selamat.”

Saat ini jumlah jemaah haji yang akan berangkat tercatat 168.800 orang, yang terdiri dari kuota haji reguler sebanyak 155.200 orang dan kuota haji khusus sebanyak 13.600 orang. Mereka akan diberangkatkan dalam 382 kloter. Jumlah ini merupakan jumlah setelah terjadi pemotongan kuota haji sebanyak 20 persen karena adanya perbaikan di Masjidil Haram.

Menurut Bachrul, sejauh ini Kementerian Agama sudah mensosialisasikan kepada calon jemaah agar mempersiapkan diri supaya tetap prima pada saat pelaksanaan haji. Menurut dia, saat ini ada sekitar 3 persen jemaah haji yang berada di atas usia 65 tahun. Sedangkan jemaah haji anak-anak tidak ada karena pemerintah membatasi usia haji minimal 15 tahun. “Kalau jemaah hamil biasanya tak ada karena mereka sudah lebih dulu melakukan preventif. Kalau ada yang hamil biasanya mereka mengundurkan keberangkatan.”

Saat ini Arab Saudi masih menjadi daerah endemi virus Corona. Sejak ditemukan di Arab Saudi pada September 2012 lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengkonfirmasi terdapat 24 kasus penderita Novel Corona Virus dengan kasus meninggal sebanyak 16. Angka ini termasuk berbahaya karena risiko kematiannya di atas 50 persen. “Makanya kami terus antisipasi supaya jemaah kita tak terpapar virus ini.”

sumber: www.tempo.co

 

Polio outbreak spreads in Somalia; 105 recorded cases

Somalia is suffering an “explosive” outbreak of polio and now has more cases than the rest of the world combined, an official said Friday.

Vaccine-wielding health workers face a daunting challenge: accessing areas of Somalia controlled by al-Qaida-linked militants, where 7 of 10 children aren’t fully immunized.

Polio is mostly considered eliminated globally except mainly in three countries where it is considered endemic: Afghanistan, Nigeria and Pakistan. India marked a major success in February 2012 by being removed from the World Health Organization’s list of countries plagued by the disease.

Somalia now has 105 cases, figures released Friday show, and another 10 cases have been confirmed across the border in a Kenyan refugee camp filled with Somalis. Globally there have been 181 cases of polio this year, including those in Somalia and Kenya.

Vaccination campaigns in Somalia have reached 4 million people since the outbreak began in May, but those health officials have limited access to about 600,000 children who live in areas of Somalia controlled by the armed Islamist group al-Shabab.

“It’s very worrying because it’s an explosive outbreak and of course polio is a disease that is slated for eradication,” said Oliver Rosenbauer, a spokesman for the Global Polio Eradication Initiative at the World Health Organization in Geneva. “In fact we’re seeing more cases in this area this year than in the three endemic countries worldwide.”

In a bit of good news, Rosenbauer said in a phone interview with The Associated Press that polio numbers are down in the three remaining endemic countries.

“The only way to get rid of this risk is to eradicate in the endemic countries, and there the news is actually paradoxically very good,” he said.

Somalia was removed from the list of endemic polio countries in 2001, and this year’s outbreak is the second since then.

It began one month after Bill Gates helped unveil a six-year plan to eradicate polio at the Global Vaccine Summit. That effort will cost $5.5 billion, three-quarters of which has already been pledged, including $1.8 billion from the Bill and Melinda Gates Foundation.

The outbreak in Somalia does not set back the six-year plan, said Rosenbauer, because unpredictable and intermittent outbreaks were programmed into the timeline.

In al-Shabab controlled south-central Somalia, disease surveillance is functioning, but health officials are likely not able to detect all polio cases.

Mohamud Yasin, a retired doctor who has treated polio throughout his career, said: “It’s indeed worrying because this comes at a time when the country is still hugely affected by the raging fighting, which prevents volunteers from accessing people in need of vaccines. It may take time before we can confidently say we have universal coverage of the immunization.”

In a sign of how difficult it is for medical providers to operate in Somalia, the aid group Doctors Without Borders announced this week it was pulling out of the country after 22 years because of attacks on its staff members. MSF, as the group is also known, was not taking part in the polio vaccination campaign.

Somalia shares one significant trait with the three endemic countries: pockets of severe violence where populations can be hostile to health care workers. In February, gunmen believed to belong to a radical Islamic sect known as Boko Haram shot and killed at least nine women taking part in a polio vaccination drive in northern Nigeria.

Polio, for the moment, has been defeated in two areas of Pakistan. But in one region where the disease persists — the dangerous North and South Waziristan region near the Afghanistan border — local authorities have banned immunization campaigns since mid-2012. Vaccination programs, especially those with international links, have come under suspicion since a Pakistani doctor ran a fake vaccination program to help the CIA track down Osama bin Laden.

“So no immunizations are taking place, and sure that’s a challenge and that has to be addressed,” said Rosenbauer. Still, he noted that nine times out of 10 when a child isn’t immunized in Pakistan it’s because of operational issues, not social resistance.

Southern Afghanistan hasn’t recorded any polio cases since November, a story of success after years of failure there. Afghanistan saw 37 polio cases last year but only four so far this year. Polio cases are also down in Nigeria year-over-year, but about the same in Pakistan.

When the Global Polio Eradication Initiative was launched in 1988, the disease was endemic in 125 countries and paralyzed about 1,000 children per day. Since then the incidence of polio has decreased by more than 99 percent. Five children have been paralyzed in Somalia’s recent outbreak.

At the April summit, Gates talked about the need to vaccinate the hardest-to-reach children in the endemic countries.

Eradicating the last cases has proved difficult. The World Health Organization knows the Somalia outbreak came from West Africa but can’t say exactly where. In 2011, the virus jumped from Pakistan to China, and the year before that to Tajikistan. There have been more than 50 outbreaks in the last decade.

Poliovirus is very contagious. The virus lives in an infected person’s throat and intestines. It spreads through contact with the feces of an infected person and through droplets from a sneeze or cough.

source: www.trivalleycentral.com

 

HAIs Growing Problem, Group Says

Healthcare-associated infections (HAIs) are costly and deadly and becoming a national crisis, according to the Alliance for Aging Research.

Some 1.7 million Americans develop hospital-acquired HAIs each year at a cost ranging from $28.4 billion to $5 billion, the Washington nonprofit noted in a fact sheet released Monday.

And roughly 45% of hospital-acquired HAIs are in patients older than 65, according to Thomas File, MD, president of the National Foundation for Infectious Diseases.

“I think there’s a huge emphasis on prevention and control of healthcare-associated infections and antimicrobial resistance among the infectious disease physician and nurse community,” Victoria Fraser, MD, a professor of infectious disease at the Washington University School of Medicine in St. Louis, said. “I think the importance of this fact sheet is making it more broadly emphasized across other industries and other populations.”

File and Fraser spoke Monday on a call with reporters about the fact sheet, the latest addition to the Alliance’s “Silver Book,” a searchable database.

“When infections do occur in the older population, the burden of illness is high and often the outcome is less favorable,” File added.

With 10,000 baby boomers turning 65 every day, there are more opportunities to increase prevention efforts and research activities, they said.

For example, more work is needed to understand HAIs outside the intensive care unit, in long-term care, rehab and dialysis facilities, and ambulatory surgical centers, Fraser said.

“We also need specific research programs focused on cancer patients and the elderly that will deal with how to improve our environmental decontamination, cleaning, and disinfecting to reduce the burden of antimicrobial organisms,” Fraser said.

Aging contributes to decreased protections from infections such as changes to the skin and lungs. Immune response is weakened by more chronic conditions such as heart disease which accumulate through time. As a result, older patients are two to five times more likely to develop a HAI.

The most common types of HAIs are bloodstream infections related to central lines, catheter-associated urinary tract infections, ventilator-associated pneumonia, and surgical site infections. Clostridium difficile infections are another common HAI — and 75% of those start outside the hospital, in nursing homes and physician offices.

The rise in antibiotic resistance just adds to the problem — about 70% of hospital-acquired HAIs are resistant to at least one drug.

The Alliance for Aging Research hopes release of the fact sheet will spur activity in fields beyond infectious disease.

“I think we’re trying to ramp up interest and emphasis in geriatrics, in endocrinology, in cardiology, among multiple subspecialties, not just infectious disease about this important problem,” Fraser said.

The six-page fact sheet compiles information from previous reports such as the number of hospital-linked infections.

There is also a large section devoted to proven prevention efforts.

source: www.medpagetoday.com