WHO: People Needing Health Care Should Not Go Broke

The World Health Organization says everybody should have access to the health care services they need without risking financial ruin. This year’s World Health Report urges countries to provide universal health coverage tailored to their peoples’ specific needs.

In 2005, all 194 member states of the World Health Organization committed themselves to achieving universal health coverage. However, relatively few countries have achieved this goal and most people in the world have to pay out of pocket for the health care they need.

WHO says services provided by universal health coverage should include prevention, treatment, rehabilitation and palliative care. Coverage should encompass health care in communities, health centers and hospitals.

Since health needs differ from one country to another, the report says each nation must create a system of universal health coverage specifically tailored to its needs.

Christopher Dye, lead author of the report, is director of WHO’s Office of Health Information, HIV/AIDS, Tuberculosis, Malaria and Neglected Tropical Diseases.

He said countries must invest in local research to know what kind of universal health coverage would work best for them. For example, he said nearly half of all HIV-infected people eligible for anti-retroviral therapy are receiving it. But, he said research is needed to determine how the other half will be eligible to receive this life-saving treatment.

“Let me give you another example with respect to the way in which people pay for health care,” he said. “Every year approximately 150 million people in the world suffer catastrophic health expenditure. That is they have to pay out of their own pockets for health care to a degree that they cannot possibly afford. So, how do we put in place mechanisms for financial risk protection, which will ensure that catastrophic health expenditures are reduced to a minimum?”

The report shows how research can help countries develop a system of universal health coverage that addresses their health issues and ensures their citizens can obtain the services they need without suffering financial hardship.

The U.N. health agency said research should be done in low- and high-income countries because the poorer countries have special problems they have to work out for themselves. It says answering these questions is not a luxury but a necessity.

The thorny question of how countries can finance universal health coverage, especially during a time of economic austerity, runs throughout this report.

Dr. Dye noted a number of northern European countries have made the decision to continue supporting their social and health services during this period of financial distress. He said this decision is paying off in better health for their people.

“Saving money on health care is often a false kind of economy. If you save money on health care in the short term, you may end up spending more in the long term. So, cutting the cost of health budgets is not an enlightened policy,” he said.

Acknowledging escalating costs, Dr. Dye said provisions for health care must be made within a limited budget during times of relative financial stability, as well as of economic austerity. He said governments need to make greater effort to reign in run-away expenses and make health care services more cost-effective and beneficial.

source: www.voanews.com

 

Menkes Sudah Minta Izin SBY untuk Ratifikasi FCTC

Pemerintah Indonesia dikabarkan segera mengaksesi atau meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau dan Rokok. Penandatanganan ini baru bisa dilakukan setelah tertunda hampir satu dekade.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan bahwa proses penandatanganan konvensi yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia itu sudah mulai dilakukan. “Kami sudah meminta izin ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk aksesi FCTC melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa,” kata Nafsiah di kantornya, Kamis, 15 Agustus 2013.

Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah berulang kali berupaya meratifikasi konvensi ini, tetapi selalu gagal. Padahal, delegasi Indonesia sejak 1998 adalah partisipan aktif untuk membahas pentingnya konvensi ini bersama 191 negara anggota WHO. Sejak ditetapkan pada 2003, konvensi itu sudah diratifikasi 177 negara. Di kawasan Asia, hanya Indonesia yang belum mengadopsi FCTC. “Ikut menyusun, masak tidak meratifikasi,” kata Nafsiah.

Upaya yang baru dilakukan Indonesia belakangan ini adalah memasukkan rokok sebagai zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan. Desember 2012 lalu, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan ini tidak melarang total iklan rokok.

Nafsiah sudah mengkonsultasikan aksesi ini ke kementerian dan lembaga terkait. Senin depan, 19 Agustus 2013, Kementerian mengundang pelaku industri rokok guna menjelaskan alasan aksesi FCTC. Isi FCTC itu sendiri, menurut Nafsiah, pemerintah harus melindungi rakyat dari bahaya rokok dengan mengatur beberapa hal seperti pelarangan iklan rokok, melarang generasi muda merokok, dan melindungi para perokok pasif dari bahaya asap rokok. Dengan adanya aksesi ini, kata Menteri, “Pelaku industri rokok tidak perlu takut.”

sumber: www.tempo.co

 

Menkes Apresiasi 129 Tenaga Kesehatan Teladan

IBARAT berburu binatang dengan tombak, tenaga kesehatan (Nakes) itu ujung tombak keberhasilan pembangunan pelayanan kesehatan. Apa pasal?

Hal ini karena tenaga kesehatan orang yang bersentuhan langsung dalam melayani kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat, terkait segala tantangan di Puskesmas mereka masing-masing mengabdi. Sehingga tak ada salahnya untuk memberikan penghargaan bagi mereka yang sudah lama berjuang memajukan pelayanan kesehatan, yakni melalui penghargaan pemilihan tenaga kerja teladan di Puskesmas.

Tenaga kerja teladan di Puskesmas diadakan untuk menghargai jasa mereka yang sudah bertanggung jawab dan mengeluarkan cinta kasihnya pada dunia kesehatan. Menteri Kesehatan, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH mengucapkan terima kasih kepada segenap tenaga kesehatan di Indonesia yang sudah berjuang untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan di setiap daerah di Indonesia.

“Tenaga kesehatan layak disebut sebagai pahlawan bangsa, pahlawan kemanusiaan, dan pahlawan kesehatan karena telah bersungguh-sungguh mengangkat derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan mewujudkan kualitas hidup rakyat Indonesia yang sebaik-baiknya. Di mana mereka telah berkerja dengan memberikan pelayanan kesehatan terbaik, memberikan pelayanan kesehatan promotif-preventif, dan kuratif-rehabilitatif. Terpenting ialah tulus ikhlas dan penuh pengabdian kepada masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air,” kata Menkes RI, dalam acara bertema Pemberian Penghargaan 129 Nakes Teladan di Puskesmas Tingkat Nasional 2013, Kantor Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Kamis (15/8/2013)

Ditambahkannya bahwa pemilihan Nakes Teladan di Puskesmas bukanlah penghargaan biasa. Pasalnya, mereka yang menjadi Nakes dipilih dengan cermat, objektif, transparan, adil, dan dinilai dengan oleh atasan, lingkungan masyarakat di wilayah tempat Nakes teladan tinggal. Sehingga proses inilah yang menentukan tenaga kesehatan dan 129 Nakes teladan yang ada di sini berhak dan layak masuk Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas Tingkat Nasional tahun 2013.

“Tahun ini ada 129 Nakes Teladan dari Puskesmas Tingkat Nasional. Di mana mereka berasal dari 33 provinsi di Indonesia, dengan dibedakan dengan tiga kategori. Pertama ialah kategori dokter dan dokter gigi, kategori dua adalah tenaga keperawatan, yaitu bidan dan perawat, kemudian kategori ketiga ialah tenaga kesehatan masyarakat yang mencakup penyuluh kesehatan, asisten apoteker, analisis laboratorium, dan lain lain,” imbuh dr. Nafsiah

Sementara itu, Menkes tak lupa menyampaikan selamat atas prestasi para Nakes yang hadir atau yang berhalangan karena suatu hal. Di mana yang berhalangan hadir ialah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk kategori tenaga dokter dan tenaga gizi, kemudian Provinsi Maluku juga tak mengirimkan Nakes teladannya dengan kategori tenaga gizi. Meski begitu, halangan itu tak membuat apresiasi Menkes kepada Nakes berkurang.

“Saya yakin dan percaya, prestasi Nakes Teladan 2013 ini dicapai dengan kerja keras, kerja cerdas, komitmen, dan dedikasi pada pelayanan kesehatan masyarakat dengan melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, bagi Nakes teladan yang ada di sini dan berhalangan, saya ucapkan terima kasih atas pelayanan kesehatan yang telah Anda berikan selama ini untuk masyarakat di semua pelosok Indonesia,” pungkasnya.

sumber: health.okezone.com

 

The hidden threat that could prevent Polio’s global eradication

An article by Scientific American.

Global eradication of polio has been the ultimate game of Whack-a-Mole for the past decade; when it seems the virus has been beaten into submission in a final refuge, up it pops in a new region. Now, as vanquishing polio worldwide appears again within reach, another insidious threat may be in store from infection sources hidden in plain view.

Polio’s latest redoubts are “chronic excreters,” people with compromised immune systems who, having swallowed weakened polioviruses in an oral vaccine as children, generate and shed live viruses from their intestines and upper respiratory tracts for years. Healthy children react to the vaccine by developing antibodies that shut down viral replication, thus gaining immunity to infection. But chronic excreters cannot quite complete that process and instead churn out a steady supply of viruses. The oral vaccine’s weakened viruses can mutate and regain wild polio’s hallmark ability to paralyze the people it infects. After coming into wider awareness in the mid-1990s, the condition shocked researchers.

Philip Minor, deputy director of the U.K.’s National Institute for Biological Standards and Control, describes the biomedical nightmare: Wild polioviruses stop circulating. Countries cut back on vaccination efforts. A chronic excreter kisses an unvaccinated baby, and the baby goes to day care. “And zappo,” he adds, “it’s all over the place, with babies drooling all over each other. So you could see a scenario where polio would come back from a developed country.” It could happen in the developing world as well. Although it was once thought that immunocompromised individuals could not survive for long in lower-income countries, circumstances are changing as those countries improve their health care systems. In 2009 an immunodeficient 11-year-old Indian boy was paralyzed by polio, five years after swallowing a dose of oral vaccine. It was only then that researchers recognized him as a chronic excreter.

Chronic excreters are generally only discovered when they develop polio after years of surreptitiously spreading the virus. Thankfully, such cases are rare. According to Roland W. Sutter, the World Health Organization scientist who heads research policy for the Global Polio Eradication Initiative, the initiative is pushing for the development of drugs that could turn off vaccine virus shedding. A few promising options are in the pipeline.

Drugs can only solve the problem if chronic excreters are identified, and that’s no easy task. For years scientists in Finland, Estonia and Israel monitored city sewers, watching for signs of shedders’ presence. In many samples, they have found the telltale viruses from chronic excreters, but they have failed to locate any of the individuals. These stealthy shedders may not be classic immunodeficient patients traceable through visits to immunologists. Instead they may be people who do not know they have an immunity problem at all and are under no specialized medical care. “We know that there’s really a Damocles sword hanging over them,” Sutter says. It hangs over the rest of us as well.

source: www.nature.com

 

Social Media Kesehatan yang Cukup Populer

Jakarta, PKMK. Di Indonesia saat ini, popularitas social media industri kesehatan sama dengan di industri lain. Dengan kata lain, industri kesehatan sama gesit dengan industri lain dalam memanfaatkan social media seperti Twitter, Facebook, dan lain-lain. Kini, produsen obat ataupun penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan dokter, gencar memanfaatkan social media. Hal tersebut disampaikan Dr. Erik Tapan, pengamat informatika kedokteran dari Perhimpunan Informatika Kedokteran Indonesia (PIKI) di Jakarta (14/8/2013).

Erik menambahkan mau atau tidak, pelaku industri kesehatan dari Indonesia harus cepat memanfaatkan social media untuk ekspansi bisnis. Selain untuk edukasi kesehatan, social media bisa digunakan juga untuk customer service, pembentukan komunitas, public relation, dan lain-lain.

Di Indonesia, social media bisa digunakan untuk memobilisasi dukungan politik. Di industri kesehatan, hal serupa bisa terjadi. Misalnya, saat serangan ke dokter ataupun tenaga kesehatan banyak muncul di social media, muncul pula satu video tentang kehidupan calon dokter ataupun dokter muda. “Video itu muncul di YouTube. Dengan video itu, masyarakat diharapkan mendapat informasi seimbang tentang keuletan para dokter dalam mencapai cita-cita,” kata Erik.

Saat ini, kata direktur Klinik L’ Melia itu, ada beberapa kelompok pelaku utama social media kesehatan di Indonesia. Pertama, produsen produk kesehatan seperti suplemen, obat yang dijual bebas, dan obat resep dokter. Untuk obat resep dokter, produsen umumnya membentuk komunitas-komunitas karena obat itu tidak bisa dijual langsung.

Kedua, para dokter umum dan dokter spesialis. Mereka mulai membuka alamat Twitter, FaceBook, dan blog. Hal tersebut dilakukan untuk menjangkau pasien ataupun calon pasien.

Ketiga, institusi pendidikan kesehatan/kedokteran. Dalam social media institusi tersebut, aktivitas mahasiswa banyak yang secara tidak langsung mempublikasikan almamaternya.

Efek viral social media kesehatan di Indonesia belum sedahsyat negara maju. Di negara yang berbahasa Inggris, efek viral tersebut tentu lebih bersifat lintas-negara.

 

60 Persen Rumah Sakit Siap Jalankan Sistem JKN

Meski pemerintah terus menggenjot persiapan pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dimulai Januari 2014, tetapi masih ada beberapa permasalahan yang menghadang. Terutama mengenai kesiapan rumah sakit.

Menurut Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSSI), Sutoto Cokro, permasalahan terutama terjadi pada rumah sakit yang belum mampu melaksanakan kendali mutu dan biaya dengan baik.

“Apalagi awalnya kita berharap premi bisa Rp. 22.300. Rumah sakit yang tidak mampu melakukan kendali mutu dan biaya tentu akan rugi. Hal ini sepenuhnya permasalahan internal rumah sakit,” kata Sutoto ketika dihubungi Kompas.com pada Senin (12/8) di Jakarta.

Kendati begitu, Sutoto optimis pelaksananaan JKN bisa berlangsung dengan baik. Ia mengatakan permasalahan demikian biasa terjadi di negara yang baru melaksanakan jaminan sosial.

Sampai saat ini menurut Sutoto, sekitar 1.100 rumah sakit seluruh Indonesia siap melaksanakan JKN 2014. Angka tersebut sama dengan jumlah rumah sakit yang mengikuti program Jamkesmas. “Angka tersebut setara 60 persen jumlah rumah sakit seluruh Indonesia. Angka tersebut tentu sudah bagus, apalagi mungkin baru 60-70 persen warga Indonesia yang menjadi peserta JKN pada Januari 2014,” kata Sutoto.

Kendati begitu, Sutoto tak menampik ada dua permasalahan yang harus cepat diselesaikan. Masalah tersebut mencakup distribusi tempat tidur dan dokter spesialis. Dari dua masalah tersebut, Sutoto menilai, ketersediaan dokter spesialis menjadi poin utama.

Dokter spesialis berada di tingkat pelayanan sekunder, yakni rumah sakit daerah dan tersier atau rumah sakit provinsi dan nasional. Dalam JKN 2014 pasien akan mendapatkan pelayanan sekunder atau tertier, bila pelayanan di tingkat primer tidak mampu melakukannya.

Tanpa menyebut jumlah, Sutoto menilai jumlah dokter spesialis yang terdapat di Indonesia masih sangat kecil. “Untuk rumah sakit tipe D minimal ada 4 spesialis, yaitu penyakit dalam, anak, bedah, dan kebidanan. Pos-pos inilah yang rentan diduduki tenaga kerja asing. Padahal kualitas dokter asing tersebut belum tentu lebih baik dibanding dalam negeri,” kata Sutoto.

Sutoto berharap, pemerintah bisa membuka peluang lebih lebar untuk produksi dokter spesialis. Salah satunya dengan membuka kesempatan perguruan tinggi swasta ikut ‘memproduksi’ dokter spesialis. Menurut Sutoto, asal aturan dan kurikulum jelas hal tersebut bukan masalah.

Sedangkan terkait distribusi tempat tidur, Sutoto berharap, pemerintah bisa membuka kesempatan bagi swasta. “Terutama untuk daerah terpencil dan padat penduduk. Apalagi bila kita akan menggunakan aturan WHO, satu tempat tidur untuk 1.000 populasi,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher. Saat ini dibutuhkan sekitar 170 ribu tempat tidur, dengan kelas tiga sebanyak 65 ribu.

“Sekarang kita tunggu dulu hasil pendataan puskesmas untuk jumlah tempat tidur. Sedangkan untuk dokter spesialis, kita konsentrasi dulu pada dokter umum untuk layanan primer,” kata Akmal.

sumber: health.kompas.com

 

Ratifikasi FCTC Ancam Industri Rokok Lokal

Jakarta – Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang akan diberlakukan pada tahun 2014 mendatang bakal membuat produk tembakau lokal tersisih. Padahal, produk tembakau dari Indonesia sudah memiliki ciri khas sendiri.

Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan apabila pemerintah tetap memberlakukan FCTC maka akan ada pengurangan pekerja di sektor industri rokok, bahkan juga merugikan para petani tembakau. “Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besaran hingga pabrik gulung tikar,” ujarnya di Jakarta, Senin.

Padahal, lanjut dia, secara keseluruhan pekerja di sektor industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,1 juta tenaga kerja. Dari jumlah itu 93,77 % diserap kegiatan usaha pengolahan tembakau, seperti pabrik rokok. Sedangkan, penyerapan di sektor pertanian tembakau menyerap sekitar 6,23%.

“Lebih rincinya 1,25 juta orang telah menggantungkan hidupnya bekerja di ladang cengkeh dan tembakau, 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok, dan 24,4 juta orang terlibat secara tidak langsung dalam industri rokok,” lanjut dia.

Poempida menegaskan visi misi Presiden SBY adalah ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif. Salah satu definisi dari pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan akselerasi maupun peningkatan bagaimana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi itu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 450.000 orang.

“Dalam konteks rencana Menkes meratifikasi FCTC, sama halnya Menkes mengingkari visi misi Presiden SBY,” tegas dia.

Berlakukan Standarisasi

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtantio Wisnu Brata mengatakan jika diberlakukan standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih.

Nurtianto menjelaskan, apabila produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa dijadikan bahan baku rokok dan produk turunan lain. “Dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan yang ada di luar negeri padahal tembakau kita berbeda. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain,” kata dia.

Menurut dia, seharusnya pemerintah membuat aturan rokok yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia ketimbang memberlakukan FCTC tersebut. “FCTC bisa saja sesuai dengan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia,” tegas dia.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi secara terbuka menyampaikan keinginannya di hadapan para perwakilan industri rokok dalam acara sharing informasi PP No 109 Tahun 2012. Dalam PP ini telah mengadopsi FCTC tersebut.

Bendahara Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budiman menilai, petani tembakau Indonesia akan menderita kerugian hingga mencapai Rp 10 triliun. Jika pemerintah meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Jika memang peraturan ini benar-benar diresmikan pemerintah maka akan ada 100.000 ton cengkeh atau tembakau yang bakal terlantar atau senilai hampir Rp 10 triliun yang akan terbuang,” katanya.

Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada 2014, bakal membuat produk tembakau lokal tersisih. Padahal, produk tembakau dari Indonesia sudah memiliki ciri khas.”Jika ada standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih,” ujarnya.

Dia menjelaskan, bila produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa dijadikan bahan baku rokok dan produk turunan lain. “Dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan di luar negeri, padahal tembakau kita berbeda. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain,” tuturnya.

Menurut I Ketut, seharusnya pemerintah membuat aturan rokok sesuai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia, ketimbang memberlakukan FCTC. “FCTC bisa saja sesuai kondisi di luar negeri, tapi belum tentu cocok di Indonesia,” ucapnya.

Secara keseluruhan, pekerja di sektor industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,1 juta tenaga kerja. Dari jumlah itu, 93,77% diserap kegiatan usaha pengolahan tembakau seperti pabrik rokok. Sedangkan penyerapan di sektor pertanian tembakau, menyerap sekitar 6,23 persen tenaga kerja.

sumber: www.neraca.co.id

 

Wamenkeu: Sektor Kesehatan Sudah Siap Sambut AEC?

JAKARTA – Indonesia akan bergabung dalam ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015 nanti. Namun, sudah siapkah Indonesia untuk menuju pasar bebas ini ?

Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan, sejauh ini dari segi kios, Indonesia sudah siap masuk dalam AEC. Meski demikian, dia menilai ada beberapa sektor yang masih harus dibenahi Indonesia, seperti sektor kesehatan.

“Ketika dokter-dokter dari negara lain masuk ke Indonesia, siapkan dokter kita berkompetisi? Siapkah kita menerima?,” kata dia di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta.

Menurutnya, Malaysia yang tengah mengembangkan bisnis kesehatan, dan Singapura memiliki kualifikasi lebih baik. “Dokter kita kualifikasinya enggak lebih baik,” tambahnya.

Oleh karena itu, sektor kesehatan di Indonesia harus dikemas dengan kemudahan, fasilitas dan perawatan yang lebih baik sehingga lebih kuat. “Konsumen seperti kita juga harus utamakan produk yang kita miliki sendiri. Cintailah produk dalam negeri,” tutup dia.

sumber: economy.okezone.com

 

Perceptions of international organizations

‘United Nations agencies like the World Health Organization are constantly painted in a bad light by the more extreme conservative elements of the Catholic Church here in the Philippines.’

ANTI-RH fundamentalists appear to be schizophrenic about international scientific bodies and their role in assessing evidence on biological processes and their effects on health.

This was apparent during the legislative debates as well as in the third RH hearing of the Supreme Court last week.

On the one hand they repeatedly cited a World Health Organization (WHO) body, the International Agency for Research on Cancer (IARC), to warn about the harmful effects of contraceptives. On the other, they constantly downplayed WHO opinions about the safety and efficacy of contraceptive devices and pills.

The likely explanation for such confusion is a lack of knowledge concerning the origins, history, and roles of international agencies in the conduct of international activities.

WHO for example is a specialized agency of the United Nations with technical authority on international health matters. While it functions as a part of the United Nations System, as an intergovernmental agency, WHO has a separate charter with its own set of governing bodies.

The World Health Assembly that meets annually in Geneva is WHO’s highest governing body. It is composed of the Ministers of Health or their representatives of the organization’s more than 190 Member States. The Assembly exercises its authority through an Executive Board comprising 36 public health or biomedical experts nominated on a rotating basis by the Member States themselves.

Day to day operations are carried out by a Secretariat of technical and health management experts supported by general service staff stationed at headquarters in Geneva, the six Regional Offices, and at country offices.

The main source of WHO’s technical strength is its access to international technical bodies (such as IARC) and the health expertise of its Member States’ health authorities as well as their academic and science institutions in all areas relevant to its mandate.

From time to time and for special purposes, WHO convenes expert panels drawn from the global scientific community to supplement in-house capacities. Thus, WHO opinions on specific issues are distillations of the consensus of such bodies and reflect views from a broad range of public, biomedical, social, and other highly specialized disciplines.

WHO’s regular budget is funded through assessed contributions of Member States pro-rated according to the member’s population and level of socio-economic development. Some countries also make contributions to special extra-budgetary programs. The funding arrangements render it improbable that financial pressure can be brought to bear on its scientific decision making processes.

Although agencies like WHO are sensitive to political and even religious sensibilities of its Member States, its structure and manner of working make it highly unlikely that its conclusions can be biased in favor of any one member or group of members.

The Organization’s position on reproductive health for example has been consistent with all the global consensus-driven declarations particularly the International Conference on Population and Development in Cairo in 1994 where the term reproductive health was first introduced.

The Vatican’s status in the World Health Assembly is that of “observer” – meaning it has no vote but can participate in debates and discussions. However, it influences international health policy through its political leverage in countries with predominantly Catholic populations. Historically, the Vatican strongly resisted incorporating population and family planning issues in the Organization’s agenda from its inception in 1947. Nevertheless, the Vatican supports WHO initiatives in other areas such as addressing children’s health problems in poor countries.

The WHO Regional Office for the Western Pacific was established here in Manila in 1949. The majority of its general service staff is Filipino. A number of Filipino health experts have served in high-ranking technical and administrative posts in the Secretariat here, in other Regional Offices, and in Geneva. Additionally, Filipinos have participated extensively in special panels, technical working groups, and scientific working groups – making significant contributions to WHO achievements such as the global eradication of smallpox and the more recent eradication of polio in the Western Pacific.

It is unfortunate that United Nations agencies like the World Health Organization are constantly painted in a bad light by the more extreme conservative elements of the Catholic Church here in the Philippines. What is even more regrettable is that, as a result, even some educated Filipinos are not informed about the important role that agencies such as WHO, UNFPA, and UNICEF play to improve health conditions in developing countries like the Philippines.

Hopefully, as the heated debates on reproductive health are gradually replaced by more rational sober discussions on universal health care for all Filipinos, there will be broader cooperation between secular health institutions and the more enlightened elements of the Catholic Church in the Philippines.

source: www.malaya.com.ph

 

Badan Pengawas Rumah Sakit Perlu Rambu Operasional

Jakarta, PKMK. Badan Pengawas Rumah Sakit yang belum lama ini ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2013, sebaiknya mendapatkan sebuah Standar Pelayanan Medik. Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Rumah Sakit bisa lebih operasional karena ada rambu ataupun standar tertentu yang baku. Dr. Marius Widjajarta, pengamat kebijakan kesehatan dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, mengatakan hal tersebut di Jakarta (13/8/2013).

Marius menambahkan, keberadaan Badan Pengawas Rumah Sakit tentu harus disambut baik. Tapi, acuan apa yang akan digunakan badan tersebut untuk mengawasi banyak rumah sakit kalau Standar Pelayanan Medik tidak ada? “Kalau Standar Operasional Prosedur (SOP), itu dimiliki tiap rumah sakit. Dan berbeda antara satu dengan yang lain. Nah, kalau Standar Pelayanan Medik, itu berlaku nasional dan sama,” kata Marius.

Lebih lanjut Marius berkata, “Tanpa Standar Pelayanan Medik, ini yang dibentuk ‘badan-badanan’ atau badan beneran? Rambunya kan tidak ada. Bagaimana mungkin rumah sakit dinyatakan melakukan malpraktek bila standar penilaiannya tidak ada?”

Standar Pelayanan Medik memang sebaiknya dibuat oleh Kementerian Kesehatan RI. Apalagi menjelang keberlangsungan Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) di tahun 2014. Perdebatan nilai premi untuk warga miskin peserta BPJS, juga diakibatkan ketiadaan sebuah standar baku yang jelas. “Kini PBI ditetapkan 19 ribu rupiah. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan ingin 22 ribu rupiah sedangkan Dewan Jaminan Sosial Nasional berpatokan pada 27 tibu rupiah. Kesannya, penentuan PBI itu kan harga tebak manggis,” kata Marius sambil tertawa ringan.

Saat ini, ia menambahkan, Standar Pelayanan Medik baru akan diujicobakan di Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di tiga kota. Hal ini merupakan uji coba untuk pelayanan primer. Untuk pelayanan sekunder, tentu perlu standar yang sama.”Prinsipnya, Standar Pelayanan Medik itu sangat kita perlukan. Bukankah kita perlu membuat pondasi sebelum membangun rumah?” ucap Marius.