BPJS Beroperasi, Pemda Bisa Beralih ke Program Promotif

Serpong, PKMK. Setelah Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) beroperasi di awal tahun 2014, Pemda dengan pendapatan asli daerah (PAD) tinggi bisa mengalihkan anggaran kesehatan ke pelayanan promotif dan preventif. Hal ini merupakan peralihan dari pelayanan kuratif yang sebelumnya diberikan melalui Jamkesda. “Dengan demikian, ada penguatan produktivitas masyarakat melalui pembangunan kesehatan jangka menengah dan panjang yang komprehensif dan terintegrasi,” kata Asih Eka Putri, direktur Martabat Prima Konsultindo (21/7/2013).

Melalui surat elektronik, ia mengatakan bahwa pembangunan kesehatan jangka menengah dan panjang itu akan memperkuat program-program BPJS Kesehatan yang berlangsung nasional. Kelanjutan hal itu, Pemerintah Indonesia dan masyarakat akan didekatkan pada tujuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berupa pemenuhan kebutuhan hidup dasar. “Juga didekatkan dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu penduduk sehat dan produktif,” kata Asih.

Bagaimana contoh program oleh Pemda tersebut? Jawab Asih, pertama, program penguatan lingkungan sehat dengan tujuan meningkatkan kesempatan masyarakat untuk hidup sehat. Kedua, penguatan gerakan hidup sehat dan pembudayaan BPJS Kesehatan. Hal ini akan menumbuhkan tanggung jawab masyarakat untuk memelihara kesehatan. Juga meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup. Ketiga, penguatan pelayanan kesehatan primer beserta penyelenggaraan program promosi-preventif penyakit ataupun kecelakaan. Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup pekerja dan keluarganya; serta mencegah cacat/kematian dini pencari nafkah. Kelanjutan semua hal itu, penduduk sehat, produktif, dan berpenghasilan baik, akan memerkuat mobilisasi dana masyarakat daerah untuk membiayai BPJS Kesehatan ataupun program jaminan sosial yang lain.

Keempat, menguatkan ketersediaan, distribusi, dan kualitas layanan kesehatan. Serta mengintegrasikan fasilitas kesehatan primer, sekunder, dan tersier. Semua itu untuk menguatkan perlindungan kesehatan masyarakat dan menguatkan kepercayaan publik terhadap BPJS Kesehatan ataupun kredibilitas Pemda. Kelima, integrasi pelayanan kesehatan perorangan dengan pelayanan kegawatdaruratan dan penanggulangan bencana. Hal ini bertujuan untuk menguatkan perlindungan masyarakat daerah. Serta meningkatkan daya tarik daerah sebagai tujuan investasi.

 

Greece Mandates HIV Testing for High-Risk Groups

Human rights groups are outraged, but social media has garnered support for a controversial policy to mandate HIV testing for certain groups in Greece.

Greece has reinstated mandatory HIV testing for high-risk groups, sparking outrage from international human rights organizations.

In a statement to the news media, Doctors of the World blasted Greek Health Minister Adonis Georgiadis for issuing a decree earlier this month that they say unfairly targets sex workers, drug users, and undocumented migrants for testing.

“This decree is a serious violation of basic human rights, human dignity, and medical ethics,” the statement reads. “It goes against the recommendations of international public health specialists and human rights bodies, including those from the World Health Organization, UNAIDS, the European Centre for Disease Control, and the EU Fundamental Rights Agency.”

According to Doctors of the World, the decree also states that any occupants of housing which “may cause danger to public health” should be evicted from their homes, without any alternative offered. The group called on medical professionals in Greece to refuse to carry out the mandatory testing.

In a statement to Healthline, Georgiadis defended the decree. “The main concern of the Hellenic Government remains the shielding of the nation against public health threats, especially in a country like Greece with an annual massive tourist influx,” he said. “Thus, the government’s political decision to issue a specific health regulation was deemed incumbent in order to both secure interventions concerning emerging and re-emerging diseases at a global level as well as enhance the response to local events of public health significance in high risk populations.”

Georgiadis said that the Greek government “seeks to cover all potential public health threats and emergencies of international significance, as those have been determined by World Health Organization (WHO), European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC), and the U.S. Center for Disease Control (CDC).”

A spokeswoman at the CDC declined to comment, and UNAIDS did not return an e-mail seeking comment.

In a report published last year by the ECDC, the agency said transmission of HIV in Greece by intravenous drug users had outpaced the rate of infection among gay men. “This outbreak is occurring at a time when Greece is experiencing an unprecedented and severe financial crisis,” the report stated. “It is unclear to which extent the financial crisis has contributed to the outbreak, but it is evident that the crisis has a significant social and health impact on the population of Greece in general, and Athens in particular. In addition, the response of public authorities and civil society to the HIV outbreak is planned and implemented in a context of social and political uncertainty, with extremely scarce financial resources.”

In a statement to Healthline, Dr. Rafael Mazin, senior adviser on HIV/STI and hepatitis at the Pan American Health Organization, Regional Office for the Americas of WHO, said early diagnosis and treatment is critical for people with HIV. He said the public needs to understand the advantages of being tested.

However, he said the policy of WHO is that testing should be voluntary and confidential. “Coercion or pressure not only violates people’s capacity to make informed and voluntary decisions, but also threatens other aspects critical to their treatment, such as retention in the health system and medication adherence. Mandatory testing can produce negative health outcomes, such as mistrust of the health system, fear, stress, failure to recognize the advantages of an early diagnosis, and failures in treatment and in complete viral suppression.”

Other organizations, including the Los Angeles Gay and Lesbian Center, also believe the decree could backfire and worsen Greece’s HIV epidemic.

Darrel Cummings, chief of staff at the L.A. Center and an HIV policy expert, said stigmatizing groups at risk of contracting the disease is not only immoral, but also antithetical.

“It’s just the absolute wrong approach if the goal is treating people with HIV and making them better and preventing the spread of the disease,” he told Healthline. “There’s a worldwide effort right now to get positive people into treatment. “Actions like this are completely contrary to that internationally accepted goal. In fact, they are hostile to it.”

In an opinion piece published in Public Service Europe, Frank Vanbiervliet, European project coordinator for Doctors of the World, said a similar decree was introduced in Greece last year by then Health Minister Andreas Loverdos, from the socialist Pasok party. “It resulted in the round-up and forced testing of hundreds of women,” Vanbiervliet wrote. “Those found to be HIV positive had their names, personal details, and photographs published in the media, on the grounds of ‘protecting public health’. After widespread civil society indignation, nationally and internationally, the decree was overturned in May 2012.”

Georgiadis said the new decree is better than the previous regulation. “I want to clarify that the new, improved health regulation will provide for any possible gaps identified during the application of the previous regulation, and naturally it will fully comply with the Hellenic Constitution as well as the international provisions concerning the protection of human rights and international treaties signed by Greece to that effect.”

The issue of forced HIV testing in Greece solicited dozens of responses on Healthline’s HIV Awareness page on Facebook. A slim majority of respondents said mandatory testing is a good idea, although some expressed outrage at the idea and others were uncertain.

Jordan Travelyan, who is HIV-positive himself, said he believes mandatory testing could be beneficial. “A lot of people out there are having unprotected sex because either they don’t know they are positive and are spreading it around or, worse, they know they are positive and still have unprotected sex and just don’t give a damn.”

He said HIV test results should not be made public, however. The decision to be tested and to disclose your status is a personal one. “I am positive and tell my prospective partner right up front. People have the right to make an informed choice. Also, by knowing my status I can do all I can to stay as healthy as possible.”

source: www.healthline.com

 

Jerman Bangun Pabrik Farmasi di Indonesia Senilai Rp.1 Triliun

Jerman akan membangun pabrik farmasi di Indonesia dengan investasi sebesar Rp1 triliun (100 juta dolar Amerika Serikat), karena industri farmasi prospeknya cukup cerah dengan didukung besarnya jumlah penduduk.

“Pabrik farmasi tersebut akan memproduksi cairan infus dan obat-obatan injeksi yang dibangun dalam dua fase yang akan selesai dalam dua tahun ke depan,” ujar Direktur Utama PT B Braun Medical Indonesia Manogaran di Jakarta, Jumat.

Menuru dia, pada fase awal pabrik tersebut yang dibangun di lahan seluas 19 hektare itu akan memiliki kapasitas produksi sebanyak 75 juta unit per tahun, dan 150 juta unit pada fase kedua.

“Industri farmasi di dalam negeri saat ini sedang tumbuh, karena itu pembangunan pabrik dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat luas dinilai sangat tepat. Kami optimis kehadiran pabrik tersebut akan direspon pasar dengan baik,” katanya.

Ditanya mengenai dana investasi, ia mengatakan, dana tersebut 100 persen dari B. Braun bukan dari pinjaman.

“Kami memiliki dana untuk melakukan investasi di Indonesia, ” ujarnya.

Manogaran mengatakan, dari produksi 75 juta unit itu sekitar 50 juta untuk memenuhi kebutuhan domestik dan 25 juta lagi untuk diekspor.

“Pada fase kedua dari 150 juta unit, sekitar 75 juta unit untuk ekspor ke negara-negara lain seperti Jiran dan Eropa,” ujarnya.

Ia menambahkan, pada operasional pertama sekitar 500 orang dipekerjakan dan akan meningkat hingga 800 orang pada tahap kedua.

“Kami akan menjadikan Jakarta sebagai pusat pelatihan terpadu untuk mempersiapkan para ahli Indonesia agar dapat berkontribusi di pabrik-pabrik B Braun. Kami juga berharap hadirnya pabrik ini akan lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat Asia Pasifik khususnya Indonesia yang dapat menikmati layanan kesehatan lebih baik dan terjangkau,” kata dia.

Sementara itu, Board of Director B Braun Melsunger AG, Dr Meinrad Lugan mengatakan, sebagai perusahaan farmasi dan alat kesehatan yang telah mendukung rumah sakit dan industri kesehatan di dunia B Braun terus berinovasi menyediakan produk produk standar kelas dunia yang terjangkau.

“Melihat perkembangan strategis Indonesia, perusahaan Jerman tersebut berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai Center of Excellence untuk kawasan Asia Pasifik,” ujarnya.

Ia mengatakan, B Braun berkeinginan membantu mengurangi resiko kontaminasi udara, bakteri dan on bakteria, karena itu dibuat cairan infus yang merupakan produk utama yang digunakan sebagai perawatan dasar bagi pasien.

“Untuk itu desain botol dan teknologi merupakan aspek penting selain kontennya yang harus dikemas lebih baik,” ujarnya.

Staf Ahli Menteri Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Dr Yusharman mengatakan, investasi industri farmasi di dalama negeri saat ini sangat dibutuhkan.

“Karena itu rencana B Braun membangun pabrik farmasi di Indonesia segera didukungnya,” katanya.

Pemerintah, lanjut dia sangat berterima kasih atas investasi yang dilakukan perusahaan farmasi asal Jerman tersebut.

“Karena kehadirannya akan memberikan dukungan akan kebutuhan cairan infus yang sangat diperlukan untuk program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),” ujarnya.

Menurut dia, pasar Indonesia pada 2013 akan membutuhkan cairan infus sebanyak 100 juta unit per tahun dan pada 2020 akan meningkat menjadi 200 juta unit per tahun.

“B Braun juga memiliki pusat pengembangan riset dan sharing , serta melakukan edukasi terhadap masyarakat Indonesia, hal ini yang membuat saya lebih optimis,” ujarnya. (ant/han)

sumber: www.menits.com

 

Calon Jemaah Haji Indonesia Harus Waspada Virus Corona

Pemerintah Indonesia harus melakukan langkah antisipatif agar virus Corona tidak menjangkiti calon jemaah haji Indonesia.

Hal itu disebutkan dalam surat Kementerian Kesehatan Arab Saudi yang telah dikirimkan kepada Kementerian Kesehatan RI tentang bahaya dan antisipasi penyebaran virus corona Middle East Respiratory Syndrome (MERS).

“Kemenkes Arab Saudi juga sudah meminta para jemaah haji yang akan melaksanakan ibadah mengenakan masker ketika berada di tempat-tempat keramaian,” kata Anggota Komisi VIII DPR Tb Ace Hasan Syadzily kepada Tribunnews.com, Minggu (21/7/2013).

Sejumlah daftar aturan dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Arab Saudi, termasuk anjuran agar para lansia yang mengalami penyakit kronis menunda rencana haji mereka.

Laporan situs BBC pekan lalu menyatakan bahwa Virus corona MERS (Middle East respiratory-syndrome) mulai muncul di Semenanjung Arab pada September tahun lalu.

Dilihat menggunakan mikroskop, virus ini berbentuk bulat dengan untaian protein di sekelilingnya. Bentuk ini mengingatkan peneliti akan mahkota di sekeliling matahari. Sebanyak 38 orang Arab Saudi meninggal akibat virus ini. Varian virus corona yang paling terkenal adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Menurut Kemenkes RI, hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat mengobati virus ini.

Ace pun meminta Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama, agar melakukan langkah-langkah preventif dan antisipatif agar virus ini tidak menjangkiti jemaah haji Indonesia.

Langkah tersebut yakni Kementerian Agama melakukan sosialiasi kepada jemaah haji Indonesia agar mewaspadai bahayanya penyebaran virus ini dengan tanpa membuat jemaah menjadi panik. “Sosialisasi ini dilakukan melalui Kantor Wilayah Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan kelompok bersama ibadah haji di daerah-daerah sebelum mereka berangkat mulai bulan depan tahun ini,” ungkap Politisi Golkar itu.

Ace juga meminta Kemenag RI dan Kemenkes RI agar melakukan sosialisasi ini disertai dengan melakukan edukasi kepada jemaah haji agar calon jemaah haji tidak mudah terjangkiti virus ini. “Bersama dengan Kemenkes, Kemenag RI memberikan pemahaman tentang upaya pencegahan, yaitu agar calon jemaah haji bergaya hidup bersih dan mengonsumsi makanan yang dapat menjaga daya tahan tubuh,” imbuhnya.

Sebagaimana diketahui virus ini akan mudah menjangkiti bagi yang rentan dan tidak imun.

Di samping itu, kata Ace, guna antisipasi, Kementerian Agama agar menyediakan masker bagi calon jemaah dan meminta meminta mereka agar mempergunakan ketika berada di tempat-tempat keramaian.

Ketiga, petugas kesehatan Haji Indonesia agar lebih sigap dan pro-aktif memberikan pemahaman tentang kewaspadaan penyebaran virus ini selama di Arab Saudi.

“Petugas kesehatan haji harus memberi pemahaman agar tak melakukan kontak dengan orang yang mengalami influenza selama di Arab Saudi,” tuturnya.

Bila terjadi kontak, ujarnya, calon jemaah diminta untuk langsung memeriksa kesehatan pada petugas medis yang ada. Demikian pula, bila jemaah merasa mendapat gejala influenza, juga harus segera melapor pada petugas medis.

“Kemenag dan Kemenkes bersama-sama dengan otoritas Kementerian kesehatan Arab Saudi agar saling berkoordinasi melakukan langkah-langkah bersama, terutama mentaati aturan kesehatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan Arab Saudi,” ungkapnya.

sumber:  www.tribunnews.com

 

USAID Beri Bantuan Penelitian Kesehatan di Indonesia Senilai Rp 20 Miliar

Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Indonesia, Rabu (17/7/2013), mengumumkan pendanaan baru senilai hampir 2 juta dollar AS atau sekitar Rp 20 miliar (kurs Rp 10.000 per dollar AS) untuk para peneliti Indonesia di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari program Kemitraan untuk Peningkatan Keterlibatan dalam Penelitian (Partnerships for Enhanced Engagement in Research/PEER).

Dalam rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com, lima hibah baru diberikan kepada para ilmuwan dari berbagai lembaga penelitian dan universitas di Indonesia untuk melakukan penelitian inovatif di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan selama tiga tahun. Berbagai penelitian tersebut menampilkan kerjasama ilmiah antara kedua negara di beberapa bidang yang langsung terkait dengan pembangunan di Indonesia. Bersama dengan enam hibah yang diberikan bulan lalu, jumlah total bantuan yang diberikan kepada peneliti Indonesia melalui program PEER tahun ini mencapai 2,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 28 miliar.

Kelima hibah baru ini akan digunakan untuk mendanai penelitian kekebalan obat ganda pada tuberkulosis, demam berdarah, leptospirosis dan kualitas obat. Selebihnya dana akan digunakan untuk penelitian di bidang ilmu pengetahuan di berbagai daerah di Indonesia untuk mempelajari keanekaragaman hayati, pendidikan, perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam. Dana hibah diberikan melalui seleksi berdasarkan bobot ilmiah, perkiraan pengaruhnya terhadap pembangunan, dan prospek kerjasama yang kuat antara ilmuwan Indonesia dan Amerika.

Secara global, melalui program PEER, USAID secara langsung memberikan dukungan kepada para peneliti di negara berkembang yang bekerjasama dengan para ilmuwan AS yang juga mendapatkan dana dari National Institutes of Health (NIH) dan National Science Foundation (NSF) di Amerika Serikat. Indonesia adalah salah satu daerah fokus untuk hibah kesehatan, dan sepertiga dari program kesehatan yang mendapatkan pendanaan global diberikan kepada peneliti Indonesia.

“Amerika Serikat dan Indonesia bersama-sama menangani beberapa tantangan global terbesar melalui kerjasama penelitian ilmiah di bawah program hibah yang penting ini,” kata Duta Besar AS Scot Marciel.

USAID Indonesia berkomitmen melaksanakan pembangunan dengan cara meningkatkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk memperkuat kapasitas penelitian ilmiah.

sumber:  www.tribunnews.com

 

Tahun Depan, Indonesia Ratifikasi Konvensi Regional Penanganan Asap

Indonesia berharap bisa menandatangani perjanjian regional pada awal tahun depan untuk mengatasi kabut asap yang menyebabkan penderitaan bagi jutaan orang di Asia Tenggara.

“Diharapkan kami akan meratifikasi perjanjian tersebut akhir tahun ini atau awal tahun depan,” kata Menteri Lingkungan Balthasar Kambuaya kepada para wartawan, di Kuala Lumpur, Rabu (17/7/2013).

Kambuaya bersama Menteri Lingkungan dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan Brunei, menggelar pertemuan di Kuala Lumpur, membahas cara-cara mencegah kebakaran hutan di Indonesia, yang memicu kabut asap di beberapa negara tetangga.

Asap kebakaran hutan di Sumatera tahun ini sampai ke Malaysia dan Singapura, dan dinilai sebagai kabut asap terburuk dalam lebih satu dekade terakhir.

Kabut asap ini membuat turis membatalkan kunjungan, sekolah ditutup, dan menyebabkan peningkatan kasus gangguan pernapasan.

Ditolak DPR

Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang belum menandatangani perjanjian regional tentang polusi asap, yang dicapai pada 2002.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memasukkan rencana ratifikasi ini ke DPR pada 2008, tetapi ketika itu rencana ratifikasi ini ditolak.

Perjanjian ini ditujukan untuk menghentikan penyebaran asap lintas perbatasan yang disebabkan oleh kebakaran hutan.

Traktat tersebut mewajibkan negara yang menandatangani untuk mencegah pembakaran hutan, memantau upaya pencegahan, berbagi informasi, dan saling membantu.

Kambuaya juga menegaskan bahwa Indonesia siap berbagi informasi tentang peta asap dengan negara-negara lain. Namun, peta ini tidak akan diumumkan secara terbuka kepada masyarakat, seperti yang diminta Singapura.

Peta ini memuat informasi tentang pemilik lahan atau perusahaan yang memiliki izin tempat titik api ditemukan, yang memungkinkan upaya hukum untuk menuntut mereka.

Penegakan hukum

Menteri Lingkungan Singapura, Vivian Balakrishnan, mengatakan peta ini hanya akan dibagikan kepada para pejabat pemerintah.

Rencana pemerintah di Jakarta ini disambut positif oleh para pegiat, tetapi mereka juga memperingatkan bahwa upaya mengatasi asap tidak akan berhasil tanpa penegakan hukum yang tegas.

“Kalau penegakan hukumnya lemah, kita akan selalu menghadapi persoalan asap di kawasan,” kata T Jayabalan, konsultan kesehatan masyarakat di Malaysia.

Faizal Parish, penasihat teknis ASEAN, mengatakan, kabut asap adalah masalah pelik.

“Memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengatasi persoalan di lapangan. Tidak ada obat mujarab yang bisa efektif dalam waktu singkat,” kata Parish.

sumber:  internasional.kompas.com

 

ASEAN lauds Indonesian`s efforts to fight forest fires

ASEAN environment ministers have praised Indonesia for its quick act to combat land and forest fires that caused air pollution in neighboring countries.

They also lauded Indonesia’s commitment to speeding up the process of ratifying an ASEAN agreement on transboundary haze pollution, according to the result of a haze pollution-related meeting in Kuala Lumpur on Wednesday.

Also attending the “15th Meeting of the Sub-regional Ministerial Steering Committee on Transboundary Haze Pollution were ASEAN Secretary General Le Luong Minh, Brunei, Indonesian, Malaysian, and Singapore environment ministers and Thai deputy environment minister.

The ministers said Indonesia’s efforts to fight land and forest fires indicated its capacity to prevent the fires from spreading.

Yet they underscored the need for the country to adopt an early warning system to prevent the land and forest fires from a recurrence in the future.

They also affirmed their offer to help fight forest fires if needed.

Indonesian Environment Minister Balthazar Kambuaya said Indonesia was very serious about handling land and forest fires in Riau province which caused thick haze a few weeks ago in view of their impact on many parties.

“Don’t think that Indonesia was silent. As a matter of fact, we made as maximum efforts as possible to put out the land and forest fires,” he said.

The maximum efforts were made because Indonesia wanted to serve the interests of the local people whose health was at greater risk rather than to satisfy the interests of its neighboring countries such as Singapore and Malaysia, he said.

“We paid great attention to the health of the people living near the land and forest fires in Riau province,” he said.

Kambuaya said the Indonesian government had proposed to the House of Representatives (DPR) to ratify the ASEAN agreement on transboundary haze pollution.

“We hope the DPR would approve the proposal at the end of this year,” he said.

source:  www.eco-business.com

 

Produk Kesehatan Lebih Mudah Dijual Online

Jakarta, PKMK. Di Indonesia, produk kesehatan yang beredar secara terbatas cenderung lebih mudah dipasarkan secara online (melalui internet/e-commerce). Sebab, karakter produk tersebut tidak dibutuhkan dengan cepat oleh konsumen. Berbeda dengan itu, untuk mendapatkan produk kesehatan seperti obat dijual bebas (over the counter/OTC) dan obat resep dokter, konsumen pasti lebih memilih membeli langsung ke apotek ataupun gerai lain. Hal tersebut dikatakan oleh Purjono Agus Suhendro, pengamat e-commerce dari Bloomberg Business Week (18/7/2013).

Contoh produk kesehatan terbatas itu antara lain produk multivitamin, obat herbal, dan lain-lain. Produk seperti itu umumnya terbilang mahal. Alhasil, konsumen ataupun pihak penjual menyepakati biaya pengiriman yang lebih kecil daripada harganya. “Kalau obat OTC yang per satuan berharga murah, jarang dibeli online karena ongkos kirimnya lebih besar,” kata pendiri situs Rajalistrik.com itu.

Apakah banyaknya penipuan e-commerce membuat konsumen produk kesehatan cenderung memilih membeli langsung? Ia menjawab, persoalannya bukan semata-mata percaya atau tidak, tetapi apakah produk kesehatan bisa cepat didapatkan oleh konsumen atau tidak. Jika konsumen sedang sakit dan butuh obat, apakah akan berbelanja secara online yang membutuhkan waktu pengiriman sedangkan di dekat rumahnya ada apotek?

Terlepas dari itu, sudah sewajarnya situs e-commerce kesehatan di Indonesia memenuhi standar keamanan transaksi tertentu. Dengan demikian penipuan terhadap konsumen bisa diminimalkan. Angka persentase e-commerce produk kesehatan di Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan transaksi konvensionalnya. Sejumlah faktor bisa mempercepat penetrasi e-commerce produk kesehatan di Indonesia. Salah satunya, kelengkapan produk di sebuah situs, harga yang murah termasuk menekan biaya konsumen, dan lain-lain.

 

Menkes Resmikan Pendidikan Online untuk Tenaga Kesehatan

Selama ini pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan masih bersifat klasik dengan belajar di kelas. Namun, teknologi telah berkembang sehingga dikembangkanlah Pendidikan dan Pelatihan Jarak Jauh (PPJJ). Untuk itu, Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH meresmikan Unit Pendidikan Pelatihan Jarak Jauh.

Peresmian itu dilakukan di Kantor Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK), Jakarta, Selasa (16/7/2013).

Hal ini merupakan solusi percepatan peningkatan kompetensi SDM kesehatan di Indonesia. “Saat ini upaya peningkatan kompetensi pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan masih cenderung bersifat klasikal dengan pembelajaran di dalam kelas dan berorientasi pada pengajar,” ujar dr. Nafsiah Mboi, Sp.A,MPH.

“Maka kini dikembangkan dengan Pendidikan dan Pelatihan Jarak Jauh (PPJJ) berbasis teknologi informasi dan komunikasi,” tambahnya.

Menkes berharap, PJJ kesehatan online benar-benar terjamin mutunya dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan profesional.

“Teknologi PPJJ bila dikelola dengan baik, serius, dan profesional mampu meningkatkan mutu tenaga kesehatan, karena efektif dari segi belajar-mengajar serta efisien dari segi sumber daya dan biaya,” jelasnya.

sumber:  health.liputan6.com

 

WHO highlights pharmaceutical issues for ageing conditions

16 JULY 2013 | GENEVA/COPENHAGEN – For the first time, EU countries have more people over 65 years of age than under 15 years of age. Echoing the trend seen in Europe, much of the rest of the world, including low-and middle-income countries, is moving in a similar direction. A new WHO report calls for pharmaceutical researchers to adjust their research and development efforts to account for this shifting demographic.

The report, Priority medicines for Europe and the world 2013 update, emphasizes that this shift in EU countries is ‘bell weather’ for the rest of the world as globally more people will be ageing and face similar health challenges in the future.

The report focuses on pharmaceutical ‘gaps’, where treatments for a disease or condition may soon become ineffective, are not appropriate for the target patient group, does not exist, or are not sufficiently effective.

“Despite an over three-fold rise in spending on pharmaceutical research and development in Europe since 1990, there is an increasing mismatch between people’s real needs and pharmaceutical innovation. We must ensure that industry develops safe, effective, affordable and appropriate medicines to meet future health needs,” says Nina Sautenkova, Health Technologies and Pharmaceuticals, WHO/Europe.

From a public health view, the trend of an increasing population over 65 leads to greater prevalence of diseases and conditions associated with ageing, such as heart disease, stroke, cancer, diabetes, osteoarthritis, low-back pain, hearing loss, and Alzheimer disease. In combination with health promotion and disease prevention initiatives, these conditions also require more investment in research and innovation to bridge the pharmaceutical gaps.

Since the original report was published in 2004, progress has been mixed

Patients, and particularly the elderly, often require medication for multiple chronic conditions. However, research and treatment guidelines tend to be more disease-driven than patient-centered. “Multiple small-scale trials of combination therapy have been undertaken but no large scale studies have been initiated. One such example is fixed dose polypills for ischemic heart disease (or myocardial ischaemia),” says Kees De Joncheere, Director of WHO’s Essential Medicines and Products department. “Although there are some promising results from small trials, we need the investment in large-scale trials to have the evidence to see if we can get the right formulations and make this work in practice to save more lives.”

In addition to conditions related to ageing, the report identifies a number of other important topics for future pharmaceutical research.

One area of concern is the need for more medicines that do not require storage in cool temperatures, such as heat-stable insulin for diabetes and oxytocin for childbirth. This would provide an important benefit to improve health services in countries without consistent access to refrigeration.

As identified in the 2004 report, the increasing resistance of common microbes to the medicines used to treat them, otherwise known as antimicrobial resistance (AMR), threatens to make many current health care interventions impossible. There is an urgent need not only to preserve current medicines, but also to develop new options.

Other highlights of the report include additional critical factors to pharmaceutical innovation, such as optimizing regulatory systems for market authorization; adopting effective pricing and reimbursement policies to create incentives; and leverage of existing electronic health records to obtain valuable data to improve medicine safety and effectiveness. Within Europe there are moves towards adaptive licensing and value-based pricing that will potentially change access to and incentives for new medicines. The need for meaningful patient and citizen involvement in pharmaceutical innovation and access was highlighted.

This report is an update to the 2004 version and is a collaborative product of the experts from WHO, EU Member States, industry, academia and other interested stakeholders including patients.

source:  www.who.int