PPJ Tenaga Kesehatan Terobosan Atasi Hambatan Geografis

Selama ini, tenaga kesehatan kesulitan mengikuti pelatihan dan pendidikan karena keterbatasan lokasi. Namun dengan Pelatihan dan Pendidikan Jarak Jauh (PPJJ) diharapkan bisa menjadi lebih efektif dalam memberikan pelatihan.

“Pelaksanaan PJJ merupakan terobosan agar pelatihan dapat diikuti oleh seluruh SDM Kesehatan tanpa adanya hambatan geografi, waktu, atau sumber daya,” ujar Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr.Nafsiah Mboi,Sp.A, MPH, Selasa (16/7/2013).

“Sistem pendidikan jarak jauh ini peserta belajar dan pengajar terpisah. Pengajar berkompeten di bidangnya dan menggunakan modul yang membantu agar mutu SDM meningkat,” jelasnya.

Para peserta belajar mandiri mempelajari modul yang telah disiapkan atas kerjasama beberapa pihak diantaranya Menkominfo.

Peserta terdiri atas perawat dan bidan yang memang sudah bekerja namun belum memperole kualifikasi D3. “PPJJ ini untuk SDM Kesehatan yang sudah bekerja namun belum memiliki kesempatan untuk memperoleh kualifikasi perguruan tinggi Diploma III,” jelas Menkes.

Peserta mengikuti PJJ dengan 60 persen belajar mandiri (jarak jauh) dan 40 persen belajar terstruktur serta terbimbing.

sumber:  health.liputan6.com

 

Investasi Gizi Bisa Putus Mata Rantai Kemiskinan

Jakarta – Investasi gizi dinilai menjadi investasi cerdas karena tidak saja bisa membuat anak lebih sehat, tetapi juga pintar sehingga ketika dewasa lebih produktif dalam bekerja, demikian kata Dr. Nina Sardjunani, Deputi Menteri BAPPENAS Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan di Jakarta, Selasa (16/7).

Berbicara dalam diskusi “Mengurangi Kemiskinan dan Anak Pendek di Indonesia dengan Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat”, yang diselenggarakan oleh Millennium Challenge Account Indonesia (MCA-I), Nina mengungkapkan bahwa sekitar 36 persen anak Indonesia yang berusia di bawah usia lima tahun memiliki tinggi badan di bawah standar internasional.

Prevalensi anak pendek (stunting) di Indonesia berkaitan dengan rendahnya asupan gizi pada masa awal pertumbuhan dan juga saat masa kehamilan. Balita stunting umumnya juga memiliki kecerdasan yang lebih rendah daripada anak balita normal.

“Kurangnya gizi menyebabkan anak menjadi mudah sakit, perkembangan tubuhnya tidak optimal, skill motoriknya tidak terlalu bagus, dan pada saatnya kemampuan daya saing si anak juga rendah sehingga berakhir pada produktifitas yang tidak terlalu baik,” kata Nina.

Menurut Nina, masalah gizi memang sangat rumit dan berkaitan dengan berbagai aspek, terutama kemiskinan.

“Akarnya adalah kemiskinan, masalah politik, budaya, lingkungan, dan juga kedudukan perempuan di dalam masyarakat serta keluarga. Semua itu menghasilkan masalah misalnya tidak cukupnya akses untuk mendapatkan gizi yang baik, serta sulitnya mengakses layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi,” ungkapnya.

Padahal, lanjut Nina, investasi dalam bidang gizi merupakan investasi yang cerdas.

“Satu dolar investasi pada program gizi akan menghasilkan keuntungan 30 kali lipat, itulah mengapa investasi ini disebut smart investment,” tegas dia.

Menurut Nina, bila anak mendapatkan gizi yang cukup, anak tersebut akan tumbuh sehat dengan sistem imunitas, struktur tulang dan otot yang baik.

“Bila gizi tercukupi, otak si anak juga akan tumbuh optimal sehingga ketika dewasa bisa belajar dengan baik. Jadi bisa bekerja lebih baik dan produktif. Bila dia miskin juga bisa keluar dari kemiskinan. Pada akhirnya, negara juga akan lebih kuat,” papar Nina.

sumber:  www.beritasatu.com

 

Cara Kemenkes Bikin Jajarannya Profesional

Jakarta : Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berusaha meningkatkan profesionalisme jabatan fungsional. Untuk itu, Kemenkes menandatangani Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.13 tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Pembimbing Kesehatan Kerja dan Angka Kreditnya.

Penandatanganan itu dilakukan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dr.Nafsiah Mboi,Sp.A, MPH, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Sutrisno di Ruang Dr. J. Leimena Gedung Adhyatma Kementerian Kesehatan, Selasa (16/7/2013).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, Agustus 2012) terdapat 39,3 persen bekerja pada sektor formal dan 60,1 persen sektor informal.

“Dengan ditandatanganinya peraturan bersama ini dapat meningkatkan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di bidang kesehatan kerja,” ujar Menkes.

Tenaga kesehatan kerja telah banyak dihasilkan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. “Sejak tahun 2010-2013 sebanyak 750 orang tenaga kesehatan telah dilatih di bidang kesehatan kerja siap dilakukan penyesuaian,” ujarnya.

“Mereka telah melaksanakan upaya kesehatan kerja baik di Puskesmas, balai-balai kesehatan, kantor kesehatan. Pelabuhan, Rumah sakit, dan dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi,” tambah Menkes.

Jabatan fungsional pembimbing kesehatan kerja adalah jabatan yang memiliki ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan upaya kesehatan kerja.

sumber:  health.liputan6.com

 

Winning the War Against Neglected Tropical Diseases

MANILA, 15 July 2013 – Together with its Member States and partners, the World Health Organization (WHO) continues to make progress against neglected tropical diseases (NTDs) such as leprosy and yaws in the Western Pacific Region.

However, there are pockets in the Region where some of these afflictions continue to take a high toll on the poor. This is according to the latest WHO report—Sustaining the Drive to Overcome the Global Impact of Neglected Tropical Diseases—which charts progress in controlling, eliminating and eradicating these ancient illnesses.

“Tropical diseases are diseases of poverty and neglect,” says WHO Regional Director for the Western Pacific Dr Shin Young-soo. “They afflict the most vulnerable people in society in 28 countries and areas in our Region. Although they are usually not fatal, they are distressing and create lasting disability and stigma. We are determined to despatch these diseases to where they belong—in the history books.”

International experts, partners and national programme managers will gather in the WHO Regional Office for the Western Pacific for two key meetings on NTDs—the Western Pacific Region Programme Managers Meeting on Neglected Tropical Diseases from 16 to 18 July 2013, and the Western Pacific Regional Programme Review Group on Lymphatic Filariasis and Other Neglected Tropical Diseases on 19 July 2013. Both meetings aim to review the progress of integrated approaches in NTD control or elimination and explore new opportunities, as well as provide specific recommendations for each endemic country to address key challenges regarding NTDs.

During the Sixty-sixth World Health Assembly in Geneva in May 2013, a resolution on all 17 NTDs was adopted. Among other measures, the resolution urges Member States to:

  1. ensure country ownership of prevention, control, elimination and eradication programmes;
  2. expand and implement interventions and advocate for predictable, long-term international financing for activities related to control and capacity strengthening;
  3. integrate control programmes into primary health-care services and existing programmes;
  4. ensure optimal programme management and implementation; and
  5. achieve and maintain universal access to interventions and reach targets set out in the WHO global road map to 2020 on neglected tropical diseases.

The resolution also calls on WHO to sustain its leadership in the fight against NTDs; develop and update evidence-based norms, standards, policies, guidelines and strategies; monitor progress, and support Member States in strengthening human resource capacity for prevention and diagnosis, including vector control and veterinary public health. Many Member States highlighted intensifying efforts to tackle dengue.

WHO promotes five public health strategies to control, eliminate and eradicate NTDs: preventive chemotherapy; innovative and intensified disease management; vector control and pesticide management; safe drinking water, basic sanitation and hygiene services and education; and veterinary public health services.

In September 2012, WHO developed the Regional Action Plan for Neglected Tropical Diseases in the Western Pacific (2012–2016), to help countries in the Region to control or eliminate NTDs and link the WHO global road map with national plans of action. The five-year plan focuses on seven key diseases: lymphatic filariasis (LF), schistosomiasis, blinding trachoma, leprosy, yaws, soil-transmitted helminthiases (STH) and foodborne trematodiases (FBT).

Lymphatic filariasis

Three countries in the Region—China, the Republic of Korea and Solomon Islands—have already eliminated LF. Countries and areas still endemic for LF in the Region aim to eliminate the disease before 2020. Brunei Darussalam, Fiji, French Polynesia, Kiribati, the Lao People’s Democratic Republic, Malaysia, the Philippines and Tuvalu are currently implementing preventive chemotherapy. American Samoa, Cambodia, Cook Islands, the Marshall Islands, Tonga and Viet Nam have entered the post-mass-drug-administration surveillance phase, which usually happens five years after the completion of five to six rounds of mass drug administration. Palau, Niue, Vanuatu and Wallis and Futuna are now preparing to submit the dossiers for verification of elimination of LF.

Schistosomiasis

Schistosomiasis is endemic in Cambodia, China, the Lao People’s Democratic Republic and the Philippines. The Western Pacific Region has successfully controlled Schistosoma japonicum, and elimination as a public health problem will be achieved by 2016. Incidences of schistosomiasis have been significantly reduced in Cambodia, the Lao People’s Democratic Republic and the Philippines, but treatment campaigns will need to continue.

Blinding trachoma

Slated for global elimination by 2020, blinding trachoma is suspected or known to be endemic in parts of Australia, Cambodia, China, Fiji, Kiribati, the Lao People’s Democratic Republic, Nauru, Papua New Guinea, Solomon Islands, Vanuatu and Viet Nam. Elimination of this disease has been set by the Lao People’s Democratic Republic and Viet Nam in 2015, by China in 2016, and by Australia and Solomon Islands in 2020.

Leprosy

During 2010–2011, the number of new cases of leprosy declined from 1324 to 1144 in China, and from 2041 to 1818 in the Philippines. Kiribati, the Marshall Islands and the Federated States of Micronesia have not yet eliminated leprosy. An Action Framework for Leprosy Control and Elimination for the Pacific Island Countries was prepared in 2011, which focuses on integrating leprosy services into general health services, intensifying early case detection through contract tracing and mass screening, and strengthening rehabilitation services.

Yaws

Yaws is mostly endemic in poor populations in remote areas of Papua New Guinea, Solomon Islands and Vanuatu. While mass treatment campaigns in the 1950s using penicillin injections significantly reduced the number of people with yaws, the disease has been resurgent due to incomplete initial intervention coverage. With the availability of an oral drug for mass chemotherapy and new monitoring tools, achieving global eradication is possible by 2020.

Soil-transmitted helminthiases

Preventive chemotherapy for soil-transmitted helminthiases is required in 15 countries and areas in the Region. In 2011, 8.1 million out of an estimated 22.3 million school-aged children at risk were dewormed in 12 countries and areas: American Samoa, Cambodia, Fiji, French Polynesia, Kiribati, the Lao People’s Democratic Republic, the Marshall Islands, Papua New Guinea, the Philippines, Tuvalu, Vanuatu and Viet Nam. Cambodia, Fiji, Kiribati and Tuvalu achieved the WHO global target of deworming of 75% of school-aged children.

Similar activities for women of childbearing age need to be scaled up in Cambodia, Fiji, Papua New Guinea and Viet Nam and need to begin in the other endemic countries.

Foodborne trematodiases

Six countries in the Region are endemic for foodborne trematodiases: Cambodia, China, the Lao People’s Democratic Republic, the Philippines, the Republic of Korea and Viet Nam. In Cambodia, mapping continues to identify areas where foodborne trematodes are transmitted. At least 600 000 people in Cambodia are infected with opisthorchiasis. Pilot control interventions based on WHO’s recommendations are planned.

Medicines such as praziquantel and triclabendazole are available through donations to the endemic countries. In the Lao People’s Democratic Republic, preventive chemotherapy with praziquantel started in 2007; in 2011, approximately 325 000 adults and children out of an estimated 2.6 million people at risk were treated. In Viet Nam, preventive chemotherapy with praziquantel started in 2006. In 2011, more than 128 000 people were treated for clonorchiasis as part of a campaign targeted to people in high-risk communities. In the Republic of Korea, approximately 4000 people were treated for clonorchiasis in clinical settings in 2011.

“The achievements so far are both measurable and encouraging,” says Dr Shin. “We have momentum on our side. But we must not relax our efforts when success is so close. History would not forgive us.”

source:  www.solomontimes.com

 

Pasien RS Muhammadiyah Terancam Telantar

16jul

16julJakarta, PKMK. Ratusan ribu pasien di RS ataupun klinik naungan Muhammadiyah terancam tidak terlayani saat Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan beroperasi pada awal 2014. Hal itu terjadi jika RS dan klinik itu tetap harus mempunyai badan hukum khusus RS seperti yang ditetapkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hal yang menjadi ironi, sebenarnya semua RS dan klinik itu meringankan beban Pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan layanan kesehatan. Hal tersebut disampaikan Dr. Hj. Atikah M. Zakki, ketua Pimpinan Pusat Aisyah Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (15/7/2013).

Berbicara sebagai saksi ahli pemohon uji materi (judicial review) ke sejumlah pasal ataupun ayat dalam undang-undang tersebut, Atikah mengatakan: “Selama ini, sumbangan Muhammadiyah untuk menurunkan angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan lain-lain sangat bernilai dan itu bisa berakhir hanya karena keharusan punya badan hukum khusus rumah sakit.” RS dan klinik Muhammadiyah sangat membantu warga miskin. Hal ini diakui Pemerintah Indonesia sebagai amal usaha jauh sebelum lahirnya UU tersebut. “RS dan klinik Muhammadiyah bersifat nirlaba, tapi dikelola dengan baik agar tidak merugi. Laba yang diperoleh pun dikembalikan ke pasien,” kata Atikah.

Sejak keharusan mempunyai badan hukum khusus rumah sakit itu muncul, kebingungan melanda pengurus RS dan klinik Muhammadiyah. Keinginan mendirikan klinik baru pun ditolak. Jelang BPJS Kesehatan beroperasi, semua klinik harus melakukan daftar ulang menjadi klinik pratama. 96 rumah sakit harus daftar ulang menjadi RS rujukan. “Sedangkan izin 23 rumah sakit telah berakhir,” ucap Atikah. Dr. Irman Putra Sidin, saksi ahli yang lain dari pemohon, menyatakan bahwa sebenarnya spirit amal usaha RS dan klinik Muhammadiyah sama dengan spirit badan hukum khusus RS tersebut. Pemerintah Indonesia sebaiknya memberikan keistimewaan status terhadap amal usaha Muhammadiyah. Hal itu telah diberlakukan Pemerintah Indonesia di beberapa kawasan Papua Barat, dengan mengizinkan adanya cara pencoblosan berbeda dalam pemilihan legislatif ataupun eksekutif. “Tidak semua spirit kebenaran yang diusung negara harus berlaku sama. Bila amal usaha yang berusia ratusan tahun diinapkan di penjara karena soal perizinan, tentu sendi-sendi kehidupan sosial terancam,” kata Irman.

dr. Edi Junaedi, saksi ahli dari Pemerintah Indonesia menyatakan masa globalisasi manajemen strategis sangat diperlukan. Sehingga, RS bisa berjalan berkesinambungan dan terhindar dari kerugian. Oleh sebab itu, RS sebaiknya memiliki badan hukum khusus seperti yang diharuskan Pasal 7 UU tentang Rumah Sakit. Badan hukum khusus juga memberikan kepastian hukum terhadap pasien. Tuntutan hukum yang dilakukan pasien bisa lebih mudah. Di samping itu, laba yang diperoleh RS berbadan hukum khusus, lebih cepat dirasakan oleh RS. “Itu berbeda dengan di banyak RS nirlaba. Hal ini ujung-ujungnya menghambat kemajuan RS itu sendiri,” kata Edi. Majelis Hakim Konstitusi di akhir sidang memerintahkan agar pemohon ataupun termohon menyampaikan kesimpulan. Selambatnya 22 Juli 2013 pukul 14.00 WIB. Kesimpulan itu diserahkan ke kepaniteraan.

 

Public health: Some promising news from Timor

The relationship between Timor-Leste and Indonesia has improved steadily since the independence referendum in 1999. Indonesia is now one of Timor-Leste’s key trade partners and has strongly supported its application for membership of ASEAN. The two countries are also working toward settling border disputes that have been unresolved for many years.

This mood of cooperation is also working in the health sector.

Since Timor-Leste regained its independence, public health officials in Dili and Indonesian West Timor have faced substantial challenges in regard to the control of tropical infections which have an enormous impact on the health of already marginalised populations. Diseases such as lymphatic filariasis (elephantiasis), intestinal worm infections (especially hookworm) and yaws are highly prevalent across the island of Timor and cause chronic disfigurement, disability and death.

Elimination of these diseases can be achieved by mass drug administration (MDA) to affected populations (target 75-80%) annually for a period of 5-7 years. Such a program requires high levels of coordination and cooperation by health officials and the engagement of affected communities.

Efforts to free the developing world from these and other tropical infections received a boost in 1998, when the World Health Assembly resolved to eliminate them globally by 2020. The chances of doing so were greatly enhanced when a consortium of pharmaceutical companies pledged to donate the drugs required to treat these infections free of charge to all countries participating in the World Health Organization (WHO) Global Elimination Program.

Many countries have now commenced this program with support from the WHO, pharmaceutical companies, the Gates Foundation and other donors. However, it has not begun in Timor-Leste and has been interrupted in Indonesian Timor due to low capacity in the health workforce and a lack of donor support. The situation has been complicated by the recurrence of conflict in Timor-Leste and the logistical challenges involved in bringing together teams to work across national borders.

In December 2011 the Timor-Leste Minister of Health signed Memoranda of Understanding (MOU) on cross-border cooperation for public health with the Indonesian Minister of Health in Jakarta and with the Governor of Nusa Tengara Timur (NTT) Province in Kupang, West Timor, both vital steps in implementing the program. Under the latter MOU it was agreed that the Government of Timor-Leste and the Indonesian Provincial Government of NTT would cooperate to monitor and implement shared public health challenges. This cross-border cooperation is particularly important for the East Timorese enclave of Oecusse, which is completely surrounded by Indonesian territory.

The program is scheduled to commence in 2014. A senior public health expert from the Ministry of Health in Jakarta has recently assisted the Timor-Leste Ministry of Health to develop a detailed program implementation plan that includes cross-border cooperation on disease surveillance and information sharing on the progress of program implementation. Furthermore, a public health official from NTT will be invited to join the Task Force and vice versa.

Cross-border cooperation will be critically important during the post-MDA enhanced surveillance program to verify disease elimination and to ensure that Timor Island can be certified free of these diseases by the WHO in the shortest possible time. Such collaboration represents a practical example of cross-border cooperation that is of mutual public health benefit for Indonesia and Timor-Leste.

source:  www.lowyinterpreter.org

 

Pemerintah Buka Lowongan 3.000 Tenaga Medis

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi membantah berita masih kurangnya tenaga kesehatan di Tanah Air. Menurut dia, jumlah tenaga kesehatan yang ada hampir memenuhi target yang direncanakan pemerintah.

“Masalah sekarang itu adalah soal distrbusi, tak meratanya ketersediaan tenaga kesehatan di setiap daerah,” kata Nafsiah di kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Senin, 15 Juli 2013.

Menurut Nafsiah, saat ini pemerintah sudah melakukan pemetaan jumlah dan kebutuhan tenaga kesehatan di setiap daerah. Dari pendataan itu pemerintah menemukan tak meratanya sebaran dokter terjadi di hampir semua wilayah provinsi. Namun, tingkat ketercukupan dokter di puskesmas terendah terdapat di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan Kalimantan.

Nafsiah mengatakan Kementerian menemukan ada beberapa puskesmas yang sama sekali tak punya tenaga dokter. Namun, ada pula yang memiliki lebih dari satu dokter. “Pemerataan inilah yang akan kita prioritaskan saat ini.”

Dari 9.518 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 14,7 persen atau sekitar 1.400 puskesmas tercatat tak memiliki dokter umum. Sedangkan 16,7 persen puskesmas tak memiliki tenaga kesehatan yang memenuhi standar minimal. Idealnya setiap puskesmas memiliki minimal satu dokter, satu perawat, dan satu bidan.

Untuk memperbaiki sebaran ketersediaan tenaga kesehatan ini, pemerintah, kata Nafsiah, akan menggenjot penempatan tenaga kesehatan baru yang direkrut melalui program dokter dengan status pegawai tak tetap (PTT). Mereka akan direkrut selama dua tahun dan ditempatkan di desa dan daerah terpencil.

Saat ini pemerintah telah menempatkan 1.464 tenaga kesehatan baru di sejumlah daerah, meliputi perawat, dokter umum dan spesialis. Rencananya hingga akhir 2013 mendatang pemerintah akan kembali membuka rekrutmen hingga 3 ribu tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, dan dokter spesialis. Rekrutmen dan penempatan diharapkan rampung sebelum pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dimulai 1 Januari 2014 mendatang.

sumber:  www.tempo.co

 

Indonesia Alami Maldistribusi Dokter

Sejumlah wilayah di Indonesia masih banyak yang kekurangan tenaga dokter.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2012, terungkap bahwa dari 9.510 puskesmas yang ada di Indonesia, 14,7% di antaranya tidak memiliki tenaga dokter.

Selain itu masih terdapat 16,76% puskesmas di negara kita yang tidak memiliki jumlah tenaga kesehatan (nakes) minimal, yang terdiri dari 1 dokter, 1 perawat dan 1 bidan.

“Kita menghadapi situasi maldistribusi tenaga kesehatan yang merata. Imbasnya wilayah di kawasan Timur Indonesia banyak yang kekurangan dokter,” sebut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, usai rapat koordinasi tingkat menteri tentang “Pengembangan Tenaga Kesehatan Menjelang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan”, di Jakarta, Senin (15/7).

Timpangnya rasio dokter antarwilayah, menurut Nafsiah, tergambar dari grafik rasio dokter yang disusun Kemenkes. Dia mengatakan rata-rata nasional rasio dokter di Indonesia adalah 36 dokter per 100 ribu penduduk. Dari jumlah itu, hanya 9 provinsi yang berada di atas rata-rata nasional.

Beberapa provinsi itu diantaranya DKI Jakarta (140/100 ribu), Sulawesi Utara (79,8/100 ribu), Yogyakarta (75,9/100 ribu), Bali (67,3/100 ribu) dan Sumatera Utara (47,5/100 ribu).

Sedangkan rasio terendah dokter kebanyakan memang di wilayah Timur. Posisi rasio terendah ditempati oleh Sulawesi Barat (8,8/100 ribu), NTT (10/100 ribu), Maluku (12,5/100 ribu), Maluku Utara (12,6/100 ribu) dan NTB (13,6/100 ribu).

Nafsiah menambahkan, pemerintah telah menargetkan minimal di setiap provinsi memiliki rasio 40 dokter per 100 ribu penduduk. Oleh karena itu telah dibentuk tim lintas sektor bernama Tim Koordinasi dan Fasilitasi Pengembangan Tenaga Kesehatan (TKF-PTK). Anggotanya terdiri dari perwakilan Kemenkes, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian PAN dan RB.

“Pemerataan dokter perlu dilakukan untuk mempersiapkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014 nanti,” tuturnya.

Sampai Juni 2013, melalui program dokter pegawai tidak tetap (PTT), Kemenkes telah mengirimkan 1.426 dokter di wilayah sangat terpencil dan 825 dokter di wilayah terpencil. Untuk dokter gigi telah dikirim 510 di wilayah sangat terpencil dan 358 di daerah terpencil.

Namun program PTT ini, diakui Nafsiah belum bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi kelangkaan dokter di wilayah terpencil. Pasalnya begitu masa PTT selesai, mereka kembali lagi ke daerah asalnya.

Untuk itu, pada tahun ini, pemerintah merekrut 3 ribu dokter/dokter gigi untuk dijadikan PNS yang ditugaskan di wilayah terpencil dan sangat terpencil. Nafsiah mengatakan mayoritas tenaga yang dikirim akan ditempatkan di wilayah Timur. Paling cepat, sambungnya, pada September 2013 proses penempatan sudah bisa dilakukan.

Rendahnya jumlah dan belum meratanya dokter di Indonesia juga diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Agung menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam negera yang tingkat kekurangan tenaga kesehatannya sudah serius.

Pasalnya Indonesia merupakan salah satu negara yang rasio tenaga kesehatannya kurang dari 23 per 10 ribu penduduk. Selain negara kita, negara lain dengan kondisi serupa adalah Bangladesh, Bhutan dan India.

“Diperlukan waktu untuk mencetak dan mendistribusikan tenaga kesehatan ke sejumlah wilayah agar merata,” tutur Agung. ( Cornelius Eko Susanto)

sumber:  www.metrotvnews.com

 

DIB Akan Cermati Undang-undang Pendidikan Kedokteran

Jakarta, PKMK. Dokter Indonesia Bersatu (DIB) akan mencermati draft Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran yang telah disahkan DPR RI. DIB akan menganalisis aspek plus dan minus dari UU tersebut. “Dalam Undang-Undang itu ada hal-hal yang diatur khusus. Kami bertanya, sebenarnya ada hal apa? Sementara, saat ini masih banyak kendala dalam implementasi UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran,” kata dr. Agung Sapta, Juru Bicara DIB (15/7/2013).

Kalau program dokter internship tidak mungkin dihapus lalu dicantumkan dalam UU Pendidikan Kedokteran, merupakan satu hal yang baik. Namun sebenarnya ada hal yang lebih esensial. Misalnya, selama ini Pemerintah Indonesia lebih berfokus ke aspek kuratif. Jadi, keberadaan Undang-undang Pendidikan Kedokteran merupakan satu wujud pemfokusan ke aspek kuratif; argumen yang muncul adalah perlunya mengatasi kekurangan dokter. “Sementara itu, sebenarnya yang lebih perlu diperhatikan adalah pemfokusan ke aspek promotif dan preventif,” Agung mengatakan.

UU Pendidikan Kedokteran pun bisa dikatakan merupakan praktek intervensi integrasi antara dunia akademis dengan dunia profesi kedokteran. Sementara, sebenarnya integrasi tersebut bisa menyebabkan satu kekurangan kontrol. “Jadi, akan riskan kalau nantinya dunia kedokteran diambil alih oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Untuk menentukan mana dokter yang harus internship atau tidak, sebenarnya bisa melalui evaluasi oleh sebuah badan independen,” Agung berkata lagi.

Sebenarnya, kini Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sudah berperan menjaga mutu layanan dari profesi dokter. KKI membuat standar profesi dokter; untuk sub-profesi seperti misalnya kedokteran penyakit dalam, ada protokol tertentu lagi. Lantas, saat ada problem etika profesi, KKI berhubungan dengan Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia. “Jadi, selama ini KKI sudah berupaya mengontrol hal-hal itu,” kata Agung. Lebih jauh dia mengatakan, kehadiran UU Pendidikan Tinggi Kedokteran berpotensi memudahkan penetrasi asing ke sektor kesehatan Indonesia. Kini banyak pihak yang ingin agar pendidikan kedokteran semakin komersial, termasuk pihak asing. Jika yang menjadi pertimbangan adalah tidak terjangkaunya pendidikan kedokteran oleh warga kurang mampu, apakah perlu sebuah undang-undang untuk atasi hal tersebut.

 

25 Juta Penduduk Indonesia Idap Hepatitis

Mayoritas pengidap penyakit hepatitis berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Data terbaru Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, sekitar 25 juta penduduk Indonesia mengidap hepatitis B dan C, dengan 12,5 juta di antaranya berkembang menjadi kronis.

Penyakit hepatitis yang menyerang hati belum banyak mendapat perhatian. Padahal, jumlah pengidapnya terus meningkat. Terlebih lagi terdapat karier atau pembawa penyakit tanpa gejala klinis sehingga tidak menyadari dirinya terinfeksi, dan berpotensi menularkan kepada orang lain.

“Indonesia termasuk dalam negara endemis sedang-tinggi dengan angka penyebaran sekitar 8 persen. Makin ke wilayah timur, jumlahnya bertambah besar,” kata Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, di Jakarta (12/7/2013).

Hepatitis dapat disebabkan berbagai hal, salah satu penyebab hepatitis kronis yang paling umum adalah infeksi virus.

Menurut dr Rino A Gani, SpPD, KGEH dari Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, orang berusia muda dan dewasa lebih rentan terinfeksi virus hepatitis karena tingkat aktivitasnya yang tinggi.

“Aktivitas yang tinggi tidak dibarengi dengan perhatian yang cukup pada kebersihan. Selain itu pada orang yang ketahanan fisiknya menurun juga rentan tertular,” kata Rino.

Penggunaan narkoba jarum suntik yang terinfeksi juga bisa menjadi media penularan hepatitis.

Penyakit hati, termasuk hepatitis, menjadi penyebab kematian nomor dua di Indonesia. Dampaknya lebih besar dibandingkan penularan HIV/AIDS. Meski begitu, hepatitis B sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin yang telah tersedia sejak 1982. Vakin hepatitis B memiliki efektivitas sampai 95 persen untuk mencegah infeksi kronis virus hepatitis B. Vaksin ini diberikan 24 jam setelah bayi lahir.

“Bila telat diberikan ada kemungkinan tertular. Karena itu jika bayi sudah agak besar sebaiknya diperiksa dulu ada tidaknya infeksi,” kata Rino.

Vaksin hepatitis B diberikan dalam tiga dosis dan akan memberikan perlindungan sampai dengan 20 tahun.

sumber:  health.kompas.com