Kemenkes Diminta Buat Laporan Berkala Kesiapan Jaminan Kesehatan Nasional

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) didesak untuk membuat laporan tertulis secara berkala mengenai perkembangan kesiapan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional yang bakal dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mulai 1 Januari 2014.

Desakan itu disampaikan anggota Komisi IX DPR bidang Kesehatan dan Tenaga Kerja, Rieke Diah Pitaloka, kepada Kompas, Sabtu (13/7/2013) pagi ini di Jakarta. “Kami juga mendesak Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memastikan bahwa pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Indonesia dapat memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS,” kata Rieke.

Menurut mantan artis yang populer dengan julukan si Oneng itu, desakan tersebut merupakan hasil kesimpulan dari rapat komisinya saat menyikapi langkah Kemenkes yang dinilai lamban mempersiapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bidang kesehatan yang diprioritaskan oleh DPR dan pemerintah saat diputuskan bersama.

Rapat yang menghasilkan kesimpulan tersebut dilakukan saat rapat kerja Komisi IX DPR dengan Kemenkes, Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Dewan Jaminan Sistem Nasional pada Rabu lalu di Gedung DPR, Senayan.

“Selain itu, kami juga mendesak Kemenkes untuk melakukan sosialisasi tentang Jaminan Kesehatan Nasional secara masif kepada seluruh masyarakat bersama dengan anggota Komisi IX DPR dan PT Asuransi Kesehatan,” tambah Rieke.

Komisi IX DPR, lanjut Rieke, juga meminta kepada pemerintah untuk memenuhi amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terkait alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar alokasi gaji pegawai.

“Terkait itu, kami juga meminta Kemenkes menyiapkan data sembilan provinsi yang menyatakan siap menjalankan universal health coverage dengan sistem Jamkes daerah di wilayahnya, peta jalan untuk batas waktu penyelesaian seluruh peraturan pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, skema penguatan sistem rujukan kepada penyedia pelayanan kesehatan, kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, terutama pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama,” jelas mantan calon gubernur Jawa Barat itu.

sumber:  nasional.kompas.com

 

Bank Dunia Permudah Pinjaman Terkait Pengadaan Suplai Kesehatan

Bank Dunia mengumumkan bentuk perjanjian baru yang akan memudahkan pihak peminjam yang ingin memproses pengadaan suplai perangkat kesehatan reproduksi dari lembaga Dana Populasi PBB (UNFPA).

“Keunggulan dari perjanjian baru ini adalah tidak dibutuhkan lagi pemesanan dan sistem pembayaran spesifik dari pihak Bank Dunia,” kata Kepala Pengadaan Grup Bank Dunia, Christopher Browne dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Menurut Christopher Browne, setiap negara kini dapat mengkaji dan memilih sendiri spesifikasi suplai perangkat kesehatan reproduksi yang mereka butuhkan dari katalog “online” (daring/dalam jaringan) UNFPA untuk menentukan pemesanan mereka sendiri.

Dengan demikian, ujar dia, maka prosesnya akan sama antara pembiayaan baik yang datang dari Bank Dunia maupun dari anggaran publik negara.

“Ini merupakan langkah penting dalam memfasilitasi pencapaian kesehatan dan hasil pembangunan dengan bekerja dalam kemitraan bersama,” katanya.

Ia juga mengatakan, hal tersebut pada akhirnya dinilai akan memberi manfaat baik bagi klien Bank Dunia maupun anggota masyarakat yang menggunakan suplai kesehatan tersebut.

Perjanjian Bank Dunia-UNFPA tersebut sebagai bagian upaya terkoordinasi guna mendukung negara-negara berkembang dalam meningkatkan kesehatan perempuan untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (MDG) pada akhir 2015.

UNFPA sendiri akan mengkaji dan menentukan harga tetap dari sejumlah barang yang dipesan melalui portal pengadaan daring lembaga tersebut, MyAccessRH.org.

Kepala Pengadaan UNFPA Eric Dupont berpendapat bahwa penjanjian tersebut dapat bermanfaat banyak bagi negara-negara antara lain adalah agar dapat memasok secara tepat waktu suplai kesehatan reproduksi.

Sementara di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) akan meningkatkan sosialisasi dan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi para remaja di Tanah Air.

“Sosialisasi tentang kesehatan reproduksi akan terus diintensifkan mengingat hal tersebut sangat penting bagi para remaja,” kata Kepala BKKBN Fasli Jalal pada acara peringatan Hari Kependudukan Dunia di Yogyakarta, Kamis (11/7).(afp/ant/han)

sumber:  www.menits.com

 

DPR Setujui RUU Pendidikan Kedokteran

Rapat paripurna DPR RI akhirnya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Kedokteran (Dikdok) menjadi undang-undang, yang diharapkan mampu menyelesaikan berbagai persoalan di bidang pendidikan kedokteran.

“Semua fraksi setuju RUU Dikdok ini disahkan sebagai undang-undang, karena itu saya ketok,” kata pimpinan rapat paripurna DPR RI Priyobudi Santoso di Senayan Jakarta, Kamis (11/7).

Sebelum disetujui untuk disahkan terjadi perdebatan sengit terkait beberapa klausul antara laian dalam pasal 37, maupun pasal 48. Atas perdebatan tersebut rapat sempat diskorsing untuk dilakukan lobi-lobi dan tercapai kesepakatan.

Sementara dalam pidato pendapat akhir Mendiknas Muhammad Nuh mewakili Presiden RI mengatakan RUU Dikdok ini penting untuk mengatur ketersediaan tenaga kedokteran di seluruh Indonesia.

“Saat ini banyak dokter-dokter terkumpul di kota-kota besar, sementara di daerah-daerah terpencil sangat kekurangan tenaga dokter. Karena itu sangat tepat jika hal itu diatur dalam RUU ini,” kata M Nuh.

Selain itu tambah M Nuh menyoroti soal mahalnya biaya pendidikan perlu pengaturan pendidikan kedokteran agar tidak diskriminatif dan ada biaya yang terjangkau.

“RUU Dikdok ini memastikan ada integrasi antara fakultas kedokteran/kedokteran gigi dan juga kebutuhan kedokteran serta biaya pendidikan yang bisa terjangkau,” kata M Nuh.

Selain itu tambahnya RUU Dikdok ini juga mengatur standar jaminan mutu pendidikan kedokteran, sampai dengan kompetensi profesi kedokteran.

“Dalam RUU ini juga menyebutkan program intensif untuk penempatan tugas dokter di daerah-daerah harus diakui dan dihitung sebagai masa kerja,” kata M Nuh. [Ant/L-8]

sumber:  www.suarapembaruan.com

 

UN report cites advertising ban as powerful tool in reducing tobacco use

10 July 2013 – One in three people is now covered by at least one life-saving measure to limit tobacco use, according to a United Nations report which highlights the progress over the past five years of reducing potential smokers through advertising bans and awareness campaigns.

According to the report on the Global Tobacco Epidemic 2013, the number of people covered by bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship increased by almost 400 million since 2003, bringing the total number of people covered to 2.3 billion.

In addition, the report shows that 3 billion people, most of which live in low and middle-income countries, are now covered by national anti-tobacco campaigns, most of them.

However, the report, which was produced by the World Health Organization (WHO), notes that to achieve the globally agreed target of a 30 per cent reduction of tobacco use by 2025, more countries have to implement comprehensive tobacco control programmes.

“If we do not close ranks and ban tobacco advertising, promotion and sponsorship, adolescents and young adults will continue to be lured into tobacco consumption by an ever-more aggressive tobacco industry,” said WHO Director-General Margaret Chan. “Every country has the responsibility to protect its population from tobacco-related illness, disability and death.”

Tobacco is the leading global cause of preventable death and kills 6 million people every year. It can cause cancer, cardiovascular disease, diabetes and chronic respiratory diseases. By 2030, WHO estimates that it will kill more than 8 million people every year.

Bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship are one of the most powerful measures to control tobacco use. As of today, 24 countries with 694 million people have introduced complete bans and 100 more countries are close to a complete ban. However, 67 countries currently do not ban any tobacco advertising, promotion and sponsorship activities.

“We know that only complete bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship are effective,” said Douglas Bettcher, the Director of WHO’s Prevention of Noncommunicable Diseases department. “Countries that introduced complete bans together with other tobacco control measures have been able to cut tobacco use significantly within only a few years.”

The report also notes that more than half a billion people in nine countries now have access to appropriate services to help them quit smoking, 20 countries have put strong warning label requirements in place, and 32 countries passed complete smoking bans covering all work places, public places and public transportation. This last measure, WHO says, has proved to have the highest level of achievement, keeping hundreds of millions of people smoke-free.

In 2008, WHO identified six evidence-based tobacco control measures that are the most effective in reducing tobacco use. These measures consist of: monitoring tobacco use and prevention policies, protecting people from tobacco smoke, offering help to quit tobacco use, warning people about the dangers of tobacco, enforcing bans on tobacco advertising, promotion and sponsorship, and raising taxes on tobacco.

source:  www.un.org

 

Pabrik-pabrik Rokok Amerika Tutup, di Indonesia Malah Menjamur

Ketua Kaukus Kesehatan DPR, Sumarjati Arjoso meminta perempuan Indonesia untuk tidak merokok dan menghindari penggunaan rokok dalam kehidupan sehari-hari.

“Saya sering miris melihat perempuan-perempuan cantik yang sedang duduk mengobrol di kafe sambil merokok,” katanya di Jakarta, Rabu (10/7).

Sumarjati mengatakan sasaran industri rokok saat ini adalah munculnya perokok pemula dari kelompok perempuan dan remaja. Sebagian besar perokok pemula, katanya, dipengaruhi iklan rokok yang atraktif dan menarik.

“Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. Di Amerika Serikat, pabrik-pabrik rokok ditutup dan Indonesia malah menerima dengan tangan terbuka investasi pabrik rokok Amerika,” tuturnya.

Kongres Wanita Indonesia (Kowani) bekerjasama dengan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mengadakan peningkatan kapasitas kepada kelompok perempuan tentang pengendalian tembakau. Pembicara dalam ‘capacity building’ itu adalah Ketua Umum Kowani, Dewi Motik Pramono, aktivis Komnas PT dr Hakim Sorimuda Pohan dan aktivis Lingkar Studi CSR Indonesia Jalal.

sumber:  www.republika.co.id

 

Kemenkes Segera Distribusikan 500 Ton MP ASI

Jakarta, PKMK. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) segera mendistribusikan makanan pengganti air susu ibu (MP ASI) sebanyak 500 ton ke sejumlah daerah. Kuota untuk tiap daerah mendapatkan 9 ton. Hal itu dijelaskan Supriyantoro, sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI di Jakarta (11/7/2013). Sejumlah barang ataupun program yang lain pun segera didistribusikan. Beberapa diantaranya, 746 buah mesin fogging, 90 buah kendaraan ambulans, 140 set peralatan ASI eksklusif di tempat kerja, 756 set bidan kit, 70 set poned kit. Di samping itu, ada 1.800 ton pemberian makanan tambahan ibu hamil kekurangan energi kronis (PMT bumil KEK), serta 882 ton makanan tambahan untuk program penyediaan makanan tambahan anak sekolah (PMT AS).

Dalam rapat yang dipimpin Irgan Chairil Mahfuz, dari Partai Persatuan Pembangunan, Komisi IX DPR RI telah disetujui pendistribusian program ataupun barang tersebut. Sekaligus, Komisi IX mengesahkan alokasi anggaran Kemenkes setelah adanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Itu mencakup anggaran untuk Unit Eselon I Kemenkes, Sekretariat Jenderal Kemenkes, Direktorat Jenderal Bina Gizi Kemenkes, Badan PPSDM Kemenkes, dan lain-lain. Disetujui pula alokasi pemanfaatan anggaran tambahan non-pendidikan senilai Rp 1,9 triliun, alokasi pemanfaatan anggaran reward senilai Rp 22,17 miliar, dan lain-lain. “Kami juga meminta Kemenkes membuat penyesuaian terhadap program dan kegiatan APBNP 2013 sesuai rapat hari ini,” ucap Irgan.

 

Wamenkeu: Ekonomi Indonesia Dukung Pelaksanaan Jamkesnas

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mahendra Siregar menyatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia yang makin berimbang siap mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) yang akan berlaku per 1 Januari 2014.

“Sebenarnya bagi Indonesia, saat inilah masa yang tepat untuk masuk ke dalam sistem universal health care (layanan kesehatan menyeluruh). Hal itu dilihat dari sisi bonus demografi dan kekuatan ekonomi yang makin berimbang,” kata Mahendra di Jakarta, Rabu (10/7).

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam rapat kerja (raker) dengan Menteri Kesehatan, Bappenas, dan Komisi IX DPR RI untuk membahas kesiapan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Menurut Mahendra, kesiapan ekonomi nasional untuk mendukung pelaksanaan Jamkesnas itu terlihat dari kemampuan perekonomian dalam negeri, mulai dari segi produktivitas hingga segi konsumsi.

“Dengan demikian, apa yang kita cita-citakan selama ini untuk memperbaiki kualitas hidup sumber daya manusia di Indonesia melalui layanan kesehatan yang baik dapat tercapai. Tentunya selaras dengan perkembangan ekonomi yang ada,” ujarnya.

Namun, kata Wamenkeu, tidak bisa dipungkiri bahwa sistem universal health care bila dilihat dari sisi pengelolaan fiskal, ada yang berhasil dikelola dengan baik oleh suatu negara, tetapi ada juga yang kurang berhasil. “Bahkan, saat ini kita saksikan banyak sistem universal health care yang justru menjadi persoalan tidak terkendali dan menciptakan krisis keungan di berbagai negara,” katanya.

Oleh karena itu, dia berharap agar pemerintah dapat mencegah agar Indonesia tidak ikut masuk dalam persoalan fiskal yang berkelanjutan melalui pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian akan dialihkan untuk premi jaminan kesehatan.

“Ini juga yang kami pegang bedasarkan raker 13 Maret, ada pengurangan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran premi penerima bantuan iuran (PBI). Maka, iuran untuk PBI pun meningkat dari Rp 15.500 menjadi Rp 19.225 per bulan,” tuturnya.

sumber:  www.republika.co.id

 

MERS coronavirus status discussed by WHO panel

The World Health Organization’s emergency committee of experts is reviewing the outbreak of MERS coronavirus to assess its pandemic potential and the need for measures like travel restrictions.

The UN health agency’s panel of international experts looking into Middle East coronavirus held its first meeting by teleconference on Tuesday. The group is advising WHO on whether the outbreak is a public health emergency of international concern.

Since April 2012, 80 laboratory confirmed cases of human infections with MERS coronavirus have been reported to WHO, including 45 deaths. Of the cases, 65 occurred in Saudi Arabia.

“While it is clear that human-to-human transmission does occur, it is not clear whether transmission is sustained in the community,” WHO said on its website.

Sustained human-to-human transmission is one of the defining features of a pandemic.

Under the International Health Regions, the declaration of a pandemic means a virus is spreading from person to person in a sustained manner in at least two regions. The declaration acts as a signal to governments to spend more on containing the virus.

Affected countries include Jordan, Qatar, Saudi Arabia, the United Arab Emirates, France, Germany, the United Kingdom, Italy and Tunisia. All the European and North African cases have had a direct or indirect connection to the Middle East, according to WHO.

Representatives from all nine countries made presentations by video link, said WHO spokesman Gregory Hartl.

“Our expectation is that there will not be a decision today,” Hartl told Reuters.

Limited transmission among close contacts who had not been to the Middle East has occurred in France, Italy, Tunisia and UK, WHO said. Close contacts include family members, co-workers, fellow patients and healthcare workers.

More information could also help governments advising people travelling to Saudi Arabia for hajj pilgrimage in October as well as the year-round umrah pilgrimages. Umrah is likely to be more crowed during the Ramadan fast, the U.S. Centers for Disease Control and Prevention said on its website.

There are currently no travel restrictions related to MERS from the Public Health Agency of Canada, which recommends general travel advice. In June, WHO experts advised countries at risk from MERS to plan for mass gatherings. The UN health agency issues similar recommendations before major international sporting events.

Mild and asymptomatic cases that could go undetected are another concern, WHO said in its latest statement. If mild cases are going undetected then the death rate is lower than it currently seems.

Dr. Theresa Tam, head of the Public Health Agency of Canada’s health security infrastructure branch, is one of the 15 members of WHO’s emergency committee. Tam has worked in the fields of respiratory diseases like flu and pandemic preparedness.

People who have been infected with MERS coronavirus have experienced influenza-like illness such as coughing, mucous, shortness of breath, malaise, chest pain and fever. Many have also had gastrointestinal symptoms such as diarrhea.

source:  www.cbc.ca

 

Anggaran minim, Kemenkeu pangkas jumlah peserta BPJS kesehatan

Kementerian keuangan memutuskan untuk memangkas jumlah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menjadi sebanyak 86,4 juta jiwa. Padahal, DPR-RI meminta jumlah peserta BPJS kesehatan harus sebanyak 96,7 juta jiwa, hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011.

Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar beralasan, pemangkasan itu dilakukan setelah pihaknya menghitung kemampuan anggaran negara. Selain itu, pemerintah juga telah memiliki program lainnya yang juga bertujuan untuk melindungi dan membantu kehidupan rakyat miskin.

“Ada beban fiskal yang mesti dijaga pemerintah ke depan. Untuk membantu penduduk miskin lainnya, maka ada program-program lain yang dibagi dalam bentuk BLSM dan raskin,” ujar dia dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (10/7).

Menurutnya, sebanyak 86,4 juta jiwa itu diambil dari data program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sehingga lebih tepat untuk diikutsertakan dalam BPJS kesehatan Adapun PPLH yang dilakukan BPS terbagi menjadi tiga kategori, yaitu, penduduk miskin, hampir miskin, dan sangat miskin. “Survey terakhir mencakup 96,7 juta jiwa,” katanya.

Anggota Komisi IX Endang Agustini Syarwan Hamid terus meminta penjelasan Kemenkeu yang memangkas jumlah peserta BPJS kesehatan menjadi sebanyak 86,4 juta. “Saya masih perlu jawaban dari Kementerian Keuangan. Padahal data penduduk miskin yang tercatat adalah sebesar 96,7 juta jiwa,” kata dia.

sumber:  www.merdeka.com

 

WHO Minta Masyarakat Dunia Gencarkan Perang Lawan Obesitas

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mendesak negara anggota agar melakukan upaya gencar demi memerangi kegemukan dan kelebihan berat agar penyakit yang terkait dengan kondisi ini makin berkurang.

Wakil dari 48 negara dalam konferensi menteri Eropa mengenai gizi dan penyakit tak menular menandatangani Deklarasi Wina dalam pertemuan dua hari.

“Kami menegaskan kembali komitmen kami dalam konteks Eropa dan gagasan global guna memerangi faktor risiko utama bagi penyakit tak menular, terutama makanan tidak sehat dan tidak aktif secara fisik,” kata deklarasi tersebut.

Berbagai tindakan yang disarankan meliputi pengurangan konsumsi lemak, gula dan garam pada makanan serta peningkatan kegiatan fisik.

Melalui kegiatan itu kematian pradini akibat penyakit yang tidak menular diharapkan bisa dikurangi sampai 25 persen paling lambat pada 2025.

Menteri Kesehatan Austria Alois Stoger mengatakan ia gembira dengan konferensi tersebut.

“WHO tampil dengan strategis gizi bersama di wilayah Eropa untuk pertama kali dan sekarang terserah negara masing-masing untuk melaksanakannya, sesuatu yang sudah dicapai oleh Austria,” katanya seperti dikutip dari Xinhua, Senin (8/7/2013).

Makanan lezat dan bergizi adalah kunci kesehatan yang berkualitas. Namun hari ini, makanan yang buruk, kelebihan berat dan kegemukan menjadi bagian terbesar penyakit tak menular; delapan dari 10 kematian di wilayah Eropa.

Menteri kesehatan, ahli dan wakil masyarakat sipil serta organisasi non-pemerintah bertemu di Wina pada 4-5 Juli 2013 untuk membahas kebijakan mengenai makanan, gizi dan kegiatan fisik untuk menangani masalah penyakit tak menular.

Guna mencapai kesetaraan yang lebih besar, konferensi WHO di Wina membahas kebijakan mengenai penanganan kegemukan yang bersumber dari ketidak-setaraan di masyarakat.

sumber:  health.liputan6.com