Jelang SJSN 2014, Kemenkes Siapkan Ribuan Fasilitas Kesehatan

Dalam persiapan diberlakukannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang jatuh pada 1 Januari 2014, berkat arahan dan dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah disiapkan fasilitas kesehatan yang kurang lebih merata agar dapat dijangkau dengan pasien yang memerlukannya.

Demikianlah yang disampaikan langsung oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Nasfsiah Mboi. SpA,M.P.H, dalam kata sambutan di acara ‘Peresmian Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Kirana’ di RSCM Kirana.

“Yaitu, 9581 Puskesmas, termasuk Puskesmas dengan fasilitas perawatan rawat inap dan 2.138 rumah sakit di Indonesia,” ujar Nafsiah, di RSCM Kirana, Kamis (4/7/2013)

Disamping itu, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan 110 ribu orang dokter dan dokter spesialis, 23 ribu orang dokter gigi, 296 ribu perawat, dan 136 ribu bidan.

“Termasuk di antaranya tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan, untuk menjamin pemerataan,” tambah Nafsiah.

Kualitas pelayanan kesehatan pun terus menerus ditingkatkan oleh Kementerian Kesehatan. Menurut Nafsiah, melalui ini pula diharapkan RSCM Kirana dan Shangli dapat dijadikan contoh oleh rumah sakit lainnya.

(sumber: health.liputan6.com)

 

Turkish Health Ministry seeks doctors to work in Sudan

World Bulletin/News Desk

Acting on directives by Turkish Prime Minister Recep Tayyip Erdogan, the Turkish Health Ministry is looking for doctors to work at a hospital built by the Turkish Cooperation and Coordination Agency (TIKA) in Sudan.

Eyeing Turkish doctors to begin its services, Nyala Sudanese-Turkish Training and Research Hospital in the capital Nayala of Sudan’s South Darfour state needs specialists in 14 majors to train Sudanese doctors.

The hospital includes 150 normal beds, 46 beds in the high-intensive care unit, 3 operating rooms, 2 delivery rooms, a full-equipped radiology unit and a laboratory.

Turkish doctors will train 107 junior physicians in 15 majors.

For the assignment in Sudan, the Turkish Health Ministry calls upon Turkish doctors in specialties of internal medicine, general surgery, gynecology and obstetrics, pediatrics, cardiology, orthopedics, traumatology, ophthalmology, urology, otolaryngology, infection diseases, anesthesiology and reanimation, radiology, medical biochemistry and pathology.

Doctors with good command of English or Arabic will be preferably chosen for the assignment.

 

Mencari Kesembuhan sampai ke Negeri China

Bagdja Widjaja (70) menjalani perawatan akibat tumor tonsil kanan yang telah menyebar ke organ hati. Ia tak merasakan sakit meski oleh sejumlah rumah sakit di dalam dan luar negeri dirinya dinyatakan menderita kanker stadium lanjut. Bahkan, dia masih bisa mengendarai truk ekspedisi yang menjadi usahanya di Cirebon, Jawa Barat.

Hingga beberapa waktu lalu, dia merasakan keanehan. Dahaknya disertai bercak merah atau coklat darah. Bagdja diyakinkan koleganya bahwa hal itu merupakan gejala kanker.

“Awalnya saya sangsi karena tidak ada rasa sakit. Sejak usia 10 tahun, saya rajin bangun tidur langsung minum air putih 1 liter. Berenang 15 putaran saja kuat. Narik truk juga kuat. Kok dibilang kanker,” kata Bagdja yang ditemani istrinya, Susinawati (66), di Rumah Sakit Tumor Nanyang, Guangzhou, China, pertengahan Mei 2013.

Pola hidup sehat lain, Susinawati menuturkan, Bagdja tidak merokok atau minum minuman keras. Hanya saja, pengusaha ekspedisi ini tidak menyukai sayur. “Ada sayur sedikit saja di piringnya, ia marah,” kata Susinawati.

Penasaran, Bagdja memeriksakan diri. Rumah sakit di Semarang, Jakarta, hingga Singapura telah disambangi. Semuanya mendiagnosis Bagdja kena kanker tonsil kanan (right tonsil carcinoma) stadium lanjut.

Bahkan, di Semarang, dia sempat membuat janji dengan tim medis untuk menjalani kemoterapi. “Pagi, saat mau berangkat ke Semarang untuk menjalani kemoterapi, saya putuskan tidak berangkat. Saya memikirkan, kalau tubuh dikemoterapi, lalu sel-sel yang sehat bagaimana nasibnya,” katanya.

Kemudian, Bagdja memutuskan berobat ke China atas rekomendasi anaknya. Hasil pemeriksaan dokter China sama, kanker tonsil bagian kanan stadium lanjut.

Rekomendasi tim dokter, dia disarankan menjalani dua fase pengobatan. Pertama, pengangkatan tumor yang berdiameter 6-8 sentimeter. Kedua, biotargeting dengan radiasi mikro. Setelah tumor diangkat, pengobatan dilanjutkan dengan radiasi sebanyak 32 kali.

Buah dan sayur

Selama menjalani pengobatan, Bagdja menjadi suka sayur dan buah. “Saya ingat pesan dokter, jangan makan yang disukai kanker, yaitu daging, terutama daging merah. Perbanyak buah dan sayur,” ujarnya.

Dokter pendampingnya di Nanyang, Zhang Xiao Ming, kagum dengan kondisi Bagdja. Dengan usia lanjut, Bagdja mampu menjalani rangkaian pengobatan yang panjang. “Bagdja sangat kuat, tidak ada rasa mual. Setelah fokus pada tonsil, nanti kami turun ke bagian hati untuk dituntaskan,” ujar Zhang.

Karena Bagdja tak mengalami keluhan berarti, Zhang hanya memberikan obat-obatan tradisional China untuk memperkuat stamina. Ia juga diberi kapsul obat China untuk menekan pertumbuhan tumor.

Rumah sakit yang terletak di Distrik Baiyun itu terkenal dengan penerapan terpadu pengobatan tradisional China dan pengobatan modern Barat. Pengobatan seperti ini sedikit banyak menarik minat pasien dari luar negeri datang ke Guangzhou.

Bagdja merupakan satu dari total 36.384 pasien Indonesia yang berobat ke China. Jumlah ini hanya sedikit di bawah total pasien dari China atau lokal, yakni 51.252 pasien, dan lebih banyak dibandingkan dengan gabungan pasien dari beberapa negara (Hongkong, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, Kamboja, Australia, Selandia Baru, dan negara lain) yang berjumlah 35.252 pasien.

“Selain perpaduan pengobatan Timur dan Barat, daya tarik rumah sakit ini adalah penanganan yang melibatkan tim pakar,” kata Prof Yu Zhen Yang, Wakil Direktur Operasi Rumah Sakit Tumor Nanyang, yang juga pakar teknologi sel punca.

Untuk satu pasien, penanganan diputuskan bersama oleh tim yang terdiri dari pakar radiologi, ahli bedah mikroinvasif, ahli sel punca, dan lainnya. Ini dilakukan untuk meminimalkan kesalahan diagnosis dan prosedur pengobatan. Agaknya, penanganan total seperti ini membuat pasien merasa aman, nyaman, dan dihargai. (ICHWAN SUSANTO)

(sumber: health.kompas.com)

 

Nafsiah Mboi: Dekatkan RS ke Masyarakat Pedesaan

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengingatkan Pemerintah Provinsi Lampung agar membangun rumah sakit pratama yang lokasinya mendekatkan dengan masyarakat perdesaan.

“Daripada kita mengumpulkan masyarakat ke rumah sakit utama, lebih baik kita yang mendekatkan (rumah sakit) dengan mereka,” kata Menkes saat berdialog sekaligus meninjau ruangan bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung, di Bandarlampung, Selasa (2/7).

Menurut dia pembangunan rumah sakit pratama di perdesaan justru akan meringankan beban pasien. “Mereka tidak perlu jauh-jauh datang kemari, kitalah yang mendekatkan mereka dengan segala fasilitas yang memadai,” ujarnya di hadapan pejabat Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan pejabat utama RSUDAM.

Ia juga menegaskan daripada menambah jumlah kamar dan tempat tidur pasien, pembangunan RS di pedesaan dan mengoptimalkan tenaga kesehatan di desa-desa, justru memberi solusi tersendiri atas persoalan peningkatan jumlah pasien kabupaten yang dirawat di RSUDAM.

“Apa yang saya sampaikan saya pikir bisa menyelesaikan persoalan ini,” kata dia lagi.

Wartawan kecewa

Kunjungan Nafsiah Mboi ke RSUDAM Lampung pada Selasa sempat memunculkan kekecewaan sejumlah wartawan. Rupanya ada pembatasan peliputan hanya bagi beberapa wartawan saja,

“Wah, kami sudah menunggu tiga jam di sini, tapi begitu menteri datang pihak manajemen RSUDAM malah membatasi wartawan masuk dengan alasan ruangan penuh,” kata Okta, fotografer Harian Tribun Lampung.

Ia kecewa, karena telah kehilangan momentum penting atas kedatangan Menkes itu.

“Semestinya kalau tidak boleh masuk ya diberlakukan untuk semua wartawan, jangan dibedakan begitulah, kami ini mau mencari berita bukan lainnya,” ujarnya.

(sumber: www.republika.co.id)

 

Meeting Health Needs in the Developing World

Since 1958, Project HOPE has worked to make health care available for people around the globe, providing humanitarian assistance through donated medicines, medical supplies and volunteer medical help. It is committed to long-term sustainable health care and its work includes educating health professionals and community health workers, strengthening health systems, fighting diseases such as TB, HIV/AIDS and diabetes.

Project Hope is also acutely aware that non-communicable diseases (NCDs) such as diabetes, cancer, and heart disease are placing an increasing burden on patients, healthcare systems, and economies. According to the World Health Organisation, NCDs account for 63 per cent of global deaths and nearly 80 per cent of deaths in low-to middle-income countries. Yet there are few successful models for NCD treatment and care that currently exist in the developing world. To tackle this situation, Project Hope has questioned how it can engage with corporate volunteers to help in improving global health and also improve their own skills and careers.

This organisation has the ability to unite global health experts from pharmaceutical companies and not-for-profits to solve these health issues. It understands how to engage volunteers from the business world and knows that it is the little things that count, such as volunteers having access to Internet, telephones and transportation as they may well otherwise abandon assignments if they are not able to stay in touch with their families at home and feel safe. Project Hope also appreciates that many of the volunteers may not have travelled outside of the U.S. before and may experience shock and confusion by their initial exposure to impoverished environments.

Therefore, Project Hope’s strong relationship with Lilly, a leading pharmaceutical company, which has been going for more than 50 years, has been influential. Lilly recently sponsored the organization’s fundraising gala in New York where they together unveiled a new video highlighting their work to improve diabetes and hypertension care for people living in the informal settlement of Zandspruit in Johannesburg, South Africa.

In 2011 Lilly announced an investment of $30 million over five years to create the Lilly NCD Partnership, a signature program designed to research new, comprehensive approaches to treat NCDs in the developing world. Lilly is working with world-class health organisations in Brazil, India, Mexico and South Africa, countries that suffer a large burden of NCDs, to develop effective, efficient and sustainable programs that can meaningfully improve outcomes for those in need. Meeting the enormous health needs in the developing world is not glamorous work and it is often anonymous. Project HOPE is the cheerleader that stands on the sidelines to encourage companies like Lilly to change things.

(source: www.justmeans.com)

 

Penggunaan jamu dapat dukungan ekonom APEC

Penggunaan obat tradisional seperti jamu yang diusung delegasi Indonesia dalam “Health Working Group” di Third APEC Senior Officials Meeting and Related meetings mendapat dukungan dari ekonom anggota APEC, seperti China, Australia, Rusia dan Amerika Serikat.

“Dengan dukungan dan semakin bisa dipahaminya keberadaan obat tradisional itu berdampingan dengan medis modern. Indonesia semakin berani berharap bahwa isu tentang kesehatan dengan obat tradisional itu bisa dibawa ke pembahasan tingkat menteri APEC di Bali, September mendatang,”kata Staf Ahli Menteri bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Kementerian Kesehatan, Agus Purwadianto, di Medan.

Menurutnya, isu obat tradisional itu akan diseminarkan, hari ini, pada Policy Dialogue on Traditional Medicine dan bahkan kemungkinan ada kesempatan bagi para delegasi untuk meminum jamu.

Agus menjelaskan sebenarnya masalah obat tradisional sudah beberapa kali dibawa dalam rapat di APEC setiap tahunnya, tetapi baru dalam pertemuan di Medan, para ekonom itu semakin memahami soal obar tradisional tersebut.

“Berkaitan dengan obat tradisional, Indonesia dalam pertemuan itu mengingatkan perlunya pengubahan berpikir bahwa kesehatan menjadi sumber pemborosan anggaran negara, tetapi sebaliknya bisa memicu pertumbuhan perekonomian,”katanya.

Dengan obat tradisional itu, kata dia, bisa semakin memicu jumlah petani tanaman herbal dan produsen obat tradisional termasuk untuk keperluan ekspor yang tentunya menambah devisa msing-masing negara anggota APEC.

Indonesia juga mengingatkan, perlunya peningkatan kesehatan di suatu negara mengingat pembangunan berkelanjutan membutuhkan sumber daya manusia yang sehat.

Sementara itu Direktur Pembinaan Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi, menyebutkan memang masih perlu terus melakukan lobi agar masalah obat tradisonal itu bisa disepakati ekonom Apec.

Lobi, kata dia, bukan hanya untuk masalah obat tradisional itu, tetapi juga di setiap bidang yang diagendakan dibahas dalam APEC SOM III.

(sumber: www.waspada.co.id)

 

BPK Minta Anggaran Kesehatan Masyarakat Diutamakan

Jakarta – Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Jalil, mengingatkan Kementerian Kesehatan lebih memprioritaskan anggaran untuk kesehatan masyarakat. Meski sudah mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP), realisasi anggaran Kementerian Kesehatan untuk belanja modal masih tersisa 12 persen.

“Padahal belanja modal ini yang langsung diterima masyarakat, baik berupa pengadaan rumah sakit terapung, posyandu, dan pengadaan alat kesehatan masyarakat di daerah terpencil,” kata Rizal dalam sambutan penyerahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Kementerian Kesehatan, Selasa, 2 Juli 2013.

Menurut Rizal, realisasi anggaran tahun lalu di Kementerian Kesehatan didominasi belanja pegawai sebanyak 98,5 persen. Untuk belanja barang, Kementerian menghabiskan 89,73 persen anggaran. Bantuan sosial realisasinya 89,73 persen. Sedangkan belanja modal hanya terealisasi sebesar 87,72 persen.

Rizal juga mengingatkan Kementerian Kesehatan bisa mengoptimalkan penggunaan pendapatan nasional bukan pajak yang jumlahnya lumayan besar. Pada 2012, jumlah realisasi BNPB mencapai 398,58 persen dari target yang ditetapkan.

Total realisasi pendapatan dari BNPB ini mencapai Rp 30 triliun. Angka ini, kata Rizal, merupakan bukti pencatatan, dan pertanggungjawabannya makin baik. Semua sudah tercatat, terdokumentasi dengan baik, yang perlu penggunaannya juga harus tepat. “Harus terus dikembangkan semangat kehati-hatian dan pruden. Itu saya hargai, dan kalau bisa diteruskan.”

Menurut catatan BPK, penggunaan keuangan negara di Kementerian pada 2012 sudah memenuhi standar akuntabilitas. Namun BPK belum mengganjar Kementerian dengan WTP murni karena masih ada beberapa catatan terkait proyek flu burung. BPK pun baru memberikan status WTP dengan catatan penjelasan.

Pada 2010, laporan keuangan Kementerian Kesehatan mendapat status disclaimer. Dan pada 2011, status ini berubah menjadi wajar dengan pengecualian.

(sumber: www.tempo.co)

 

WHO: We Need To Treat 26 Million HIV Patients To Halt Spread

LONDON, June 30 (Reuters) – Doctors could save three million more lives worldwide by 2025 if they offer AIDS drugs to people with HIV much sooner after they test positive for the virus, the World Health Organisation said on Sunday.

While better access to cheap generic AIDS drugs means many more people are now getting treatment, health workers, particularly in poor countries with limited health budgets, currently tend to wait until the infection has progressed.

But in new guidelines aimed at controlling and eventually reducing the global AIDS epidemic, the U.N. health agency said some 26 million HIV-positive people – or around 80 percent of all those with the virus – should be getting drug treatment.

The guidelines, which set a global standard for when people with human immunodeficiency virus (HIV) should start antiretroviral treatment, were drawn up after numerous studies found that treating HIV patients earlier can keep them healthy for many years and also lowers the amount of virus in the blood, significantly cutting their risk of infecting someone else.

“We are raising the bar to 26 million people,” said Gottfried Hirnschall, the WHO’s HIV/AIDS department director.

“And this is not only about keeping people healthy and alive but also about blocking further transmission of HIV.”

Some 34 million people worldwide have the HIV virus that causes AIDS and the vast majority of them live in poor and developing countries. Sub-Saharan Africa is by far the worst affected region.

But the epidemic – which has killed 25 million people in the 30 years since HIV was first discovered – is showing some signs of being turned around. The United Nations AIDS programme UNAIDS says deaths from the disease fell to 1.7 million in 2011, down from a peak of 2.3 million in 2005 and from 1.8 million in 2010.

Swift progress has also been made in getting more HIV patients into treatment, with 9.7 million people getting life-saving AIDS drugs in 2012, up from just 300,000 people a decade earlier, according to latest WHO data also published on Sunday.

Indian generics companies are leading suppliers of HIV drugs to Africa and to many other poor countries. Major Western HIV drugmakers include Gilead Sciences, Johnson & Johnson and ViiV Healthcare, which is majority-owned by GlaxoSmithKline.

“IRREVERSIBLE DECLINE”?

Margaret Chan, the WHO’s director general, said the dramatic improvement in access to HIV treatment raised the prospect of the world one day being able to beat the disease.

“With nearly 10 million people now on antiretroviral therapy, we see that such prospects – unthinkable just a few years ago – can now fuel the momentum needed to push the HIV epidemic into irreversible decline,” she said in a statement.

The WHO’s guidelines encourage health authorities worldwide to start treatment in adults with HIV as soon as a key test known as a CD4 cell count falls to a measure of 500 cells per cubic millimetre or less.

The previous WHO standard was to offer treatment at a CD4 count of 350 or less, in other words when the virus has already started to damage the patient’s immune system.

The guidelines also say all pregnant or breastfeeding women and all children under five with HIV should start treatment immediately, whatever their CD4 count, and that all HIV patients should be regularly monitored to assess their “viral load”.

This allows health workers to check whether the medicines are reducing the amount of virus in the blood. It also encourages patients to keep taking their medicine because they can see it having positive results.

“There’s no greater motivating factor for people to stick to their HIV treatment than knowing the virus is ‘undetectable’ in their blood,” said Gilles van Cutsem, the medical coordinator in South Africa for the international medical humanitarian organisation Médecins Sans Frontières (MSF).

MSF welcomed the new guidelines but cautioned that the money and the political will to implement them was also needed.

“Now is not the time to be daunted but to push forward,” MSF president Unni Karunakara said in a statement. “So it’s critical to mobilise international support… including funding for HIV treatment programmes from donor governments.”

The WHO’s Hirnschall said getting AIDS drugs to the extra patients brought in by the new guidelines would require another 10 percent on top of the $22-$24 billion a year currently needed to fund the global fight against HIV and AIDS. (Editing by Gareth Jones)

(source: www.huffingtonpost.com)

 

Bermain di Air Keruh RUU Tembakau

Jakarta – Adanya dugaan suap dalam Badan Legislasi DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan, telah membuat suasana makin gaduh.

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau secara resmi telah melaporkan indikasi dugaan suap dalam pembahasan RUU Pertembakauan di Dewan Perwakilan Rakyat. Komnas Pengendalian Tembakau menduga ada permainan antara perusahaan dengan politikus di DPR.

Salah satu kejanggalan di dalam RUU Tembakau ini adalah:tidak fokusnya pembahasan pada pertembakauan ataupun nasib petani, tetapi lebih kepada industri rokok. Lagipula jika ingin fokus kepada suatu produk, mengapa mesti tembakau yang menjadi penting? Bukankah ada beras, atau kopi, coklat, yang menjadi andalan produk indonesia di skala dunia?

Dan anehnya, walapun RUU ini berbicara soal tembakau, tetapi sama sekali tidak memperhatikan masalah impor tembakau yang kian naik dari tahun ke tahun. Seharusnya jika ingin melindungi petani tembakau, pemerintah membatasi atau malah melarang impor tembakau.

Total impor tembakau indonesia selama 2012 naik sebesar 13%, mencapai US$382,43 juta atau setara Rp3,824 triliun. Sebagian besar impor tembakau ini berasal dari China, yaitu sebesar US$191,4 juta atau setara Rp 1,914 triliun.

Jelas ada permainan berbagai pihak yang ingin mengail di air keruh. Lalu siapa mereka? “Dulu kan ada UU kesehatan, terus ada ayat yang hilang. Itu sudah berproses lewat MK dan sudah beres. Sekarang ada lagi disebutnya UU Pertembakauan. Ini kira-kira begitulah kalau undang-undang ada yang hilang pasalnya. Dugaannya seperti itu. Saya laporin Anggota DPR, Baleg (Badan Legislasi),” kata Arifin Panigoro selaku Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau usai bertemu Pimpinan KPK, pekan lalu.

Para analis melihat, ada kepentingan yang bermain di RUU Tembakau ini yakni industri rokok yang merasa khawatir atas upaya-upaya pengendalian tembakau. Padahal sekeras apapun advokasi dan kampanye yang dilakukan, industri rokok tetap meraih keuntungan yang signifikan, kenaikan penjualan sekitar 10% setiap tahunnya.

Kalau pemerintah sungguh sungguh berupaya melindungi petani tembakau, seharusnya upaya yang dilakukan adalah pembatasan impor. Selain itu, upaya pemanfaatan tembakau dengan cara lain juga lebih bermakna.

Seperti sebagai pestisida alami pembasmi hama. Ini juga sangat efektif, daripada digunakan sebagai bahan yang meracuni kesehatan manusia. Jika sebagai pestisida alami, tembakau dapat mengisi pasar pestisida yang juga sangat tinggi di Indonesia, mencapai Rp 6-7 trilyun. Itu yang legal. Jadi, siapa yang diuntungkan? [berbagai sumber]

(sumber: nasional.inilah.com)

 

Menristek: Radio Isotop Indonesia Diminati Asing

Medan – Radio isotop Indonesia, khususnya untuk bidang kesehatan, mendapat perhatian besar dari dunia. Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang selama ini mengandalkan dari Kanada berminat mengimpornya dari sini.

“Radio isotop, isotop dari zat radio aktif untuk bidang kesehatan seperti terapi kanker masih yang pertama di Asia dan semakin diminati dunia termasuk AS,” kata Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta usai pertemuan Working Group APEC Policy Partnership on Science, Technology and Innovation (PPSTI) pada Senin (1/7).

Pihak AS mengaku sangat berminat pada radio isotop dari Indonesia karena belum memiliki produk tersebut dan produksi di Kanada juga sudah berkurang akibat pabriknya semakin tua.

“Peluang besar itu harusnya dimanfaatkan Indonesia setelah selama ini masih mengekspor ke beberapa negara saja,” tuturnya.

Gusti menyebutkan pemerintah terus berupaya meningkatkan biaya riset karena secara nyata banyak hasil penelitian Indonesia diakui negara asing.

“Dalam APEC PPSTI di Medan telah disepakati bahwa negara di Asia Pasifik sepakat untuk bekerja sama dalam peningkatan riset untuk kemajuan semua sektor di negara-negara tersebut,” ujarnya.

Staf Ahli Menlu Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kementerian Luar Negeri M Wahid Supriyadi menyebutkan bahwa radio isotop itu sudah diekspor ke beberapa negara Asia, seperti ke Jepang, Korea, dan Malaysia. (Ant)

(sumber: www.metrotvnews.com)