AMA Declares Obesity a Disease

The American Medical Association has officially classified obesity as a disease, a move it believes will spur advancements in treatment and prevention.

The new policy, announced yesterday in Chicago during the group’s annual meeting, was adopted after delegates debated, and ultimately rejected, a committee recommendation cautioning against the new designation.

“Recognizing obesity as a disease will help change the way the medical community tackles this complex issue that affects approximately one in three Americans,” said AMA board member Patrice Harris, M.D. “The AMA is committed to improving health outcomes and is working to reduce the incidence of cardiovascular disease and type-2 diabetes, which are often linked to obesity.”

In adopting the new definition, the AMA concluded that obesity meets the criteria used to define a disease, including the impairment of normal body function. It cites an abundance of clinical evidence identifying obesity as a “multi-metabolic and hormonal disease state” that can affect appetite, energy, fertility and blood pressure, among other physiological functions.

The resolution also noted that The World Health Organization, the Food and Drug Administration, and the National Institutes of Health recognize obesity as a disease.

The decision will likely draw new attention to the obesity epidemic, which affects 78 million adults and 12 million children in the United States. And it could lead to increased reimbursement for obesity drugs, surgery and other treatments, according to AMA, the nation’s leading physician association.

But the association’s Council on Science and Public Health, which studied the issue, concluded that the benefits of classifying obese individuals as having an illness rather than a condition are unclear. It advised against a disease classification primarily because there is no widely accepted definition of disease, and because the mechanism for diagnosing obesity, body mass index, is inadequate. (BMI uses height and body weight to calculate a number that indicates a person’s fat level. A BMI of 30 or greater is considered obese.)

“Given the existing limitations of BMI to diagnose obesity in clinical practice, it is unclear that recognizing obesity as a disease, as opposed to a ‘condition’ or ‘disorder,’ will result in improved health outcomes. The disease label is likely to improve health outcomes for some individuals, but may worsen outcomes for others,” the council wrote.

The council was also concerned that the “medicalization” of obesity could lead people to rely too heavily on drugs and surgery rather than diet and exercise to lose weight.

Another argument against the disease label was the potential for increased stigma. If someone alters their lifestyle but fails to drop weight, they’d be still be labeled as having a disease and might feel pressured to receive medical interventions such as drugs or surgery.

The adopted resolution argued that “the suggestion that obesity is not a disease but rather a consequence of a chosen lifestyle exemplified by overeating and/or activity is equivalent to suggesting that lung cancer is not a disease because it was brought about by individual choice to smoke cigarettes.”

(source: www.runnersworld.com)

 

RUU Farmasi Masuk Konsinyering Awal Juli 2013

20jun

20junJakarta, PKMK. RUU tentang Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Rumah Tangga (RUU Farmasi), akan masuk tahap konsinyering intensif di minggu pertama Juli 2013. Tim Panitia Kerja (Panja) Pemerintah Indonesia untuk RUU tersebut diharapkan mampu menghadirkan pakar bahasa dan pakar draft hukum. Dengan demikian, debat terkait judul RUU tersebut bisa lebih ditengahi. Demikian hasil rapat Panja RUU Farmasi di Jakarta (19/6/2013).

Dr. Abdurrahman Abdullah, Wakil Ketua Panja RUU Farmasi, menyatakan konsinyering itu akan berlangsung intensif selama satu sampai tiga hari. Sekalipun intensif, aspek kualitas diharapkan tidak dinomorduakan. Ke depannya, aspek iklan juga akan diatur di RUU tersebut. Langkah ini ditempuh agar masyarakat sebagai konsumen tidak menjadi korban iklan. “Misalnya saja, selama ini ada iklan obat dengan anak kecil sebagai model, nanti hal itu tidak dibolehkan. Demikian pula iklan obat dewasa yang tayang di jam sibuk,” tambahnya. Selaku anggota Panja RUU Farmasi dari Pemerintah Indonesia, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Maura Linda Sitanggang menyatakan menyetujui agenda konsinyering tersebut. Pihaknya juga akan menghadirkan pakar bahasa ataupun pakar draft hukum seperti yang diminta.

Dalam rapat, perdebatan sempat terjadi antara DPR RI dengan Pemerintah Indonesia mengenai judul RUU tersebut. Maura Linda mengatakan, RUU tersebut selain menggunakan pendekatan pengawasan juga perlu pendekatan kesejahteraan masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Ferrari Romawi dari Partai Demokrat berkata: “Kami oke saja kalau Pemerintah ingin lebih dari sekadar pendekatan pengawasan. Tapi, desain awal RUU ini kan untuk pengawasan. Maka apakah batang tubuh RUU bisa mengakomodir perluasan itu?” Sementara, Hendrawan Supratikno dari PDIP, menginginkan jaminan eksplisit dari Pemerintah Indonesia tentang pentingnya komitmen pengawasan dalam RUU tersebut. “Kami minta agar pendekatan pengawasan benar-benar terdefinisi dengan baik dalam RUU,” kata Hendrawan. Kemudian, selaku pimpinan sidang, Abdurrahman Abdullah mengatakan, tidakkah pendekatan kesejahteraan itu nanti melemahkan aspek pengawasan?

Maura Linda menanggapi hal tersebut dengan pernyataan, agar komprehensif RUU itu perlu pendekatan kesejahteraan pula. Jadi, di dalamnya pun ada pembinaan dan tanggung jawab oleh Pemerintah Indonesia tentang ketersediaan obat dan lain-lain. Pemerintah Indonesia pun berkomitmen penuh terhadap aspek pengawasan. Bahkan, di RUU itu, Pemerintah Indonesia menambahkan bab tentang penguatan pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Pengawasan BPOM akan bersifat dari pra-market sampai post-market produk,” kata dia.

Sebelum kesepakatan untuk masuk ke konsinyering tercapai, sidang sempat diskors selama lima menit oleh Abdurrahman. Hal ini untuk memberi waktu lobi antar-pihak terkait perdebatan judul RUU tersebut. Usai skors dicabut, Pemerintah Indonesia mengusulkan agar frasa “Pengaturan dan Pengawasan Sediaan Farmasi” dimasukkan ke judul RUU itu. Kemudian usulan ini akan dibahas dalam masa konsinyering itu. “Masalah judul, saya rasa tidak perlu berkepanjangan,” kata Abdurrahman.

 

Ini permasalahan kependudukan di Indonesia

Dewasa ini Program KB Nasional terkesan stagnan dan perlu memperoleh dukungan dari semua pihak. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 237,6 juta jiwa.

Sementara laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen masih lebih tinggi dari target yang harus dicapai pada tahun 2010 yaitu 1,27 persen, kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, dalam keterangan tertulis Kemenkes yang diterima di Jakarta, Rabu.

Pada acara pelantikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Fasli Jalal, Menkes mengatakan jika diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index, maka mutu penduduk Indonesia masih harus ditingkatkan karena masih berada pada urutan ke 124 dari 187 negara.

Persebaran penduduk juga tidak merata, sekitar 58 persen penduduk berada di Pulau Jawa.

Sementara piramida penduduk Indonesia mengindikasikan bahwa Indonesia akan menghadapi triple burden, yaitu meningkatnya jumlah penduduk balita, remaja, dan lansia. Dari total penduduk, sebesar 28 persen atau 64 juta jiwa adalah remaja, dengan jumlah penduduk lanjut usia atau lansia sebesar 18 juta jiwa.

Hal ini menunjukkan kemungkinan terjadinya peledakan penduduk akibat angka kesuburan yang stagnan, tambah Menkes.

Menurut Menkes, saat ini data menunjukkan bahwa Angka kesuburan atau Total Fertility Rate (TFR) mengalami stagnansi selama 10 tahun tidak berubah yaitu 2,6 per wanita usia 14-49 tahun menurut SDKI 2012, Angka Age Spesific Fertility Rate (ASFR) 15-19 tahun menurun sedikit dari 51 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun (menurut SDKI 2007) menjadi 48 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun (menurutSDKI 2012).

Padahal Indonesia menargetkan menjadi 30 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun pada tahun 2015, Angka kesuburan di daerah perdesaan sudah mulai menurun, tapi jumlahnya masih dua kali lipat dibandingkan dengan kelahiran pada wanita usia subur 15-19 tahun di daerah perkotaan.

Untuk menghindari peledakan penduduk, kata Menkes, perlu dilakukan akselerasi revitalisasi yang terkait dengan capaian sasaran MDG Goal 4, 5, 6 sehingga TFR mencapai replacement level yaitu sebesar 2,1.

Di samping itu, perlu dilakukan intensifikasi penggarapan di 10 provinsi penyangga utama, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur, dengan tetap memperhatikan provinsi Papua dan Papua Barat dalam meningkatkan mutu dan aksesmasyarakat pada pelayanan KB.

KB

Revitalisasi Program KB adalah salah satu fokus dan prioritas Pembangunan Kesehatan yang diarahkan kepada penguatan supply dan demand secara seimbang, tutur Menkes.

“Dalam penguatan sisi supply, saya minta agar jajaran Kementerian Kesehatan, BKKBN, dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat melakukan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, upaya-upaya yang mencakup memperkuat sistem pelayanan KB, memperkuat kerjasama dengan mitra pelayananProgram KB, memastikan ketersediaan sarana-prasarana dan alat-obat kontrasepsi di semua sarana pelayanan kesehatan, meningkatkan kapasitas provider pelayanan KB

“Sedangkan dalam penguatan demand creation saya minta agar dilakukan pula dengan sungguh-sungguh upaya-upaya yang mencakup merubah pola pikir agar Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera Melembaga dengan merubah motto dari Dua Anak Lebih Baik ke motto Dua Anak Cukup, menumbuhkan sense of crisis dengan bekerja kreatif, tidak business as usual, dan berintegritas tinggi, lanjut Menkes.

(sumber: www.antaranews.com)

 

RUU Pendidikan Kedokteran Belum Disepakati

Jakarta, PKMK. Sejumlah poin dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) di Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran, belum disepakati oleh Komisi X DPR RI dengan Pemerintah Indonesia. Meskipun begitu, diharapkan bahwa dalam konsinyering yang akan berlangsung minggu depan, kesepakatan bisa tercapai. Maka, dalam masa sidang ini, RUU tersebut diharapkan bisa disahkan menjadi UU, ungkap Agus Hermanto, ketua Komisi X DPR RI di Jakarta (19/6/2013).

Tim perumus dan tim sinkronisasi RUU tersebut akan segera dibentuk oleh Komisi X dan Pemerintah Indonesia. Itu agar materi RUU tersebut dirapikan sebelum disahkan menjadi Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran. Apa saja poin yang belum disepakati? “Yang belum disepakati itu sangat banyak. Tapi sekali lagi, kita mengharapkan bahwa semua itu selesai dalam konsinyering minggu depan.”

Komisi X dan Pemerintah Indonesia pun menyambut baik bila organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kembali berniat memberi masukan untuk RUU tersebut. Itu tentu akan memberi khasanah baru terhadap materi RUU. Akan tetapi, masukan tersebut kemungkinan besar tidak mengubah DIM yang hampir disepakati Komisi X dan Pemerintah Indonesia. Pembahasan RUU tersebut sudah mendapat enam kali perpanjangan masa sidang dari Sidang Paripurna DPR. “Pokoknya, kami ingin itu selesai di masa sidang ini yang tinggal sebulan. Kalaupun meleset lagi, ya paling-paling diperpanjang satu masa sidang lagi,” ucap Agus.

Indonesia Shares Experience on Vaccine Quality Management with OIC Members

The Indonesian government has shared experiences with member states of Organization of Islamic Conference (OIC) in strengthening their national regulatory authority (NRA) functions in vaccine manufacturing for global markets.

“We are willing to share with all member states of OIC our experiences in strengthening national regulatory authority functions in vaccine manufacturing,” said Lucky S. Slamet, head of Indonesian Agency for Food and Drug Control (BPOM), in a workshop held in conjuction with the 2nd meeting of OIC vaccine- and medicine-manufacturers in Bandung, West Java province, on Monday.

Delegates and experts from nine OIC countries that already have their vaccine making facilities out of the total 57 OIC member countries are attending the meeting which runs from 16 to 19 June, 2013.

In the workshop, Slamet told the workshop that NRAs hold a decisive role in guarranteeing the quality of vaccine supplied to the global markets. The World Health Organization (WHO), therefore, always evaluates the NRAs through capacity building efforts so as to ever strengthen them.

“The WHO has declared us, the Indonesian National Agency of Food and Drug Control, to have performed an internatonal standard control function, in particular, on vaccine. With this achievement, Indonesia now has a wide opportunity – through Bio Farma – to export its products to international markets,” she pointed out.

Based on this experience, Slamet added, Indonesia is ready and willing to share with OIC member states the experience in strengthening their RNA functions in vaccine manufacturing.

“Out of the total 57 OIC member states only five countries having their vaccine manufacturers and out of this five only one that can export its products, namely Bio Farma,” Slamet emphasized.

According to World Health Organization (WHO), NRAs are national regulatory agencies responsible for ensuring that products released for public distribution (normally pharmaceuticals and biological products, such as vaccines) are evaluated properly and meet international standards of quality and safety.

Countries producing vaccines need to exercise six critical control functions, and exercise them in a competent and independent manner, backed up with enforcement power. The six functions are a published set of requirements for licensing, surveillance of vaccine field performance, system of lot release, use of laboratory when needed, regular inspections for good manufacturing practices (GMP) and clinical performance evaluation.

Bio Farma Sales and Marketing Director Dr. Mahendra Suhardono also spoke in the workshop on quality management system (Manufacture, Pre Qualification of Vaccine) in a way to meeting the Good Manufacturing Practices (GMP as set out by the for WHO prequalification.

Bio Farma, he said, has been able to maintain an integrated system of quality control management as well as efforts on keeping it update with latest GMP requirements.

Bio Farma is Indonesia’s only vaccine manufacturer whose products have been recognized by WHO since 1997 that the company can supply its products to over 120 countries.

Currently the needs for Expanded Program on Immunization (EPI) vaccines in Indonesia have been supplied solely by Bio Farma by producing and distributing over 1.7 billion doses of vaccine per year to meet the needs of EPI vaccine for national immunization program.

Bio Farma has an outstanding international reputation based on the WHO prequalification for all of its EPI vaccine products and has also implemented green industry and is environment friendly. WHO acknowledges that Bio Farma vaccine products are of high quality, efficacious, and affordable.

Bio Farma products are through the direct distribution or through various agencies such as UNICEF, PAHO. The company has obtained the Best Export Performance from the Indonesian Trade Ministry consecutively in 2010,2011, 2012 as an evidence of its consistent exceptional performance.

About OIC

The Organisation of Islamic Cooperation (OIC) is the second largest inter-governmental organization after the United Nations which has membership of 57 states spread over four continents. The Organization is the collective voice of the Muslim world and ensuring to safeguard and protect the interests of the Muslim world in the spirit of promoting international peace and harmony among various people of the world.

About PT Bio Farma (Persero)

Since its establishment in 1890, PT Bio Farma (Persero) has been active in supplying high quality vaccines and serum for people. Currently, Bio Farma is among the largest vaccines manufacturers and suppliers in the world. The need for EPI vaccines in Indonesia has been supplied solely by Bio Farma.

Bio Farma has existed for a century and proven its strength and experience world wide. The company has also grown and developed to become a vaccine and serum manufacturer of international reputation. This can be seen from its qualifications and ability to acquire WHO prequalification for all of its EPI Vaccine products. For more information, please visit http://www.biofarma.co.id/.

(source: www.newsmaker.com.au)

 

420 Petugas Kesehatan Haji Indonesia Ditarik

Menyusul pemangkasan kuota haji pada tahun 2013 ini, maka akan dilakukan pula pemangkasan-pemangkasan tertentu yang masih terkait dengan penyelenggaraan haji.

Salah satunya adalah tim kesehatan haji indonesia (TKHI) kloter. 420 TKHI akan dipulangkan kembali ke daerah masing-masing.

“Pemotongan kuota petugas kesehatan pasti terjadi, menyusul adanya pemotongan kuota haji tahun ini”, kata Tjetjep Ali Akbar, Kepala Bidang Peningkatan Kesehatan dan Pengendalian Faktor Risiko Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat acara seminar haji di salah satu hotel di Jakarta, Selasa (18/6).

Menurutnya, petugas kesehatan haji akan dipangkas sesuai dengan jumlah kloter jamaah yang dikurangi. Pihaknya akan menyesuaikan jumlah TKHI yang harus dipangkas dengan jumlah calon jamaah haji yang tidak jadi diberangkatankan oleh Kementerian Agama (Kemenag).

“Hal tersebut akan disesuaikan dengan jumlah pemotongan yang dilakukan Kemenag,” ujarnya.

Namun, lanjutnya, jika disesuaikan dengan pemotongan dari pihak Arab Saudi, yaitu sebesar 20 persen maka kira-kira kuota yang akan dipotong sebesar 42 ribu jamaah. Pada setiap kloter biasanya terdapat kurang lebih 300 jamaah. Dalam satu kloter tersebut, mereka akan didampingi oleh 3 orang petugas TKHI.

Sehingga, kira-kira akan ada 420 TKHI yang batal berangkat. Mereka akan dipulangkan kembali dari camp-camp kesehatan haji ke daerah masing-masing.

Mengenai daerah mana saja yang akan dilakukan pemulangan, Tjetjep menegaskan bahwa hal tersebut akan disesuaikan dengan keputusan Kemenag nantinya. Sampai saat ini, Kemenag masih belum menentukan sistem pemangkasan yang akan dilakukan.

Karena, pihak Kemenag masih mengusahakan pembatalan pemangkasan tersebut.

Pembukaan pendaftaran petugas kesehatan haji ini telah dilakukan beberapa bulan lalu. Penutupan dilakukan pada tanggal 23 February 2013. Pembukaan lowongan ini dikhususkan untuk para ahli kesehatan baik dokter, perawat, bidan, maupun ahli-ahli teknologi kesehatan lainnya.

Perekrutan petugas kesehatan haji sengaja dilakukan jauh-jauh hari agar persiapan dalam penanganan jamaah di Arab Saudi nanti lebih siap.

“Mereka diberikan pelatihan-pelatihan agar mereka tahu nanti apa yang mereka lakukan di sana sesuai dengan kondisi disana (Arab Saudi)”, ungkap Tjetjep.

Rencananya, 420 TKHI ini bersama dengan TKHI lain akan diberangkatkan bersama dengan para jamaah saat pemberangkatan haji dari masing-masing embarkasi. Mereka bertugas untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi jamaah haji di kelompok terbang (kloter).

Namun, hal tersebut akan batal dilakukan menyusul adanya pembatasan kuota haji yang beberapa saat lalu diumumkan Pemerintah Arab Saudi kepada seluruh negara-negara penyelenggara haji di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Adapun TKHI nantinya tidak akan bekerja sendiri. Terdapat Petugas kesehatan haji indonesia (PKHI) lain, yaitu Panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) Arab Saudi bidang kesehatan, yang bertugas menyediakan pelayanan kesehatan di daerah kerja (Daker) Jeddah, Makkah, dan Madinah.

Tjetjep berharap untuk kuota PPHI tidak akan dilakukan pemangkasan layaknya TKHI. Karena menurutnya tenaga PPHI sudah sangat minim untuk melayani puluhan ribu jamaah haji. Sehingga ditakutkannya tidak akan maksimal dalam pelayanan nantinya.

“Petugas kesehatan itu sangat penting keberadaannya. Kalau semakin sedikit maka tidak akan berjalan”, jelasnya.

Menurutnya, keluhan penyakit yang dihadapi jamaah haji di Arab Saudi akan sangat bermacam-macam. Oleh karena itu petugas kesehatan sangat penting untuk memantau dan membantu para jamaah disana.

Selain itu Tjetjep juga menyebutkan beberapa penyakit yang sangat beresiko dihadapi oleh jamaah haji. Diantaranya, adalah penyakit jantung dan penyakit pernafasan. “Biasanya adalah jenis-jenis penyakit tidak menular yang paling banyak. Namun yang paling sering diabaikan adalah dehidrasi”, tandasnya.

Tjetjep sangat mewanti-wanti calon jamaah haji agar tidak menyepelekan masalah dehidrasi. Pasalnya, jamaah haji Indonesia yang 54 persen diisi oleh usia lanjut (di atas 60 tahun) paling sering lalai akan hal tersebut. Mereka enggan minum air yang cukup karena takut akan buang air kecil sehingga akan membatalkan wudhu.

Kemudian mereka akan kesulitan mencari tempat wudhu atau toilet sehingga mereka lebih banyak yang menahan dahaga ketimbang minum air yang cukup. “Akibatnya adalah mereka mengalami dehidrasi kronis”, ungkap Tjetjep.

Saat hal itu terjadi maka kemungkinan terburuk adalah resiko meninggal. Tanpa mereka sadari banyaknya aktifitas mereka ditambah dengan suhu udara nyaris 50 derajat celcius akan semakin mempercepat proses dehidrasi. Tanda-tanda awal dehidrasi adalah mulainya terjadi kebingungan, kemudian jamaah akan terpisah dan hilang.

“Hal tersebut paling sering terjadi. Tahun kemarin (2012) sekitar 139 jamaah yang sakit dan 100 persen dari mereka mengalami dehidrasi,” jelasnya.

Oleh karena itu Tjetjep sangat berharap tidak adanya pemangkasan kuota petugas kesehatan lagi nantinya. Karena selain melayani pada bidang kesehatan, para petugas ini juga dapat mengawasi dan memperhatikan para jamaah haji di Arab Saudi. Sehingga keberadaan mereka sangat penting menurutnya.

Ketua Komisi VIII (Bidang Keagamaan) DPR Ida Fauziyah menuturkan, pihaknya tidak mempersoalkan himbauan pemerintah supaya calon jamaah haji lansia tidak berhaji dulu tahun ini. “Sebab kondisinya memang tidak memungkinakan. Saya ke sana sekitar Februari lalu, renovasinya lumayan luas,,” kata politisi PKB itu.

Ida mengatakan DPR tetap akan meminta penjelasan resmi dari pihak Kemenag. Khususnya terkait hasil lobi dispensasi pemotongan kuota ke pemerintah Arab Saudi. Apapun hasil lobi tersebut, Ida menuturkan pihak DPR akan meminta penjelasan secara rinci.

Misalnya nanti tetap jadi dipotong sebesar 20 persen, Ida menuturkan bisa berdampak kepada pembiayaan haji. Khususnya pembiayaan pos indirect cost yang didapat dari hasil pemanfaatan atau bunga simpanan setoran awal dana haji. Komponen pembiayaan indirect cost ini memang tidak dibebankan langsung ke masyarakat.

Ida masih belum bisa memastikan besaran potensi pembengkakan anggaran indirect cost. “Dipastikan dulu nanti keputusan final pemangkasan kuotanya seperti apa,” kata dia. (mia/wan)

(sumber: www.jpnn.com)

 

Makin Banyak Warga yang Tak Puas dengan Layanan Kesehatan

Pengaduan atas ketidakpuasan pelayanan kesehatan di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan semakin cerdasnya masyarakat yang mendapatkan pelayanan publik, kata Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Prof Ali Baziad.

“Namun semua pengaduan tersebut merupakan kesalahan pelayan kesehatan atau dokter. Tetapi karena kesalahan penyampaian informasi sehingga masyarakat tidak bisa menangkap dengan baik maksud dan tujuannya,” katanya seusai rapat koordinasi dan sosialisasi regulasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Indonesia bagian timur di Kuta, Bali seperti dikutip dari Antara, Selasa (18/6/2013).

Ia menjelaskan bahwa pada 2006-2012 terdapat 126 pengaduan ketidakpuasan pelayanan kesehatan dan semua sudah dapat diselesaikan secara hukum di MKDKI.

Tindak lanjut pengaduan tersebut, sebanyak 45 persen pelayan kesehatan mendapat peringatan sesuai dengan pelanggarannya berdasarkan keputusan MKDKI dan sisanya pengaduannya tidak ditemukan bukti yang jelas.

Sedangkan pada Januari-Juni 2013 terdapat 36 pengaduan dari masyarakat dan saat ini pihaknya sudah menindaklanjutinya.

Sebelumnya KKI menggelar rapat untuk membahas kepastian hukum bagi penyelenggara praktik kedokteran.

“Dalam rapat tersebut dibahas berbagai macam permasalahan yang terjadi di lapangan sehingga nantinya para dokter tidak takut untuk melakukan praktik menghadapi dalam tuntutan yang terjadi di masyarakat,” kata Ketua KKI Prof Menaldi Rasmin.

Ia menjelaskan bahwa belakangan ini banyak terjadi permasalahan terkait dengan kinerja dokter di mata masyarakat umum. Padahal di sisi lain dokter itu sudah melakukan kewajibannya sesuai dengan sistem kedokteran.

Memang diakuinya ada beberapa dokter yang melakukan kesalahan yaitu penyampaian informasi yang kurang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak bisa menangkap dengan baik maksud dan tujuannya, namun tidak sepenuhnya pelayan kesehatan yang melakukan kesahan tersebut.

Dengan demikian, pihaknya akan terus berupaya mendorong para dokter untuk lebih mendalami sistem komunikasi dengan masyarakat umum.

Selain itu, pihaknya juga berharap adanya peran serta dari pemerintah untuk memberikan sosialisasi terkait kinerja dan peran serta dokter di lingkungan masyarakat agar kesalahan tersebut tidak sepenuhnya terjadi pada dokter atau pelayan kesehatan.

“Jadi dokter itu bukan hanya bertugas untuk menyembuhkan setiap penyakit yang diderita oleh pasien atau masyarakat, tetapi ada upaya dari pemerintah dan masyarakat melakukan langkah mencegah timbulnya penyakit pada tubuh manusia,” kata Rosmin. (Abd/*)

(sumber: health.liputan6.com)

 

BBM Naik, PBI BPJS Kian Tak Memadai

Jakarta, PKMK. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang sebentar lagi terjadi diperkirakan berimbas kepada kecukupan nilai Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk warga miskin. Nilai PBI sebesar Rp 15.000-an per orang per bulan yang diinginkan Kementerian Keuangan RI semakin jauh dari cukup. “Dengan Rp 15.000-an tersebut, para dokter nantinya mendapat apa?” kata dr. Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR RI, di Jakarta (18/6/2013).

Komisi IX akan terus mengupayakan kenaikan nilai PBI tersebut. Setidaknya pada kisaran Rp 22.000-an per orang per bulan seperti yang diinginkan Kementerian Kesehatan RI. “Kita menggunakan acuan dari Kementerian Kesehatan saja. Mereka yang membidangi kesehatan dan mengetahui pasti tentang tarif dokter dan obat,” kata Ribka.

Saat ini, dia menambahkan, harga obat-obatan ataupun peralatan medis belum terkena imbas rencana kenaikan harga BBM. Jika harga BBM telah naik, bisa dipastikan bahwa perhitungan-perhitungan yang digunakan Kementerian Kesehatan RI turut berubah. “Semua perhitungan menjadi tidak cocok lagi,” dia berkata.

Apakah Komisi IX sudah bertemu Menteri Keuangan baru, M. Chatib Basri, untuk membicarakan hal itu? Ribka menjawab, “Susahnya, menteri keuangan selalu bicara penghematan anggaran, maka sulit mencari titik temu.”

Walau begitu, dalam waktu dekat rapat dengan M. Chatib Basri, Menteri Keuangan akan diagendakan. Fokus utama rapat itu adalah kenaikan nilai PBI tersebut. “Angka PBI sampai saat ini belum final. Tapi jangan lantas dianggap bahwa kami memusuhi BPJS sebagai lembaga. Jangan karena ada satu hal yang belum clear, kami dianggap tidak pro-BPJS,” Ribka berkata.

Terwujudnya BPJS Kesehatan pun bukan semata-mata peran DPR. Tapi juga karena dorongan dari masyarakat luas, ujar Ribka.

 

Kemenkes Susun Formularium Nasional Penyediaan Obat

Pemerintah akan merancang formularium nasional (fornas) terkait penyediaan obat untuk Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Fornas adalah suatu daftar penyediaan jenis dan harga obat yang menjadi acuan untuk pelayanan kesehatan JKN 2014.

Fornas diambil bedasarkan Daftar Obat Esensial (DOEN) sebagai referensi utama. DOEN ini tadinya diterjemahkan menjadi berbagai formularium berdasarkan penyedia asuransi. DOEN juga diterjemahkan berdasarkan fasilitas layanan kesehatan yang bersangkutan, misal rumah sakit dan institusi.

“Berbagai formulasi ini akan kita gabungkan menjadi satu, yang disebut fornas. Pemerintah yang akan menyusun dan menetapkan daftar tersebut,” kata Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Nasional, Maura Linda Sitanggang pada temu media Formularium Obat untuk Jaminan Kesehatan Nasional pada Senin (17/6) di Jakarta.

Melalui sistem INA-CBG’s, rumah sakit sebagai penyedia layanan akan memberikan obat sesuai penyakit yang diderita pasien. Nantinya apoteker dan instalasi farmasi tidak bisa memberikan obat di luar dari jenis yang tercantum dalam fornas. Fornas tidak termasuk obat tradisional dan suplemen makanan.

Fornas, menurut Maura, menggunakan konsep obat esensial. Maksudnya, obat generik yang diberikan harus aman, efektif, dan hemat biaya. Pemberian obat menurut fornas akan menghindarkan pasien dari konsumsi obat berlebih yang kurang efektif.

Fornas juga membolehkan aplikasi auto switching. Yaitu penggantian obat paten dengan obat generik yang tersedia dengan harga terjangkau. Namun penggantian obat harus dilakukan dengan zat aktif yang berbahan sama. Penggantian dapat dilakukan instalasi farmasi dan apoteker.

Fornas juga bisa diaplikasikan untuk sistem rujuk balik. “Nantinya layanan kesehatan primer akan memperhatikan saran dari layanan kesehatan sekunder. Sebaliknya, penyedia layanan sekunder juga harus menyesuaikan dengan jenis obat di fasilitas layanan primer,” kata Maura.

Ia mengatakan, fornas mungkin akan tersedia pada sekitar September. Fornas akan disusun komite nasional dari berbagai spesialisasi misal farmakologi, farmakologi klinik, dokter gigi, apoteker, dan Badan POM.

(sumber: health.kompas.com)

 

Best Healthcare System Examples From Around The World

The World Health Organization evaluates international health care systems based on five criteria. Factors include the health of the overall population, care inequalities within the population and the responsiveness of the health system. The WHO additionally assesses heath care provided to the various economic levels of a population along with who covers the cost of the health system. The following countries offer some of the best health care on the planet.

Switzerland

The health care system of the country represents the Bismarck Model, named for its founder, Prussian Chancellor Otto von Bismarck. Recipients receive care under an insurance system financed by employees and employers. Approximately 95 percent of Switzerland’s residents have private insurance policies. Impoverished citizens unable to afford a policy receive government help. The premiums of all policies cost the same amount and the companies cannot profit from basic health care treatment. The companies may however, receive monies for the costs associated with alternative medicine, dental care or for private hospital accommodations. Studies indicate that the government overall only spends a little over 11 percent on the system.

France

France also adopted the Bismarck Model with some variations.Residents obtain medical insurancethrough their place of work in addition to having private supplemental coverage. The government pays around 75 percent of the cost of medical care using the mandatory funds received from employees. Supplemental policies cover the remaining costs. Affluent citizens have the option of receiving elective procedures at their expense. All of the French citizens have the right to choose a health care provider and patients typically receive same day treatment.

Italy

According to infant mortality rates and life expectancies, Italy remains one of the countries providing the best health care. Employers provide and pay for the health insurance of employees, which features low-cost or no cost coverage regardless of the type of treatment. Unemployed individuals have the option of obtaining state operated medical coverage. Studies suggest that physicians remain dedicated to patients and receive exceptional training. Private hospitals receive glowing reports that rival any other country.

Taiwan

The country adopted the National Health Insurance Model in 1995, which combines the Beveridge and Bismarck systems. Private companies offer the policies that residents pay to the government who in turn covers the cost of medical treatment. The cost effective model does not allow profit by the insurance companies, preventing a motive for denying claims. However, the government only pays for a limited number of services or requires that patients wait a specific period of time for treatment. Individuals not able to afford private policies have the option of obtaining government assistance. Taiwan also implemented the “smart card.” Each resident receives a card that contains a continuing medical history.

Australia

The country adopted the Douglas Model of healthcare that represents a dual system of private and public health insurance. Affluent residents must have private insurance or pay a specialized tax when using the Medicare public system. Employees pay an insurance premium through their paychecks that covers the cost of using the system. Physicians have private practices and receive wages when treating public patients. They also receive compensation when treating citizens with private policies. Two thirds of the country’s hospital beds lie in public facilities. The remainder one third lies in private facilities. A drawback of the public system sometimes means patients wait for treatment.

(source: www.liveinsurancenews.com)