Lemah, Pengawasan Tenaga Kesehatan Asing

Pengawasan aturan pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing (TK-WNA) Indonesia masih lemah. Banyak peraturan dan sosialisasi tak berjalan seiring. Hal ini tentu berbahaya mengingat Indonesia memasuki era perdagangan bebas.

Demikian diungkapkan Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi pada workshop Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA) di Indonesia, Jumat (14/6/2013) kemarin.

Menkes menegaskan, bila pengawasan tak dilakukan secara ketat, Indonesia berpotensi menjadi lahan praktik tanpa mempertimbangkan risiko pengobatan yang digunakan.

Pengaturan TK-WNA sebetulnya sudah diatur dalam Permenkes nomor 1419/2005 dan 317/2010. Namun pada praktiknya, kementerian lain seperti Kemenakertrans dan Kemendagri juga turut mengurusi hal ini.

Sistem otonomi daerah juga memungkinkan TK-WNA masuk melalui izin pemerintah daerah setempat. Hal ini memungkinkan TK-WNA bisa masuk melalui lebih dari satu pintu. Jajaran pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama memperkuat pengawasan TK-WNA.

“Kita harus berkerja sama lintas kementerian, termasuk dengan daerah. Hal ini akan menghindarkan masyarakat dari kesalahan praktik dan obat karena WNA yang kita tak tahu kompetensinya,” kata Menkes Nafsiah.

Tujuan WNA yang masuk Indonesia seharusnya jelas, apakah sebatas alih teknologi, sosial, atau praktek. Namun banyaknya pintu memungkinkan WNA melakukan hal yang berbeda dengan visa yang dipegang.

“Padahal layaknya negara yang berdaulat kita punya aturan. Kalau aturan tersebut dilanggar maka kedaulatan kita dipertanyakan,” kata Nafsiah.

Lemahnya pengawasan juga diakui Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) Kemenkes Untung Suseno Sutardjo. Untung mencontohkan pemberian izin TK-WNA yang seharusnya ada di Kementerian Kesehatan. Namun pada praktiknya, pemberian izin sering tumpang tindih dengan pemerintah daerah dan Kemenakertrans.

Padahal, menurut Untung, pengurusan di Kemenakertrans hanya meliputi izin kerja. Sedangkan izin melakukan praktek pengobatan, tetap ada di Kementerian Kesehatan.

Pengurusan izin tinggal bisa kepada pemerintah daerah setempat, yang merupakan mitra Kementrian Dalam Negeri. Sementara izin datang ke Indonesia masuk dalam ranah Kementrian Luar Negeri.

Untung mengatakan, sebetulnya ada standar dan pengawasan yang dilakukan Kementerian Kesehatan terkait TK-WNA. Tenaga kesehatan asing dapat masuk dengan syarat memiliki kompetensi yang dibuktikan surat keterangan dari lembaga tinggi dan pemerintahan terkait.

TK-WNA juga tidak boleh datang sendiri. Mereka harus bekerja sama dengan dinas, kementrian, atau pemerintahan terkait. Para TK-WNA juga harus datang dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Namun, menurut Untung, WNA sering datang sambil mengurus izin. Atau datang ketika proses izin belum selesai. Akibatnya, pembinaan dan pengawasan TK-WNA tidak bisa maksimal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya data Kementrian Kesehatan terkait jumlah TK-WNA saat ini.

“Karena aturannya banyak, tergantung siapa yang membawa. Kalau ini disatukan pembinaan dan pengawasan bisa lebih baik,” kata Untung.

Kemenkes hanya memiliki data jumlah rekomendasi yang dikeluarkan sampai Mei 2013. Dari 50 rekomendasi untuk TK-WNA, 10 tercatat bekerja di rumah sakit swasta sedangkan sisanya melakukan bakti sosial.

Pelayanan satu atap menjadi kunci penataan sistem pengawasan TK-WNA di Indonesia. Namun hal tersebut bisa terselenggara bila ada kerjasama antara Pemda dan pemerintah pusat. Pengawasan satu pintu akan meliputi jalur yang sering digunakan TK-WNA. Jalur ini antara lain meliputi praktek, alih teknologi, dan bakti sosial.

(sumber: kaltim.tribunnews.com)

 

Jumlah Dokter Asing Terus Meningkat

Era perdagangan bebas pada 2015 akan segera tiba. Kendati begitu, dampaknya mulai terasa pada peningkatan jumlah tenaga kesehatan warga negara asing (TK-WNA) di Indonesia. TK-WNA mencakup dokter, suster , dan bidan. Namun sebagian besar adalah dokter spesialis dan terapis.

Propinsi Bali, menjadi salah satu yang mengalami peningkatan jumlah TK-WNA. Sesuai data yang dipaparkan pada ‘Workshop Pendayagunaan TK-WNA’ di Indonesia, Jumat (14/6/2013) di Jakarta kemarin, pada 2012 jumlah TK-WNA di pulau dewata itu mencapai 16 orang. Angka ini meningkat dibanding 2007 yang hanya 6 orang. Para TK-WNA bekerja di rumah sakit pemerintah atau daerah. Sebagian juga bekerja pada LSM, kendati jumlahnya tidak terinci.

Sementara itu data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah total dokter asing yang teregistrasi adalah 151 orang. Jumlah itu terbagi atas teregistrasi bersyarat untuk dokter, dokter gigi, dan spesialis sejumlah 12 orang, teregistrasi sementara untuk dokter, dokter gigi, dan spesialis sejumlah 5 orang, dan persetujuan alih iptek untuk spesialis dan spesialis gigi mencakup 134 orang.

Menurut Ketua Divisi Registrasi KKG-KKI Laksmi Dwiati, jumlah dokter asing diperkirakan terus meningkat. “Kalau peraturannya tidak segera diperbaiki, bukan tidak mungkin jumlah ini akan meningkat,” kata Laksmi.

Longgarnya peraturan, lanjutnya, menjadi salah satu penyebab mudahnya TK-WNA masuk Indonesia. Peraturan yang harus diperbaiki di antaranya penyertaan surat rekomendasi (letter of good standing) . Pemberlakuan persyaratan ini harus dilakukan setegas mungkin. Laksmi mengatakan, ketegasan persyaratan menjadi senjata membentengi masyarakat dari oknum dokter asing yang tak bertanggung jawab.

Surat ini merupakan bukti yang bersangkutan, sesuai persetujuan konsil profesinya, memiliki kompetesi yang sesuai dan layak dikirimkan ke Indonesia. Tujuan pengiriman juga jelas, sehingga TK-WNA tidak bisa menyalahgunakan izin yang ada. Surat tersebut harus berasal dari negara asal dan Indonesia. Surat hanya bisa dikeluarkan antar konsil profesi yang bersangkutan. Surat ini berlaku perorangan dan tidak dikirim langsung ke TK-WNA tetapi melalui konsil profesi di negara asal. Dengan cara ini hanya tenaga kesehatan yang teregistrasi yang boleh masuk ke

Laksmi menambahkan, setidaknya ada 8 masalah yang kerap dialami tenaga kesehatan asing. Permasalahan itu mencakup perbedaan sistem pendidikan, persyaratan alih iptek yang tidak lengkap, TK-WNA yang bekerja tanpa izin, bakti sosial tanpa verifikasi kompetensi, peminatan terhadap TK-WNA, kurangnya koordinasi antar profesi dan konsil, belum adanya mekanisme monitoring, dan mutual recognition arrangement (MRA) untuk TK-WNA non Asean.

(sumber: health.kompas.com)

 

Hundreds donate blood in Cambodia to mark World Blood Donor Day

PHNOM PENH, June 12 (Xinhua) — Hundreds of Cambodian citizens and dozens of foreigners working in Cambodia lined up to donate their blood on Wednesday during the celebrations of the 10th World Blood Donor Day.

Speaking at the event, Cambodian Minister of Heath Mam Bunheng expressed gratitude to all blood donors, saying that their donation was very valuable to save lives of the patients.

“I urge all of you to continue your donation,” he said. ” Blood transfusion will not harm your health; instead, your blood will save lives of people who are in need of blood.”

Hok Kim Cheng, director of National Blood Transfusion Center, said the celebrations were to appeal to donors to donate blood in order to ensure the stability of supplying blood to hospitals and health centers throughout the nation.

He said last year, the center had received voluntary donations of 60,084 units of blood, up 28 percent from 46,690 units in a year earlier.

“More and more Cambodians are aware of the advantage of blood in saving lives,” he said. “About 4.2 out of 1,000 people donate their blood last year, up from 4 out of 1,000 people in a year earlier.”

He said all blood would be tested for four types of diseases, HIV, hepatitis B and C, syphilis, and malaria.

“The blood that contains any of these diseases will be destroyed,” he said.

Dr. Pieter Van Maaren, representative of the World Health Organization to Cambodia, said a unit of blood could save up to three lives in low income countries including Cambodia.

“The event is very important to encourage people to donate blood and to thank donors for their blood donation,” he said.

One of the blood donors is a Buddhist monk who has donated blood to the center for 31 times.

“I have donated blood in every three months, there is no any harm to my health,” said Svay Sophea, a Buddhist monk at Botum Vatey pagoda in Phnom Penh. “This is the way I can do to save lives of people who are in need in blood.”

(source: news.xinhuanet.com)

 

IDI Tolak Besaran Premi Jaminan Kesehatan

Jakarta – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak usulan pemerintah yang menetapkan premi penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan sebesar Rp 15.500, karena dinilai belum cukup untuk penyediaan pelayanan kesehatan yang memadai.

“Pengurus Besar IDI menyatakan sikap menolak usulan premi PBI sebesar Rp 15.500 per orang per bulan karena berakibat tidak memadainya pelayanan kesehatan dan tidak mampu mendorong persebaran tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial kesehatan,” kata Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Zaenal Abidin, Rabu, 12 Juni 2013.

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam diskusi publik yang digelar di Kantor Pengurus Besar IDI dengan tema “Sistem Jaminan Sosial Nasional Dalam Perspektif Ekonomi: Premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, Benarkah Akan Mengancam Fiskal Negara?”

Menurut dia, dengan alokasi premi PBI yang rendah, justru berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap masyarakat miskin. “Besaran premi jaminan kesehatan PBI itu tidak memberikan nilai keadilan sosial bagi rakyat lemah dan miskin. Selain itu, terkesan pemerintah hanya memberi alokasi dana seadanya,” ujar dia.

Zaenal mengatakan masalah besaran jumlah premi jaminan kesehatan memang belum selesai. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan menetapkan premi sebesar Rp 22.000 per orang per bulan, sedangkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menetapkan Rp 27.000 per orang per bulan.

Dia mengimbuhkan besaran premi yang disiapkan untuk pelaksanaan jaminan kesehatan secara nasional yang disetujui oleh Kementerian Keuangan justru lebih kecil, yakni Rp 15.500 per orang per bulan.

“Menteri Keuangan selalu beralasan premi yang terlalu besar tidak sesuai dengan kapasitas fiskal dan Rp 15.500 adalah angka yang sesuai dengan kapasitas fiskal negara,” tutur Zaenal.

Namun, kata dia, Pengurus Besar IDI berpandangan bahwa alokasi iuran sebesar Rp 15.500 per orang untuk satu bulan menunjukkan pengingkaran pemerintah terhadap tanggung jawab konstitusinya kepada rakyat miskin, yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 yang menyatakan “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

“Bahkan, premi PBI yang kecil itu merupakan pengingkaran terhadap tujuan dan fungsi negara untuk melindungi rakyat yang lemah, sebagaimana amanat UUD 1945,” tuturnya.

Oleh karena itu, IDI mendesak pemerintah untuk memenuhi kewajibannya melindungi yang lemah serta mengangkat harkat dan martabat rakyat miskin dan sakit-sakitan dengan membayarkan premi jaminan kesehatan yang pantas.

“Menurut kami, besaran premi yang pantas adalah menggunakan best practice PT Askes untuk golongan I dan II dengan premi Rp 38.231 per orang per bulan atau setidaknya dengan batas minimal sesuai usulan DJSN sebesar Rp 27.000,” kata Zaenal.

Pihak IDI, ia melanjutkan, juga meminta pemerintah melaksanakan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional, di mana semua pihak yang terlibat dalam sistem itu tidak ada yang dirugikan, termasuk dokter, perawat, bidan, dan penyedia pelayanan kesehatan lainnya.

Salah satu program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah Jaminan Kesehatan yang akan berjalan pada 1 Januari 2014 dan dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Jaminan kesehatan akan diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia sesuai dengan Undang-Undang SJSN Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-Undang BPJS Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

(sumber: www.tempo.co)

 

Global Commission on Drug Policy: Hepatitis C an epidemic

SANTO DOMINGO, Dominican Republic – The counter-narcotics fight is fueling an international hepatitis C epidemic, according to a new report, leading prominent world and Latin American figures to call on countries to decriminalize drug use and focus on treatment.

“The Negative Impact of the War on Drugs on Public Health: the Hidden Hepatitis C Epidemic,” produced by Global Commission on Drug Policy, stated that about five of every eight intravenous drug users are living with the disease.

The World Health Organization (WHO) estimates that about 150 million people are chronically infected with hepatitis C, which kills about 350,000 people a year – most of whom develop cirrhosis or cancer.

In the Americas, between seven and nine million are infected with the disease, according to the Pan American Health Organization (PAHO). The organization doesn’t estimate the number of deaths specifically caused by the disease, but according to PAHO statistics about 16,500 people die of related disease – such as cirrhosis – annually.

About 10 million people living with the disease are intravenous drug users. But the Global Commission on Drug Policy said the disease is needlessly spread due to outdated laws and policies that target drug users.

Hepatitis C, one of the five types of viral hepatitis diseases that affect the liver, is contracted through contact with the blood of infected persons, meaning intravenous drug users run a high risk of contracting the disease. It is a leading cause of liver transplants.

Infection rates are highest in countries in Central Asia and Eastern Europe, where as many as 90% of intravenous drug users are infected.

The commission carries the weight of several prominent figures. Former United Nations Secretary-General Kofi Annan, seven former presidents and Virgin Group founder Richard Branson are among the commission’s members.

Former Brazilian President Fernando Henrique Cardoso, the commission’s chairman, said hepatitis C is “both preventable and curable when public health is at the core of drug response.”

With the report, “we are exposing the links between repressive drug policies and the spread of hepatitis C, another massive and deadly global epidemic,” Cardoso said in a video message introducing the study. “This is another concrete example of the failure and negative impacts of repressive drug policies around the world.”

The commission previously had warned of the link between criminalized drug use and the spread of HIV/AIDS. By linking drug use to hepatitis C, the commission hopes to provide another example in the argument that drug use should be decriminalized.

Cardoso also said it’s a human rights issue.

“Though human rights abuses are widespread in most parts of the world, they come about in different ways,” he said. “In Latin America, the main issue is mass incarceration, violence and corruption and the strengthening of organized crime.”

Specifically, the commission is recommending governments:

  1. End criminalization and mass incarceration of drug users;
  2. Redirect money currently dedicated to the counter-narcotics fight toward public health projects aimed at drug users;
  3. Make sterile syringes available and offer treatment programs, such as opioid substitution therapy for heroin users;
  4. Better report hepatitis C cases by improving surveillance systems and other measures;
  5. Reduce the cost of medicines that can treat hepatitis C by negotiating with pharmaceutical companies and making the drugs more widely available.

The report was released in advance of the International Harm Reduction Conference in Lithuania, which began June 9.

Meantime, last week’s 43rd General Assembly of the OAS ended with foreign ministers’ creating a roadmap they hope leads to long-term renewal of their regional drug policy in 2016.

Officials at the General Assembly, which was held in the Guatemalan city of Antigua, said they will convene a special meeting during the first half of 2014 to outline the counter-narcotics strategy that will be discussed when the OAS holds its 44th General Assembly in June 2014 in Paraguay.

“We have already reached a consensus and agreed that our final declaration will include changes to the current anti-drug model,” Guatemalan Foreign Minister Fernando Carrera told reporters. “We already have some ideas on how to change drug-fighting policies.”

(source: infosurhoy.com)

 

Pembahasan RUU Pertembakauan Mandek Lantaran Perkara Judul

Jakarta – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI belum menemui kata sepakat tentang judul Rancangan Undang Undang (RUU) pertembakauan. Sejumlah fraksi menginginkan judul RUU Pertembakauan diganti dengan RUU Dampak Kesehatan Bahaya Rokok.

“Ada yang keberatan dengan sebutan RUU Pertembakauan,” kata Ketua Baleg DPR RI, Ignatius Mulyono ketika dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (11/6).

Tarik menarik judul bukan kali ini terjadi. Menurut Ignatius, persoalan ini sudah terjadi sejak 2009. Masing-masing pihak merepresentasikan kepentingannya atas usul judul yang diajukan.

Kelompok yang mengusung judul RUU Pertembakauan adalah kelompok yang merepresentasikan kepentingan industri rokok lokal. Sedangkan yang mengusulkan judul RUU Dampak Kesehatan Bahaya Rokok merepresentasikan kepentingan kesehatan.

“Kita masih mencari masukan judul yang pas,” ujar Ignatius.

Berbicara dampak kesehatan rokok, ia ingin semua pihak mengkaji secara komprehensif. Usaha menyehatkan masyarakat jangan sampai menjadi jalan kehancuran industri rokok lokal. Saat ini, Ignatius menyampaikan para penggiat kesehatan mesti mewaspadai kepentingan industri rokok asing masuk ke Indonesia.

Industri rokok lokal menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Diperkirakan ada puluhan juta orang yang menggantungkan hidup di industri ini mulai dari petani tembakau, perajin rokok, hingga pedagang asongan. Bahkan, kata Ignatius, pendapatan negara dari industri rokok mencapai Rp 80 triliun saban tahunnya.

“Ini lebih besar daripada sektor tambang,” kata Ignatius.

(sumber: www.republika.co.id)

 

WHO Peringatkan Dunia untuk Waspadai Gejala MERS

Organisasi Kesehatan Dunia meminta kepada para pekerja kesehatan di seluruh dunia agar waspada terhadap gejala penyakit pernafasan maut coronavirus Middle East Respiratory Syndrome (MERS).

Para pejabat WHO mengeluarkan peringatan tersebut, Senin (10/6) saat mengakhiri penyelidikan enam hari di Arab Saudi, dimana 40 dari 55 orang menderita penyakit pernafasan itu. Enam puluh persen dari penderita sudah meninggal dunia.

Badan PBB itu prihatin bahwa virus MERS mungkin akan menular ke para peziarah yang diperkirakan akan mengunjungi tempat-tempat suci di Arab Saudi bulan depan dalam bulan Ramadan, atau jutaan lagi diperkirakan akan datang bulan Oktober untuk menunaikan ibadah Haji di Mekah.

Para pejabat juga khawatir bahwa para pekerja tamu di kerajaan itu dapat membawa virus itu ke negara-negara asal mereka, kemungkinan mengakibatkan pandemik global.

Orang-orang yang melakukan perjalanan internasional telah membawa virus itu ke Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Orang yang terinfeksi juga telah ditemukan di Yordania, Qatar, Tunisia dan Uni Emirat Arab.

(sumber: www.voaindonesia.com)

 

Tiga Isu Bikin Pembahasan RUU Tembakau Alot

Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tembakau di Komisi II DPR RI masih alot.

Ada tiga isu yang masih menjadi perdebatan yaitu perlindungan terhadap petani tembakau, dampak tembakau bagi kesehatan, dan desas-desus kepentingan asing.

Hal itu diungkap anggota Badan Legislastif (Baleg) DPR, Abdul Malik Haramain dalam diskusi bertajuk Kretek Sebagai Warisan Budaya Nusantara di Jakarta, Senin (10/6).

Ia menjelaskan draf RUU tentang tembakau yang masuk Baleg ada lima. Hal itu karena perdebatan sangat a lot sehingga nomenklatur selalu berubah-rubah.

“RUU Pertembakau masih ada di Baleg. Masih ada perdebatan sengit antar fraksi,” katanya.

Dengan kondisi itu maka Baleg membuka ruang masukan dari masyarakat, baik itu dari kelompok yang pro terhadap tembakau, maupun yang anti tembakau.

Baleg akan menyerap, dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak agar regulasi tentang pertembakauan itu benar-benar komprehensif.

“Yang belum disepakati, terutama tentang bagaimana tembakau diatur,” ujarnya.

Menurutnya, dari sisi isi, RUU itu menjelaskan bahwa salah satu tujuan yaitu bagaimana petani tembakau itu terlindungi.

Selain itu, bagaimana tembakau dibudidayakan. Namun tetap juga dilihat bagaimana dampak terhadap kesehatan.

Budayawan Mohamad Sobary yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengemukakan dirinya pensiun dini dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) karena ingin langsung berjuang membela kaum yang termarginalkan.

Salah satu kaum yang termarginalkan itu adalah para petani tembakau. Ia sadar langkahnya membela petani tembakau selalu akan dicibir miring.

Ia mengaku mendapat kritikan atas langkahnya itu. Kritikan yang selalu diarahkan padanya adalah dengan membela petani tembakau, sama saja itu membela pelaku industri rokok kakap.

Dia menjawabnya bahwa yang dibela bukan industri rokok kakap, tapi petani dan home industri rokok yang jumlahnya ribuan. Nasib home industri, saat ini sama tergencetnya dengan para petani.

“Mereka dimarginalisasikan oleh pemerintahnya sendiri. Pabrik rokok ala rumah tangga, sudah banyak yang mati, dibunuh oleh departemen kesehatan dan keuangan, dipajaki dengan cukai tinggi,” ungkapnya.

Dia tidak percaya bila regulasi yang dibuat bebas dari kepentingan asing. Kekuatan asing berkepentingan terhadap industri kretek Indonesia.

“Isu kesehatan itu datangnya belakangan. Isu awalnya adalah pertarungan antara kretek dengan rokok putih. Rokok putih itu kalah, makanya mereka (asing-red) jengkel,” tegasnya. [R-14]

(sumber: www.suarapembaruan.com)

 

Terjadi Penurunan Anggaran Kemenkes 2014

Jakarta-PKMK. Okky Asokawati, Anggota Komisi IX DPR RI mempertanyakan penurunan anggaran Kemenkes untuk tahun 2014. Pagu indikatif untuk tahun 2014 Kemenkes adalah Rp 24,67 triliun. Sementara tahun 2013, anggaran itu senilai Rp 34,58 triliun. “Apakah anggaran Republik Indonesia sedemikian sulit sehingga anggaran Kemenkes harus diturunkan?” kata mantan peragawati terkemuka itu dalam rapat antara Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Ia pun mempertanyakan penyebab Kementerian Keuangan RI tidak mengikuti ketentuan bahwa minimal anggaran kesehatan adalah lima persen dari APBN. “Sekarang, anggaran kesehatan belum mencapai lima persen dan malah terus diturunkan,” kata Okky.

Sebelumnya, Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu indikatif Kemenkes sebesar Rp 24,67 triliun. Itu berarti menurun cukup signifikan, mencapai hampir 30 persen dibandingkan tahun 2013. Sementara itu, untuk tahun 2012, tingkat penyerapan anggaran Kemenkes di sekitar 91 persen. “Untuk tahun 2012, sisa anggaran kami senilai Rp 9,90 triliun. Tahun 2014, sisa anggaran diperkirakan Rp 1,56 triliun,” ucap Menteri Nafsiah.

Kemudian, dalam kesimpulan rapat, Komisi IX DPR RI menyatakan dapat menerima Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Kemenkes. Komisi IX DPR RI juga menerima pagu indikatif Kemenkes RI tahun 2014 yang sebesar Rp 24,67 triliun tersebut.

Persetujuan RKP dan pagu indikatif 2014 juga berlaku untuk Kemenakertrans.

“Agustus, Komisi IX akan melakukan rapat dengan eselon I Kemenkes dan Kemenakertrans. Untuk membahas pagu indikatif tersebut, kata Pimpinan Sidang Irgan Chairil Mahfuz. Irgan menambahkan, “Kami pun meminta Kemenkes dan Kemenakertrans untuk memantapkan RKP 2014 dengan penentuan sasaran yang realistis,” kata Irgan.

 

Penyiapan BPJS Sebagai Inisiatif Baru 2014

Jakarta-PKMK. Kementerian Kesehatan RI menyusun program penyiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan sebagai satu dari dua inisiatif baru untuk tahun 2014. Adapun inisiatif baru yang lain adalah penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). “Anggaran untuk penyiapan pelaksanaan BPJS itu sebesar Rp 4,04 triliun. Sedangkan untuk penurunan AKI dan AKB senilai Rp 310 miliar,” UNGKAP Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta (10/6/2013).

Inisiatif baru terkait BPJS Kesehatan berjalan dalam beberapa bentuk. Antara lain, pembangunan administrasi kepegawaian/sumber daya manusia dengan anggaran Rp 607 miliar. Kemudian, Kemenkes menganggarkan dana Rp 890 miliar untuk peningkatan fasilitas Puskesmas dan jaringannya sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar. Adapun anggaran Rp 1,82 triliun digunakan untuk peningkatan fasilitas dan penguatan RS sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan.

Kemudian, untuk isu baru penurunan AKI dan AKB, penjabarannya antara lain pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan dengan anggaran Rp 60 miliar. Kemenkes menganggarkan Rp 30 miliar, untuk pembinaan pelayanan kesehatan anak. Kemudian, Rp 30 milliar untuk pembinaan pelayanan kesehatan ibu pada reproduksi, . Untuk bantuan operasional kesehatan, anggarannya Rp 30 miliar. Selanjutnya, dana Rp 50 miliar disiapkan untuk pembinaan surveilans, imunisasi, dan kesehatan matra. “Kemenkes kemudian menganggarkan Rp 110 miliar untuk peningkatan fasilitas Puskesmas dan jaringannya sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar,” ucap Nafsiah.

Dalam rapat yang sama, Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, mengatakan bahwa pihaknya pun menetapkan pelaksanaan BPJS Kesehatan sebagai satu dari 15 isu strategis di tahun 2014. “Anggaran kami untuk tahun 2014 sebesar Rp 4,16 triliun. Sebenarnya, yang ideal sekitar Rp 7 triliun,” kata Muhaimin.