Harga Sekantong Darah Dibandrol Rp250 Ribu

DEPOK – Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Depok membandrol darah seharga Rp 250 ribu per kantong. Harga itu untuk biaya pengolahan darah.

Penanggung Jawab Teknis Unit Donor Darah PMI Depok Kartono mengatakan biaya tersebut juga diperuntukan pemeriksaan komponen darah dan kegiatan teknis donor darah yang dilakukan di setiap daerah.

“Agar masyarakat tidak salah paham kenapa harus membayar Rp 250 ribu, karena darah juga harus diperiksa terhadap penyakit-penyakit seperti HIV, Hepatitis B dan C, untuk mencocokan antara darah pendonor dan pasien,” ujarnya Senin (10/6/2013).

Biaya tersebut, kata dia, juga telah diatur oleh Departemen Kesehatan RI. Biaya Rp250 ribu itu saat ini berlaku di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Tangerang Selatan dan Provinsi Banten.

Lebih lanjut ia mengatakan, keberadaan darah yang telah didonorkan tidak dapat bertahan lama. Kekuatan darah dikatakannya hanya mampu bertahan paling lama 35 hari.

“Hal ini tak melanggar aturan, harga itu sudah diatur dan sama di Jakarta, Jawa Barat, Tangsel, dan Banten,” tutupnya.

(sumber: news.okezone.com)

 

Living on the margins drives HIV epidemic in Europe and central Asia

Social and structural factors – such as poverty, marginalisation and stigma – and not just individual behaviours are shaping the HIV epidemic in Europe and central Asia.

This is the main conclusion of a new report released by the London School of Hygiene & Tropical Medicine, the World Bank Group and WHO/Europe. The study systematically reviews evidence on HIV vulnerability and response in all countries of the WHO European Region.

The report, HIV in the European Region: vulnerability and response, focuses on key populations most at risk of HIV infection: people who inject drugs, sex workers and men who have sex with men. It confirms that they are disproportionately affected by the growing HIV epidemic in Europe, where the number of reported HIV cases reached over 1.5 million in 2011.

HIV cases in these three groups account for about 50% of total diagnoses. Economic volatility and recession risks are increasing vulnerability to HIV and infections.

Key findings in the report include the following.

  • 25% of HIV diagnoses in Europe were associated with injecting drug use, with much higher proportions in eastern Europe (33%) than in western Europe (5%) and central Europe (7%).
  • HIV remains relatively low among female sex workers in Europe who do not inject drugs (less than 1%), but higher among those who inject drugs (over 10%) as well as among male and transgender sex workers.
  • Sex between men accounted for 10% of all HIV diagnoses in Europe, with higher rates reported in western Europe (36%), followed by central Europe (22%) and eastern Europe (0.5%). The increase was higher, however, in central and eastern Europe.

The analysis highlights the pivotal role of environmental factors in shaping HIV epidemics and HIV prevention responses. Barriers to successful HIV responses include the criminalisation of sex work, of sex between men, and of drug use, combined with social stigmatisation, violence and rights violations.

Co-author of the report, Professor Tim Rhodes from the London School of Hygiene & Tropical Medicine, said: “We need to maintain the momentum of HIV prevention for vulnerable populations in Europe. The need for scaling-up HIV prevention for people who inject drugs remains most urgent in the east of Europe. Not only do we need to promote treatment interventions tailored to individuals, we need to strengthen efforts to bring about social, structural and political changes”.

The report calls for policy-makers and HIV programme implementers to target the right policies and programmes to maximise the health and social impacts of Europe’s HIV responses and get higher returns on HIV-related investments

Professor Peter Piot, Director of the London School of Hygiene & Tropical Medicine, added: “Now is an important time for Europe. The momentum of HIV prevention must be maintained in a climate of economic and funding uncertainty. The evidence gathered through our collaborations with the World Bank Group and the World Health Organization show how institutions can work together to generate the evidence and the policy to do this.”

(source: www.healthcanal.com)

 

Tanamkan Kebiasaan Preventif dalam Kesehatan

Selama ini kebanyakan orang baru berkonsultasi kepada dokter ketika sudah mengalami gangguan kesehatan. Dengan cara tersebut, mereka ingin mendapat kesembuhan dengan cara pengobatan.

Namun sebenarnya bila pemeriksaan kesehatan dilakukan secara rutin dan sejak dini sebelum sakit, hal itu dapat mengurangi risiko kejadian sakit yang membutuhkan biaya pengobatan tinggi. Mencegah lebih baik dari mengobati, itulah ungkapan yang kerap disampaikan dalam kampanye kesehatan.

Pentingnya untuk mengubah paradigma masyarakat terkait upaya kesehatan disampaikan dr. Rini Sekartini dokter spesialis anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM). Ia mengatakan, sebaiknya masyarakat mulai meninggalkan pemikiran datang dokter hanya setelah jatuh sakit. Artinya, masyarakat harus mulai meninggalkan pendekatan kuratif dan mulai menanamkan kebiasaan baru yakni upaya pencegahan atau preventif.

“Cara preventif salah satunya yaitu dengan pergi ke dokter sebelum sakit guna memahami kesehatan tubuh secara berkala,” ujarnya dalam konferensi pers seminar kesehatan bertajuk ‘Mom How’s Your Family: Seminar Tumbuh Kembang Anak’ di Jakarta, Sabtu (8/6/2013).

Rini mengatakan, pemeriksaan dokter ditujukan untuk mengetahui gangguan kesehatan sedini mungkin agar dapat mencegahnya berkembang ke tahap yang lebih parah. Pemeriksaan dokter biasanya kemudian dijadikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.

Miftah Nur Rahman, perwakilan dari Laboratorium Klinik Prodia mengatakan, pemeriksaan laboratorium untuk kesehatan secara keseluruhan meliputi pemeriksaan anemia dan kelainan sel darah lainnya, status nutrisi, profil lemak, dan mendeteksi adanya inveksi virus hepatitis B dan ada tidaknya kekebalan.

Meskipun pemeriksaan kesehatan rutin identik dengan orang yang berusia lebih tua, namun bukan berarti anak-anak tidak membutuhkannya. Miftah memaparkan, pemeriksaan kesehatan sejatinya dibutuhkan oleh segala usia, dari mulai bayi baru lahir hingga orang tua.

“Bahkan anak-anak seharusnya lebih sering mendapat pemeriksaan kesehatan,” ujar Miftah.

Pasalnya, imbuhnya, ada kondisi kesehatan tertentu yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Oleh karena itu sangatlah penting uintuk memantau setiap fase pertumbuhan anak.

Rini menuturkan frekuensi yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan yaitu untuk bayi setiap bulan, anak usia sekolah setiap enam bulan, anak remaja setiap tahun, dan dewasa setiap tahun atau setiap dua tahun.

(sumber: health.kompas.com)

 

Indonesia Launches National Emergency Hotline

The Ministry of Health partnered with 10 telecommunication service providers to launch a national health emergency hotline similar to the United States government’s 911 emergency hotline number.

According to Akmal Taher, the Health Ministry’s director general for health development, the hotline number, 119, would allow the public to obtain information regarding the availability of hospital rooms as well as make emergency requests for an ambulance.

“In the future, we will no longer see patients being rejected by hospitals when they are in dire need of health assistance. They can simply dial the number to get information about the nearest available hospitals,” Akmal told reporters on Monday. The 119 emergency hotline was first launched in Jakarta early this year, in cooperation with PT Telkom Indonesia. The service is now being expanded nationwide as part of the Ministry’s Memorandum of Understanding with the following key stakeholders: PT Telekomunikasi Indonesia; PT Telekomunikasi Selular; PT Indosat; PT XL Axiata; PT Smartfren Telecom; PT Bakrie Telecom; PT Axis Telekom Indonesia; PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia; PT Smart Telecom and PT Hutchison 3 Indonesia.

Meanwhile, Chairul Rajab Nasution, the ministry’s health referral system director, estimated the service to be ready for full implementation across all provinces by 2014.

Nasution added that they hope address certain drawbacks such as the need to key in the area code when dialling the 119 hotline number.

(source: www.futuregov.asia)

 

Akibat Rokok, Pengeluaran Negara Lebih Besar dari Cukainya

Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia adalah perokok, sekitar 60 persen pria dan 4,5 persen wanita di Indonesia merokok. Sementara itu, perokok pada anak dan remaja juga terus meningkat.

Selain itu, menurut keterangan tertulis Kemenkes yang diperoleh di Jakarta, Selasa, terdapat 97 juta warga Indonesia jadi perokok pasif, dan 43 juta diantaranya adalah anak-anak. Demikian dikutip Antara.

Rokok memang memberikan pemasukan cukai bagi negara, pengeluaran untuk mengatasi dampak rokok lebih besar lagi. Menurut Kemenkes, pengeluaran makro negara akibat rokok sebesar Rp254,41 triliun pertahun, sedangkan pendapatan negara dari cukai hanya Rp55 Triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran makro akibat rokok di Indonesia lebih besar dari cukai yang didapat Indonesia.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tjandra Yoga Aditama, pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rangka Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di Komnas HAM beberapa waktu lalu.

Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah konvensi internasional pertama yang mengatur kesehatan masyarakat. Menurut Tjandra, “FCTC adalah kesepakatan tingkat dunia, dan sudah diterima seluruh anggota WHO pada tahun 2003”.

Kini ada 176 negara sudah ikut FCTC sepenuhnya, ada 9 negara sudah menandatangani tapi belum meratifikasi/aksesi. Sementara itu, tinggal 9 negara di dunia yang belum menandatangani dan belum meaksesi/ratifikasi, termasuk Indonesia, bersama Andora, Dominika, Eritrea, Liechtestein, Malawi, Somalia, Tajkistan dan Zimbabwe.

Lebih lanjut Tjandra mengatakan, “FCTC mengatur masalah rokok baik dari sudut pasokan maupun permintaan. Sasaran FCTC adalah membentuk agenda global bagi regulasi tembakau, dengan tujuan mengurangi inisiasi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian. Ketentuan-ketentuan FCTC dibagi menjadi langkah-langah untuk mengurangi permintaan atas produk tembakau dan langkah-langkah untuk mengurangi pasokan produk tembakau.

(sumber: www.hidayatullah.com)

 

Rieke Diah Ingin Rokok Kretek Jadi Heritage Indonesia

Jakarta, PKMK. Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengusulkan agar rokok kretek menjadi heritage (warisan) Indonesia. Itu seperti halnya cerutu yang di dunia identik dengan Kuba. “Rokok kretek adalah tradisi Indonesia yang mesti terus eksis. Hal tersebut harus kita perjuangkan,” kata Rieke dalam rapat antara Komisi IX DPR RI dengan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia di Jakarta hari ini (5/6/2013).

Rieke yang juga artis mengatakan, kalau fair, sebenarnya Pemerintah Indonesia juga harus mengeluarkan regulasi yang melarang ataupun membatasi penetrasi rokok asing. Sekarang ini, industri rokok kecil termasuk rokok kretek cenderung akan dimatikan ataupun dibatasi. Tapi, tidak ada regulasi yang tegas terhadap rokok asing. “Di Jawa Timur, ada rokok brand asing diproduksi di sana. Bahan bakunya dari Indonesia. Di waktu yang sama, industri rokok lokal dapat perlakuan keras dari Pemerintah Indonesia,” Rieke berkata.

Regulasi Pemerintah Indonesia semestinya hanya mengatur dampak rokok bagi kesehatan. Tapi sekarang juga mengatur aspek lain seperti perdagangan tembakau. “Komisi IX DPR RI harus melakukan cek, apakah peraturan tembakau murni dari dalam negeri, ataukah dibuat atas tekanan pihak asing,” Rieke berkata lagi.

Sementara, di rapat yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan, petani memang mudah dirugikan oleh berbagai isu. Termasuk di situ adalah petani tembakau dalam hal isu dampak rokok bagi kesehatan. “Sebenarnya, kontribusi industri rokok itu kan luar biasa. Sayangnya, orang yang kaya dari industri itu sering dikriminalkan,” kata Poempida.

Sedari awal, sebenarnya Komisi IX DPR RI sudah sering mengingatkan agar Kementerian Kesehatan menimbang dampak dari regulasi yang terlalu membatasi produksi ataupun pemasaran rokok, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. “Sejak masih berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Komisi IX sebenarnya sudah sering mengingatkan akan dampak itu,” kata Poempida.

Dengan kondisi sekarang, ia menambahkan, paling-paling Komisi IX DPR RI akan memberikan tekanan agar PP tersebut dicabut.

 

Pabrik Rokok Kecil Mulai Gulung Tikar

Jakarta, PKMK. PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mulai mengancam industri rokok di Indonesia. Kini pabrik rokok skala kecil bahkan mulai tutup. Sedangkan pabrik rokok besar mulai mengurangi pembelian tembakau dari petani. “Kami minta PP tersebut direvisi, karena merugikan pabrik rokok menengah-kecil. Juga mengancam nasib tenaga kerja yang terkait dengan industri rokok,” kata Nurtanio Wisnu Brata, ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI hari ini (5/6/2013).

Wisnu mengatakan, PP tersebut sangat jelas mengancam eksistensi tembakau lokal. Antara lain, ketentuan standardisasi produk tembakau yang menyebabkan rokok putih mudah menyaingi rokok kretek. Standardisasi itu memang telah menjadi tren dunia, dan penerapannya di Indonesia sebenarnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Kesulitan yang mulai melanda pabrik rokok kecil itu jelas berimbas ke petani tembakau. Sebab, sekitar 30 persen dari total tembakau lokal selama ini dibeli oleh pabrik rokok tersebut. “Yang ironis, saat ini impor tembakau terus naik. Sepanjang tahun 2012, total impor tembakau mencapai 120.000 ton. Kini lebih dari separuh tembakau di Indonesia merupakan hasil impor. Kami merasa didiskriminasikan,” Wisnu mengatakan.

PP tersebut semestinya hanya mengatur dampak rokok bagi kesehatan masyarakat. Tapi yang janggal, PP itu telah overlapping karena mengatur juga hal-hal lain tentang rokok; termasuk mengatur tentang perdagangan dan cara promosi produk rokok. Selama ini, Pemerintah Indonesia berargumen bahwa PP tersebut tidak melarang petani untuk menanam tembakau. Tapi, secara faktual, PP tersebut mengancam eksistensi petani tembakau. Saat ini, jumlah petani tembakau sekitar 8 juta orang. “Selain kami, pabrik rokok menengah-kecil dan pekerjanya, selalu siap beraudiensi dengan Komisi IX DPR RI,” ucap Wisnu. Sementara, Ketua Komisi IX DPR RI dr. Ribka Tjiptaning menyatakan menerima aspirasi Asosiasi Petani Tembakau Indonesia itu. Selanjutnya, Komisi IX DPR RI akan membawa aspirasi itu dalam rapat dengan Kementerian Kesehatan RI ataupun Kementerian Tenaga Kerja RI.

 

Mantan Menkes Disebut Terlibat

JAKARTA (Suara Karya): Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari disebut terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan untuk menanggulangi wabah flu burung.

Hal tersebut terungkap saat majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang diketuai Nawawi Ponolango memeriksa saksi Tatang Saefuddin dalam perkara mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Ratna Dewi Umar, kemarin.

Saksi yang menyebutkan keterlibatan Siti Fadilah adalah mantan Ketua Panitia Pengadaan Alat Kesehatan dan Perbekalan untuk wabah flu burung tahun anggaran 2006, Tatan Saefuddin. Menurut dia, Siti Fadilah melakukan penunjukan langsung pemenang tender proyek dengan pagu anggaran sebesar Rp 42,45 miliar tersebut. Menurut jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengadaan tersebut seharusnya hanya menelan biaya Rp 32 miliar.

“Yang saya tahu pernah diperlihatkan rekomendasi penunjukan langsung itu, waktu pertama kali bertemu terdakwa (Ratna Dewi Umar–Red). Waktu pengarahan dikatakan ini ada rekomendasi dari Menkes (Siti Fadilah Supari),” kata Tatang yang bersaksi untuk mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Ratna Dewi Umar itu.

Menurut Tatan, Ratna lah pejabat yang langsung melaksanakan penunjukan PT Rajawali Nusindo sebagai pelaksana proyek pengadaan alat kesehatan tahun 2006. Hal tersebut baru diketahuinya saat menjabat ketua panitia pengadaan sekitar Juni 2006.

Nama mantan Menteri Kesehatan itu, juga disebutkan dalam surat dakwaan terhadap Ratna Dewi Umar. JPU KPK menyebutkan Siti Fadilah mengarahkan penunjukan langsung untuk empat pengadaan alkes flu burung tersebut.

Jaksa I Kadek Wiradana saat membacakan dakwaan mengatakan bahwa pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006 pada Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan sebesar Rp 42.459.000.000, dilakukan dengan penunjukkan langsung atas arahan Siti Fadilah Supari.

“Sebelum melaksanakan kegiatan pengadaan alat kesehatan Tahun Anggaran 2006, terdakwa dengan Siti Fadilah Supari selaku Menkes membahas rencana tersebut. Dan Siti Fadilah menyampaikan agar pengadaan alat kesehatan tersebut dilakukan dengan metode penunjukan langsung dan sebagai pelaksana pekerjaan Bambang Rudjianto Tanoesoedibjo (PT Prasasti Mitra),” kata Kadek.

Menurut Tatang, sejak awal proses lelang, mereka sudah diperintahkan agar PT Rajawali Nusindo yang menjadi pemenang lelang alat kesehatan flu burung untuk 44 rumah sakit. Tetapi, agar proses lelang tampak sesuai prosedur, disertakan dua perusahaan pendamping, yakni PT Indofarma Global Medika dan PT Biofarma. Jadi walaupun ketiganya mengajukan penawaran lelang, tetap saja yang menang adalah PT Rajawali Nusindo.

Dalam surat dakwaan, Ratna dianggap menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat negara, dengan menunjuk langsung PT Rajawali Nusindo dalam proyek pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006-2007 di Kementerian Kesehatan.

Namun, dalam prakteknya, dalam dakwaan Jaksa, PT Rajawali Nusindo justru menyerahkan pekerjaan kepada PT Prasasti Mitra. Perusahaan itu milik Bambang Tanoesudibjo, kakak dari bos Media Nusantara Citra dan Ketua Umum organisasi masyarakat Perindo, Hary Tanoesoedibjo.

Dalam pelaksanaannya PT Prasasti Mitra malah kembali mengalihkan pengadaan alat kesehatan itu dari beberapa agen tunggal. Yakni PT Fondaco Mitratama, PT Prasasti Mitra, PT Meditec Iasa Tronica, PT Airindo Sentra Medika, dan PT Kartika Sentamas dengan harga lebih murah.

Sementara itu Antara melaporkan mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin menjadi saksi atas terdakwa mantan Rektor Universitas Jambi, Kemas Arsyad Somad dan Elianty mantan bendara terkait kasus dugaan korupsi Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD).

Zulkifli Nurdin hadir dalam persidangan Tipikor yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Senin, setelah dua kali panggilan dari jaksa tidak pernah diindahkan karena alasan tidak pernah menerima surat panggilan.

Di hadapan majelis hakim Tipikor Jambi yang diketuai Suprabowo, Zulkifli mengakui ada nota kesepahaman (MoU) antara Pemprov Jambi yang diwakili Gubernur Jambi bersama Ketua DPRD Jambi dan seluruh Bupati dan Wali Kota serta Ketua DPRD kabupaten/kota saat itu untuk menandatangani MoU untuk program kedokteran di Universitas Jambi (Unja). (Nefan Kristiono)

(sumber: www.suarakarya-online.com)

 

World Bank wants a healthy Punjab

The World Bank (WB) on Monday approved an assistance package of US $ 100 million for the Punjab Health Sector Reform Project’s implementation. It would focus on enhancing the number of people with access to basic health services, particularly in the low performing districts of Punjab.

“Punjab holds the key to Pakistan’s progress towards attaining the Millenium Development Goals (MDGs) as it constitutes 60 percent of Pakistan’s population”, said Pakistan World Bank Country Director Rachid Benmessaoud.

“This programme would help the Punjab government implement its Health Sector Strategy by building the capacity and systems to strengthen accountability and stewardship in the Health Department,” Rachid added.

Punjab’s overall health outcomes are comparable to the national average, and slightly better than other provinces, but the pace of change remains slow and uneven with significant disparities among regions, rural and urban areas, and by economic status.

For example, the average exclusive breast-feeding duration is only 0.9 months in Punjab, compared to the national average of 3.2 months. Immunization coverage also remains low; only one in three children aged 12-23 months are fully immunized (34.6%).

The Punjab government is keen towards human development for a productive workforce due to its increasing youth population. It said it had included health in a holistic Punjab Health Sector Strategy 2012-2020, which involves governance, accountability reforms and strengthening health systems.

“Punjab has gradually improved maternal and child-outcomes and for further improvement, addressing the huge burden of malnutrition among women and children is crucial. Stunting occurs among 39 percent children under five”, said Dr. Inaam-Ul-Haq, the project’s task team leader, adding that the project would aim “to improve the health service providers’ capacity to deliver nutrition interventions at the facility and community level.”

The project comprises four components and its results would specifically measure improvements in three health service indicators: fully immunized children 12-23 months of age; use of skilled birth attendants and use of modern birth-spacing methods. 

(source: www.pakistantoday.com.pk)

 

Relasi Bisnis Politik Tembakau

Jakarta – Tanggal 31 Mei sering diperingati sebagai Hari Anti Tembakau Sedunia. Walaupun Indonesia sebagai yang belum ikut meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (Frame Convention on Tobacco Control/FCTC) dari WHO namun tidak kalah meriah merayakan imbauan untuk tidak merokok. Apalagi saat ini publik sedang dihadapkan pada pro kontra kebijakan publik tentang RUU Pertembakauan yang konon “nylonong” tiba-tiba masuk Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal belum melalui proses usulan dari komisi ataupun pemerintah.

Dalam sebuah majalah nasional belum lama ini bahkan disinggung tentang potensi dan indikasi adanya kongkalikong antara industri rokok dengan politisi di DPR. Hal tersebut khususnya terkait dengan kebijakan tembakau.

Sebelumnya, tahun 2012 lalu RUU Pengendalian Tembakau dan Kesehatan telah dibatalkan oleh DPR. Aroma kuat adanya deal bisnis dan politik dalam sektor tembakau khususnya rokok ini kiat menguat menjelang Pemilu 2014. Tidak lain dan tidak bisa dipungkiri ‘bisnis kebijakan” rokok diduga bisa menjadi bahan bakar agar “dapur partai” mengepul jelang pertempuran politik tahun depan.

Setidaknya analisis tersebut tidak berlebihan, saat jelang Pemilu tahun 2009 di DPR, ayat tembakau dalam UU Kesehatan pada pasal 2 ayat 13 tiba-tiba hilang. Diduga ada proses transaksional suap untuk kepentingan Pemilu saat 2009. Padahal pasal tersebut sudah disetujui dalam rapat paripurna.

Ayat tersebut berbunyi “zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masayrakat sekelilingnya”. Sekilas, pasal ini dapat “membunuh” produksi rokok oleh industri.

Sayangnya, penanganan kasus tersebut menguap. Kasus penghilangan ayat-ayat tembakau tersebut yang ditangani Kepolisian di SP3 (surat Perintah Penghentian Penyidikan). Awalnya salah satu anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan yaitu Ribka Tjiptaning menjadi tersangka dalam kasus tersebut, namun telah di SP3 oleh Kepolisian. Ribka saat itu menjadi orang yang paling bertanggungjawab karena sebagai ketua Pansus RUU Kesehatan.

Bahkan proses penegakkan kode etik di Badan Kehormatan (BK) DPR juga berjalan setengah hati, Ribka hanya diberi sanksi tidak diperkenankan memimpin Panja dan Pansus di DPR. Vonis ringan tersebut dirasa tidak memuaskan publik, bahkan aktivis anti tembakau sebaliknya menyerukan di sanksi yang lebih berat maksimal yaitu pemecatan.

Kembali kepada momentum Prolegnas, RUU Pertembakauan yang banyak didorong oleh petani tembakau dan koalisi kepada DPR saat ini perlu diwaspadai oleh publik. Kecenderungan di Indonesia, dalam sektor apapun, dalam kebijakan apapun, menjelang Pemilu 2014, relasi bisnis politik saling menguat.

Perkawinan bisnis politik biasanya lahir saat momentum haram dana kampanye dari insentif keduanya bertemu dan lahir dalam bentuk investasi politik jangka panjang. Sayangnya aksi tersebut akan menyandera kebijakan publik, dalam konteks ini yaitu dalam bentuk jaminan kesehatan akan kebebasan dari asap rokok yang melemah. Bahkan dihilangkan, rokok tidak dibatasi, produksi rokok selalu meningkat setiap tahun.

Akibat dari kongkalikong kebijakan tersebut, jaminan kesehatan masyarakat menjadi tidak terjamin. Jumlah perokok di Indonesia sendiri Januari 2013 menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India. Dengan jumlah perokok 62 juta pria dan 30 juta wanita, sedangkan jumlah perokok pasif mencapai 92 juta jiwa.

Dampak dari rokok, pada tahun 2012 menurut Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, diperkirakan rokok menyebabkan kematian 300 ribu orang pertahun di Indonesia. Sedangkan di dunia diperkirakan meningkat menjadi 5,4 juta kematian per tahun atau satu kematian tiap 6,5 detik.

Memutus Rantai

Menyikapi kuatnya relasi bisnis politik di sektor tembakau menjelang Pemilu 2014 membutuhkan pengawasan publik yang ekstra. Bagaimana tidak, di Indonesia belum mempunyai UU tentang Konflik Kepentingan yang mengatur bagaimana hubungan pembuatan regulasi dan mitra antara politisi di DPR dengan industri atau pengusaha.

Di Amerika, UU ini cukup kuat dan detail ditambah dengan aturan kode etik yang sangat mengikat. Sehingga anggota DPR tidak berani main-main membuat kebijakan sesuai selera pengusaha atau industri.

Di Indonesia, banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus di KPK biasanya selain korupsi anggaran dan suap dari mitra Komisi DPR yaitu pengusaha. Sebagai contoh terhangat adalah kasus impor sapi, di mana kebijakan ekonomi diatur oleh politisi dan pengusaha sebagai bentuk hasil kesepakatan politik bisnis yang kotor.

Kasus lain di DPR sebenarnya banyak, di mana anggota DPR yang mempunyai bisnis kesehatan seperti rumah sakit misalnya, akan banyak berada pada Komisi Kesehatan, anggota DPR yang memiliki sekolah akan duduk di Komisi Sekolah, anggota DPR yang berbisnis sektor keuangan akan berada pada Komisi keuangan dan seterusnya. Di Indonesia, hal ini belum diatur dalam UU sehingga peluang suap korupsi dan buruknya kebijakan publik terjadi berulang-ulang tanpa perbaikan berarti.

Oleh karena itu dalam pembahasan RUU Pertembakauan yang penuh kontoversi, semua pihak harus memantau dan sadar akan posisi dan kepentingan masing-masing. Misalnya dari sisi petani tembakau hal apa yang harus dijamin dengan jaring ekonomi yang kokoh, dari sisi masyarakat yang terkena dampak tembakau tentunya juga perlu diperhatikan jaminan kesehatannya, dari sisi industri juga perlu diatur terkait regulasi kebijakan yang tidak hanya mencari untung tetapi aspek kesehatan masyarakat diabaikan.

Akan lebih baik, jika tensi relasi bisnis tembakau jelang Pemilu 2014 tersebut diturunkan dengan membatalkan Prolegnas “siluman” terkait RUU Pertembakuan. Pertama, agar hasilnya mewakili kepentingan publik, bukan sepihak industri rokok, petani atau masyarakat peduli kesehatan. Kedua, agar menghindari transaksional politik berupa suap, rente, dan upaya menghimpun dana kampanye haram. Ketiga, dari segi legislasi harus sesuai aturan, tidak melanggar prosedur dan tahapan pembuatan legislasi di DPR.

Akhirnya, tidak ada kado terindah pada Hari Anti Tembakau sedunia dan selamanya ke depan selain pembatalan RUU Pertembakuan sebagai bentuk cara memutus rantai relasi bisnis politik yang mengancam jaminan kesehatan publik. Selain itu semoga Presiden sadar dan segera meratifikasi FCTC dari WHO tentang pengendalian tembakau dan rokok di Indonesia.

(sumber: news.detik.com)