Doctors call for global consensus on diagnosis of death

There needs to be international agreement on when and how death is diagnosed, two leading doctors suggest.

At a European meeting of anaesthetists they said improvements in technology mean the line between life and death is less clear.

They called for precise guidelines and more research to prevent the rare occasions when people are pronounced dead but are later found to be alive.

The World Health Organisation has begun work to develop a global consensus.

In the majority of cases in hospitals, people are pronounced dead only after doctors have examined their heart, lungs and responsiveness, determining there are no longer any heart and breath sounds and no obvious reaction to the outside world.

‘Permanent damage to brain’

But Dr Alex Manara, a consultant anaesthetist at Frenchay Hospital in Bristol, said more than 30 reports in medical literature, describing people who had been determined dead but later found to be alive, had driven scientists to question whether the diagnosis of death can be improved.

At a meeting of the European Society for Anaesthesiology he said that on some occasions doctors do not observe the body for long enough before someone is declared dead.

Dr Manara called for internationally agreed guidelines to ensure doctors observe the body for five minutes, in order not to miss anyone whose heart and lungs spontaneously recover.

Many institutions in the US and Australia have adopted two minutes as the minimum observation period, while the UK and Canada recommend five minutes. Germany currently has no guidelines and Italy proposes that physicians wait 20 minutes before declaring death, particularly when organ donation is being considered.

Dr Jerry Nolan, consultant in intensive care at the Royal United Hospital in Bath, who is not involved in the conference, said: “In hospitals, where patients are monitored closely, and after the appropriate resuscitation has taken place, waiting five minutes to observe the body is a good idea.

“There is evidence to show that once you start going beyond five minutes without a circulation or oxygen to the brain you start seeing permanent damage to brain cells.”

At the conference, Ricard Valero, professor of anaesthesia at the University of Barcelona, considered the rarer scenario of patients in intensive care units whose hearts and lungs are kept functioning by machines.

In such scenarios, doctors use the concept of brain death – often conducting neurological tests to monitor any brain activity in the patient.

‘Variations don’t seem logical’

But the criteria used to establish brain death have slight variations across the globe.

In Canada, for example, one doctor is needed to diagnose brain death; in the UK, two doctors are recommended; and in Spain three doctors are required. The number of neurological tests that have to be performed vary too, as does the time the body is observed before death is declared.

“These variations in practice just do not seem logical,” Prof Valero said.

He proposed further research to support a global consensus on the most appropriate criteria to diagnose brain death.

Dr Nolan said: “In principle an international guideline on death is a very good idea. It is likely to help in terms of the movement of doctors between countries and, importantly, with public confidence.

“Italians and Brits are probably built in the same way. It makes sense to have the same criteria for death for both.”

(source: www.bbc.co.uk)

 

Telepon Saja 119 Jika Mengalami Gawat Darurat Kesehatan

Jakarta : Kementerian Kesehatan kini punya layanan telepon darurat 119. Masyarakat bisa mengakses layanan 119 untuk laporan gawat darurat masalah kesehatan.

Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Kementerian kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Spu (K) telah melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama perihal pembukaan kode akses panggilan 119 bersama PT. Telekomunikasi Indonesia beserta 9 provider lainnya, Senin, (3/6/2013).

Kini masyarakat tidak perlu lagi kesulitan mendapatkan informasi pelayanan kegawatdaruratan bidang kesehatan.

“Dengan pembukaan kode akses ini masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi lengkap mengenai pelayanan kegawatdaruratan,” ujar Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Kementerian kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Spu (K) kepada Liputan6.com.

Perjanjian ini dimaksudkan sebagai dukungan terhadap Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Kementerian Kesehatan RI melalui pembukaan kode akses 119.

Tujuan perjanjian ini adalah terwujudnya kerja sama antara beberapa pihak tadi dalam rangka meningkatkan pelayanan pemberian informasi penanggulangan gawat darurat terpadu.

“Hal ini dimaksudkan untuk meningkatan pelayanan gawat darurat terpadu serta diharapkan dapat meningkatkan kesiapan pihak pelayanan bidang kesehatan terhadap masyarakat,” ujar Prof Akmal.

Kode akses 119 ini diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada kementerian kesehatan berdasarkan Surat Menteri Komunikasi dan Informatika No. 486/M.KOMINFO/09/2012 pada 13 September 2012.

Kode akses ini dapat diakses tidak berbayar namun hanya berlaku untuk pelanggan PT. Telekomunikasi Indonesia saja. Untuk kesembilan provider lainnya diberlakukan tarif normal.

Prof. Dr. dr. Akmal Taher berharap kesembilan provider tersebut dapat menyesuaikan dengan PT. Telekomunikasi Indonesia terkait pembebasan biaya.

“Untuk mengakses 119 bagi pelanggan PT. Telekomunikasi Indonesia tidak berbayar, dan kesembilan lainnya diberlakukan tarif normal. Namun saya berharap ke depannya dapat disesuaikan terkait pembebasan biaya,” harapnya.

Kode akses 119 untuk informasi pelayanan kegawatdaruratan diharapkan dapat tersebar ke seluruh Indonesia, untuk saat ini baru Jakarta.

“Kode 119 ini baru dapat diakses untuk rumah-rumah sakit di Jakarta. Namun akan segera diberlakukan di seluruh Indonesia secara bertahap,” ucapnya.

(sumber: health.liputan6.com)

 

Legislator Imbau Penanganan Bencana Lebih Terorganisir

Jakarta, PKMK. Manajemen penanganan bencana di Indonesia harus lebih dikoordinasikan. Selama ini, langkah yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial, masih saling terpisah. Sementara, dengan koordinasi yang lebih erat, penggunaan anggaran penanggulangan bencana bisa lebih efisien. Demikian dikatakan oleh Sumaryati Ariyoso, Anggota Komisi VIII DPR RI, dalam rapat dengan BNPB di Jakarta (2/6/2013).

Dalam hal pengadaan relawan penanganan bencana, koordinasi tersebut perlu lebih erat. Kementerian Sosial saat ini mempunyai relawan tersendiri, demikian pula lembaga yang lain. Kemudian, dalam penanganan bencana, posisi Puskesmas se-Indonesia di bawah Kementerian Kesehatan. Maka, semua hal tersebut perlu lebih dikoordinasikan. Lebih lanjut, Sumaryati meminta agar BNPB lebih berinovasi dalam merancang program penanganan bencana. Hal yang akan dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bisa menjadi contoh. Fungsi waduk di Pluit hendak dinormalkan untuk mengurangi bencana banjir di sana. Dengan demikian, di waktu berikutnya, anggaran penanggulangan bencana di kawasan Pluit bisa lebih sedikit.

Adapun Raihan Iskandar, Anggota Komisi VIII DPR RI mengatakan, keberhasilan BNPB untuk memenuhi 11 target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, patut diapresiasi. Di sisi lain, pagu indikatif BNPB untuk tahun 2014 turun dari Rp 1,3 triliun menjadi Rp 666 miliar. Sementara, kebutuhan dana penanganan bencana sudah pasti semakin besar. “Apa sebenarnya penyebab penurunan pagu indikatif tersebut? Ini perlu kita cari tahu?” ucap Raihan. Jumlah relawan penanganan bencana di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu lebih ditingkatkan. Tahun 2013, Nanggroe Aceh Darussalam hanya memiliki 55 orang relawan, turun daripada di tahun sebelumnya. Padahal, Nanggroe Aceh Darussalam merupakan propinsi rawan bencana dan sempat mengalami tsunami dahsyat di tahun 2004.

 

Kepala BNPB Keluhkan Minimnya Anggaran Bencana di Daerah

Jakarta, PKMK. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Mayor Jenderal (Purn.) Syamsul Maarif mengatakan, kesadaran Pemerintah Propinsi se-Indonesia untuk mengalokasikan anggaran penanganan bencana yang memadai, sangat rendah. Sebagian Pemerintah Propinsi mengalokasikan dana tersebut tidak sampai 1 persen dari total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan di propinsi yang sangat rawan bencana, alokasi dana tersebut juga minim. “Dengan kondisi seperti itu, BNPB yang harus menanggulangi. Anggaran yang kami punyai harus disebar ke seluruh Indonesia,” ungkapnya dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI hari ini di Jakarta (2/6/2013).

Dia menjelaskan, di semua propinsi, sudah ada kemahfuman bahwa potensi bencana di Indonesia sangat besar dan potensi tersebut harus diantisipasi sedari awal. Dengan demikian, jumlah korban jiwa ataupun benda bisa diminimalkan. Namun ironi, kesadaran untuk mengalokasikan anggaran penanganan bencana yang memadai, masih minim. “Itu kan hal yang tidak sinkron,” kata mantan kepala Pusat Penerangan TNI tersebut. Nanggroe Aceh Darussalam memiliki APBD senilai kira-kira Rp 7 triliun. Tapi, anggaran penanggulangan bencana hanya Rp 53 miliar atau tidak sampai 1 persen. Kemudian, di DKI Jakarta, anggaran penanggulangan bencana hanya sekitar Rp 8 miliar. Sementara, APBD di propinsi tersebut sekitar Rp 26 triliun. “Saat peristiwa banjir di Jakarta kemarin, semua dana penanggulangan bencana berasal dari BNPB. Saat itu APBD DKI Jakarta belum disahkan oleh DPRD,” kata Syamsul.

Berikut ini beberapa propinsi yang mengalokasikan dana penanggulangan tidak sampai 1 persen dari APBD yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Jawa Timur. “Kemudian, Sumatera Barat, itu hanya alokasikan sebesar Rp 11 miliar. Sedangkan APBD-nya sekitar Rp 1,9 triliun, Sumatera Barat sendiri tergolong rawan bencana, bukan?” Upaya Pemerintah Indonesia untuk mendesentralisasikan penanganan bencana juga belum berlangsung baik. Kondisi sentralisasi masih sangat terasa. Misalnya usai bencana gempa di Sumatera Barat di tahun 2009, bangunan rumah sakit disana belum dibangun kembali. Begitu pula gedung Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, gedung Kepolisian Daerah Sumatera Barat, dan lain-lain. “Masih menanti peran dari Pemerintah Pusat,” tambahnya. Keinginan BNPB untuk terjadinya cost sharingdana penanggulangan bencana antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat juga belum terjadi. Ada semacam gap di situ. “Sepertinya, lima buah rumah hanyut oleh bencana banjir pun, penanganannya masih mesti melibatkan Pemerintah Pusat. Saat ini, desentralisasi penanganan bencana masih sulit tercapai,” kata Syamsul.

 

Health care costs more in U.S. than anywhere else in world

MERRICK, N.Y. — Deirdre Yapalater’s recent colonoscopy at a surgical center near her home on Long Island went smoothly: She was whisked from pre-op to an operating room where a gastroenterologist, assisted by an anesthesiologist and a nurse, performed the cancer screening procedure in less than an hour.

The test, which found nothing worrisome, racked up what is likely her most expensive medical bill of the year: $6,385.

That is fairly typical: In Keene, N.H., Matt Meyer’s colonoscopy was billed at $7,563.56.Maggie Christ of Chappaqua, N.Y., received $9,142.84 in bills for the procedure.In Durham, N.C., the charges for Curtiss Devereux came to $19,438, which included a polyp removal.

While their insurers negotiated down the price, the final tab for each test was more than $3,500.

“Could that be right?” said Yapalater, stunned by charges. “You keep thinking it’s free. We call it free, but of course it’s not.”

In many other developed countries, a basic colonoscopy costs just a few hundred dollars and certainly well under $1,000. That chasm in price helps explain why the United States is far and away the world leader in medical spending, even though numerous studies have concluded that Americans do not get better care.

Whether directly from their wallets or through insurance policies, Americans pay more for almost every interaction with the medical system.

They are typically prescribed more expensive procedures and tests than people in other countries, no matter if those nations operate a private or national health system. A list of drug, scan and procedure prices compiled by the International Federation of Health Plans, a global network of health insurers, found that the United States came out the most costly in all 21 categories — and often by a huge margin.

Americans pay, on average, about four times as much for a hip replacement as patients in Switzerland or France and more than three times as much for a Caesarean section as those in New Zealand or Britain.

The average price for Nasonex, a common nasal spray for allergies, is $108 in the United States compared with $21 in Spain. The costs of hospital stays here are about triple those in other developed countries, even though they last no longer, according to a recent report by the Commonwealth Fund, a foundation that studies health policy.

Routine services

While the United States medical system is famous for drugs costing hundreds of thousands of dollars and heroic care at the end of life, it turns out that a more significant factor in the nation’s $2.7 trillion annual health care bill might not be the use of extraordinary services, but the high price tag of ordinary ones.

“The U.S. just pays providers of health care much more for everything,” said Tom Sackville, chief executive of the health plans federation and a former British health minister.

Colonoscopies offer a compelling case study. They are the most expensive screening test that healthy Americans routinely undergo — and often cost more than childbirth or an appendectomy in most other developed countries.

Their numbers have increased manyfold over the past 15 years, with data from the Centers for Disease Control and Prevention suggesting that more than 10 million people get them each year, adding up to more than $10 billion in annual costs.

Largely an office procedure when widespread screening was first recommended, colonoscopies have moved into surgery centers where they are billed like a quasi operation. They are often prescribed and performed more frequently than medical guidelines recommend.

The high price paid for colonoscopies mostly results not from top-notch patient care, according to interviews with health care experts and economists, but from business plans seeking to maximize revenue; haggling between hospitals and insurers that have no relation to the actual costs of performing the procedure; and lobbying, marketing and turf battles among specialists that increase patient fees.

While several cheaper and less invasive tests to screen for colon cancer are recommended equally by the federal government’s expert panel on preventive care — and are commonly used in other countries — colonoscopy has become the go-to procedure in the U.S.

“We’ve defaulted to by far the most expensive option, without much if any data to support it,” said Dr. H. Gilbert Welch, a professor of medicine at the Dartmouth Institute for Health Policy and Clinical Practice.

Hospitals, drug companies, device makers, physicians and other providers can benefit by charging inflated prices, favoring the most costly treatment options and curbing competition that could give patients more, and cheaper, choices.

Almost every interaction can be an opportunity to send multiple, often opaque bills with long lists of charges: $100 for the ice pack applied for 10 minutes after a physical therapy session, or $30,000 for the artificial joint implanted in surgery.

Runaway costs

The United States spends about 18 percent of its gross domestic product on health care, nearly twice as much as most other developed countries.

The Congressional Budget Office has said that if medical costs continue to grow unabated, “total spending on health care would eventually account for all of the country’s economic output.” It identified federal spending on government health programs as a primary cause of long-term budget deficits.

While the rise in health care spending in the United States has slowed in the past four years — to about 4 percent annually from about 8 percent — it is still expected to rise faster than the gross domestic product. Aging baby boomers and tens of millions of patients newly insured under the Affordable Care Act are likely to add to the burden.

A major factor behind the high costs is that the United States, unique among industrialized nations, does not generally regulate or intervene in medical pricing, aside from setting payment rates for Medicare and Medicaid, the government programs for older people and the poor.

Many other countries deliver health care on a private fee-for-service basis, as does much of the American health care system, but they set rates as if health care were a public utility or negotiate fees with providers and insurers nationwide.

“In the U.S., we like to consider health care a free market,” said Dr. David Blumenthal, the president of the Commonwealth Fund and a former adviser to President Barack Obama. “But it is a very weird market, riddled with market failures.”

(source: www.denverpost.com)

 

 

Awas Ada Kasus Penyakit Mirip SARS

Kementrian Kesehatan Italia menemukan virus baru yang mirip dengan virus SARS. Pengumuman penemuan virus ini setelah seorang laki-laki usia 45 tahun yang baru-baru ini kembali dari lawatan 40 hari ke Yordania diopname di RS di Tuscany karena demam tinggi, batu-batuk dan kesulitan pernafasan.

Pejabat pemerintahan lokal di Tuscany, mengatakan seorang anak kecil yang terkait dengan laki-laki itu serta rekan sekerjanya juga mengidap virus tersebut. Ketiga pasien ini berada dalam kondisi baik dan sedang diobati dalam kondisi karantina.

Virus ini terkait SARS, yang menewaskan 800 orang ketika terjadi epidemi global pada 2003. PBB sebelumnya mengatakan ada 51 kasus virus barus sejak September.

Kasus-kasus seperti ini juga muncul di Inggris dan Jerman. Kebanyakan yang tertular pernah melawat ke Qatar, Arab Saudi, Yordania dan Pakistan.

(sumber: www.republika.co.id)

 

Program PHBS Dapat Tingkatkan Kesehatan Masyarakat

Jakarta, — Program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dinilai mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hal itu diungkapkan Ketua Tim Penggerak PKK (TP-PKK) Pusat, Vita Gamawan Fauzi, pada kunjungannya di Kabupaten Gorontalo, untuk meninjau langsung penerapan program Keluarga Berencana – Kesehatan (KB-Kes), Minggu (2/6).

Kunjungannya di Desa Huidu Utara, kata Vita, memberikan kesan yang baik, sebab ternyata desa tersebut dinilai layak mengukir prestasi di tingkat nasional.

Penerapan PHBS dan kesadaran masyarakat bukan sekedar untuk mengikuti lomba saja, namun sudah menjadi kebiasaaan rutin yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penataan lingkungan yang baik, membuktikan desa di Kecamatan Limboto Barat ini, layak menjadi percontohan bagi daerah lain di Provinsi Gorontalo dan Indonesia.

Sementara itu, Sekretaris daerah (Sekda) setempat, Khadijah Tayeb, mengatakan, program KB-Kes dan PHBS di kabupaten ini berjalan dengan optimal, dan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari masyarakat khususnya para kaum ibu.

Desa Huidu Utara sebagai pemenang lomba KB-Kes tingkat provinsi, mampu menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat yang sadar akan pentingnya penerapan PHBS didukung berbagai program pemerintah daerah.

Diantaranya, program gemerlap sehat dan pembentukan gugus tugas (G-Gas) yang siap siaga 1×24 jam untuk membantu ibu yang akan menjalani proses persalinan di setiap desa dan kecamatan.

Serta keberhasilan pemanfaatan pekarangan rumah untuk tanaman sayur-sayuran.

(sumber: www.aktual.co)

 

Iklan Rokok Picu Remaja dan Anak Merokok

stan

stanJakarta, PKMK. Selain meningkatkan konsumsi, iklan rokok juga menyebabkan inisiasi perilaku merokok pada anak-anak. Iklan tersebut dikemas dalam tampilan yang sangat menarik. Pesan yang menekankan aspek rasa, lebih mudah menyentuh hati dan pikiran pemirsa. Nilai-nilai percaya diri, setia kawan, kreativtas, tampan, dan berani, sangat cocok dengan citra diri yang banyak diinginkan remaja. Demikian dikatakan Profesor dr. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI, di Jakarta (31/5/2013). Berbagai penelitian ilmiah menjelaskan keberadaan hubungan sebab-akibat antara pemasaran rokok dengan peningkatan konsumsinya. Iklan, promosi, dan sponsor rokok, membangun friendly familiarity terhadap produk rokok.

Untuk mengurangi konsumsi rokok, diperlukan pengendalian iklan dan promosi rokok secara menyeluruh. Hal ini merupakan larangan iklan rokok yang bersifat menipu dan menyesatkan, menghindari pemasaran rokok yang membidik remaja, dan lain-lain. Akhir tahun lalu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan regulasi mendasar dalam pengendalian tembakau. Itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. “Di dalamnya terdapat pembahasan mengenai pengendalian media iklan rokok. Juga pengendalian sponsor dan promosi rokok,” kata Tjandra.

Lebih lanjut dia mengatakan, Indonesia sekarang menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak, yakni sebesar 61,4 juta orang. Tingginya jumlah perokok aktif itu berbanding lurus dengan jumlah perokok pasif yang kian bertambah menjadi 97 juta orang. “Sekitar 43 juta anak-anak Indonesia terpapar asap rokok dan 11,4 juta di antara mereka berusia nol sampai empat tahun.” Rokok mengandung lebih dari 4.000 zat yang mengancam kesehatan. 43 di antara zat tersebut bersifat karsinogenik. Rokok menjadi faktor risiko bagi penyakit tidak menular yang mematikan seperti jantung koroner, stroke, dan kanker.

 

Gerakan Anti-Rokok di Indonesia Dinilai Luar Biasa

31mei

31meiJakarta, PKMK. Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menyampaikan gerakan anti-rokok di Indonesia bisa dikatakan luar biasa. Di luar Jakarta dan sekitarnya, gerakan tersebut juga berjalan bagus. Walau demikian, bisa dikatakan bahwa gerakan tersebut belum seperti yang diharapkan. “Saya mengucapkan terima kasih kepada yang sudah berhenti merokok. Mereka berhasil melewati sebuah perjuangan berat,” kata Menteri Nafsiah dalam acara Puncak Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2013 di Jakarta (31/5/2013).

Ia menceritakan, keluarganya mengalami beratnya perjuangan berhenti merokok. Ada yang berhasil berhenti merokok ataupun tidak. Serta ada pula yang meninggal karena penyakit kanker dari rokok. “Ibu-ibu yang berusaha agar suami ataupun anak berhenti merokok pun banyak dan upaya tersebut sering tidak dipedulikan,” ujar dia. Gerakan anti-rokok muncul oleh kepercayaan bahwa rakyat Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang paling tinggi. Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2013 di Jakarta, merupakan satu tonggak penting bagi Indonesia. Disini, ada satu konsensus dari generasi muda Indonesia untuk semakin menyadari bahaya zat adiktif dalam rokok. “Bagi Pemerintah Indonesia, perang terhadap bahaya rokok harus bersifat total football. Dari hulu, sudah ada regulasi memadai untuk hal itu,” kata Menteri Nafsiah.

Dalam gerakan anti-rokok, semua media harus dimanfaatkan. Bukan hanya media seperti televisi dan billboard, social media ataupun layanan SMS juga perlu digunakan. “Saya rasa, SMS bisa berperan vital. Sekarang ini, SMS bisa digunakan sebagai alat pressure. Semisal, saya memperoleh seribu SMS yang menanyakan kelanjutan Rancangan Undang-undang (RUU) Keperawatan. Ini mengherankan karena saya tidak menentang RUU itu,” kata dia. Sekarang merupakan waktu bagi masyarakat Indonesia untuk memerangi bahaya rokok melalui jalur masing-masing. Sudah tentu, industri rokok tidak akan tinggal diam terhadap hal itu, kata Menteri Nafsiah pula.

 

Bea Impor Alat Kesehatan Cukup Tinggi

Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mempertanyakan kebijakan pemerintah yang masih mengenakan bea masuk alat kesehatan yang cukup tinggi. Akibatnya, biaya kesehatan yang harus dibayarkan masyarakat menjadi makin mahal. Di sisi lain, pemerintah justru tengah bersiap membangun jaminan sosial lewat Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan pada 2014.

“Parahnya lagi, impor untuk alat-alat kesehatan masih dikenakan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBM),” kata Wakil Ketua Komite Tetap Kebijaksanaan Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herkutanto, di Jakarta, Rabu, (29/5).

Kadin menilai bea masuk seharusnya menjadi instrumen restriksi untuk melindungi barang yang bisa diproduksi di dalam negeri dari impor. Namun, kenyataannya, Indonesia hingga kini belum bisa memproduksi sendiri alat-alat kesehatan canggih di dalam negeri. Langkah impor pun tak bisa dihindari.

Kalaupun bisa diproduksi di dalam negeri, Herkuntanto mengatakan pemerintah belum memberikan insentif untuk bahan baku pembuatan alat kesehatan tersebut. Herkutanto menjelaskan, dengan besarnya pajak yang dikenakan pada alat-alat kesehatan, biaya operasional penyelenggara kesehatan pada akhirnya menjadi terlampau tinggi.”Yang mereka terima lebih sedikit dari yang riil dikeluarkan. Kalau kita lihat costnya, komponen yang lebih besar ada pada investasi alat-alat canggih. Kalau untuk penyakit sederhana tidak terlalu mahal karena tidak menggunakan alat canggih. Tapi kalau sampai masuk ICU bisa lebih dari Rp 15 juta,” lanjut Herkutanto.

Dia menegaskan, Kadin kini tengah mendesak Menteri Keuangan untuk menghapuskan bea masuk alat-alat kesehatan. “Kita bisa bersama-sama menekan Menkeu bagaimana menangani ini, acces to health care,” tegas Herkutanto.

Tantangan Global

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pendidikan dan Kesehatan, James T. Riady mengatakan dalam rangka persiapan menghadapi tantangan ekonomi global, seperti ASEAN Economic Community 2015, maka pemerintah Indonesia harus melakukan pembenahan kualitas tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten agar mampu berdaya saing.

“SDM dikatakan berkualitas, jika aspek kesehatannnya juga baik. Sementara saat ini kondisi layanan kesehatan masyarakat masih banyak yang perlu dibenahi, tentu ini berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya,” tuturnya.

James mengatakan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari kualitas tenaga kesehatan, khususnya dokter dan enaga profesional lainnya serta kualitas alat kesehatannya.”Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja kesehatan khususnya dokter spesialis masih terbatas dan belum merata disemua daerah, selain itu ketersediaan alat kesehatan canggih juga masih sangat terbatas,” ujarnya.

Menurutnya untuk meningkatkan kualitas SDM di bidang kesehatan diperlukan terobosan-terobosan dalam pendidikan bidang kesehatan, yakni kemudahan pendidikan, pelatihan dan praktek kerja yang cukup untuk meningkakan keterampilan skill.

Namun demikian, akibat keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan bidang kesehatan, menyebabkan pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan menjadi sangat terbatas.”Sebagai contoh, mahalnya bea masuk alat kesehatan membuat praktek kerja dokter menjadi jarang, sehingga menyebabkan keterampilan para dokter kurang terasah. Di sisi lain, tingginya bea masuk alat kesehatan membuat biaya kesehatan semakin mahal, apalagi di tengah tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam rangka BPJS,” tuturnya.

Maka, lanjutnya, Kadin meminta Kementerian Perdagangan membuka kran impor alat-alat kesehatan selebar-lebarnya, dengan cara mencabut tarif bea masuk barang mewah untuk peralatan kesehatan tersebut.

Bisnis Tumbuh

Pertumbuhan pasar alat kesehatan (alkes) domestik ternyata sejalan dengan pertumbuhan bisnis obat. Pebisnis farmasi menyatakan, pasar alat kesehatan di tahun 2012 naik 5% menjadi Rp 7 triliun dibanding tahun 2011.

Direktur Keuangan PT Kalbe Farma Tbk (KAEF), Vidjongtius, sebelumnya memaparkan, pertumbuhan bisnis alat kesehatan terus menunjukkan kurva positif. Vidjongtius yakin nilai pasar alat kesehatan tahun 2014 bisa naik menjadi Rp 10 triliun – Rp 15 triliun.

Kenaikan pasar itu karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS) mulai beroperasi. Selain itu, belakangan ini mulai bermunculan sejumlah rumah sakit baru. Melihat peluang bisnis ini, Kalbe berani memasang target pendapatan hingga 20% di tahun ini.

(sumber: www.neraca.co.id)