Menkes Malu Indonesia Belum Ratifikasi FCTC

Jenewa -Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan sampai saat ini tinggal dua negara Islam yang belum mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari organisasi kesehatan dunia WHO.

“Ini yang memalukan sekali. Tinggal Indonesia dan Somalia saja yang belum,” kata Mboi kepada Tempo di sela Sidang WHO di markas PBB Palais des Nations, Jenewa, Rabu, 22 Mei 2013 waktu setempat.

Pembatasan tembakau dan alkohol menjadi salah satu pokok bahasan Sidang WHO ke 66 di Jenewa sebagai bagian dari rencana resolusi pencegahan dan kontrol penyakit tidak menular (non-communicable diseases/NCD’s). Pertemuan tingkat komite pada Senin, 20 Mei 2013 lalu telah menunjuk tim perancang draft resolusi. Arab Saudi, Amerika Serikat dan Pakistan menjadi pemimpin tim.

Mboi mengatakan rokok menyebabkan penyakit-penyakit berbiaya mahal dan membebani penderitanya secara ekonomi atau dalam istilah WHO, burden of diseases. Di antara penyakit-penyakit dalam kategori ini, penyakit karena rokok menjadi penyumbang terbesar, termasuk di Indonesia.

Tahun 2007 lalu, tiga penyakit karena rokok berada di urutan teratas di daftar penyakit pemicu burden of diseases. “Tapi sekarang sudah ada tujuh di urutan teratas, penyakit-penyakit yang menyebabkan beban terbesar. Sebagian besar penyakit NCD’s,” kata Mboi.

Kementerian Kesehatan memulai upaya adopsi FCTC sejak konvensi ini ditetapkan pada 2003. Tapi selalu menemui kegagalan. Baru Desember tahun lalu pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

“Paling tidak pemerintah sudah sepakat kita harus melindungi rakyat. Tapi kan FCTC nanti juga harus melalui DPR,” ujar Mboi. Ia juga menegaskan salah satu penyebab gagalnya adopsi konvensi ini adalah karena lobi yang kuat dari industri rokok.

Soal lobi industri rokok memang bukan hal baru. Utusan Khusus untuk Direktur Jenderal WHO Thomas Zeltner mengatakan perusahaan rokok terbesar di dunia Philip Morris bahkan pernah melancarkan operasi untuk mendiskreditkan WHO agar pendanaan untuk organisasi kesehatan ini dipotong. Thomas memimpin tim yang ditunjuk Direktur Jenderal WHO pada 1999 untuk menyelidiki hal ini.

“Mereka memiliki orang-orang yang mereka bayar untuk datang di sidang-sidang WHO dan mengumpulkan segala macam informasi tentang apa yang akan dilakukan WHO dan kebijakan apa yang akan dikeluarkan. Karena mereka menganggap WHO sebagai musuh,” katanya.

Laporan ini diluncurkan pada 2000 dan berjudul Tobacco Industry Strategies to Undermine Tobacco Control Activities at the World Health Organization. Meskipun Philip Morris mengatakan akan berubah dan mengaku telah berubah, Zeltner meragukan hal ini. Kenyataannya, kata dia, praktek lobi industri rokok untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah terjadi di setiap negara.

Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular di WHO Douglas Bettcher mengatakan salah satu cara paling efektif untuk mengontrol konsumsi rokok adalah dengan menaikkan pajak rokok. “Cara ini mengurangi secara signifikan konsumsi rokok. 10 persen kenaikan pajak mengurangi konsumsi sampai 40 persen,” ujarnya.

(sumber: www.tempo.co)

 

RUU Farmasi Masuk Pembahasan DIM Minggu Depan

23mei-2

23mei-2Jakarta, PKMK. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Perbekalan Alat Kesehatan Rumah Tangga, dan Pangan Olahan atau dikenal RUU Farmasi akan masuk ke tahap pembahasan daftar isian masalah (DIM) minggu depan. Sebelumnya, dalam rapat yang berlangsung Kamis (23/5/2013) di Gedung DPR/MPR, Jakarta, tim Panitia Kerja (Panja) RUU Farmasi dari Kementerian Kesehatan ataupun DPR RI, sepakat untuk melakukan sinkronisasi tata letak bab ataupun pasal dalam RUU tersebut. Sehingga, pembahasan DIM minggu depan bisa lancar. “Kami menyetujui permintaan sinkronisasi dan perbaikan tata letak RUU Farmasi. Hal ini akan melibatkan Tim Teknis Panja RUU Farmasi Kementerian Kesehatan dengan Tim Tenaga Ahli DPR RI,” ungkap Maura Linda Sitanggang, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Sebelum tercapainya kesepakatan itu, sejumlah anggota Panja dari DPR RI memberikan sejumlah usulan. Ferrari Romawi dari Fraksi Partai Demokrat meminta agar proses sinkronisasi dan perbaikan tata letak itu tidak terlalu lama. Jika proses itu memerlukan pembentukan tim kecil, maka hal ini dipersilahkan. Adapun Profesor dr. Dina Mahdi dari fraksi yang sama, menyarankan pembuatan flow chart bagi RUU tersebut. Sehingga, pembahasan bisa lebih mengalir dan cepat. Pimpinan rapat, Zuber Safawi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, usai membuka rapat menyatakan bahwa DIM RUU dari Kementerian Kesehatan kurang merespons secara substansif, sehingga membingungkan. Untuk itu, ada dua pilihan yang bisa diambil. Pertama, pembahasan RUU nantinya berlangsung per klaster terlebih dulu, barulah membahas DIM. Namun model seperti ini bisa membingungkan. “Alternatif yang kedua adalah memperbaiki tata letak tanpa mengubah DIM,” kata Zuber. Akhirnya, Panja Kementerian Kesehatan dan Panja DPR RI sepakat untuk terlebih dulu memperbaiki tata letak sebelum pembahasan DIM berlangsung minggu depan.

 

WHO Calls For Momentum On Universal Health Coverage

The World Health Assembly on Tuesday called on all member states to renew its momentum on universal health coverage.

Dr Margaret Chan, Director-General, World Health Organisation, while addressing the assembly, stressed the need for fairness, and equity in health care for the people.

She expressed concern over emergence of new disease and the effect of poverty in accessing quality health care.

Chan said everybody, irrespective of social or whatever status, had the right to good health care, adding that ”universal health coverage reflects the need to maximise health outcome for everyone.

”Everyone, irrespective of their ability to pay, whether they are human, where they live , where they are from, should have access to the quality health care without risking financial ruin.

”A focus on universal health coverage continues the strong emphasis on equity and social justice articulated in the Millennium Declaration and in the future we want.

”Public health looks more and more like a refuge, a safe harbour of hope that allows, and inspires, all countries to work together for the good of humanity.

”This is what we are doing, and we see the results, fear of new diseases can unite the world, and so can determination to relieve preventable human misery.

”This is what makes public health stand out from other areas of global engagement: the motives, the values, and the focus, ” she said.

She commended the growing commitment to universal health coverage and appreciated member states for caring so much about health, nationally, regionally, and internationally.

She encouraged members to keep doing the right things, on the right track and pledge to give her support.

In his remark, the Minister of Health, Prof. Onyebuchi Chukwu said Nigeria was implementing a number of strategies for the attainment of Universal Health Coverage.

Chukwu said health insurance coverage was being widened through the scale-up of the Community-based Health Insurance Scheme.

”The Act establishing the National Health Insurance Scheme is being reviewed with the intention of making health insurance mandatory and universal.

”The Midwives Service Scheme (MSS) which was introduced as a response to the shortage of skilled birth attendants especially in ‘hard-to-reach’ locations, has continued to grow.

”Today, a total of 6,520 midwives, 6,600 community health workers and 2,100 village health workers have been deployed to 1,500 health facilities spread across all the 36 states of the Federation and the Federal Capital Territory.”

The minister said the National Health Bill had been returned to the National Assembly following the resolution of some contentious issues.

According to him, the Assembly is currently revising the Bill and ”I am optimistic that it will be passed into law before the end of 2013”.

He explained that the National Health Act would provide additional fund for strengthening Primary Health Care.

The Permanent Secretary in the Ministry, Mrs Fatimah Bamidele, said Nigeria was making efforts to ensure that every Nigerian has access to quality health care.

She said the issue of universal health coverage would go a long way in addressing maternal and child mortality.

(source: leadership.ng)

Soal Kesehatan, Indonesia Tertinggal dari Tetangga

Jakarta – Indikator kesehatan Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan. Namun, laju perbaikan itu dinilai masih lambat. Situasi kesehatan Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan, Indonesia sudah disalip Vietnam yang beberapa tahun lalu masih di belakang.

Salah satunya, angka kematian ibu (AKI). Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan Program Pembangunan PBB 2013, AKI Indonesia masih 220 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura, mencatatkan angka 3, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos, dan Timor Leste.

Lambatnya penurunan AKI, menurut Endang L Achadi, Koordinator Positive Deviance Resource Centre Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Selasa (21/5), karena sekitar 40 persen kabupaten belum punya rumah sakit yang bisa melayani kegawatdaruratan obstetri ginekologi akibat tak ada dokter spesialis. “Distribusi dokter kurang, terutama di kawasan Indonesia timur,” katanya.

Hal senada dikatakan Kartono Mohamad, aktivis kesehatan dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Selain melihat indikator makro, seperti AKI, angka kematian bayi (AKB), dan cakupan imunisasi, indikator mikro juga harus dilihat. Misalnya, jumlah pengidap HIV/AIDS yang terus meningkat, masih tingginya pengguna narkoba, angka bunuh diri, dan gangguan kejiwaan; masalah sanitasi dan lingkungan, serta pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,4 persen tiap tahun.

Kendur di pelaksanaan

Menurut Endang, perencanaan pembangunan kesehatan di tingkat pusat dilakukan dengan baik. Masalahnya, di tingkat pelaksanaan sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah. Pemimpin daerah sering kali punya visi misi sendiri.

Untuk itu, pemerintah pusat perlu melakukan advokasi lebih kuat dalam menyamakan persepsi dan komitmen pemerintah daerah. Perlu ada terobosan serta reward and punishment. MDG Award merupakan salah satu cara memotivasi daerah untuk berkomitmen pada pembangunan kesehatan. Distribusi bidan desa dan Program Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah terobosan pemerintah pusat untuk menurunkan AKI. Pemberian beasiswa untuk dokter di daerah juga dapat meningkatkan distribusi dokter dan dokter spesialis.

“Yang terpenting perlu ada komitmen, tidak hanya eksekutif, tetapi juga legislatif, dalam pembangunan kesehatan,” katanya.

Kepedulian menurun

Di Cirebon, aktivitas posyandu mengalami pasang surut. Soal fasilitas, posyandu di era Reformasi kondisinya lebih baik. Di sisi lain, koordinasi lintas sektoral dan kepedulian masyarakat untuk mendukung posyandu menurun.

Seperti dituturkan Sri Nurhayati (37), kader posyandu di RW 001, Blok Mukidin, Kelurahan Tukmudal, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Senin (20/5). Kondisi posyandu di tempatnya jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru. Ibunya, Ana Rohanah (60), dulu kader posyandu sejak tahun 1986 ketika program itu digulirkan pemerintah. “Sekarang kami memiliki timbangan berdiri dan timbangan duduk. Dulu hanya timbangan beras digantungi sarung,” ujarnya.

Ana mengenang, dulu kader harus susah payah mendatangi warga dan mengajak mereka menimbang bayi di posyandu. Untuk pemberian makanan tambahan (PMT) kader harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri.

Kini, kesadaran warga memeriksakan bayi ke posyandu cukup baik. Mereka juga patungan untuk pengadaan PMT. Di sisi lain, minat untuk menjadi kader turun. Sebab, menjadi kader adalah kegiatan sosial yang tidak mendatangkan uang.

Hal ini diakui Kepala Bidang Bina Perilaku dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Anang Yuwana. Minimnya anggaran dan kader membuat kegiatan posyandu kurang bergairah.

Di Kota Medan, posyandu dibiayai penuh APBD sehingga kader mendapatkan biaya transpor Rp 50.000 per bulan.

Kader posyandu Teluk Sepang, Bengkulu, Kartini, menuturkan, dibandingkan dengan masa Orde Baru kesadaran masyarakat terhadap kesehatan saat ini sudah meningkat. Kian banyak ibu hamil dan anak balita yang datang ke posyandu. Hal serupa terjadi di Nusa Tenggara Timur. Fasilitas kesehatan makin meningkat. Namun, kondisi geografis dan kurangnya akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil masih menyisakan tingginya AKI dan AKB di wilayah itu.

Menurut Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Slamet R Yuwono, faktor geografis, tenaga kesehatan yang belum merata, dan komitmen pemerintah daerah dalam memandang kesehatan menjadi tantangan pembangunan kesehatan. (ATK/K12/REK/DMU/WSI/ADH/KOR)

(sumber: health.kompas.com)

 

World Bank to back health-for-all plan

The World Bank President Jim Yong Kim on Tuesday said universal health coverage could help achieve a goal of ending ‘absolute poverty by 2030’ and that the global lender would help countries to provide the coverage.

“Every country in the world can improve the performance of its health system in the three dimensions of universal coverage: access, quality, and affordability,” he said while addressing World Health Organisation’s key annual meeting, World Health Assembly, in Geneva.

He said priorities, strategies and implementation plans would “differ greatly from one country to another”.

But in all cases, he said “countries need to tie their plans to tough, relevant metrics. And international partners must be ready to support you”.

He, however, cautioned all to prevent ‘universal coverage’ from ending up “as a toothless slogan’ that doesn’t challenge us, force us to change, force us to get better every day”.

The United Nations General Assembly last year adopted a resolution on affordable universal health care, urging countries to develop financing systems that avoid payment at the point-of-services.

“Anyone who has provided health care to poor people knows that even tiny out-of-pocket charges can drastically reduce their use of needed services.”

“This is both unjust and unnecessary,” he said and that “countries can replace point-of-service fees with a variety of forms of sustainable financing that don’t risk putting poor people in this potentially fatal bind”.

He said health spending forces about 100 million people into extreme poverty every year and inflicts severe financial hardship on a further 150 million.

Kim, a physician by training, is also a former director of WHO. He took over the charge of the global lender in July last year and set a target last month to cut extreme poverty –living on less than $1.25 a day –to less than 3 percent by 2030 from 21 percent in 2010.

To end poverty and boost shared prosperity, Kim on Tuesday said countries need robust, inclusive economic growth.

“And to drive growth, they need to build human capital through investments in health, education and social protection for all their citizens”.

“Now is the time to act,” he said, “we must be the generation that delivers universal health coverage”.

Oxfam International lauded his call. Its Senior Health Policy Advisor Dr Mohga Kamal Yanni said “The World Bank is becoming a major champion on Universal Health Coverage and we applaud President Kim’s leadership on this issue”.

In its website post Oxfam said, “Universal coverage cannot happen without major, scaled up public investments in health, the Bank must now change the way it works to help countries achieve this.

“By working with the World Health Organisation, the Bank can support countries to ensure that every citizen gets access to the healthcare they need”.

The Oxfam also welcomed the World Bank’s support for countries to remove user fees which it said ‘a major financial barrier’ in achieving Universal Health Coverage, but said “fees must not be replaced by insurance”.

(source: bdnews24.com)

 

Pasien BPJS Sewajarnya Hanya 20 Persen di RS

Jakarta, PKMK. Saat Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mulai berjalan di tahun 2014, jumlah pasien yang ditangani RS sewajarnya hanya 20 persen sampai 30 persen dari keseluruhan. Adapun pasien yang lain ditangani oleh Puskesmas dan dokter umum yang berpraktek di sekelilingnya, ungkap dr. Zaenal Abidin, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, di Jakarta (22/5/2013). Zaenal menambahkan, bila seorang dokter umum harus menangani 100 pasien per hari, tentu sangat berat sekaligus menimbulkan risiko. Itu karena pemeriksaan terhadap pasien harus berlangsung cepat. Waktu berkomunikasi dengan pasien pun minim. Padahal, untuk layanan primer, pemeriksaan seorang pasien semestinya berlangsung minimal 15 menit. Sedangkan untuk pemeriksaan oleh dokter spesialis, waktu yang ideal tentu lebih lama.

Menurut Zaenal, sekaranglah saat yang tepat untuk membuat sistem yang mengurangi penumpukan pasien saat BPJS Kesehatan beroperasi. Sistem pelayanan pasien harus ditata sehingga tidak ada penumpukan di satu tempat yang mengakibatkan overload bagi dokter umum. Dalam hal ini, tempat praktek pribadi dokter umum, bisa dimanfaatkan sebagai satelit Puskesmas. “Kita tinggal membuat standardisasi pelayanan. Dokter di sekitar Puskesmas itu kan berkualifikasi sama,” ujar Zaenal. Dengan sistem yang lebih tertata, nantinya jumlah pasien di tempat praktek pribadi, Puskesmas, dan rumah sakit, tidak perlu sampai ratusan. Tapi bisa hanya 30-an orang per tempat. “Sedangkan dokter spesialis di rumah sakit, pasiennya sedikit. Tapi pemeriksaannya lebih cermat, dan berbiaya lebih mahal,” ucap dia.

Ada baiknya jika mulai sekarang Pemerintah Indonesia membuat proyek percontohan untuk sistem itu, bisa dimulai dengan DKI Jakarta. Bila berhasil, barulah diduplikasikan ke perkotaan secara nasional. Di sini, antara satu kota dengan yang lain mungkin memerlukan sistem yang sedikit berbeda, dipengaruhi oleh kultur masyarakat dan lain-lain. “Kemudian, sistem untuk di kota tentu berbeda dengan di pedesaan dan kepulauan. Indonesia bukan hanya terdiri dari perkotaan, bukan,” ucap Zaenal. Bukankah waktu pelaksanaan BPJS Kesehatan sudah dekat? Masih mungkinkah sistem itu dibuat? Jawab Zaenal, lebih baik terlambat daripada tidak ada perubahan sedikit pun. Saat ini baru awal tahun 2014, sementara perubahan masih bisa dilakukan sampai tahun 2019. “Kita pun bisa menjalankan sistem itu sembari memperbaiki di tengah jalan,” kata Zaenal.

 

Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran Berlanjut

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran dilanjutkan setelah Pemerintah Indonesia menyampaikan daftar isian masalah (DIM) baru. Disepakati bahwa pada tanggal 11, 12, dan 13 Juni 2013, pembahasan itu akan berlangsung intensif. Demikian pantauan dari rapat Tim Panitia Kerja (Panja) RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran hari ini (22/5/2013) di Gedung DPR/MPR, Jakarta. Ketua Komisi X DPR RI Agus Hermanto mengatakan, pembahasan RUU tersebut sudah mengalami enam kali masa sidang. Maka, pembahasan tersebut harus lebih diintensifkan. “Kami meminta agar anggota Panja lebih fokus. Sehingga pembahasan RUU tersebut bisa lebih cepat,” kata Agus.

Adapun Abdul Hamid Wahid dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, menyatakan saat ini tiap individu yang akan ikut pembahasan, sudah tahu posisi yang persis. Tahap berikutnya, yang perlu dibicarakan adalah langsung ke pembicaraan pasal per pasal, atau lebih dulu membicarakan substansi? Jika langsung pembahasan pasal per pasal sementara ada substansi yang belum jelas, kecepatan keseluruhan proses pun terhambat. “Mungkin ada baiknya nanti kita membahas dulu substansi DIM baru yang telah disampaikan tim Pemerintah Indonesia,” ucap dia. Selanjutnya, dari rapat tersebut, muncul imbauan agar seluruh pihak yang ikut pembahasan, terlebih dulu menyamakan persepsi tentang hal apa saja yang akan dibahas dari RUU tersebut.

Muncul pula usulan agar pemenuhan kuorum per fraksi diperhatikan di pembahasan di Juni 2013 itu. Dengan demikian, pengesahan RUU itu menjadi sebuah undang-undang bisa lebih cepat. Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI yang mewakili tim dari Pemerintah Indonesia menyampaikan substansi RUU tersebut nanti akan dibahas bersama. “Insya Allah, kita akan bisa segera menyelesaikan pembahasan. Dukungan dari sektor kesehatan bersifat penuh, termasuk dari Komisi IX DPR RI yang di Panja RUU tersebut punya wakil,” ujar Djoko.

 

Pemerintah Usulkan DIM Baru RUU Pendidikan Kedokteran

Jakarta, PKMK. Pemerintah Indonesia menyampaikan 11 poin dalam daftar isian masalah (DIM) baru untuk Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran. DIM baru itu disusun dengan pertimbangan tertentu. Diantaranya, penyelarasan dengan peraturan baru yang mempunyai kaitan. Itu adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Sakit Pemerintah, dan lain-lain. Hal ini disampaikan Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta (22/5/2013). 11 poin itu, kata Djoko dalam rapat dengan Komisi X DPR RI, adalah :

  1. Pendidikan kedokteran layanan primer;
  2. Integrasi akademis dengan profesi;
  3. Integrasi fakultas kedokteran dengan rumah sakit pemerintah (RSP);
  4. Pembiayaan pendidikan;
  5. Seleksi mahasiswa;
  6. Kuota mahasiswa;
  7. Uji kompetensi;
  8. Internship;
  9. Sistem penjaminan mutu;
  10. Afirmasi (distribusi dokter);
  11. Rumah sakit universitas (disesuaikan jadi rumah sakit perguruan tinggi negeri sesuai dengan Peraturan Bersama tentang Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri).

 

Selanjutnya, Djoko menambahkan bahwa sesuai arahan Menteri Pendidikan Nasional RI M. Nuh, terobosan baru diharapkan muncul di RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran. Adapun terobosan itu adalah :

  1. Peningkatan akses publik terhadap pendidikan kedokteran;
  2. Kualitas pendidikan kedokteran dan profesionalisme naik karena integrasi akademik-profesi;
  3. Peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan adanya dokter layanan primer.

Djoko mengatakan, “Insya Allah, dengan adanya DIM baru ini, pembahasan bisa segera berlanjut ke rapat-rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran yang berikutnya.”

How AIDS changed global health forever

We live in a world of extraordinary inequities. Poverty and inequity are the world’s greatest killers. In the 20 years after the Cold War, 360 million people have died from hunger and treatable diseases – much more than from all 20th-century conflicts.

Inequities in health are among the most visible of all in a world in which the gap between the mean GDP of rich and poor countries more than doubled in the 25 years to 2005. The developing world bears an extraordinarily inequitable burden of infectious disease, 90 per cent of it, and yet these countries represent just 12 per cent of all health spending.

AIDS is a classic example. Of the 30 million AIDS deaths since the virus that causes the disease was identified 30 years ago this week, 90 per cent have occurred in Africa.

Yet, against such odds, the face of AIDS has changed from one of desolation to one of hope.

When AIDS was first identified in fewer than 20 patients in the US who presented with unusual symptoms in the early 1980s, millions of Africans were already infected, but there was no system in place to detect this. The sub-Saharan epidemic spread unchecked for another 20 years: while science rapidly responded in the global north, barely a single patient in the developing world had access to treatment from an international program until 2001.

What AIDS has since shown us is what can be achieved when the world resolves to fight a pandemic, when the right to health is aggressively asserted, when we see and act on medicine and health care as a ”global public good”.

The global effort to defeat AIDS over the past three decades has demonstrated a long-suspected truth: health should no more be seen as a consequence of economic growth.

In 2000, the world set itself the ambitious Millennium Development Goals, endorsing that change in paradigm about how health relates to development. Experience has validated the concept. In its last report, the United Nations Development Program showed that the countries that invested the most in health and education in 2000 are also those in which the Human Development Index has progressed the most in the past 10 years.

AIDS is perhaps the pre-eminent example of successful investment in health. Eight million people have gained access to antiretroviral treatment, compared to just a few tens of thousands 10 years ago. As a result of investments in HIV prevention and treatment, mortality from AIDS and the number of new infections have decreased worldwide by 25 per cent in just the past five years.

Several factors have been key to this remarkable progress.

First, one cannot underestimate the impact of activism and social mobilisation against the inequity of access to care, as exemplified by Justice Edwin Cameron of South Africa, himself living with HIV, in his call to action at the International AIDS Conference in 2000. ”I exist as a living embodiment of the inequity of drug availability in Africa,” he said. ”I stand before you because I am able to purchase health and vigour. I am here because I can pay for life itself.”

This is an activism that began in the global north and has spread to nearly every country in the world. It is a movement that has grown beyond AIDS to a global movement of citizens who have brought new life to the idea of health as a human right and new pressure on governments to fulfil their responsibilities.

Another key factor has been the global political commitment to funding health, beginning with the G8 meeting in Okinawa in 2000 and continuing through key instruments such as the Abuja declaration in 2001 committing African heads of state to dedicate 15 per cent of their national budgets to health by 2010, the UN General Assembly special session on AIDS 2001 and the Gleneagles G8 commitment to providing universal access to HIV treatment.

A third factor is what I would call ”innovation” in the way in which aid is provided through new global mechanisms and partnerships, and in the way it is accounted for – increasingly, based on performance of programs.

In the case of AIDS treatment, delivery of what was once seen as a very complex intervention is now largely governed by simplified algorithms for health workers and nurses. Many patients receive routine care and adherence support, and have their prescriptions refilled, without ever seeing a doctor.

What the World Health Organisation calls ”task-shifting” and a ”public health approach” to treatment and care was seen as revolutionary only a decade ago and has forever changed our thinking about what can be achieved in chronic care in resource-limited settings.

The question today is whether this remarkable progress can be sustained and amplified as 8 million people are still in urgent need of treatment – in a global context that has changed significantly from what it was 10 years ago.

The world is no longer a relatively simple configuration of the G8 powers and the rest, or a global north and global south. Rather, we live in a multipolar world in which Brazil and Latin America, China, Australia and Indonesia, India, Russia, Africa, Western Europe and the US interact in complex ways, so the concept of global solidarity becomes increasingly subordinate to national and regional agendas, especially since the global financial crisis.

And while inequities between countries have decreased, and the overall proportion of people in extreme poverty has decreased, the inequities within countries are now increasing everywhere, particularly in middle-income countries and emerging economies.

There are now nearly twice as many people living below the threshold of poverty in middle-income countries as in low-income countries. Emerging economies will have to redistribute large amounts of funds to the social sector and prioritise social investments. It will make some governments feel very uncomfortable.

But there is a way forward as AIDS has shown – take the rollout of antiretroviral drugs over the past decade as a piece of inspiration. What many of us working in the field considered to be utopia not so long ago has become an achievable global target.

Finally, let’s not forget the end game: inequities in health also systematically put groups of people who are already socially disadvantaged (for example, by virtue of being poor, female, and/or members of a disenfranchised group) at further disadvantage. Health is essential to overcome the other effects of social disadvantage. AIDS has shown us there are no excuses not to do so.

(source: www.theage.com.au)

 

RUU Keperawatan Disahkan atau Mogok Nasional

Jakarta — Ribuan perawat yang melakukan aksi di depan Gedung DPR/MPR menutut agar RUU Keperawatan disahkan pada tahun 2013 ini. Apabila tidak disahkan, upaya terakhir mereka adalah mengancam untuk melakukan aksi mogok nasional.

Sekjen Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Arif Fadilan mengatakan, dorongan agar RUU Keperawatan tersebut disahkan ini diberikan untuk melindungi para perawat dalam melaksanakan pelayanannya memberikan pengobatan kepada masyarakat.

“Tujuannya untuk perlindungan hukum para perawat supaya terlindungi dalam melaksanakan pelayanan. Sebab, banyak perawat di daerah yang dikriminalisasi,” kata Arif di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (21/5/2013).

Undang-undang tersebut, kata Arif, nantinya bisa untuk membangun sistem keperawatan yang berkualitas sehingga apa yang dilakukan perawat kepada pasien menjadi baik dan terlindungi. Ia mencontohkan perawat yang bekerja di pelosok-pelosok daerah yang belum mendapatkan perlindungan.

“Perawat yang ada di pelosok-pelosok daerah banyak yang ditangkap polisi karena melakukan pelayanan kesehatan karena tidak ada dokternya di sana,” ujar Arif.

Dengan pengesahan undang-undang tersebut, nantinya, selain dokter, para perawat diharapkan juga bisa melakukan pelayanan pengobatan terhadap masyarakat. Mereka juga akan dijamin dan dilindungi dalam melayani pengobatan tersebut.

Ribuan pengunjuk rasa saat ini sudah membubarkan diri dari Gedung DPR/MPR. Mereka melanjutkan aksi di Kantor Kementerian Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Sementara itu, arus lalu lintas yang melewati Jalan Gatot Subroto di depan Gedung DPR/MPR sudah normal.

(sumber: megapolitan.kompas.com)