Permenkes No. 7/2013 tidak adil? Poempida langsung bertindak

Komisi IX DPR RI akan melakukan langkah politik kepada Menteri Kesehatan (Menkes) jika Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 7/2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) tidak memenuhi unsur keadilan.

“Apabila peraturan tersebut tidak terdapat asas ketidakadilan bagi para bidan PTT ini, maka saya akan meminta Permenkes itu,” ujar Poempida saat ditemui Licom di Gedung DPR RI, Senin (13/05/2013).

Baca juga: Sebelum naikkan BBM, Komisi IX desak pemerintah perbaiki ketenagakerjaan dan Politisi Senayan “tersinggung” BLT rakyat miskin, jawaban kenaikan BBM

Menurutnya, pengangkatan status bidan menjadi PNS dalam masa kerja 9 tahun ini belumlah terang benderang terkait hal-hal yang mengatur masa kerja bidan untuk diangkat menjadi PNS.

“Kemudian, statusnya menjadi PNS. Secara teknis, dalam konteks tersebut tidak jelas, apakah semua bidan PTT ini yang akan menjadi PNS atau sebagaian atau bertahap,” terangnya.

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar ini menjelaskan, permasalahan yang nampak Permenkes No 7/2013 ini lebih pada periodesasi. “Permasalahan yang sangat jelas ini ketika ada Permenkes No. 7/2013, yang menyatakan status bidan PTT maksimal harus 3 periode. 1 periode itu ada 3 tahun, jadi maksimal 9 tahun,” bebernya.

Sehingga, lanjutnya, ini menjadi ketidakjelasan sendiri dari aspek keadilan bagi para bidan. Padahal, menurutnya, status bidan PTT yang sudah lima tahun hingga lebih dari tujuh tahun menjadi tidak jelas akibat Permenkes ini. Kecuali, menjadi bidan di tempat lain, bukan di tempat yang saat ini. Poempida menilai ini merupakan suatu ketidakadilan di dalam konteks kebijakan.

Hal ini, ia meyakini, jika para bidan nasibnya tidak jelas, yang dikemudian hari akan mengganggu kesukseskan program BPJS karena porsi kerja ibu-ibu bidan ini akan bertambah karena orang-orang tidak perlu ada biaya lagi dan yang menjadi ujung tombaknya adalah para Bidan.

“Gol utama Bidan itu kan menjadikan mereka PNS. Tapi kalau Permenkes itu tidak strategis, ya.. minta Permenkes itu dicabut karena nanti Menkes bisa berkelit di Permenkes itu tadi. Jadi, bisa menghambat mereka menjadi PNS karena adanya Permenkes itu tadi,” tuturnya.

Apabila memang Permenkes ini tidak adil atau diindahkan, Poempida tidak segan-segan untuk melakukan penindakan sebaik mungkin.

“Apabila Menkes tidak mengindahkan hal tersebut, saya akan melakukan tindakan-tindakan politik semampunya sebagai anggota IX DPR,” pungkasnya. @yuanto

(sumber: www.lensaindonesia.com)

 

Australia Perkuat Sistem Kesehatan Indonesia

Denpasar – Setelah mengikuti upacara peringatan 10 Tahun Bom Bali yang dipusatkan di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Jimbaran, Badung, Menteri Kesehatan RI Dr. Nafsiah Mboi bersama-sama Gubernur Bali Mangku Pastika menyambut kedatangan Perdana Menteri Australia Julia Gillard di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Jumat (12/10).

Di Lokasi, Perdana Menteri Gillard didampingi Menteri Kesehatan dan Gubernur Bali selanjutnya langsung meninjau Instalasi Penanganan Luka Bakar yang merupakan bantuan dari Pemerintah Australia pasca tragedi bom Bali 12 Oktober 2012. Selain itu, Gillard juga berbincang-bincang dengan para medis maupun keluarga korban mengenai pengalaman menangani bencana tersebut serta langkah –langkah yang dilaksanakan pasca tragedi sampai pada hari ini.

Julia Gillard dalam pidatonya menyampaikan komitmennya dalam upaya peningkatan sistem kesehatan di Indonesia melalui bantuan sebesar 50 Juta Dolar Australia sampai pada 2016. Mulai dari peningkatkan sarana dan prasarana penunjang medis sampai pada pengembangan sumber daya manusia bidang kesehatan sehingga dapat melakukan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pada umumnya.

Terkait pertanyaan awak media tentang masih adanya 10 orang korban Bom Bali yang tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, Gubernur Bali menyampaikan ini karena kurang komunikasi antara keluarga korban dengan pemerintah.

“Saya pastikan kita akan bantu mereka apalagi itu warga saya, kita punya JKBM yang bisa dipergunakan untuk perawatan maupun operasi. Tolong datang ke saya atau pada saat simakrama yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir bulan ini”, demikian ujarnya lugas.

“Saya informasikan bahwa Gubernur tidak akan bisa tau segalanya, tolong kerjasama yang baik dan komunikasi yang intens agar semuanya bisa berjalan dengan baik”, imbuhnya.

(sumber: www.koridortimur.com)

A Clearer View: Tobacco settlement made state healthier

This past week marked the 15th anniversary of Minnesota’s tobacco settlement. Those of us involved in the trial will never forget it.

In 1994, as Minnesota attorney general, I joined forces with Blue Cross and Blue Shield of Minnesota to bring an antitrust lawsuit against the tobacco companies. Mike Ciresi, Roberta Walburn and their stellar legal team agreed to partner with us. We had an active partnership, a dynamic team of assistant attorneys general working alongside a private legal team.

Efforts against Big Tobacco often are described as David-vs.-Goliath struggles, but I’ll put it even more strongly. This time it was good vs. evil. The tobacco companies were considered invincible at that time. Our decision to take them on brought skepticism: Lake Wobegon against one of the most powerful industries in the world.

But we had the truth on our side. We focused on the most damning evidence possible: the words of the industry itself, contained in millions of pages of internal documents never before shown to the public.

What they exposed was shocking. They revealed an industry that knowingly produced products lethal to half the people who use them and that create injury to millions of others. Companies ignored their own research about tobacco’s dangers and addictive properties; in fact, they were manipulating cigarette design to make them more addictive despite those dangers. Then they deliberately marketed them to every demographic group — even researching the best ways to get cigarettes into the hands of kids.

We fought to make sure those documents saw the light of day. It wasn’t just about the trial. It was about the industry’s deceptive business practices and the impact on the public’s health. It was essential for people to understand who really was behind the problem of tobacco in this country. If companies create deadly products, engineer them to addict customers and use the best marketers in the world to sell them, what chance do any of us have?

During the trial, the industry used every trick in the book; but when it was over, industry leaders realized they could not win and delivered to Minnesota what was at the time the fourth-largest settlement in legal history.

After the trial, we were lucky to have giants of health advise us, including the late Surgeon General C. Everett Koop. With Dr. Koop, former FDA Commissioner Dr. David Kessler, Dr. Richard Hurt of Mayo Clinic and others, we created ClearWay Minnesota, an organization dedicated to reducing the harm tobacco causes Minnesotans.

Through ClearWay, the settlement still funds programs like QUITPLAN Services, which have helped nearly 20,000 Minnesotans quit tobacco. It’s allowing for new research, helping pass policies that reduce smoking (like smoke-free laws and cigarette tax increases), funding educational media campaigns and cultivating health leaders in diverse communities. Blue Cross’ settlement portion also is used for health purposes, funding the successful Prevention Minnesota programs.

Since the settlement, Minnesota’s smoking prevalence has dropped from 22.1 percent to 16.1 percent. That decline is attributable to initiatives of the organizations and their partners, including tobacco price increases, smoke-free policies, mass-media campaigns and cessation treatment.

What we did in the 1990s created a cultural shift that is continuing today across the country. Many thousands of people have quit, and whole generations of kids are less drawn to tobacco because of what we started. Thirty states are now smoke-free. Many young people don’t know what it’s like to have smoke in their workplaces or to breathe it at a restaurant.

What we did here in Minnesota also resonated throughout the world. We helped influence the World Health Organization’s Framework Convention on Tobacco Control, a global partnership of 344 nations to restrict tobacco advertising and adopt policies that decrease tobacco use.

It’s true the tobacco industry is still with us, working to hook people. I am pleased Minnesota’s health organizations are still taking them on, and I hope they always will. But when I see an ad directing smokers to QUITPLAN or to dine in a smoke-free restaurant, or when I hear about Minnesota’s high health rankings, I remember how far we’ve come. And I can’t help smiling and feeling proud that we helped make Minnesota — and the world — healthier.

Hubert H. “Skip” Humphrey III was Minnesota attorney general from 1983 to 1998. He currently works in the Consumer Financial Protection Bureau of the Office of Financial Protection for Older Americans. He wrote this for the News Tribune.

(source: www.duluthnewstribune.com)

WHO says new coronavirus may be passed person to person

The World Health Organization says it appears likely that the novel coronavirus (NCoV) can be passed between people in close contact.

This comes after the French health ministry confirmed a second man had contracted the virus in a possible case of human-to-human transmission.

Two more people in Saudi Arabia are also reported to have died from the virus, according to health officials.

NCoV is known to cause pneumonia and sometimes kidney failure.

World Health Organization (WHO) officials have expressed concern over the clusters of cases of the new coronavirus strain and the potential for it to spread.

Since 2012, there have been 34 confirmed cases across Europe and the Middle East, with 18 deaths, according to a recent WHO update.

Cases have been detected in Saudi Arabia and Jordan and have spread to Germany, the UK and France.

“Of most concern… is the fact that the different clusters seen in multiple countries increasingly support the hypothesis that when there is close contact this novel coronavirus can transmit from person to person,” the World Health Organization said on Sunday.

“This pattern of person-to-person transmission has remained limited to some small clusters and so far, there is no evidence to suggest the virus has the capacity to sustain generalised transmission in communities,” the statement adds.

France’s second confirmed case was a 50-year-old man who had shared a hospital room in Valenciennes, northern France, with a 65-year-old who fell ill with the virus after returning from Dubai.

“Positive results [for the virus] have been confirmed for both patients,” the French health ministry said, adding that both men were being treated in isolation wards.

Meanwhile, the Saudi deputy minister of health said on Sunday that two more people had died from the coronavirus, bringing the number of fatalities to nine in the most recent outbreak in al-Ahsa governorate in the east of Saudi Arabia, Reuters news agency reports.

The Saudi health ministry said that 15 people had died out of the 24 cases diagnosed since last summer.

WHO officials have not yet confirmed the latest deaths.

In February, a patient died in a hospital in Birmingham, England, after three members of the same family became infected.

It is thought a family member had picked up the virus while travelling to the Middle East and Pakistan.

Novel coronavirus is from the same family of viruses as the one that caused an outbreak of Severe Acute Respiratory Syndrome (Sars) that emerged in Asia in 2003.

However, NCoV and Sars are distinct from each other, the WHO said in its statement on Sunday.

Coronavirus is known to cause respiratory infections in both humans and animals.

But it is not yet clear whether it is a mutation of an existing virus or an infection in animals that has made the jump to humans.

(source: www.bbc.co.uk)

Sosialisasi Rumah Honai Sehat Perlu Tokoh Agama

honai

honaiJakarta, PKMK. Dalam mengenalkan rumah honai sehat ke sebagian masyarakat Papua, Kementerian Perumahan Rakyat RI perlu melibatkan tokoh agama. Tokoh agama yang dimaksud antara lain para misionaris buat warga beragama Nasrani, dan para dai untuk yang beragama Islam. Jika sosialisasi tersebut hanya melalui birokrat pemerintah, sulit mengharapkan hasil memadai, ungkap Zulfi Syarif Koto, Pengamat kebijakan perumahan (13/5/2013). Mantan deputi menteri perumahan rakyat RI itu berkata, pembuatan desain rumah honai sehat tidak cukup hanya dari segi kelayakan teknis. Aspek antropologi, sosial budaya juga perlu dipertimbangkan. Dalam hal itu, para tokoh agama perlu dilibatkan saat pembuatan desain dan saat sosialisasi, mereka pun terus dilibatkan. Para kepala suku di Papua pun bisa berperan serupa,” kata dia.

Tahun 2007, Kementerian Perumahan Rakyat RI pun pernah membuat desain rumah honai sehat, bekerja sama dengan pihak lain seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Cendrawasih. Hal itu terkait pemindahan masyarakat Kabupaten Yahukimo karena bencana kelaparan. Di kota, mereka ditempatkan di rumah honai sehat; rumah tersebut juga berlantai dua seperti yang ditawarkan sekarang. “Dulu menurut kita, itu rumah sehat yang bagus. Tapi masyarakat ternyata tidak berpendapat demikian,” ujar Zulfi sambil tertawa ringan. Pengubahan bentuk desain rumah honai juga mengharuskan perilaku baru. Masyarakat tersebut tampak enggan mengubah kebiasaan tertentu. Mereka terbiasa meminyaki tubuh dengan minyak babi dan tinggal satu lantai dengan ternak itu. Maka, saat ternak itu di lantai satu dan orang di lantai dua, ada kebingungan. Kini sudah waktunya Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan aspek antropologi sosial budaya seperti itu. Jangan seperti Pemerintah Orde Baru yang menyamakan segala hal. “Kalau Orde Baru itu kan gebyah uyah. Penanganan Suku Asmat dianggap sama dengan suku lain di Papua,” ucap Ketua Umum The Hud Institute itu.

 

Dana BLT Sebaiknya Dialihkan ke BPJS Kesehatan

Jakarta, PKMK. Bila Pemerintah Indonesia akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubdisi, sebaiknya jangan menggunakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu warga miskin. Namun, dana BLT tersebut digunakan untuk kenaikan nilai Penerima Bantuan Iuran (PBI) di Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, ungkap Poempida Hidayatulloh, anggota Komisi IX DPR RI, di Jakarta (13/5/2013). Politisi dari Partai Golkar itu mengatakan, penyaluran dana melalui BLT rawan oleh berbagai hal yang tidak diinginkan. Dalam konteks berlangsungnya Pemilihan Umum Tahun 2014, dana BLT bisa diklaim ataupun disalahgunakan oleh pihak tertentu. “Sementara, kesuksesan pelaksanaan BPJS Kesehatan antara lain ditentukan oleh nilai PBI tersebut,” ujar Poempida.

Hal yang paling krusial dalam kesuksesan BPJS Kesehatan adalah memadai atau tidaknya nilai PBI tersebut. Peraturan Presiden (Perpres) yang menyebutkan bahwa pengobatan semua penyakit berat harus dijamin oleh BPJS Kesehatan sudah ada. Maka, seharusnya nilai PBI dinaikkan, bukan di angka Rp 15 ribuan per orang per bulan. “Saya lebih suka mengacu ke nilai Rp 27ribuan sesuai dengan standar PT Askes. Juga sesuai dengan kalkulasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional,” kata dia. Apa akibatnya bila nanti yang digunakan nilai Rp 15.000-an itu? Berbagai permasalahan bisa muncul, nilai tersebut jelas tidak memadai bila semua penyakit akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Kini, peraturan teknis terkait nilai PBI tersebut belum ada. Saat ini, yang sudah keluar adalah Perpres tentang definisi ataupun kriteria warga yang akan memperoleh PBI. “Kemungkinan, besaran nilai PBI itu akan diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan atau dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Itu kalau saya tidak salah,” ucap Poempida.

 

Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran Harus Diintensifkan

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran (RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran) oleh Komisi X DPR RI harus lebih intensif. Demikian pula pembahasan sejumlah RUU lain di DPR seperti RUU Jaminan Produk Halal dan RUU Pemberantasan Pembalakan liar. Sebab, semua RUU tersebut telah beberapa kali mendapatkan persetujuan perpanjangan masa pembahasan. Ketua DPR RI Marzuki Alie menyampaikan hal itu dalam Sidang Paripurna DPR RI di Jakarta (13/5/2013). Meski perpanjangan waktu itu disetujui, hendaknya jangan diartikan bahwa ketidaktepatan waktu selalu menjadi pilihan. “Kita harapkan bahwa pembahasan lebih produktif dan intensif dengan dorongan dari pimpinan komisi di DPR,” kata politisi dari Partai Demokrat itu.

Ia menambahkan kualitas RUU yang dihasilkan DPR RI juga harus lebih dinaikkan. Dalam masa persidangan sebelum ini, DPR RI baru menyelesaikan pembahasan lima RUU. Sementara itu, DPR telah menetapkan penyelesaian 70 RUU di sebagai prioritas di Program Legislasi Nasional Tahun 2013. Lebih lanjut, sejumlah masalah sosial patut dicermati bersama oleh DPR RI. Satu di antara itu adalah pengaduan dari masyarakat terkait jaminan sosial. Menyikapi hal semacam ini, DPR perlu lebih responsif. Masalah sosial lain yang dicermati DPR RI adalah persoalan bencana alam yang masih sering terjadi di seluruh Indonesia. Bencana tersebut merugikan secara materil dan kerap kali menimbulkan korban jiwa. “DPR RI meminta agar Pemerintah Indonesia selalu bertindak cepat sekaligus tepat dalam mitigasi bencana alam,” ujar Marzuki. Sidang Paripurna untuk pembukaan Masa Sidang V Tahun Sidang 2012-2013, dihadiri oleh 306 orang anggota DPR RI. Jumlah tersebut telah mewakili seluruh fraksi di DPR RI. “Maka, kuorum telah tercapai,” ucap Marzuki saat membuka sidang itu.

Indonesia Berkomitmen Perangi Limbah B3 dalam KTT Genewa

Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi Focal Point Indonesia dalam pertemuan terkait Bahan Beracun Berbahaya (B3) dan limbahnya yang diselenggarakan United Nations of Environment Programme (UNEP) di Jenewa Swiss, Jumat (10/5). Pertemuan bertajuk ‘Ordinary and Extraordinary Meetings of the Conferences of the Parties of the Basel Convention, Rotterdam Convention and Stockholm Convention’.

Pertemuan tersebut merupakan lanjutan dari Konvensi Basel tentang ekspor dan impor limbah B3, Konvensi Rotterdam tentang informasi ekspor dan impor bahan kimia berbahaya dan beracun, dan Konvensi Stockholm tentang Persistant Organic Polutant.

Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) Balthasar Kambuaya menyatakan sebagai negara kepulauan di jalur pelayaran dunia, Indonesia sangat rentan terhadap datangnya limbah dan sumber pencemar lainnya.

“Karena itulah peranan kita dalam implementasi pengawasan amatlah penting,” ujar Balthasar dalam siaran Pers usai pertemuan di Jenewa Swiss, Jumat (10/5).

Balthasar mengakui pengawasan B3 dan limbahnya bukannya tidak ada kendala. “Kendala utamanya tentu saja keberadaan lebih dari 17.000 pulau di Indonesia tentu saja semakin memudahkan sekaligus godaan menggiurkan bagi banyak negara untuk membuang limbahnya ke Indonesia,” tegas Balthasar.

Komitmen Indonesia dalam upaya mengurangi dampak negatif perdagangan dan pergerakan bahan kimia menurut Balthasar benar-benar diperlukan. Jika tidak diatur maka resiko mengganggu kesehatan dan lingkungan hidup.

“Melalui komitmen ini kita dapat mencegah Indonesia dijadikan tempat ‘dumping’ senyawa kimia yang berbahaya dan beracun yang dilarang digunakan di negara maju,

Selain upaya melindungi lingkungan, Indonesia juga bisa mendapat manfaat dengan menggalang kerjasama Internasional dan membuka akses pertukaran informasi mengenai pergerakan B3 dan limbah B3.

Indonesia, lanjut Balthasar saat ini telah sampai di akhir proses ratifikasi Konvensi Rotterdam yang sudah mendapat persetujuan parlemen.

“Kita telah menyatakan komitmen mencegah dampak negatif pergerakan limbah B3 dan B3 ke Indonesia, tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga untuk industri di Indonesia dan masyarakatnya dari peredaran B3 dan limbah ilegal dari negara lain,” tegas Balthasar. (Soraya Bunga Larasati)

(sumber: www.metrotvnews.com)

 

Bidan PTT Bisa Mendaftar Kembali atau Jadi PNS

Jakarta, Kompas – Bidan pegawai tidak tetap yang telah selesai masa tugasnya selama 9 tahun bisa mendaftar kembali. Mereka berpeluang untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil bila formasi tersedia.

Demikian dikemukakan Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Kesehatan Pattiselanno Robert Johan, Jumat (10/5), di Jakarta. Ia memaparkan isi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 7/2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap.

Selasa (7/5), ribuan bidan pegawai tidak tetap (PTT) mendatangi Istana Presiden. Mereka menolak Permenkes No 7/2013 karena mengatur perpanjangan masa tugas hanya dua kali. Mereka minta masa penugasan diperpanjang dan diangkat jadi PNS.

Menurut Robert, pengangkatan bidan PTT sebelumnya diatur Keputusan Presiden (Keppres) No 77/2000 tentang Perubahan atas Keppres No 23/1994 tentang Pengangkatan Bidan sebagai PTT. Dalam keppres itu disebutkan, lama penugasan sebagai PTT adalah tiga tahun dan dapat diperpanjang paling banyak dua kali. “Dengan demikian, jumlah seluruh masa tugas bidan PTT 9 tahun. Setelah itu berhenti,” katanya.

Permenkes No 7/2013, kata Robert, tidak mengubah esensi masa tugas bidan PTT. Menteri Kesehatan hanya dapat memperpanjang masa tugas bidan PTT paling banyak dua kali penugasan, jadi masa tugas total 9 tahun. “Setelah itu, bidan bisa mendaftar ulang sebagai bidan PTT atau PNS jika ada formasi,” katanya. Bidan PTT juga bisa menjadi bidan praktik mandiri.

Dalam Permenkes No 7/2013 Pasal 10 disebutkan, agar diangkat kembali sebagai bidan PTT, bidan terkait harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Kesehatan paling lambat tiga bulan sebelum masa penugasan berakhir. Permohonan dapat ditolak jika tidak memenuhi syarat administrasi, alokasi kebutuhan bidan PTT di kabupaten/kota tujuan sudah terpenuhi, dan alokasi anggaran tidak cukup.

Menurut Robert, Kemkes akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berwenang mengurusi formasi PNS.

Dalam aturan baru, kata Robert, diatur sanksi bagi tenaga medis PTT yang tak melaksanakan tugas dengan baik. Selain itu, juga diatur pengawasan terhadap tenaga PTT secara berjenjang dari tingkat pusat hingga daerah.

Pelaksana Tugas Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi yang dihubungi secara terpisah mengatakan, PP IBI telah meminta Menkes memprioritaskan bidan yang telah habis masa PTT menjadi PNS pusat bila ada formasi. “Kami juga memohon Menkes menyurati pemerintah daerah di seluruh Indonesia agar memprioritaskan bidan PTT sebagai PNS daerah,” kata Emi.

Saat ini, jumlah bidan PTT di seluruh Indonesia 40.058 orang. Gaji untuk bidan PTT yang bertugas di wilayah terpencil Rp 2,7 juta per bulan, ditambah insentif dari pemerintah daerah. Gaji untuk bidan PTT di wilayah non- terpencil Rp 1,7 juta per bulan.

Terkait dokter PTT yang ditugaskan di lokasi terpencil dan sangat terpencil, dalam Permenkes No 7/2013, masa penugasan menjadi 2 tahun. Masa tugas bisa diperpanjang satu kali. Sebelumnya, dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 683/2011, masa penugasan dokter 1 tahun dan tidak diatur soal perpanjangan masa tugas. (DOE/K06)

(sumber: health.kompas.com)

 

India Ranks No. 1 in Cervical Cancer Deaths

NEW DELHI — More women die from cervical cancer every year in India than anywhere else in the world, according to the Cervical Cancer-Free Coalition, an American research and advocacy group that released a “cervical cancer global crisis card” Friday.

The index, which ranked 50 countries, shows India in the top spot in terms of overall deaths, with nearly 73,000 a year. China came in a close second, followed by Brazil.

Using the most recent data published by multilateral agencies including the World Health Organization, the United Nations and the World Bank, the crisis card also ranks countries by mortality rate in cases of cervical cancer. African countries have the highest mortality rates, with women in Zambia, Malawi and Tanzania being most likely to die if affected by the disease.

The rankings were compiled using information from a 2010 report available on the World Health Organization Web site, which says an estimated 72,825 women die of cervical cancer every year in India. About 134,420 women are diagnosed annually with this disease, the most common form of cancer that is detected in women between the ages of 15 and 44.

“Despite the great burden of this disease there are encouraging opportunities for prevention with breakthroughs in cervical cancer screening in low-resource settings,” Usha Rani Poli of the M.N.J. Institute of Oncology Regional Cancer Center in Hyderabad, said in a press release issued by the Cervical Cancer-Free Coalition.

“Community mobilization is critical to educate the public on the importance of screening and to break down cultural barriers about discussing sexual issues,” Dr. Poli said.

India, China, Brazil, Bangladesh and Nigeria represent more than half of the “global burden of cervical cancer deaths,” according to the release on global rankings.

An estimated 275,000 women die of cervical cancer every year and 500,000 new cases are reported annually worldwide, the release said.

Two companies that make vaccines against cervical cancer said Thursday that they would reduce prices to less than $5 per dose for the world’s poorest countries, The New York Times reported. The vaccines that protect against the strains of the sexually transmitted human papillomavirus, or HPV, that cause 70 percent of cervical cancers, cost almost $130 in the United States.

Experts believe that prices could further come down if millions of more doses were ordered and rival vaccine makers from India and China entered the field, The Times said. Merck’s Gardasil and GlaxoSmithKline’s Cervarix are currently the only two vaccines in the world approved by the World Health Organization, but companies such as Serum Institute of India, the world’s largest vaccine maker, are also developing papillomavirus vaccines.

The “crisis card” release was timed ahead of Mother’s Day, to draw attention to the disease, which authors say could cause half a million female deaths annually by 2030.

(source: india.blogs.nytimes.com)