RS Islam Harus Berbadan Hukum

Jakarta, PKMK. Dampak kewajiban rumah sakit swasta Islam yang tidak memiliki badan hukum khusus rumah sakit dapat terjadi pada banyak pihak. Dari empat rumah sakit Islam di Jakarta saja, jumlah orang terdampak itu mencapai setidaknya 8 ribu orang. Bila empat rumah sakit itu tidak beroperasi akibat tidak adanya hukum itu, orang-orang tersebut berpotensi dirugikan karena tidak bisa berobat ataupun bekerja, ungkap M. Iqbal Rais, Wakil Sekretaris Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (7/5/2013).

Iqbal mengatakan, empat rumah sakit itu adalah RSIJ Cempaka Putih, RS Islam Pondok Kopi, RS Islam Sukapura, dan RSJ Islam Klender. Empat rumah sakit itu menampung pasien rawat jalan rata-rata 1.967 orang per hari. Sedangkan angka rata-rata pasien rawat inap adalah 617 orang per hari. Dalam sebulan ataupun setahun, angka pasien tersebut tentu lebih banyak lagi. Total pegawai di empat rumah sakit itu sebanyak 2.845 orang. Itu terdiri dari dokter, perawat, bidan, tenaga penunjang medis, dan tenaga non-medis. “Semua orang itu berpotensi dirugikan karena empat rumah sakit itu kini tidak punya badan hukum khusus rumah sakit,” ujar dia.

Lebih jauh dia mengatakan, Asosiasi Rumah Sakit Nirlaba (Arsani) mendukung langkah judicial review yang sekarang dilakukan Muhammadiyah pada sejumlah pasal ataupun ayat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang mengharuskan adanya badan hukum khusus itu. Dalam Arsani, selain rumah sakit Islam, ada kelompok rumah sakit Katolik, Protestan, dan swasta biasa. “Mereka mengatakan, keharusan punya badan hukum khusus itu menyulitkan. Kalau misalnya akan berubah dari rumah sakit biasa ke rumah sakit pendidikan, repot,” ucap Iqbal. Rumah sakit yang dikelola oleh Al Irsyad, Carolus, dan Atmajaya, juga berpotensi terdampak oleh keharusan memunyai badan hukum khusus itu.

Pemerintah Waspadai Infeksi Virus Corona

Pemerintah Indonesia kembali meningkatkan kewaspadaan terhadap penyebaran virus Corona menyusul kasus infeksi baru di Arab Saudi yang menimbulkan korban tewas. Pada Rabu (1/5) lalu, The National IHR Focal Point of Saudi Arabia melaporkan tujuh infeksi virus corona pada rumah sakit di provinsi bagian timur Arab Saudi. Sebanyak lima korban dilaporkan meninggal, sedangkan dua lainnya dalam kondisi kritis.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Prof.dr Tjandra Yoga Aditama, dalam keterangan pers Senin (6/5/2013) menyatakan, laporan kasus infeksi ini telah dilaporkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO). Laporan ini tergolong baru, karena tidak ada laporan kasus serupa sejak September 2012.

“Serangan ini termasuk baru, karena itu belum ada vaksinnya. Namun kita dapat melakukan usaha pencegahan lain,” kata Tjandra.

Sejauh ini, kata Tjandra, sudah ada 24 kasus yang didapatkan WHO berkaitan dengan serangan Novel Corona Virus (nCoV). Sebanyak 16 kasus meninggal, yang mengindikasikan angka case fatality rate (CFR) mencapai 66,66 persen. Hal ini tentu menuntut kewaspadaan karena banyaknya jama’ah haji dan tenaga kerja di Saudi Arabia.

Serangan corona, lanjut Tjandra, hinga saat ini belum ditemukan di daerah penginapan maupun ibadah jama’ah haji. Untuk menghindari infeksi serangan virus corona, Tjandra menekankan pentingnya menjaga kebersihan dan menjaga kesehatan tubuh.Jama’ah haji dan para tenaga kerja disarankan untuk melakukan kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS). Kebiasaan sederhana ini akan menimimalisir serangan virus yang masuk ke dalam tubuh.

Sampai saat ini belum diketahui asal mula dan pencegahan corona. Gejala serangan infeksi corona mirip serangan flu pada umumnya. Namun serangan corona, kata Tjandra, relatif lebih berat. Korban corona akan merasa sangat lemas sampai tidak bisa bangun. Bila disertai batuk, suara batuk terdengar sangat keras.

“Korban corona biasanya sudah memiliki penyakit kronis sebelumnya. Penyakit semakin parah dengan adanya infeksi corona,” kata Tjandra.

Oleh karena itu, Tjandra menyarankan setiap orang yang merasa tidak enak badan segera memeriksakan diri sesampainya di negara tujuan. Pemeriksaan sesegera mungkin akan mencegah virus tersebar. Korban juga bisa segera mendapat terapi pengobatan.

Pemerintah, menurut Tjandra juga akan melaksanakan pengawasan pada kasus Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dengan sebab yang tidak jelas. Pengawasan dilakukan pada setiap pintu masuk di pelabuhan laut dan udara. Tjandra juga mengharap partisipasi masyarakat segera melaporkan bila ada orang disekitarnya menderita gejala flu berat, sepulang dari Saudi Arabia.

Mungkinkah sampai Indonesia?

Sampai sekarang, kata Tjandra, serangan nCoV belum ditemukan di Indonesia. Kendati begitu, tidak menutup kemungkinan serangan corona sampai Indonesia. “Prinsipnya serangan virus bisa berpindah, karena itu peluang sampai Indonesia masih ada. Tapi tidak perlu khawatir sepanjang menjaga kebersihan,” kata Tjandra.

Serangan nCoV, menurut Tjandra, antara lain ditemukan di Saudi Arabia dan Inggris. Hal ini dikarenakan banyak orang Arab berkunjung ke benua Eropa. Kunjungan ini membuka peluang penyebaran virus.

Meski sifat nCoV belum diketahui, virus corona umumnya sangat lemah. Virus ini hanya bisa bertahan sehari di luar tubuh. Virus ini umumnya bisa hancur dengan agen pembersih biasa. Karena itu, risiko penularan pada populasi umum rendah. Namun serangan corona virus bisa merangsang terjadinya pneumonia. Serangannya juga bisa mengakibatkan gagal ginjal.

(sumber: health.kompas.com)

82,5% Kegiatan Musik Indonesia Disokong Industri Rokok

Jakarta – Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, berdampak panjang bagi dunia seni dan hiburan. Pasalnya, industri rokok berada di balik layar sebagian besar perhelatan musik di Indonesia.

“Setelah kami survei, 82,5% kegiatan musik Indonesia di-support oleh industri rokok,” ungkap Dani Pete, manajer GIGI Band kepada wartawan, belum lama ini di Jakarta.

Dani mengakui, selama ini konser lebih dari satu kota rata-rata disponsori oleh industri rokok. Repotnya, berdasarkan PP 109/2012, sponsor dari industri rokok diberi pembatasan sedemikian rupa seperti tak boleh mencantumkan logo, nama brand hingga warna produk.

“Kami ambil kesimpulan, show akan berkurang,” kata Dani.

Secara gamblang pria yang sejak 1981 berkecimpung di dunia panggung menjelaskan, sejak lama industri rokok dekat dunia panggung. Baru pada periode tahun 2000-an industri telekomunikasi dan perbankan ikut merambah di dunia musik. Itupun, lanjutnya, dengan porsi yang masih kalah jauh dibandingkan industri rokok.

Gigi saja, kata Dani, bulan ini mengisi delapan acara. Hingga akhir tahun nanti ada 110 event. Sekitar 80% dari acara-acara tersebut disponsori oleh industri rokok. Sementara band Kotak, pada Mei 2013 mengisi 18 event tur konser di Sumatera, yang juga disponsori rokok.

Dani menyebut, selama ini para pelaku industri hiburan mengandalkan show sebagai tulang punggung aktivitasnya. “Pemerintah tidak bergerak mengatasi bajakan CD, kaset dan sebagianya. Lalu ada RBT (ringback tone), tapi pemerintah juga tidak siap. Ketika RBT turun, nggak ada yang ngegantiin. Maka kami mengandalkan show-show. Lalu kalau kontribusi rokok dibatasi, bagaimana?” tanya Dani. (EL)

(sumber: www.gatra.com)

WHO budget cuts worry bird flu watchers

The World Health Organization’s ability to police the new strain of bird flu that has killed 27 people in China is being jeopardized by budget cuts, according to a top U.S. official.

“One of the things that, frankly, concerns us is the ability of WHO to respond effectively,” Dr. Thomas Frieden, director of the U.S. Centers for Disease Control and Prevention, told the Reuters Health Summit in New York on Monday.

Frieden said he planned to raise the issue with other countries at the World Health Assembly (WHA) meeting, which is being held in Geneva, where the U.N. agency has its headquarters, from May 20 to May 28.

Many scientific questions still have to be answered about the new flu strain, known as H7N9, which first caused patients to sicken in China in February having been previously unknown in humans.

So far, researchers have established it is being transmitted to people from birds – probably mostly chickens. There is no evidence of it spreading from person to person.

The WHO plays a central role in coordinating the global response to such emerging disease threats, but it is struggling in the face of budget cuts that were forced on it two years ago, partly as a result of a strong appreciation in the Swiss franc.

“They had trouble sending a team to China for H7 because they didn’t have enough money to travel,” Frieden said. “They are managing and we will help them manage – and will send staff there as needed – but the world needs them to be effective.”

Taiwan reported its first case of H7N9 on April 24 and health experts say it is critical to monitor closely the new strain’s potential to spread in neighbouring countries.

Dr. Keiji Fukuda, the WHO’s assistant director-general for health security, said the organization was carrying out the work that needed to be done but the operation, involving more than 50 staff, was “very expensive”.

“We need the gas tank to be full if the car is going to move. We’ve already been working with donors in terms of response and funds for support,” he said in a telephone interview in Geneva.

There will be a side event on H7N9 during the WHA meeting on May 21 where both Dr. Margaret Chan, WHO director-general, and he will speak, along with the Chinese health minister, Fukuda added.

The U.N. health agency, which helped eliminate smallpox in the late 1970s, co-ordinated worldwide efforts to deal with the H1N1 swine flu pandemic in 2009/10.

It receives the bulk of its funding in dollars, leaving it exposed to currency fluctuations. It was forced in 2011 to cut 300 jobs in Switzerland – or one in eight – because of the strength of the Swiss franc and financial problems in some donor countries.

“They’ve had to lay off hundreds of staff in Geneva and in other parts of the world, including in areas that are quite relevant to flu response,” Frieden said.

(source: www.sabc.co.za)

Peserta Lelang Alat Medis RS Cenderung Terbatas

6mei2

6mei2Jakarta, PKMK. Peserta lelang aset peralatan medis milik rumah sakit pemerintah di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta cenderung terbatas. Umumnya, peserta merupakan kalangan yang benar-benar mengetahui fungsi peralatan medis tersebut. Setelah dibeli, peralatan medis itu mungkin dijual lagi ataupun diperbaiki. Melalui proses ini, mereka benar-benar mengetahui pihak yang berminat membeli, ungkap M. Subagyo, Pejabat KPKNL Jakarta V di Jakarta (6/5/2012).

Subagyo menjelaskan pihaknya sering berupaya ekstra mendatangkan peserta. Dalam hal ini, pihak rumah sakit selaku pemilik aset diminta membantu mendatangkan peserta lelang. “Kalau kami kan kurang tahu persis tentang siapa yang kira-kira meminati peralatan medis. Terlepas dari itu, lelang tersebut seperti biasa juga diumumkan melalui surat kabar beberapa hari sebelumnya. Peminat harus membayar uang jaminan,” kata Subagyo.

Peralatan medis yang dilelang, biasanya memang yang sudah tidak ataupun kurang berfungsi. Maka dari itu, manajemen rumah sakit lantas mengusulkan agar itu dimasukkan sebagai aset yang dihapuskan, lantas dilelang. Ia pun berkata, peralatan medis tersebut sering dijual per paket. Dengan demikian, peralatan medis yang bernilai sangat rendah dan tidak bisa berfungsi, terdongkrak oleh yang masih berfungsi. Berbeda dengan semua itu, lelang aset non-peralatan medis milik rumah sakit pemerintah ataupun Kementerian Kesehatan biasanya lebih ramai. Misalnya, lelang aset mobil milik Kementerian Kesehatan diikuti banyak peserta, jumlah peserta lelang tersebut bisa mencapai ratusan orang, ungkap Subagyo.

WHO action plan update to be presented at Doha meet

An update of World Health Organisation’s action plan for the “Decade of Vaccines” focusing on the global status of immunisation will be presented at a conference to be held in Qatar from December 4-7.

The presentation will be made by Dr Thomas Cherian, WHO’s programme and impact monitoring co-ordinator, Excellence in Paediatrics Institute announced yesterday.

The conference is being sponsored by Sidra Medical and Research Centre, a member of Qatar Foundation for Education, Science and Community Development.

The global vaccine action plan (GVAP) was endorsed by the 194 member-states of the WHO in 2012 to achieve the ‘Decade of Vaccines’ vision by delivering universal access to immunisation. The GVAP’s mission is to improve health by extending the full benefits of immunisation to all people, regardless of where they are born, who they are or where they live by 2020.

If the GVAP is translated into action and resources are mobilised, 24.6-25.8mn deaths could be averted by the end of the decade, billions of dollars in productivity will be gained, and immunisation will greatly contribute to achieving the Millennium Development Goal target to reduce by two-thirds the under-five mortality rate, the institute said.

The GVAP builds on the Global Immunisation Vision and Strategy 2006–2015, the United Nation’s Millennium Declaration and the UN Secretary-General’s Global Strategy for Women and Children’s Health.

Developing the plan has brought together multiple stakeholders involved in immunisation, including the leadership of the Bill and Melinda Gates Foundations, GAVI Alliance, Unicef and US National Institute of Allergies and Infectious Diseases.

All partners, including governments and elected officials, health professionals, academia, manufacturers, global agencies, development partners, civil society, media and the private sector, are committed to achieving the ambitious goals of GVAP.

Sidra, who has been working to improve the provision of healthcare for women and children in Qatar, region and internationally, supports the goals of GVAP.

“At Sidra, the focus is not only on ensuring an unparalleled patient experience within the hospital, but improving the individual’s overall wellbeing before they even arrive at our doors. Vaccination is essential in disease prevention and I am looking forward to Dr Cherian’s update on WHO’s action plan for the Decade of Vaccines,” Sidra’s chief medical officer Dr Edward Ogata said.

(source: www.gulf-times.com)

Toxic Waste Hurting Health Of People In India, Indonesia And The Philippines

Toxic waste sites with elevated levels of lead and chromium cause a high number of “healthy years of life lost” in individuals living near 373 sites located in India, the Philippines and Indonesia, according to a study by a Mount Sinai researcher published online in Environmental Health Perspectives.

The study leader, Kevin Chatham-Stephens, MD, Pediatric Environmental Health Fellow at the Icahn School of Medicine at Mount Sinai, presented the findings today at the Pediatric Academic Societies (PAS) annual meeting in Washington, DC. “Lead and hexavalent chromium proved to be the most toxic chemicals and caused the majority of disease, disability and mortality among the individuals living near the sites,” said Dr. Chatham-Stephens, first author of the study.

The study titled, “The Burden of Disease from Toxic Waste Sites in India, Indonesia, and the Philippines in 2010,” was a joint research partnership between Mount Sinai and the Blacksmith Institute. Eight chemicals were sampled and collected at the toxic waste sites in 2010. The samples were then measured for pollutant levels in the soil and water and then compared with the 8,629,750 individuals who were at risk of exposure around these sites in order to calculate the loss of years of equivalent full health.

Researchers calculated healthy years of life lost due to ill-health, disability or early death, in disability-adjusted life years (DALY), a measure of overall disease burden used by the World Health Organization. One DALY represents the loss of one year of equivalent full health. In this study, the total number of lost years of full health or DALYs was 828,722. In comparison, malaria in the same countries caused 725,000 lost years of full health, and outdoor air pollution caused 1.4 million lost years of full health in 2008, according to Dr. Chatham-Stephens.

“The number of DALYs estimated in our study potentially places toxic waste sites on par with other major public health issues such as malaria and outdoor air pollution which are also causing a high number of healthy years of life lost,” said Dr. Chatham-Stephens. “This study highlights a major and previously under-recognized global health problem in lower and middle income countries,” said Philip Landrigan, MD, MSc, Dean for Global Health at the Icahn School of Medicine at Mount Sinai and one of the authors of the study. “The next step is targeting interventions such as cleaning up the sites and minimizing the exposure of humans in each of these countries where toxic chemicals are greatly present.”

Additionally, children and women of child-bearing age made up two-thirds of the population in the study. “If a woman is pregnant, the fetus may be exposed to these toxic chemicals,” said Dr. Chatham-Stephens. “This data is relevant because the prenatal to early childhood period is the time when individuals are very vulnerable to some toxic exposures, such as lead’s impact on the developing nervous system.”

Previous studies have shown that lead can cause neurological, gastrointestinal and cardiovascular damage, while those also exposed to high levels of chromium have a greater chance of developing lung cancer. “Our research shows that chemical pollutants from toxic waste sites are insufficiently studied in lower and middle income countries and that disease and death caused by these chemicals can contribute to loss of life,” said Dr. Chatham-Stephens.

(source: www.countercurrents.org)

Indonesia Waspadai Masuknya Virus Corona dari Arab Saudi

Jakarta – Kementerian Kesehatan meningkatkan kewaspadaan bagi kemungkinan masuknya virus corona di Indonesia setelah Arab Saudi kembali mengumumkan adanya korban tewas akibat virus tersebut.

“Sebagai kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya penyakit ini ke Indonesia maka kami telah membuat surat edaran ke Dinas Kesehatan dan KKP seluruh Indonesia,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Sabtu (4/5).

Surat edaran tentang peningkatan kewaspadaan Novel Corona Virus tanggal 3 Mei 2013 itu melanjutkan surat edaran sebelumnya perihal kewaspadaan virus corona baru tanggal 13 Februari 2013.

Pada tanggal 1 Mei 2013 lalu The National IHR Focal Point dari Arab Saudi telah melaporkan ke WHO adanya tujuh kasus baru infeksi virus corona pada rumah sakit di provinsi bagian timur Saudi Arabia dengan lima kasus diantaranya meninggal dunia dan dua kasus dalam kondisi kritis.

“Ini laporan kasus yang baru muncul sesudah beberapa waktu tidak ada kasus baru,” kata Tjandra.

Sejak bulan September 2012 sampai dengan tanggal 1 Mei 2013, WHO telah mendapatkan informasi jumlah total kasus konfirmasi Novel Corona Virus (nCoV) sebanyak 24 kasus, dengan 16 kasus meninggal dunia atau tingkat “case fatality rate” (CFR) yang cukup tinggi sebesar 66,66 persen.

Sementara itu, Dinas Kesehatan dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) diseluruh wilayah Indonesia diminta untuk meningkatkan surveilans terhadap kasus Severe Acute Respiratory Infection (SARI) yang mungkin ditemukan di masyarakat khususnya pada kasus klaster.

Surat edaran Dirjen P2PL itu juga meminta agar ada peningkatan kewaspadaan di Rumah Sakit untuk semua kasus SARI yang tidak jelas penyebabnya dan harus ditangani dengan seksama serta dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Sedangkan KKP diminta untuk melakukan pengamatan bagi seluruh orang (kru dan penumpang) yang memiliki gejala demam, batuk, dan kesulitan bernapas di bandara maupun pelabuhan.

Tjandra juga meminta jemaah umrah di Arab Saudi untuk selalu menjaga kesehatan dan segera mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan bila menderita penyakit dengan gejala seperti tersebut di atas, serta selalu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) termasuk cuci tangan pakai sabun (CTPS).

Masyarakat juga diharap untuk dapat melaporkan kepada Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan bila menemukan kasus dengan gejala seperti tersebut diatas melalui sarana POSKO KLB.

“Saya juga terus berkoordinasi dengan WHO Jenewa dan WHO Jakarta untuk mengetahui perkembangan situasi epidemiologis virus novel ini,” kata Tjandra.

(sumber: www.beritasatu.com)

Kemensos Siapkan Rp 200 Miliar untuk Rumah Sehat

Jakarta:Kementrian Sosial anggarkan Rp 200 miliyar untuk membangun 20.000 rumah layak huni di 33 provinsi di Indonesia.

Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri mengatakan hingga saat ini sudah ada 5.000 rumah yang mendapat bantuan masing-masing senilai Rp 10juta. Salim mengatakan dana tersebut digunakan untuk membangun rumah baru sekaligus sarana prasarana.

“Kita targetkan ada 100.000 rumah yang terbangun. Dana lainnya bisa berasal CSR (Corporate Sosial Responsibility) , masyarakat, donatur lokal maupun internasional ,” kata Salim, usai meresmikan SDN 01 Blongkeng di Kecamatan Ngeluwar, Magelang, Ahad 5 Mei 2013.

Salim mengatakan dana Rp 10 juta memang tidak cukup untuk membangun rumah apalagi membayar buruh. Ia berharap rumah ini bisa dibangun oleh relawan masyarakat sehingga bisa memupuk gotong royong.

Ia melanjutkan Kemensos juga menganggarkan Rp 5,5 triliun untuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Dana tersebut untuk perawatan anak-anak terlantar,penyandang disabilitas, anak jalanan, dan lainnya.

Wakil Bupati Magelang, Zaenal Arifin mengatakan dana bantuan rumah dari Kemensos direspon positif oleh masyarakat. Hingga saat ini, sudah ada 500 proposal dari warga masyarakat yang mendaftarkan diri.

“Proposal tersebut akan diverifikasi terlebih dahulu oleh tim yang kami bentuk. Kami akan mengadakan survey di lapangan untuk menentukan apakah layak atau tidak. Tidak ada unsur kepentingan apapun dalam verifikasi, ” kata Zaenal.

Ia mengatakan target bantuan rumah layak huni di Kabupaten Magelang pada 2013 sekitar 300 rumah. Kriteria rumah yang akan dibantu diantaranya rumah berukuran sangat kecil dan keadaan ekonomi yang lemah.

(sumber: www.tempo.co)

Beasiswa Dokter Perlu Diiringi Sentralisasi

Jakarta, PKMK. Rencana Pemerintah Indonesia memberikan beasiswa dan ikatan dinas kepada dokter yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran, secara teoritis lebih mendukung pemerataan distribusi dokter di Indonesia. Meskipun begitu, yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan hal itu dalam masa desentralisasi pemerintahan Indonesia. Sebab, dalam Undang-undang Otonomi Daerah, disiratkan bahwa yang menggaji dokter adalah Pemerintah Daerah. Tatkala Pemerintah Pusat menempatkan dokter di pelosok namun pemerintah disana tidak memiliki anggaran untuk menggaji, tentu menimbulkan kesulitan tersendiri, dr. Kartono Mohamad, pengamat kesehatan di Jakarta (4/5/2013)

Demi memperbaiki tidak meratanya distribusi itu, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia perlu direvisi, dari desentralisasi menjadi lebih terpusat. “Jadi, yang perlu ada bukan hanya beasiswa dan ikatan dinas itu. Namun juga mengkaji kembali desentralisasi pelayanan kesehatan,” kata mantan ketua umum Ikatan Dokter Indonesia itu. Secara teoritis, beasiswa dan ikatan dinas itu bisa dijalankan di Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, Pemerintah Indonesia juga pernah memberikan hal serupa. Tapi saat itu, jumlah fakultas kedokteran se-Indonesia hanya dua sehingga peminat beasiswa tidak banyak. “Kalau sekarang, jumlah fakultas kedokteran kan sudah sekitar 70-an,” kata Kartono.

Jika nantinya diberikan lagi, beasiswa dan ikatan dinas itu harus diberikan selektif. Penerimanya harus sungguh-sungguh diseleksi. Kemudian, waktu ikatan dinas tersebut harus lebih lama. Bukan sekadar enam bulan ataupun dua tahun seperti yang kini diberikan ke dokter pegawai tidak tetap (PTT). “Mahasiswa kedokteran dibiayai Pemerintah Indonesia selama pendidikan dan dia membayar utangnya berupa ikatan dinas yang cukup lama dengan rumus tertentu,” Kartono mengatakan. Hal yang jelas, nantinya peminat beasiswa dan ikatan dinas tersebut bisa banyak. Pelajar pintar namun berkemampuan ekonomi rendah akan banyak mengincar fasilitas tersebut. Hal ini mengingat biaya pendidikan di fakultas kedokteran yang mahal, ujar Kartono.