APLI Tidak Temui Suplemen Kesehatan Tanpa Izin Edar

Jakarta, PKMK. Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) sejauh ini tidak menemukan suplemen kesehatan yang dipasarkan perusahaan MLM (multilevel marketing) sebelum izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) keluar. Sejumlah persyaratan dikenakan APLI ke perusahaan MLM yang akan mengedarkan produk, pemantauan berkala pun dilakukan, ungkap Djoko Komara, Wakil Ketua Umum APLI (23/4/2013). APLI secara berkala mengaudit rencana pemasaran, izin edar produk, dan kode etik dari perusahaan MLM. Pengarahan tentang pentingnya izin edar produk diberikan ke perusahaan MLM. “Kiat dan cara mengurus izin edar produk kami berikan juga,” kata Djoko. Perusahaan MLM yang ingin menjadi anggota APLI harus terlebih dulu melampirkan salinan izin edar produk. Jadi, sebelum mendapatkan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL), perusahaan MLM harus terlebih dulu mempunyai izin edar itu.

Bisakah dikatakan bahwa penjualan sebelum izin BPOM keluar itu dilakukan perusahaan MLM non-anggota APLI? Joko menerangkan APLI tidak mau berspekulasi tentang hal itu sebelum mendapatkan fakta langsung dari lapangan. Menurut informasi yang dihimpun wartawan situs ini, sebagian perusahaan MLM diduga memasarkan produk suplemen kesehatan saat izin dari BPOM belum keluar. Produk tersebut ada secara terbatas untuk dipasarkan para leader. Itu untuk sejumlah keperluan seperti tes ke pasar dan lain-lain. Seorang mantan petinggi perusahaan MLM menjelaskan, dengan begitu, perusahaan MLM memperoleh keuntungan. Antara lain, saat produk diluncurkan secara resmi, sudah ada testimoni dari pengguna sebagai alat promosi. Jadi, penetrasi produk ke pasar bisa dipercepat. Terkadang, saat produk tersebut sudah waktunya diluncurkan resmi sementara izin belum keluar, proses pemasaran secara sembunyi-sembunyi itu diteruskan. Hal tersebut terjadi karena sebelumnya perusahaan sudah mengeluarkan biaya pemasaran dan promosi. Maka, untuk menjaga kepercayaan konsumen, penjualan terbatas dan diam-diam itu diteruskan.”

Produk seperti itu biasanya merupakan produk pendamping, bukan produk utama. “Cara impor pun diam-diam yaitu disisipkan. Biasanya, 5 persen dari isi container shipping adalah produk sisipan yang belum punya izin,” kata dia. Ia pun menjelaskan, pelanggaran tersebut juga karena proses izin dari BPOM yang terlalu lama. Saat ini, tumpukan produk yang didaftarkan untuk diuji di BPOM sangat banyak. Proses keluarnya izin sebuah produk suplemen memerlukan waktu berbulan-bulan. Kalangan lain membenarkan proses izin yang terlalu lama tersebut. Hal tersebut dirasakan mengganggu kecepatan penetrasi bisnis perusahaan MLM. Adapun seorang manajer perusahaan MLM mengatakan, pihaknya tidak ingin memasarkan produk sebelum izin dari BPOM keluar. “Kami pilih menunggu izin itu benar-benar sudah keluar, bukan masih dalam proses,” kata dia.

World Health Organization Says Bird Flu Is Not Spreading Via Person-To-Person

Though the bird flu seems to be spreading amongst families in China, a top World Health Organization expert said there is no evidence that H7N9 is spreading in a “sustained” way.

On March 31, China announced that the virus was discovered in humans for the first time. There were 21 confirmed deaths and 104 confirmed cases by Monday.

The fear is that the virus will mutate and become transmissible between humans, triggering a pandemic.

But for now, there seems to be no evidence of human-to-human transmission.

Keiji Fukuda, assistant director general for health security and environment at WHO, said they have spent the last three days meeting government officials in Shanghai and visiting the agricultural market.

Officials acknowledged that certain “family clusters” exist, where members of one family become infected, but they are saying this is not related to human-to-human transmission.

Fukuda said it is “not clear why we have these small clusters.”

He said there are certain families where more than one person contracted the flu and likely caught it from animals.

“With other avian influenza viruses we have seen where you can have limited, person-to-person transmission, so there’s always the possibility,” he said.

The difference between “sustained” transmission and “limited” transmission is that limited transmission happens between family members or medical personnel caring for the ill, but no one else.

Many cases in Shanghai are the limited type, including a man who contracted the virus from his father and a man whose wife had the flu.

“Family clusters in general do not change our understanding of the characteristics of the disease,” Feng Zijan said.

“It is still passed from poultry to people and there is no evidence of human-to-human.”

(source: www.opposingviews.com)

RSCM Belum Dapat Kejelasan Kedatangan Bayi Edwin

Jakarta, PKMK. Manajemen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, sampai saat ini belum memperoleh kejelasan tentang pemindahan bayi Edwin Sihombing (2,5 bulan) dari Rumah Sakit Harapan Bunda (Jakarta Timur). RSCM belum menerima surat rujukan dari manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda. “Sejak Jumat lalu, kami memang mendengar bahwa bayi tersebut dirujuk ke sini. Tapi kami belum mendapat waktu pasti untuk itu,” ujar Wiwin Winarsih, seorang staf hubungan masyarakat RSCM (22/4/2013). Pada prinsipnya RSCM siap merawat bayi tersebut sampai sembuh. “RSCM kan tidak pernah menolak pasien,” Wiwin menambahkan. Lebih jauh ia mengatakan, mungkin saja saat ini perpindahan bayi Edwin ke RSCM masih dalam proses administrasi di Rumah Sakit Harapan Bunda. Termasuk di dalamnya adalah perundingan tentang biaya apa saja yang ditanggung oleh manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda.

Ia lantas meminta agar wartawan situs ini menghubungi direksi rumah sakit buat penjelasan lebih lanjuat. “Silakan mengirimkan dulu surat permintaan wawancara via faksimil.” Berdasarkan pengamatan, sepanjang siang tadi, tidak terlihat ada kesibukan ekstra terkait pemindahan bayi Edwin ke RSCM. Wartawan pun tidak banyak terlihat di rumah sakit besar tersebut. Edwin adalah bayi yang satu jarinya diamputasi setelah dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda. Orang tua Edwin menyatakan bahwa tindakan itu dilakukan tanpa izin keluarga. Akhir pekan lalu, dalam perundingan selama beberapa jam, ada kesepakatan bahwa manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda akan merujuk Edwin ke RSCM; juga menanggung seluruh biaya perawatan.

Angka Aduan Konsumen Kesehatan YLKI Rendah

22apr

22aprJakarta, PKMK. Dalam tiga tahun terakhir, angka pengaduan konsumen layanan kesehatan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) rendah. Hanya ada lima sampai tujuh pengaduan per tahunnya. Adapun total angka pengaduan di tahun 2012 sebanyak 602, ungkap Sudaryatmo, Ketua YLKI di Jakarta (22/4/2013). Pihak yang diadukan tersebut bervariasi, ada konsumen ataupun pasien yang mengadukan hal yang berhubungan dengan persoalan medis seperti dokter, rumah sakit, dan lain-lain. Ada pula pengaduan nonmedis seperti soal keamanan lingkungan rumah sakit. Di sini, keluarga pasien mengadu karena kehilangan telepon genggam saat membesuk. Selanjutnya, muncul pula pengaduan terkait nilai tagihan dari rumah sakit. Ada tagihan tentang jasa konsultasi dengan dokter spesialis. Sementara, pasien merasa tidak pernah mendapatkan hal itu. “Ternyata, konsultasi itu dilakukan perawat via telepon dan pasien dikenai biaya tersebut,” ungkap Sudaryatmo.

Satu persoalan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia adalah buruknya komunikasi antara dokter dengan pasien. Meskipun begitu, sekarang di kota besar pasien sudah memiliki keberanian untuk banyak bertanya ke dokter. Sementara dokter, walau tidak diminta sudah lebih banyak menjelaskan hasil diagnosis, alternatif tindakan medis, risiko, dan biayanya. “Dokter sering sudah menginformasikan semua itu dari awal,” tambah Sudaryatmo. Ia mengatakan bahwa rendahnya angka pengaduan konsumen kesehatan disebabkan sejumlah faktor. Beberapa diantaranya yakni kebiasaan mengadu yang rendah; tidak tahu harus mengadu kemana karena tidak semua penyedia jasa kesehatan menyediakan sarana untuk itu; dan baru mengadu jika sudah merasakan penderitaan parah. “Kalau kenyataannya, YLKI meyakini bahwa angka keluhan konsumen lebih banyak daripada yang masuk,” tambahnya. Sebenarnya, saat konsumen tidak mendapatkan informasi lengkap dari dokter ataupun rumah sakit, haknya sudah dilanggar. Juga, saat apoteker sekadar melayani pembelian tanpa menjelaskan tentang obat yang dibeli, hak konsumen sudah dilanggar.

Kemkes Akan Rilis Vaksin Baru Imunisasi

Jakarta – Mulai Juni tahun ini, Kementerian Kesehatan (Kemkes) akan memperkenalkan vaksin baru untuk paket imunisasi dasar lengkap.

Hal ini bertujuan untuk mempercepat angka kematian bayi dan anak dalam rangka mencapai Millenium Development Goals (MDGs) 2015.

Vaksin baru tersebut adalah vaksin pentavalent (DPT/HB/Hib), yang menggantikan vaksin DPT-HB. Vaksin Haemophilus influenza tipe b (Hib) diberikan dalam vaksin kombinasi DPT/HB/Hib pada usia yang sama dengan pemberian vaksin DPT/HB. Vaksin ini berguna untuk mencegah penyebaran bakteri Hib di dalam darah (bakterimia), infeksi saluran nafas berat (pneumonia), dan radang otak (meningitis).

“Ada lima antigen sekaligus yang dijadikan satu di dalam satu vaksin ini, yakni untuk mencegah difteri, batuk rejan, tetaus, hepatitis B lanjutan, dan bakteri Hib,” kata Theresia Sandra Diah Ratih, Kepala Sub Direktorat Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemkes) dalam media workshop yang digelar Kemkes bekerjasama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Jakarta, Jumat (19/4).

Theresia mengatakan, pemerintah Indonesia baru hanya mampu menyediakan tujuh vaksin secara gratis. Di negara lain, lebih dari itu, bahkan ada yang mencakup hingga 12 vaksin, dan idealnya semua penyakit.

Hal ini, kata dia, karena keterbatasan anggaran pemerintah untuk mengitroduksi vaksin baru. Untuk hal tersebut, harus menghitung co-infeksi nasional, atau membandingkan efisiensi program imunisasi dengan intervensi lain, dan juga mempertimbangkan jumlah penyakit atau masalah.

Misalnya, harga vaksin rotavirus, penyakit yang menyebabkan diare, sebagai penyebab kematian terbesar pada anak mencapai Rp1 juta. Dengan jumlah anak setiap tahunnya sekitar 4 jutaan, maka dibutuhkan anggaran sekitar Rp 4 triliun. Sementara anggaran untuk imunisasi diperkirakan hanya sekitar Rp 600 miliar setiap tahun dari total anggaran Kemkes berkisar Rp30 triliunan.

“Karena itulah selain ada prioritas untuk vaksin, kami juga gencar kampanyekan program yang lebih cost effective yakni kebiasaan menjaga kebersihan dan mencuci tangan pakai sabun,” katanya.

Di sisi lain, kata dia, kesadaran masyarakat untuk imunisasi masih kurang. Kenyataannya, cakupan imunisasi lengkap anak Indonesia baru mencapai sekitar 87%.

Beberapa sekolah sebagai tempat pendidikan sekaligus komunitas anak, guru, dan orang tua, bahkan belum mendukung program imunisasi.

Terutama sekolah swasta di kota besar, yang menolak imunisasi dengan berbagai alasan, seperti orang tua siswa keberatan dan komplain ke guru karena setelah diimunisasi anaknya jatuh sakit, dan lainya.

Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Soedjatmiko mengatakan, cakupan imunisasi di Indonesia masih rendah dibanding negara lain, karena kurangnya pemahaman, dan masyarakat mudah terprovokasi.

Masyarakat masih termakan mitos yang secara penelitian ilmiah bertentangan dan keliru.

Di antaranya imunisasi diisukan sebagai upaya kelompok Yahudi dan Amerika Serikat untuk melemahkan anak-anak Muslim.

Kenyataannya, sampai saat ini 194 negara yang secara rutin melaksanakan imunisasi. Termasuk di dalamnya, negara Muslim, seperti Arab Saudi, Malaysia, Mesir, dan negara maju dengan status gizi dan layanan kesehatan sangat baik, seperti Jepang, Amerika Serikat, Israel, Perancis, Belanda, Libia.

Cakupan di negara-negara itu bahkan mencapai lebih dari 90%. Artinya, sebanyak itu pula anak-anak mereka terlindungi dari wabah penyakit.

Sementara cakupan Indonesia hampir sama dengan negara miskin dan status gizi buruk, seperti Nigeria, yakni sekitar 80%.

“Ironisnya Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar, memiliki jumlah anak terbanyak, masalah gizi dan beragam penyakit dengan fasilitas kesehatan masih kurang, tetapi imunisasinya kurang,” katanya.

Ia mengatakan, sampai saat ini belum ada negara yang melarang imunisasi, justru semuanya berusaha meningkatkan cakupan lebih dari 90%.

(sumber: www.beritasatu.com)

Tanggungan RS untuk Bayi Edwin Harus Diperjelas

Jakarta, PKMK. Sejauh mana tanggungan perawatan dari manajemen RS Harapan Bunda (Jakarta) terhadap bayi Edwin Sihombing sebaiknya diperjelas. Sebab, usai jari Edwin diamputasi tanpa izin orang tuanya, ada beberapa tahap yang harus dijalani dalam penyembuhan. “Apakah penjaminan biaya perawatan Edwin hanya sampai tahap sembuh? Atau sampai ke berfungsinya jari seperti orang normal?” ungkap dr. Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (19/4/2013). Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, disebutkan bahwa konsumen (pasien) berhak mendapatkan info yang benar, jelas, dan jujur. Maka, manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda harus memperjelas: tanggungan biaya perawatan tersebut sampai di mana?

Bila manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda menjamin sampai tahap pemulihan fungsi jari, bisa dikatakan sepenuh hati berniat baik pada bayi 2,5 bulan tersebut. “Tapi yang jelas, proses pemulihan fungsi jari itu harus menanti dia besar. Kalau dia sudah besar, dibuatkan protesa yang menyerupai jari. Tidak mungkin dia dibuatkan protesa sekarang sebab nanti ada satu jari yang lebih panjang.” Apakah dengan kesepakatan yang telah ada, peristiwa ini tidak perlu berlanjut ke ranah hukum? Jawab Marius, itu tergantung ke implementasi kesepakatan. Bila wanprestasi terjadi, keluarga Edwin bisa menempuh jalur hukum.

Apakah model kesepakatan tersebut bisa digunakan untuk peristiwa malpraktek lain di Indonesia? Marius menerangkan kisruh seperti itu lebih disebabkan Indonesia mempunyai undang-undang yang tidak dilengkapi peraturan pemerintah yang memadai. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan seharusnya memiliki sekitar 30 peraturan pemerintah, tapi kini hanya ada dua. Kemudian, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit kini tidak memiliki peraturan pemerintah. Hal yang lebih miris, sampai kini Indonesia tidak punya standar pelayanan medik nasional. Namun yang janggal, ada Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Audit Medik, padahal standar pelayanan medik nasional tidak ada. “Nah, materinya ada, tapi apa yang harus diaudit wong standarnya tidak ada,” ucap Marius sambil tertawa ringan.

Around 600,000 Indonesians Seek Medical Treatment Abroad

MAKASSAR, Indonesia, April 18 (Bernama) — An average of 600,000 Indonesians seek medical care overseas annually, according to Health Minister Nafsiah Mboi.

“Therefore, we need to have more hospitals of WHO or international standard to enable us to serve patients in the country,” Indonesia’s Antara quoted the minister as saying here on Wednesday.

She urged hospitals to improve medical services in accordance with operational standards.

Hospitals must provide safe, friendly and non-discriminative services in order to avoid complaints, she stated.

At present, South Sulawesi Province has 75 hospitals and the ratio of hospital beds to population is 1.7 per 1,000, which is above the criteria of WHO at one per 1,000.

Meanwhile, in the Indonesian health ministry’s strategic plan 2010-2014, at least five Indonesian cities to have world-class hospitals.

(source: www.bernama.com.my)

Muhammadiyah Ajukan Uji Materi Atas Pasal UU Rumah Sakit

18aprkki

18aprkkiJakarta, PKMK. Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi terhadap sejumlah pasal/ayat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pasal yang dimaksud diantaranya Pasal 7 Ayat 4, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 Ayat 5, Pasal 62, Pasal 63 Ayat 2 dan 3, dan Pasal 64 Ayat 1. Mereka menilai bahwa sejumlah pasal/ayat tersebut bertentangan dengan Pasal 28 ataupun Alenia Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. “Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan sepenuhnya,” ungkap Syaiful Bakhri, kuasa hukum Muhammadiyah, dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan (18/4/2013) di Jakarta.

Syaiful menyampaikan beberapa poin, yaitu keharusan bagi rumah sakit swasta untuk mempunyai badan hukum bidang perumahsakitan, telah mereduksi hak konstitusional pemohon sebagai persyarikatan. Sementara, pemohon berhak ikut menyehatkan masyarakat sebagai wujud amal usaha di bidang kesehatan. “Maka, Pasal 7 Ayat 4 Undang-undang Rumah Sakit berlawanan dengan Pasal 28 UUD 1945,” kata dia. Ia pun menyatakan, Pasal 7 Ayat 4 itu tidak mengakui hak bersyarikat dan berkumpul Muhammadiyah. Sementara, hak tersebut bahkan sudah diakui pra-kemerdekaan Indonesia. Pasal 7 Ayat 4 itu juga diskriminatif karena seluruh rumah sakit yang dimiliki pemohon harus meminta izin dari awal lagi. Pemohon berpotensi memperoleh kerugian bila sejumlah pasal dalam Undang-undang Rumah Sakit tidak dicabut. “Saat ini, sekitar 70 Rumah Sakit Muhammadiyah di Indonesia tidak mendapatkan perpanjangan izin dari Kementerian Kesehatan. Hal ini terjadi karena harus punya badan hukum perumahsakitan itu,” kata Syaiful.

Majelis Hakim Konstitusi meminta agar pemohon memperbaiki sejumlah materi gugatan. Antara lain, karena ada 22 orang pemohon, semuanya harus menandatangani gugatan, bukan hanya ditandatangani tiga orang. Majelis Hakim Konstitusi memberi waktu 14 hari untuk perbaikan tersebut. Lalu, akan diputuskan bisa atau tidaknya gugatan diteruskan ke sidang pleno. Sementara usai sidang, Syafig Mughni, Ketua Persyarikatan Muhammadiyah Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat, memberikan pernyataan kepada wartawan. Masyarakat selama ini berinfak untuk pengelolaan rumah sakit dan lembaga pendidikan di Muhammadiyah. Kalau pasal dan ayat itu tidak dicabut, aset Muhammadiyah bisa hilang. “Sebab, Persyarikatan Muhammadiyah kan tidak berbentuk badan hukum perumahsakitan,” tambahnya. Lanjut Mughni, pelayanan kesehatan Muhammadiyah bersifat sosial. Semua keuntungan dikembalikan ke masyarakat. Itu berlainan dengan perseroan terbatas yang 100 persen berorientasi keuntungan. Saat ini di seluruh Rumah Sakit Muhammadiyah ada rasa gamang dan ragu. Itu karena ada ancaman pencabutan izin bila tidak ada izin sebagai badan hukum perumahsakitan.

RS Siloam Dorong Makassar Sebagai Medical Tourism

Jakarta, PKMK – Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo berharap bahwa investasi rumah sakit oleh PT Lippo Karawaci menjadikan Makassar sebagai tujuan medical tourism di Indonesia Timur. Kerja sama Lippo Karawaci dengan masyarakat Sulawesi Utara diharapkan pula membangun komunitas yang lebih sehat. “Kami akan mendukung upaya medical tourism itu sepenuhnya,” ungkapnya saat pembukaan Rumah Sakit Siloam Makassar. Syahrul dalam keterangan pers yang menyatakan sejumlah hal yang menjadi kunci pengembangan layanan kesehatan di Indonesia Timur. Salah satunya adalah kerja sama yang telah dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makassar, dengan Grup RS Siloam.

dr. Grace Frelita, Direktur Global Quality Development Grup RS Siloam mengungkapkan: “Kami dengan gembira melaporkan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin telah meluluskan kurang lebih 10 dokter Siloam Group yang telah menyandang Ph. D.” Masih ada sekitar 20 orang dokter lagi yang menyusul. Itu semua adalah langkah awal dari kerja sama untuk mencakup pelayanan kesehatan kami di Indonesia Timur. Adapun dr. Gershu Paul, Chief Executive Officer RS Siloam menambahkan Makassar merupakan gerbang menuju ke Indonesia Timur dan telah berkembang menjadi wilayah menarik bagi wisatawan. “Visi kami adalah membangun satu pusat layanan kesehatan standar internasional,” ungkap Gershu.

Kerja sama RS Siloam dengan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin akan meningkatkan pasokan dokter spesialis. Saat ini, jumlah dokter spesialis di Indonesia Timur masih kurang. Seluruh elemen itu akan menguatkan status Makassar sebagai pintu gerbang ke Indonesia Timur. Paulus Pandiangan, Manajer Public Relation PT Lippo Karawaci menjelaskan, RS Siloam Makassar menelan investasi senilai USD 48 juta. “RS Siloam Makassar adalah satu dari 13 rumah sakit yang dioperasikan Grup Siloam Hospitals. Dan akan jadi penentu pertumbuhan jaringan di Indonesia Timur seperti Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua,” kata mantan editor di Majalah Swa tersebut.

Seluruh RS Jakarta Ditargetkan Terakreditasi Tahun 2014

Jakarta, PKMK. Seluruh rumah sakit (RS) di Jakarta diharapkan telah terakreditasi di tahun 2014. Saat ini, yang telah mendapatkan akreditasi adalah 76 dari 153 RS di Jakarta. “Jadi, saat ini yang sudah terakreditasi sekitar 49 persen,” ucap Dien Emawati, Ketua Dinas Kesehatan DKI Jakarta, di Jakarta (17/4/2013). Masyarakat semakin kritis dalam menilai mutu pelayanan kesehatan dewasa ini, khususnya yang disajikan oleh RS. “Maka, pelatihan akreditasi bagi manajemen RS sangat penting,” ucap Emawati. Dengan pelatihan akreditasi, seluruh SDM di RS diharapkan benar-benar mengetahui standar pelayanan pasien. Alhasil, kasus malpraktek bisa semakin berkurang. “Pelatihan akreditasi RS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995. Itu dimulai dari akreditasi terhadap lima pelayanan dan berlanjut kepada 16 pelayanan,” tambah Emawati.

Sementara, Wakil Gubernur Propinsi DKI Jakarta Basuki T. Purnama (Ahok) menambahkan, pelatihan akreditasi memang sangat vital bagi RS di Indonesia. “Apalagi, di Jakarta sekalipun, RS yang sudah terakreditasi sekarang masih di bawah 50 persen,” ungkapnya. Pasien kelas atas dari Indonesia saat ini masih banyak yang meninggal di RS di Singapura. “Itu sebuah ironi karena sebenarnya peralatan medis RS kita lebih baik daripada di Singapura,” ucap Ahok. Banyaknya pasien kelas atas yang berobat di Singapura terkait tingkat kepercayaan yang relatif rendah terhadap pelayanan RS di Indonesia. “Anak saya pernah diharuskan mertua berobat ke Singapura. Ternyata di sana tidak perlu di-opname dan boleh pulang. Kalau ditangani RS kita, jangan-jangan harus rawat inap,” kata Ahok. RS tidak boleh menutupi adanya kejadian tidak terduga. Kejadian seperti itu harus dilaporkan secepat mungkin. “Untuk soal seperti itu, memang RS di Jakarta belum terlalu bagus. Padahal peralatan komunikasi kan sekarang banyak sehingga informasi seharusnya mengalir cepat,” Ahok menegaskan.