Kimia Farma Incar Tambahan Pendapatan dari BPJS

Jakarta, PKMK. Pérusahaan farmasi yang mayoritas sahamnya milik Pemerintah Indonesia, PT Kimia Farma, mengincar pendapatan tambahan dari berlangsungnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di tahun 2014. Pendapatan tersebut berlangsung dari sejumlah lini bisnis, antara lain dari penjualan obat generik, Kimia Farma menargetkan pendapatan Rp 1,2 triliun di tahun 2014. Demikian rangkuman percakapan via telepon hari ini (17/4/2013) dengan Djoko Rusdianto, Corporate Secretary PT Kimia Farma. Djoko mengatakan, pada tahun 2012, pendapatan Kimia Farma dari penjualan obat generik di kisaran Rp 80 miliar sampai Rp 400 miliar. Itu setara dengan 40 persen total pendapatan di tahun itu. “Dengan demikian, pendapatan Rp 1,2 triliun dari obat generik di tahun 2014 adalah kenaikan tajam,” kata Djoko.

Menyongsong beroperasinya BPJS Kesehatan, Kimia Farma pun berusaha meningkatkan jumlah apotek yang dimilikinya. Tahun ini, Kimia Farma menargetkan 66 apotek berdiri sebagai penyaji layanan one stop solution. Djoko menambahkan, di tahun 2015 jumlah tersebut diharapkan menjadi seribu unit. Lebih lanjut Djoko berkata, untuk penambahan apotek itu, Kimia Farma bekerja sama dengan sejumlah pihak. Pendirian apotek bisa melalui kerja sama operasi ataupun waralaba dengan pihak lain. Sementara untuk tenaga medis, telah ada kerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dengan konsep apotek one stop solution, pasien dimudahkan dalam layanan kesehatan. Sebab, di situ ada layanan penjualan obat, pemeriksaan oleh dokter di klinik, optik, konsultasi obat, dan lain-lain. “Pasien BPJS dilayani dengan tarif yang ditentukan Pemerintah Indonesia. Sedangkan pasien di luar BPJS dilayani dengan tarif umum,” Djoko menjelaskan. Kini Kimia Farma juga meningkatkan kapasitas produksi obat, dalam hal ini Kimia Farma membuat sejumlah pabrik baru. “Itu terutama untuk produksi obat generik terkait berjalannya BPJS Kesehatan,” ucap Djoko.

Ahok Usulkan Alat Medis Bebas PPn BM

Jakarta, PKMK. Basuki T. Purnama (Ahok), Wakil Gubernur DKI Jakarta menyampaikan bahwa pihaknya telah mengusulkan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) pada alat medis. Pertimbangan usulan itu, alat medis tidak bisa dikategorikan sebagai barang mewah. “Jika peralatan operasi jantung digunakan untuk menolong pasien, masa’ digolongkan sebagai barang mewah,” ungkap Ahok saat membuka Pelatihan Akreditasi Rumah Sakit Terbaru di Jakarta (17/4/2013). Usulan itu disampaikan Ahok saat rapat membahas rencana kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) subsidi dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan para menteri berlangsung. “Saya menyampaikan usulan itu ke Bu Wakil Menteri Keuangan Ani Ratnawaty” kata Ahok. Kemudian, usulan itu sudah dicatat oleh Menteri Koordinator Perekonomian RI M. Hatta Rajasa.

Ahok mengharapkan, proses perumusan usulan itu menjadi regulasi dan tidak terlalu lama. “Kalau di Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, perlu waktu seminggu untuk keluarnya aturan tersebut. Ya kita harapkan saja aturan pembebasan PPn BM itu keluar dengan cepat,” kata mantan bupati Kabupaten Belitung Timur itu. Dalam kesempatan yang sama, Ahok juga mengatakan bahwa dokter dan tenaga medis yang lain selaiknya digaji tinggi. Hal itu terjadi karena profesi tersebut terkait dengan keselamatan manusia. “Kalau pengemudi TransJakarta kami bayar tiga kali lipat upah minimum propinsi (UMP), ya mengapa pula dokter tidak digaji lebih dari itu?”. Ia menegaskan, bila dalam bertugas para dokter masih memikirkan kebutuhan yang belum terpenuhi, tentu masyarakat sulit mengharapkan kepedulian yang lebih tinggi. Program Dokter Keluarga dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memberikan imbalan yang laik untuk dokter umum. “Satu dokter menangani 3.000 orang dan imbalannya Rp 7.000 per orang. Juga, kalau yang berobat sedikit, dokter tetap dibayar untuk pelayanan 3.000 orang itu,” ucap Ahok.

Meet the New Strain of Flu: H7N9

Without a doubt, Stephen King is one of the most recognized names in literature and he has become the focus of both academic courses and even graduate theses. His books are almost guaranteed to make the bestseller list but only a few have become legendary, sticking in the memories of those who have read his fictionalized passages and the curiosity of those who have yet to read his tomes.

His books also have a striking similarity to strains of the flu and how they affect public health.

Each year, the influenzavirus circles around the globe, infecting between five and 15% of the global population, causing millions to suffer from the classical symptoms of respiratory problems, fever, chills and aches.

Sadly, between 250,000 and 500,000 individuals die. These viruses, which usually take the names H1N1 or H3N2 are known as seasonal strains. They have a bestseller — or best infecter — status as they occupy our worries and the headlines for a short period of time, usually around the fall and winter months but then with the coming of summer, disappear from the public mindset.

Occasionally, a new strain emerges with an unexpected ferocity leading to unspeakable consequences. These iconic strains, more appropriately coined best killers, can lead to fear and even panic amongst the masses. The most renowned of these is the 1918 strain of influenza, the Spanish flu. This version of the virus led to between 20-50 million deaths and sent the entire world into a panic not seen since the days of the Black Plague, which was killing at a rate of 200 people per day. The effect on humanity was immense and was akin to turning the fiction of one of King’s greatest works, The Stand, into reality.

More recently, the pandemic of 2009, caused by the ignobly named Swine Flu also took the world by storm although its effect was significantly less dramatic. While this strain kept the public worry high for over a year, when all the analysis was completed, it had done little more than a best-infecter. As such, it has all but disappeared from the public discussion while 1918 continues to spark engaging conversation — at least amongst microbiologists.

Now a new set of flu strains have emerged, revolutionizing the way we look at these viruses. Rather than being one-time bestsellers or gaining that ever elusive legendary status, these strains have relatively little impact on public health yet somehow manage to sustain their prevalence in the public eye; they are best persisters. Like King’s Carrie, which seems to pop up every decade and maintain its status as a book to be read and remembered, these particular strains become household names though they not as striking as their seasonal or pandemic counterparts.

The benchmark was H5N1, which appeared in Hong Kong in 1997 and led to 18 infections and 6 deaths. The virus was not only new, it was unexpected and caught the world by surprise. Thankfully, the virus could not be spread from person to person, making the likelihood of a killer pandemic unlikely.

Over the last 16 years, however, H5N1 has made sporadic appearances worldwide, killing only a handful of people at any given time. Yet each appearance brings back the media and the worry. While there is no reason for panic, the concern remains at a steady level as we wait to see whether this persister will eventually become a killer.

Now another new strain of influenza has emerged, H7N9, which at the moment is proving to be a potential best killer. The epidemic, which is centred in the eastern areas of China is continuing with dozens of confirmed cases, and about 20% perishing. The numbers are expected to rise as is the general panic in the public.

But this reaction may be far too premature and H7N9 may have a different fate. There are few indications that this strain will lead to a pandemic highlighted by the fact that there are no confirmed cases of human to human transmission, much like H5N1. Without this ability, there can be no pandemic. As we are seeing right now, there exists an opportunity for officials to work together to stop the tide before the situation gets worse. And it is exactly what they are doing with relative success. Within a month, the H7N9 epidemic may be a thing of the past.

However, that doesn’t mean that H7N9 is gone for good. This virus also has all the markings of a best persister. Much like H5N1, infections appear to be linked to migratory birds . If this is the case, then the virus will most likely spread to Hong Kong and eventually to other countries including Vietnam, Indonesia and Egypt. The cases will most likely be sporadic and not lead to a large number of infections or deaths but because of its potential, it will occupy the headlines and citizen concern for years and maybe decades to come.

Much like any new offering from Stephen King, which requires time to determine its place in his legacy, the new H7N9 flu requires more than just a few weeks to determine its place in the historical records of infectious disease.

While at this time, the trend appears to be that of a best persister, things could change quite rapidly and we could be facing a new best-killer. However, one thing is certain: much like the New York Times Best Sellers list, which tracks and lists the literary hits of our time, we can always turn to the World Health Organization to help us better understand the impact of H7N9 or any other infectious disease breakout so that we are not only aware but also prepared for whatever possible horror novelty may come our way.

(source: www.huffingtonpost.ca)

Lima Penyakit Ini Kuras Anggaran Jamkesmas

Jakarta – Kesehatan Dr Nafsiah Mboi menyebutkan, ada lima jenis penyakit tidak menular yang cukup menguras anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas.

“Kelima penyakit tersebut meliputi gagal ginjal, penyakit paru, kanker, stroke dan jantung,” sebutnya saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2013 Regional Timur di Hotel Grand Clarion, Makassar, Senin (15/4) malam.

Menurutnya, alokasi anggaran untuk Jamkesmas yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah sebanyak Rp 34,5 triliun, 83 persennya dihabiskan untuk penanganan lima jenis penyakit tersebut.

“Hanya 17 persen digunakan untuk pengobatan lainnya,” tutur wanita kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1940 ini.

Menkes memaparkan, kondisi yang paling banyak terjadi pada penyakit paru, yang telah ditangani secara serius. Penyakit paru atau TB, kata dia, lebih banyak diakibatkan oleh para perokok aktif maupun pasif.

“Untuk itu diharapkan semua daerah melakukan perlawanan dengan membuat perda tentang rokok. Sebaiknya bungkus rokok dikampanyekan bergambar tentang dampak yang ditimbulkan serta ada peringatan pemerintah yang dengan jelas dicantumkan,” tuturnya.

Sebelumnya, Indonesia telah mendapatkan Achievement Award dari Global Health USAID sebagai negara yang paling berhasil dalam mengatasi permasalahan Tuberkulosis (TB).

Tidak hanya itu, penghargaan lainnya pada program Pengendalian TB di Indonesia juga telah mendapat apresiasi dari internasional. Penghargaan Champion Award for Exceptional Work in the Fight Againts TB.

Pencapaian indikator target Millenium Development Goals (MDGs) untuk TB di Indonesia cukup memuaskan dan diperkirakan semua indikator TB akan dicapai sebelum waktu yang ditentukan pada tahun 2015.

(sumber: www.beritasatu.com)

World Immunization Week 2013 to promote use of vaccines – WHO

The World Health Organization says World Immunization Week, beginning April 20 aims to promote one of the world’s most powerful tools for health – the use of vaccines to protect people of all ages against disease.

It said in honour of the week, it would soon publish new research in vaccine highlighting the need for better supply systems, better support for remote and marginalized groups and better information in order to reach the estimated 22 million children in developing countries who are still not protected with basic vaccines.

A statement issued by Fadéla Chaib, WHO Communications Officer/ Spokesperson copied to the Ghana News Agency over the weekend said, other challenges include overcoming complacency about immunization, dispelling myths and improving research.

The World Immunization Week is an opportunity for the world to come together to address such barriers; under the global slogan “Protect your world – get vaccinated”.

WHO encourages individuals and organizations working at international, regional, national, and community levels, in the public and private sectors, to coordinate and engage in activities during World Immunization Week.

Immunization Week initiatives began in the Region of the Americas in 2003. The Week was observed simultaneously in WHO’s six regions for the first time in 2012, with the participation of more than 180 countries and territories. GNA

(source: vibeghana.com)

Kesadaran Kesehatan Minim, Masyarakat Indonesia Jauh dari Sejahtera

MENJADI masyarakat yang sehat memang bukanlah perkara mudah. Kebiasaan dan perilaku hidup sehat yang harusnya diterapkan, tidak begitu saja bisa diadaptasi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Ini terbukti dengan banyaknya lingkungan yang kurang bersih di beberapa tempat di Tanah Air. Perilaku hidup tidak sehat inilah yang menyebabkan banyak penyakit dan membuat kualitas hidup masyarakat Indonesia menurun.

“Bagaimana manusia menjaga kesehatan, baik fisik maupun lingkungan sekitar menjadi kunci masyarakat yang berkualitas dan sejahtera. Jika lingkungan tidak sehat, tentu masyarakat akan mudah terjangkit penyakit. Jika sudah sakit, tentu ini berkaitan dengan produktivitas masyarakat,” ungkap Prof. Dr. Nila F Moeloek, dr. SpM, Ketua Persatuan Ahli Mata Indonesia (Perdami) sekaligus Utusan Khusus Presiden untuk MDGs, saat diwawancara secara ekslusif bersama Okezone belum lama ini.

Kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat memang masih cukup rendah saat ini. Belum lagi, jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu masih belum berjalan dengan baik sehingga banyak masyarakat yang masih kesulitan untuk berobat saat jatuh sakit.

“Kesehatan menjadi penghubung bagi semua aspek kehidupan. Jika kita sakit, maka kita tidak bisa mencari nafkah sebagai income bagi kehidupan sehari-hari. Sistem kesehatan bagi masyarakat kurang mampu juga masih belum berjalan baik, keduanya menjadi faktor yang membuat kesejahteraan masyarakat Indonesia menjadi menurun,” tandas Prof. Nila. (ind)

(sumber: health.okezone.com)

Dokter Umum Tidak Harus Ikut BPJS

Jakarta, PKMK-Tidak seluruh dokter umum dari 80 ribu jumlah yang ada wajib mengikuti program Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Sebab, banyak dokter umum yang tidak bekerja pada institusi Pemerintah Indonesia, namun di sektor swasta seperti berbagai industri dan asuransi, ucap dr. Ahmad Budi Arto, MM., Ketua Harian Presidium Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). Melalui telpon ia mengatakan melalui telepon bahwa, dari 80.000-an dokter umum itu, mungkin lebih banyak yang berkiprah di sektor swasta. Maka, ada kemungkinan bahwa dokter umum lebih banyak yang tidak wajib mengikuti program BPJS Kesehatan. “Dalam regulasi, disebutkan bahwa yang wajib mengikuti BPJS Kesehatan adalah institusi kesehatan dari pemerintah Indonesia. Seperti rumah sakit dan puskesmas milik pemerintah, yang swasta tidak wajib,” kata Budi Arto.

PDUI kini sedang dalam koordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan terkait BPJS Kesehatan serta dokter umum. Fakta lain yang perlu diperhatikan adalah komposisi dokter umum yang langsung menangani pasien di institusi Pemerintah Indonesia. Tidak semua dokter umum kini mengobati pasien, misalnya, di rumah sakit pendidikan tipe A yang akses dokter umum ke pasien sangat terbatas. Itulah sebabnya ditangani di RS spesialistik. Hal lain yang perlu diperhatikan terkait BPJS Kesehatan adalah distribusi dokter umum yang tidak merata. Kini dokter umum lebih banyak terkonsentrasi di kota besar. Hal itu terjadi di Jakarta ataupun kota besar lain di luar Jawa, kata Budi Arto.

Lanjut Budi Arto, PDUI sedang berupaya memetakan angka yang lebih akurat tentang jumlah anggota, diperkirakan dari 40 ribu orang dokter umum adalah anggota PDUI. “Angka yang lebih pasti tersebut perlu didapat. Sebab, di BPJS Kesehatan yang berjalan mulai tahun 2014, yang jadi ujung tombak adalah pelayanan primer,” ucap dia. Saat wartawan situs internet ini bertanya tentang kemungkinan dibolehkannya pendirian sekolah tinggi kedokteran dalam Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran, Budi Arto menegaskan “Kami dalam menyumbangkan saran ke rancangan tersebut akan melalui (IDI) Ikatan Dokter Indonesia. Isu terkait materi rancangan itu memang terlalu banyak.” Apakah keberadaan sekolah tinggi kedokteran akan mempercepat penambahan jumlah dokter umum di Indonesia? Sebenarnya yang perlu diperhatikan bukan sekadar kuantitas dokter tersebut namun juga soal distribusi. “Jika sudah lulus, maukah mereka ke daerah? Lebih dari 9ribu puskesmas di Indonesia, belum semuanya terisi oleh dokter.” Sementara, kewenangan mengelola puskesmas kini ada di Pemerintah Daerah. Untuk mengatasi hal tersebut, PDUI dan IDI akan berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah, tambah Budi Arto.

dr. Anjar Asmara, Dekan FK Unaya: Tak Perlu Dokter Luar, Dokter Aceh Sama Bagusnya!

BANDA ACEH – Pengamat Kesehatan Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Besar, dr Anjar Asmara menyampaikan banyak dokter di Aceh, memiliki kualitas di atas rata –rata. Maka itulah wacana mendatangkan dokter dari luar Negeri sebaiknya dikesampingkan oleh Pemerintah Aceh.

Sebelumnya ada wacana Pemerintah Aceh mendatangkan dokter luar negeri untuk ditempatkan di sejumlah rumah sakit di Aceh guna meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

“Ini program terlalu muluk. Banyak sekali dokter di sini yang kualitasnya sama seperti mereka yang ada di luar negeri, tinggal diberdayakan saja,” kata dr Anjar Asmara, Sabtu (13/4).

Dirinya menyatakan, tidak setuju jika ada anggapan yang menyebutkan kualitas dokter di Aceh dan Indonesia umumnya masih di bawah rata – rata dokter yang ada diluar negeri.

Namun kalau dari segi fasilitas kesehatan di rumah sakit memang sedikit tertinggal, namun saat ini sejumlah rumah sakit di Aceh dan Indonesia umumnya juga sudah memiliki peralatan cukup canggih, tidak kalah dengan apa yang dimiliki rumah sakit luar negeri.

Setiap tahunnya, Indonesia melahirkan ribuan tenaga kesehatan seperti dokter bahkan banyak di antara mereka bekerja di berbagai rumah sakit di luar negeri.

“Unaya saja sudah melepas sebanyak 527 orang dokter. Mereka sudah menyebar di seluruh Indonesia,” kata dia.

Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Unaya ini melanjutkan bahwa pada Sabtu kemarin, ada sekitar 174 orang lulusan Unaya mengikuti pengambilan sumpah dokter. Mereka diharapkan nantinya bisa menyebar ke seluruh Indonesia.”Kita arahkan mereka menjadi dokter keluarga,” ujarnya. [1-jpnn]

(sumber: www.theglobejournal.com)

Penggunaan Software Rumah Sakit Semakin Lengkap

12apr

12aprJakarta, PKMK. Manajemen rumah sakit di Indonesia sekarang ini semakin lengkap dalam mengaplikasikan software (perangkat lunak) teknologi informasi. Di kalangan RS sudah ada yang mengembangkan sendiri software tersebut. Serta ada juga yang membeli paket software yang terintegrasi front to end solutions keluaran vendor terkemuka, ungkap Goenawan Loekito, Pemerhati teknologi informasi di Jakarta (12/4/2013).

Direktur pemasaran Oracle Indonesia itu mengungkapkan melalui telepon, kemajuan tersebut antara lain karena pelayanan kesehatan semakin dipelukan oleh masyarakat. Itu meliputi masyarakat kelas menengah ke bawah ataupun atas. “Seringkali, untuk mengaplikasikan software, manajemen rumah sakit tidak terlalu mempermasalahkan persoalan biaya. Apalagi bila mereka memandang hal itu sebagai sebuah investasi jangka panjang,” ungkap alumnus Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada tersebut. Oracle Indonesia sendiri menawarkan software lengkap front to end solutions untuk rumah sakit. Dalam hal ini, Oracle bekerja sama dengan pengembang software lokal.

Aplikasi software itu telah memberikan sejumlah keuntungan, antara lain, setiap transaksi yang terjadi di RS direkam dengan sangat rapi dan bersih, termasuk proses rekam medis di dalamnya. “Bahkan, sekarang mobile device seperti smart phone dan tablet PC bisa terhubung dengan software tersebut,” ucap Goenawan. Faktor yang memudahkan aplikasi tersebut muncul dari manajemen rumah sakit, antara lain adanya pengetahuan mendasar tentang pengelolaan rumah sakit, pengenalan customer experience, dan lain-lain. Di sisi lain, Goenawan menambahkan, sejumlah hambatan pun muncul. Beberapa diantaranya yaitu ketidaktahuan mengenai tujuan sesungguhnya dari aplikasi software itu, hambatan yang muncul dari ‘raja-raja kecil’ yang terkadang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemilik rumah sakit, dan lain-lain. Meskipun seperti itu, bisa dikatakan bahwa dewasa ini rumah sakit yang mengaplikasikan software secara lengkap semakin banyak.

 

Virus flu burung H7N9 di Cina membuat Indonesia makin waspada

Korban tewas akibat flu burung jenis baru di Cina bertambah menjadi 9 orang dan membuat negara-negara lain semakin waspada.

Pemerintah Indonesia sendiri memperketat pengawasan di pintu masuk penumpang dari Tiongkok.

Departemen Kesehatan RI menerbitkan surat edaran ke semua dinas kesehatan propinsi untuk memperketat pengamatan dan respon dini di bandar udara dan pelabuhan internasional terhadap penumpang yang baru tiba dari Tiongkok.

Petugas di bandara dan pelabuhan diminta melakukan pemeriksaan khusus terhadap penumpang yang baru tiba dari Tiongkok. Jika ditemukan penumpang dengan keluhan batuk dan demam harus segera di bawa ke puskesmas terdekat.

Kebijakan ini diberlakukan menyusul krisis flu burung jenis baru yang tengah melanda Cina. Kantor berita Xin Hua melaporkan hingga Rabu kemarin, virus flu burung H7N9 telah menjangkiti 28 orang dan menyebabkan 9 orang tewas di negara itu.

(sumber: www.radioaustralia.net.au)